Sunday, January 6, 2013

Rumah SJSN



BAGAIMANA SEBENARNYA GAMBARAN model “Rumah Sistem Ja­minan Sosial Nasional” ala Indonesia? Dalam buku Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) edisi pertama, penulis menggambarkan “Rumah Sistem Jaminan Sosial Nasional” dengan lima (5) pilar. Dengan me­ngacu pada harapan dan semangat berbagai pihak yang disampaikan mulai dari pimpinan negara sampai penyelenggara Jaminan Sosial dan para pesertanya selama berlangsung proses pe­nyusunan RUU SJSN, dan juga memperhatikan model “Five Pillars of Social Security” World Bank yang telah berhasil diaplikasikan dengan baik oleh China dan Korea Selatan, serta memperhatikan lem­baga penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia (baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Swasta) yang sekaligus mengharmonisasi keberadaannya, maka dalam buku SJSN edisi kedua ini “Ru­mah Sistem Jaminan Sosial Nasional” ala Indonesia dapat digam­barkan dengan enam pilar, sebagaimana desain gambar berikut ini:



Penggambaran tersebut sekaligus merupakan harmonisasi dari berbagai lembaga dan sistem Jaminan Sosial yang telah ada selama ini di Indonesia. Baik berupa Dana Pensiun yang diselenggarakan oleh Pemberi Kerja atau Lembaga Keuangan, Jaminan Hari Tua, Asuransi, Jaminan Kesehatan, Jaminan Perumahan, Jaminan Pendidikan, maupun Tabung Haji. Pendekatan “Enam Pilar” tadi jelas menga­komodasi dan mengharmonisasi Jaminan Sosial yang menjadi porsi Pemerintah, baik dengan iuran ataupun tanpa iuran (Bantuan Sosial), juga sekaligus mengakomodasi par­tisipasi swasta yang selama ini telah berjalan. Keenam Pilar tersebut tidak bersifat kaku, tetapi harus dilihat secara fleksibel. Khusus untuk Pilar II, III dan IV dapat ditambah dengan lembaga atau program yang belum terakomodasi.

Dalam pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di DPR belum lama ini muncul wacana baru adanya transformasi dari Persero menjadi BPJS. Sebenarnya, hal ini bukanlah wacana baru. Dalam kaitan dengan implementasi UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN, bahwa pembentukan BPJS dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu:

1.    Konversi dari bentuk lama menjadi bentuk baru BPJS.
Bentuk lamanya bisa Persero (PT Taspen, PT Asabri, PT Jamsostek, PT Jasa Raharja) dan dapat pula dalam bentuk lain seperti bentuk Badan Usaha Perumahan atau Bapertarum.

2.    Membentuk BPJS Baru.
Pembentukan BPJS baru dapat dimulai dengan BPJS untuk sektor informal  dengan program jaminan sosial pertama fokus kepada jaminan kesehatan, jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja yang kelak dapat dikembangkan secara bertahap dengan program jaminan pensiun dan jaminan  hari tua. Tahap berikutnya dapat dikembangkan menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional Dasar untuk warganegara atau BP Jamsosnasda.

Terkait dengan transformasi tersebut maka bentuk Rumah Jaminan Sosial ala Indonesia dapat diilustrasikan sebagai berikut:





A. Kesejahteraan Masyarakat
    
Pada akhirnya, output dari penyelenggaraan SJSN adalah kesejahteraan masyarakat, baik warganegara, apa­ratur negara atau pegawai maupun pekerja. Upaya memberikan kesejah­teraan kepada warganegara, aparatur negara atau pegawai dan pekerja itu mencakup dua hal, yaitu: 1). Ke­­se­jahteraan semasa masih menjalankan tugas; dan 2). Ke­se­jahteraan purna tugas. Di Indonesia, kedua bentuk ke­sejahteraan ini bermasalah.

1. Kesejahteraan Semasa Masih Menjalankan Tugas

Permasalahan yang membelit kesejahteraan semasa masih menjalankan tugas antara lain:

•  Rendahnya daya beli, khususnya bagi yang ber­pen­dapatan tetap.
•  Rendahnya gaji/penghasilan aparatur negara.
•  Rupiah yang tidak pernah stabil.
•  Mereka yang berpendapatan rendah justru mensubsidi mereka yang termasuk berkelebihan, yaitu para konglomerat, pengusaha dan orang-orang kaya.
•  Terjadinya kebohongan publik.
•  Menjadikan Pemerintah dan DPR sebagai Pemerintah­an dan Perwakilan Rakyat yang tidak berkeadilan ka­rena mereka justru membela yang berkelebihan dan tidak membela yang kekurangan.
•  Negara telah menjadi negara yang sangat bergantung kepada riba yang haram, bukan negara yang ha­lalan toyyiban. Negara yang haram bukan “Tanah Ha­ram” (Tanah Suci). Tanah Haram hanya ada di Arab Saudi.

Bahkan, lantaran gaji dan penghasilan PNS-TNI-Polri atau aparatur negara yang rendah, sampai-sampai mereka harus mensubsidi market. Sekadar contoh, gaji seorang Direktur Jenderal (Dirjen) di Jakarta hanya Rp3,5 juta per bulan. Jumlah itu tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta. Jika yang dianggap cukup adalah Rp15 juta, maka selisih (beda) Rp15 juta – Rp3,5 juta atau Rp11,5 juta itu merupakan bentuk subsidi sang Dirjen kepada market. Bila jumlah ini dikumpulkan dari seluruh PNS-TNI-Polri diperkirakan akan mencapai sekitar Rp75 triliun setiap tahunnya.

Misalkan dalam tahun 2004 dinyatakan bahwa APBN defisit Rp24 trilliun. Angka ini bukanlah angka yang tepat karena belum memperhitungkan subsidi PNS ke­pada market yang mencapai Rp75 triliun tadi. Berarti, bila ditambahkan dengan perhitungan subsidi yang ada di APBN 2004 (Rp24 triliun), maka jumlah subsidi itu se­benarnya Rp99 trilliun. Defisit APBN 2004 adalah Rp99 triliun, bukan Rp24 triliun! Betapa tidak adilnya negeri ini karena penyelenggara ne­gara atau administrator telah membiarkan mereka yang berpendapatan rendah justru memberikan subsidi kepada para konglomerat, pengusaha dan orang-orang kaya.

Selain itu, Pemerintah dan penentu Budget Anggaran Negara selama ini telah mengeluarkan kebijakan bahwa untuk perusahaan swasta dan BUMN wajib menyediakan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi karyawannya pada se­tiap Hari Raya Keagamaan. Namun, untuk pegawainya sendiri (PNS-TNI-Polri), Pemerintah tidak pernah memikirkan (apalagi mem­be­rikan) THR. Ini juga menunjukkan ketidak-adilan Pe­me­rintah. Oleh ka­rena itu, seyogianya Pemerintah mem­pertimbangkan untuk memberikan THR setiap tahun bagi PNS-TNI-Polri, apakah 100 persen atau 50 per­­sen dari penghasilan dengan mi­nimal Rp500.000 atau ditentukan dengan cara nominal misalnya rata-rata per pegawai Rp500.000. Yang penting ada ke­sa­ma­an perlakuan atas kebijakan Pemerintah, baik yang menyangkut pekerja swasta, pegawai BUMN maupun PNS-TNI-Polri, meskipun nominalnya ber­­beda. Dengan demikian kehadiran Pemerintah dan DPR dirasakan sebagai Pemerintahan dan Wakil Rakyat yang adil dan mengayomi semua warganegaranya tanpa ke­­­cuali. Bukankah Pemerintah senantiasa menyatakan akan berlaku adil dan anggota DPR juga selalu berjanji untuk senantiasa siap memperjuangkan ke­pentingan rakyat. Mengapa hal ini tidak diterapkan dalam kebijakan pem­berian THR?


2. Kesejahteraan Purna Tugas
         
Kesejahteraan purna tugas pun bermasalah karena (antara lain) ketidak-pahaman Pemerintah dan sebagian besar pemimpin bangsa serta Tim SJSN untuk mengerti apa saja bentuk-bentuk kesejahteraan purna tugas. Ada yang mengatakan bahwa semuanya itu disebut Ja­minan Sosial. Jaminan Sosial mencakup Dana Pensiun dan Asuransi. Ada yang mengatakan bahwa Jaminan Sosial hanya bagian kecil. Jaminan Sosial tidak sama dengan Ke­se­jahteraan Purna Tugas.

Dengan keluarnya UU SJSN tidak serta merta mampu mengatasi semua persoalan ke­se­jahteraan masyarakat. Apalagi jika proses penyusunan UU itu ti­dak hati-hati dan terburu-buru. Bila tidak memahami persoalannya maka akan berakibat fatal dan bahkan kemungkinan UU yang ada tidak bisa diimplementasikan. Ada yang mengatakan bahwa kita harus membuat teori sendiri karena ini khas Indonesia. Padahal, ada hal–hal yang “well generally accepted internationally” tetapi ada ke­inginan dari sementara pemimpin Indonesia untuk mengabaikannya.

Selain itu, perundang-undangan kesejahteraan purna tugas yang menyangkut PNS-TNI-Polri sampai kini masih bermasalah sehingga perlu didudukkan pada posisi yang se­benarnya. Mengingat permasalahan yang menyangkut kesejahteraan PNS terbilang serius, maka PT Taspen telah mencanangkan program untuk menata kembali UU dan Sistem Kesejahteraan Purna Tugas untuk PNS serta men­dudukkannya kembali sesuai kaidah yang berlaku umum di dunia (well generally accepted principle).

Selaku Ketua AAJSI (Asosiasi Asuransi dan Ja­minan Sosial Indonesia) dalam kesempatan pelantikan Per­wakilan AAJSI Jawa Timur pada tanggal 28 Januari 2004 di Surabaya, penulis telah mengajak seluruh anggota AAJSI untuk menghadapi tahun 2004 dengan melakukan kon­so­lidasi internal. Hal ini perlu dilakukan mengingat berbagai persoalan berat yang dihadapi perusahaan dan negeri ini (seperti krisis yang tidak kunjung berakhir dan bunga bank yang tidak stabil) sehingga menekan pendapatan industri asuransi dan peru­sahaan Jaminan Sosial.

Mengingat beberapa persoalan di atas, maka untuk tahun 2004 (ketika itu) PT Taspen (di mana penulis bertindak sebagai pimpinan) mene­tapkannya sebagai “Tahun Konsolidasi atau Reposisi Perusahaan”. Merupakan upaya back to basic, me­lihat kembali se­mua persoalan Kesejahteraan PNS dengan lebih cermat lagi sesuai khittah-nya. Apakah PNS menghendaki “one stop service” atau “two or three stop service” perlu dikaji se­cara lebih mendalam. Upaya ini telah ditanggapi secara positif untuk ditindaklanjuti dan dicari solusinya, baik oleh Pre­siden, Menko Pereko­nomian, Menteri Keuangan, Men­teri Sekretaris Ne­gara maupun Men-PAN.

PT Taspen juga sudah menyampaikan kepada Pemerintah agar tidak membayarkan gaji dan penghasilan PNS serta para pensiunan dari Dana Subhat (cukai tembakau) dan sum­ber-sumber lain yang haram. Selain itu, dengan adanya fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengenai ha­ram­nya bunga bank, juga merupakan persoalan yang harus ditangani dengan sebaik-baiknya. Jadi, persoalan Kesejahteraan PNS-TNI-Polri memang tidak bisa ditangani secara tergesa-gesa dan asal jadi untuk me­ngejar “deadline”.


B. Peranan Pemerintah

Dalam membicarakan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas, maka tidak dapat dilepaskan dari peranan (ke­wajiban) Pemerintah. Selaku penyelenggara negara, Pemerintah sebenarnya mempunyai berbagai peran, minimal ada lima, yaitu:

1. Selaku Penyelenggara Administrasi Negara (Ad­mi­nis­trator),
2. Selaku Regulator,
3. Selaku Kreditor,
4. Selaku Pemegang Saham, dan
5. Selaku Pemberi Kerja.

Selaku Administrator, Pemerintah terlibat dengan se­­luruh penduduk yang merupakan warganegara dan me­laksanakan semua aktivitas penyelenggaraan negara sesuai dengan fungsinya, baik di bidang bisnis maupun kepemerintahan. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan yang menyangkut warganegara, maka Pemerintah harus menyelenggarakan program Jaminan Sosial bagi masyarakat luas, termasuk petani, nelayan dan masyarakat umum, ma­ka Pemerintah mempunyai tugas untuk menyediakan fa­silitas Jaminan Sosial dasar (basic) seperti yang telah diamanatkan oleh UUD 1945. Di berbagai negara, hal ini diimplementasikan dalam bentuk Social Security System (SSS).

Konteks Jaminan Sosial memang tidak dapat dilepaskan dari peranan Pemerintah selaku Administrator. Untuk itu, Pemerintah selain melaksanakan berbagai aktivitas pe­la­yanan publik dan program bantuan sosial, juga wa­jib membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sebe­narnya, Pemerintah telah memperhatikan Jaminan Sosial, tetapi baru sebatas untuk pekerja perusahaan. Badan yang telah dibentuk adalah PT Jamsostek yang memberikan pelayanan Jaminan Sosial hanya untuk tenaga kerja perusaha­an swasta dan belum meliputi seluruh warga masyarakat. Padahal, Jamin­an Sosial dasar (basic) atau SSS bagi seluruh rakyat itu wajib dilakukan oleh Pemerintah sebagai amanat UUD.

Untuk tercapainya ketertiban dan keharmonisan dalam suatu negara maka harus ada pengaturannya, apakah itu tertuang dalam UU, PP, Keppres dan peraturan lainnya. Agar semua tetap berada dalam suatu keharmonisan, maka Pemerintah bertindak selaku Regulator dengan mengeluarkan berbagai aturan sehingga kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan dan usaha serta kegiatan lainnya dapat berjalan secara lebih harmonis, sejahtera dan ber­keadilan.

Dalam hal-hal tertentu, Pemerintah kerap kali bertindak dengan memberikan pendanaan atau Kreditor bagi sua­tu proyek atau usaha untuk masyarakat luas dengan menge­luarkan pinjaman, baik dalam bentuk pinjaman lunak mau­pun komersial.

Dalam aktivitas tertentu, Pemerintah juga sering menye­lenggarakan kegiatan usaha yang semula merupakan ba­gian dari aktivitas pelayanan kepada masyarakat. Dengan pembentukan badan usaha yang dikenal sebagai BUMN, Pemerintah bertindak sebagai Pemegang Saham. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan usaha perasuransian, Pemerintah (ne­gara) memiliki beberapa BUMN, antara lain PT Taspen, PT Asabri, PT Askes, PT Jasa Rahardja, dan PT Jiwasraya.

Dalam menjalankan roda kepemerintahan, Pemerintah mempekerjakan seseorang menjadi pegawainya sehingga dalam hal ini Pemerintah bertindak selaku Pemberi Kerja yang mempunyai kewajiban untuk (di antaranya) menyelenggarakan kesejahteraan bagi para pegawainya, yakni PNS, TNI dan Polri serta aparatur negara lainnya.


C. Sistem Kesejahteraan Purna Tugas

Pada dasarnya, upaya untuk memberikan kesejahteraan purna tugas dikenal adanya 3 (tiga) bentuk atau sistem, yaitu:

1. Sistem di mana masa manfaat atau service-nya melebihi masa iur. Hal ini disebut dengan pola Dana Pensiun (Pilar IV).

Dalam implementasinya, Dana Pensiun mengenal 2 (dua), masing-masing:
a. Pay as you go (seluruhnya merupakan beban pemberi kerja).
b. Funded system (beban bersama yang dibentuk melalui iuran peserta/pekerja dan pemberi kerja).

Untuk PNS-TNI-Polri seharusnya menggunakan pola pay as you go atau seluruhnya menjadi beban APBN, te­tapi kemudian Pemerintah selaku pemberi kerja bagi PNS-TNI-Polri justru memotong gaji/penghasilan PNS sebesar 10 persen dengan maksud sebagai iuran untuk rencana pen­dirian Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT) se­besar 8 persen (yang terdiri dari Dana Pen­siun 4,75 persen dan THT 3,25 persen) serta 2,0 persen untuk Jaminan Kesehatan. Iuran peserta dari keringat PNS ini dimaksudkan bahwa nan­tinya Pemerintah akan iur juga sebagai pemberi kerja bagi terselenggaranya pola funded system dari sistem Dana Pensiun PNS-TNI-Polri.

Masalahnya, ketika PNS dipotong gajinya, terkandung maksud sebagai upaya Pemerintah selaku pemberi kerja mem­bentuk Dana Pensiun sebagaimana yang diama­natkan dalam UU No.11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai; bukan membentuk Jaminan Sosial. Pemotongan terhadap gaji PNS-TNI-Polri telah dila­kukan, tetapi ternyata Pemerintah sampai sekarang ini belum mem­bentuk lembaga Dana Pensiun PNS-TNI-Polri dan jus­tru mengambil uang PNS-TNI-Polri yang 8 persen tadi buat membayarkan sebagian kewajiban Pemerintah kepada PNS-TNI-Polri untuk Pensiun dan THT-nya. Nilai yang di­bayarkan untuk kewajiban (Peme­rintah) buat pensiun PNS-TNI-Polri adalah 21 persen dari setiap pensiun, sedangkan sisanya dari APBN. Per 31 Desember 2003, total iuran Dana Pensiun PNS yang digunakan oleh Pemerintah sudah berjumlah Rp21 triliun. Nilai hutang Peme­rintah ini akan terus bertambah sejalan dengan belum diputuskannya kewajiban Pemerintah tersebut.

Di sini sebenarnya prinsip GCG (good corporate go­­vern­­­ance) Pemerintah dipertaruhkan. PNS patuh, gaji/peng­hasilannya yang sudah relatif kecil rela dipotong-potong dan disisihkan buat iuran Dana Pensiun dan THT, tetapi justru Pemerintah yang belum pernah mematuhi kewajibannya. Di sini ter­jadi ketidak-adilan dari Pemerintah. Bahkan, kewajiban Peme­rintah selaku Pem­beri Kerja malah dibebankan kepada PNS/Pensiunan itu sendiri, yaitu dengan memberlakukan po­la pembayaran pensiun 79:21 di mana yang 79 persen berasal dari APBN (dalam rangka pola pay as you go) dan yang 21 persen dari uang iuran Dana Peserta/PNS sendiri. Se­ha­rusnya seluruhnya (100 persen) pembayaran pensiun menjadi beban Pemerintah karena model yang diberlakukan adalah pola pay as you go. Uang iuran yang berasal dari PNS sebenarnya belum boleh digunakan sebelum Pemerintah sebagai pemberi kerja memberikan iurannya dan dana pensiun telah mencapai fully funded (pola funded system).

Sementara Pemerintah belum membentuk lembaga Dana Pensiun, maka iuran dana pensiun peserta PNS (4,75 persen) selu­ruhnya dititipkan di PT Taspen. Selain diinvestasikan untuk meningkatkan kemampuan pendanaan program, dana ini sebelum waktunya ternyata telah dipakai oleh Pemerintah untuk membayar pensiun para Pen­siunan PNS. Mengingat amanah yang diembannya, ma­ka Direksi PT Taspen telah menagihkan kembali uang peserta pensiunan tersebut sejak tahun 2003 dengan surat Direksi PT Taspen Nomor: Srt-525/DIR/102003 tanggal 24 Oktober 2003 yaitu berjumlah sekitar Rp16 triliun, dan nilainya akan terus bertambah sepanjang sistem yang selama ini berjalan tidak diperbaiki.

Sedangkan past service liability atau kewajiban masa lalu dalam rangka pemenuhan iuran pemberi kerja (Peme­rintah) bagi dana pensiun yang berjumlah Rp300 triliun telah pula mulai ditagihkan oleh PT Taspen dengan surat Direksi PT Taspen Nomor: Srt-410/DIR/092003 tanggal 01 September 2003. Taspen tidak berharap uang itu da­pat dipenuhi dan dibayar sekaligus oleh pemberi kerja (Pemerintah) meng­ingat keadaan keuangan negara yang masih sulit, te­ta­pi pernyataan pengakuan kewajiban (“liability”) perlu dilakukan oleh Pemerintah. Jika tidak, maka Peme­rintah bisa dituduh sewenang-wenang merampas hak dan harta pegawainya sendiri (PNS).

Untuk kewajiban THT, Pemerintah ke­mu­dian membentuk lembaga penyelenggaranya yaitu PT Taspen seba­gai perusahaan asuransi yang mengelola dana THT (3,25 persen) yang berasal dari iuran atau keringat pe­serta (PNS) sendiri. Pemerintah menetapkan bahwa selain pekerja yang terkait dengan perusahaan swasta dan BUMN wajib mengiur THT, maka pemberi kerja pun harus turut mengiur. Ironisnya, iuran dari Pemerintah se­laku pemberi kerja bagi pegawainya (PNS) sampai seka­rang tidak pernah ada realisasinya. Lagi-lagi Pemerintah tidak me­matuhi kewajibannya.

Ketika penulis diterima oleh Presiden Ibu Megawati Soe­karnoputri (ketika itu), yang didampingi oleh Menko Pere­konomian Bapak Dorodjatun Kuntjorojakti, Menteri Ke­uangan Bapak Boediono dan Menteri Sekretaris Negara Bapak Bambang Kesowo, pada tanggal 10 November 2003 dari pukul 10.30-11.45 WIB di Istana Negara, Jakarta, Presiden me­nyam­paikan arahan: “Siapapun yang duduk di kursi ini (Presiden) harus menyelesaikannya. Agar dihi­tung baik-baik bersama Taspen dan kita cari solusinya.” Inti pernyataan Presiden ini adalah bahwa Pemerintahan, sia­papun Presiden-nya, harus menyelesaikan kewajiban Pemerintah selaku pemberi kerja dan sebagai pengayom aparaturnya. Keterkaitan Pemerintah dalam program ini adalah sebagai Pemberi Kerja dari PNS-TNI-Polri, bukan sebagai Administrator.

2. Sistem di mana masa manfaat atau service-nya sama dengan masa iur. Hal ini dinamakan pola Asuransi (Pilar IV) yang dapat terdiri dari:

a). Berjangka waktu multi years.
b). Berjangka waktu tahunan.

Untuk yang multi years terkait dengan THT karena masa manfaat akan diterima dalam jangka panjang, yaitu pada saat masa iur telah berhenti atau ketika memasuki masa pensiun. Sedangkan yang tahunan seperti halnya asuransi kesehatan, masa manfaatnya diterima ketika masih menunaikan kewajiban untuk membayar iuran. Masa service-nya relatif pendek, misalnya 1 (satu) tahun. Keterkaitan Pemerintah dalam pola dan program asuransi adalah sebagai Pemberi Kerja bagi PNS-TNI-Polri, bukan sebagai Administrator.

3. Sistem Jaminan Sosial. Pola ini tidak menggunakan sis­tem dana pensiun atau sistem asuransi tetapi dengan pola atau sistem Tabungan (Pilar I, Pilar II dan Pilar III). Jaminan Sosial ini bisa di­ka­­­­takan sebagai Jaminan Sosial Nasional karena men­­­jadi satu-satunya sistem pemberian kesejahteraan yang pengelolaan dananya dilakukan atas dasar pola ta­bungan.

Jadi yang disebut Jaminan Sosial Nasional adalah sis­tem pemberian jaminan kesejahteraan berlaku kepada semua warganegara dan sifatnya dasar (basic). Dalam sis­tem Jaminan Sosial Nasional, semua warganegara berhak menikmati fasilitas jaminan kese­jahteraan ini. Dalam pola ini, Pemerintah ikut serta sebagai pihak yang ketiga setelah kepesertaan warganegara. Peranan Pemerintah dalam pola ini yang dominan adalah selaku Administrator dan bukan fungsi Pemerintah se­laku Pemberi Kerja.

Dari ketiga sistem tadi sebenarnya bisa dipilih salah satu. Kalau pun harus mengakomodasi ketiganya, maka urutan­nya adalah Jaminan Sosial, Pensiun dan Asuransi. Itulah yang dilakukan di berbagai negara, Jaminan Sosial dianggap sebagai Fardhu, sedangkan asuransi sebagai yang Sunnah. Tetapi yang terjadi di Indonesia adalah ke­balikannya, yang Sunnah dikerjakan terlebih dulu baru kemudian yang Fardhu.


•  Kebijakan Dasar

Pemerintah perlu mempunyai kebijakan dasar bagi kesejahteraan purna tugas, yaitu: a). Untuk masa kerja di bawah 5 (lima) tahun; dan b). Masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun.

Masa Kerja di Bawah 5 (Lima) Tahun.
Untuk masa ker­ja di bawah 5 (lima) tahun Pemerintah dapat me­netapkan dengan pola:

a). Santunan Purna Jabatan, yaitu dengan memberikan sejumlah dana secara lumpsum berdasarkan rumus tertentu. Misalnya: 2,5 x masa kerja x penghasilan terakhir. Sejauh ini, pola ini diterapkan pada san­tunan purna jabatan bagi Direksi dan Komisaris BUMN. Dulunya mereka menerima pensiun yang digabungkan dengan pensiunan karyawan. Kemudian terjadi perubahan kebijakan mengenai remunerasi purna jabatan pimpinan BUMN.
b). Dengan Sistem Asuransi. Beberapa BUMN mene­rapkan pola ini. Khusus pejabat negara dapat diatur melalui BUMN Asuransi, yaitu PT (Persero) Jiwasraya.

Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Eiji Tajika dalam seminar yang diselenggarakan oleh Bappenas dan JICA pada hari Rabu tanggal 27 Juli 2011 di Jakarta, bahwa pejabat negara di Jepang menerima dua jaminan purna jabatan melalui two tier system. Rinciannya, satu diterima seumur hidup sebagai warganegara, dan yang satu lagi diperoleh berdasarkan masa service-nya (sesuai masa jabatannya).


Masa Kerja Lebih Dari 5 (Lima) Tahun.

Untuk masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun berlaku sistem Ja­minan Sosial, yaitu: Peserta akan mengiur dengan 2 (dua) iuran (iuran Pensiun dan iuran THT) yang besarnya ditetapkan melalui peraturan tertentu dengan memperhatikan kemampuan keuangan masing-masing institusi. Demikian pula bagi pemberi kerja, wajib memberikan kontribusinya bagi peserta untuk iuran Pensiun dan iuran THT dengan catatan:

a). Jika peserta berhenti sebelum 10 tahun masa kerja, maka seluruh iuran Pensiun dan iuran THT dikembalikan kepada yang bersangkutan atau ahli warisnya. Se­dangkan iuran dari pemberi kerja ti­dak diberikan karena tidak mencapai masa kerja pensiunnya, dan karenanya dana iuran pemberi kerjanya menjadi bagian dari kumpulan sistem Ja­minan Sosial.
b). Jika peserta berhenti sesuai dengan masa kerjanya dan mendapatkan hak pensiun, maka peserta memperoleh THT dan Pensiun bulanan yang ditetapkan ber­da­sarkan sistem Manfaat Pasti atau Iuran Pasti.

D. Reformasi Sistem Jaminan Sosial

Sistem Jaminan Sosial merupakan bagian atau sub-sis­tem dari Sistem Kesejahteraan Purna Tugas. Sistem Ke­se­­jahteraan Purna Tugas mencakup tidak hanya sistem Ja­minan Sosial tetapi juga meliputi Sub-sistem Dana Pen­siun dan Sub-sistem Asuransi. Kedua hal yang disebut be­la­kangan itu tidak dicakup dalam sistem Jaminan Sosial namun termasuk dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Reformasi Jaminan Sosial Nasional berarti mereformasi Jaminan Sosial Nasional yang telah ada, bukan mereformasi sistem Kesejahteraan Purna Tugas secara menyeluruh ka­rena ada sub-sistem lain yang tidak termasuk dalam sub-sistem Jaminan sosial, yaitu sub-sistem Dana Pensiun dan sub-sistem Asuransi. Reformasi berarti menata kembali sistem Jaminan Sosial sehingga menjadi sistem Jaminan Sosial yang benar-benar memiliki ruang lingkup Nasional dengan pengertian:

a). Menata sistem Jaminan Sosial agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dan diterima secara inter­na­sional (gene­rally well accepted principle).
b). Membenahi sistem Jaminan Sosial yang telah ada.
c). Menambahkan sistem Jaminan Sosial yang telah ada untuk menyempurnakannya.

Jaminan Sosial yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah selama ini adalah Jaminan Sosial dalam kaitannya dengan Pekerja yang dilakukan dengan terbentuknya PT Jamsostek. PT Jamsostek merupakan satu-satunya perusahaan di Indonesia yang mengelola sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Kontan No.16 Tahun VIII, 26 Januari 2004). Semula, pendirian Jam­­sostek dikandung maksud untuk membentuk Jaminan Sosial yang berlaku untuk semua warganegara. Na­mun, kenyataannya, hanya berlaku untuk perusahaan atau pekerja. Oleh karena itu, Jaminan Sosial yang bersifat dasar (Basic) harus ada karena diperlukan bagi warga masyarakat banyak, khususnya masyarakat kecil yang berada dalam garis kemiskinan yang jumlahnya se­makin banyak. Terlebih, dalam sistem ini peran Pemerintah sangat dominan.

Reformasi tidak berarti revolusi, meniadakan yang telah ada atau merger sehingga menghilangkan yang ada atau melakukan perombakan total dan drastis. Setidaknya, sampai dengan tahun 2004, Indonesia tidak membutuhkan kebijakan yang bersifat revolusioner karena kondisi negara masih dalam keadaan lemah. Semua upaya diarahkan untuk menata kembali atau ”cuci piring” yang dalam bahasa mana­jemen upaya ini disebut sebagai back to basic atau reposisi. Jadi, pengertian Reformasi Jaminan Sosial Nasional yang dimaksudkan di sini adalah menata kembali sistem Jaminan Sosial yang telah ada. Bila perlu ditambahkan untuk menyem­purnakannya menuju Sistem Jaminan Sosial dasar dengan ruang lingkup nasional, yang menyangkut semua warganegara.

Rupanya, UUD memberikan arahan, pandangan dan format yang berbeda dengan pemikir, pengelola, pakar dan akademisi, yaitu bahwa semuanya (baik Jaminan Sosial, Pen­siun maupun Asuransi) dicakup dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Untuk itulah perlu dibuat ”Rumah” Jaminan Sosial Nasional.

Program dengan pola Jaminan Sosial biasanya dimulai dengan istilah ”Jaminan” seperti Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Ja­minan Perumahan, Jaminan Kematian, dan lain-lain. Pemerintah dapat menetapkan dengan sistem lima pilar atau sistem enam pilar.  Adapun manfaat pola Jaminan Sosial itu bermacam-macam, dan yang utama adalah (antara lain):

1). Manfaat bulanan yang diterima setelah masa iur berakhir yang dinamakan Jaminan Pensiun.
2). Manfaat lumpsum yang diterima setelah masa iur berakhir yang dinamakan Jaminan Hari Tua.
3). Manfaat selama masa iur (kesehatan dan lainnya) yang dinamakan Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Perumahan dan lainnya.

Bentuknya sama dengan pola Dana Pensiun dan pola Asuransi, tetapi istilahnya berbeda, di mana kontribusinya berasal dari two party, yaitu: Peserta dan Pemerintah selaku Administrator. Namun, dalam praktiknya, yang berlaku umum dimasukkan pula unsur ketiga, yaitu mereka yang memberikan pekerjaan kepada warganegara yang selama ini disebut sebagai pemberi kerja sehingga menjadi ”tri parti”.

Sebagaimana yang kami sampaikan kepada Presiden Ibu Megawati pada saat kami dipanggil ke Istana Negara pada tanggal 10 November 2003, bahwa Pemerintah dapat memberikan “gesture”, misalnya memberikan bantuan atau modal awal sebesar Rp10 trilliun dan akan diangsur dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, di mana modal awal sebesar Rp1 trilliun diberikan pada saat pendirian lembaga ini. Modal awal diperlukan untuk biaya sewa kantor, penyusunan sistem, pembuatan manual, pembelian sarana operasional seperti kendaraan, pembiayaan konsultan, serta modal kerja untuk waktu tertentu. Dalam hal ini, Pemerintah cukup menyetorkan sekali saja sebesar Rp10 trilliun dan tidak perlu dikaitkan dengan  iuran antara peserta dan pemberi kerja. Iuran peserta dan pemberi kerja dapat ditetapkan dengan sistem dari peng­hasilan atau dengan sistem nominal, misalnya sebesar Rp10.000, Rp50.000, Rp100.000, dan seterusnya. Jadi iuran Pemerintah dapat berupa lumpsum (sekaligus) atau bisa pula diiur secara bulanan mengikuti peserta. Penetapan iuran ini tidak perlu diatur melalui UU, tetapi bisa diatur dengan PP atau Keppres, karena nilai iurannya kemungkinan bisa berubah setiap saat.

Dalam klausul transisi pada RUU SJSN, maka hal itu sebenarnya hanya berlaku bagi PT Jamsostek karena hanya PT Jamsostek yang kegiatannya mendasarkan atas pola Jaminan Sosial. Setelah UU SJSN diundangkan, maka PT Jamsostek harus menyesuaikan diri apakah tetap sebagai Perusahaan (Persero) Jaminan Sosial atau sebagai BPJS (Pilar II atau Pola 3).  Demikian pula apakah hanya mengkhususkan Pekerja Perusahaan Swasta atau menjadi Badan Penyelenggara untuk Jaminan Sosial Nasional Dasar (Jamsosnasda). Asuransi sosial telah dikeluarkan dari rumusan UU Asuransi. Dengan demikian, asuransi sosial tidak memiliki payung undang-undang.

Sesuai ketentuan yang berlaku saat ini, PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes adalah perusahaan asuransi sosial dalam kaitan dengan asuransi bukan Jaminan Sosial. Asuransi sosial itu mempunyai 2 (dua) jurusan, yang pertama terkait dengan asuransi; dan yang kedua terkait dengan Jaminan Sosial. Adapun yang membedakan keduanya adalah mengenai sistem dan proses pelayanannya. Asuransi sosial yang pertama, pelayanan dengan sistem dan pola asuransi; sedangkan yang kedua sistem Jaminan Sosial dengan pola tabungan. Memindahkan proses dari satu sistem ke sistem yang lain akan membutuhkan “effort” yang besar dan berdampak finansial yang besar pula. Namun, langkah ini tetap bisa dilakukan.

Dengan demikian PT Taspen, PT Askes dan  PT Asabri tidak perlu digabung. Apakah ketiganya akan tetap berbentuk Perusahaan (Persero) atau menjadi BPJS, Pilar II atau Pilar III. Peranan Pemerintah di ketiga peru­sahaan ini adalah selaku Pemberi Kerja dan bukan selaku Administrator. Terkait dengan Jaminan Sosial yang me­nyangkut seluruh warganegara, maka Pemerintah bertindak selaku Administrator, sedangkan terkait dengan PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes maka Pemerintah bertindak selaku Pemberi Kerja. Maka PT Taspen dan PT Asabri dapat dikonversi menjadi “BPJS” Profesi atau lembaga wali amanah. PT Askes pun nantinya harus benar-benar memilih apakah selaku Perusahaan Asuransi (Pilar III) atau menangani Jaminan Kesehatan Nasional (Pilar IV). Jaminan Sosial Nasional (dasar), yaitu Pilar I, dapat saja diberikan tugas menangani kesehatan nasional dan bantuan sosial.

Usulan Tim SJSN agar persoalan kesejahteraan setelah pensiun dan kesejahteraan semasa masih menjalankan tugas kerja digabung dalam RUU, menurut hemat penulis, akan menimbulkan komplikasi dalam perumusan RUU dan dapat mengaburkan kondisi yang seharusnya. Oleh karena dalam Tim SJSN se­lama ini menangani 2 (dua) hal yang berbeda, maka sering terjadi kerancuan yaitu:

1). Urusan kesejahteraan setelah pensiun, yaitu Jaminan Pen­siun dan Jaminan THT.
2). Urusan kesehatan.

Semestinya untuk kesehatan juga berlaku 3 pola di atas. Ada yang diatur dengan pola Dana Pensiun, ada yang di­atur dengan pola Asuransi, dan ada yang diatur dengan pola Jaminan Sosial.

Demikianlah hal-hal yang perlu diketahui oleh peserta PT Taspen dan PT Asabri sehingga dapat menjernihkan per­soalan Ja­minan Sosial Nasional serta untuk mendudukkan RUU Ja­minan Sosial secara benar. Untuk memudahkan pro­ses sebaiknya dilakukan dengan mengacu kepada UU Jamsostek yang sudah ada saja. Untuk itupun Paper Aka­demik-nya juga harus diubah.


E. Dalam Membangun atau Menata Kesejahteraan War­ga­negara, maka Pemerintah Selaku Administrator Ma­u­pun Pemberi Kerja Perlu Memperhatikan Hal-Hal Se­bagai Be­rikut:

1. Iuran peserta itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk sesuai dengan sudut pandangnya. Dari segi asuransi, namanya premi. Dilihat dari segi pensiun, namanya iuran pensiun. Dan dari segi kesejahteraan, namanya iuran kesejahteraan. Dari segi Jaminan Sosial, namanya tabungan atau iuran Jaminan Sosial. Oleh karena itu, harus hati-hati dalam merumuskannya ke dalam UU atau peraturan perundangannya. Ada yang nantinya dibayarkan kembali dalam bentuk bulanan dan ada juga yang diberikan dalam bentuk lumpsum.

2. Kebijakan penciptaan lapangan kerja (employment creation). Keterkaitan  kebijakan Jaminan Sosial Nasional dengan kebijakan ketenaga-kerjaan itu bagaikan telor dan ayam atau seperti koin dengan dua sisi yang berbeda serta menganut hukum keseimbangan.

Dengan kebijakan ketenaga-kerjaan yang baik, maka akan mampu menumbuhkan terciptanya lapangan kerja. Selanjutnya, hal ini akan dapat meningkatkan kemampuan dari Jaminan Sosial Nasional. Demikian pula sebaliknya, dengan Jaminan Sosial Nasional yang semakin besar, ma­ka kemampuan un­tuk investasi akan semakin besar se­hingga kemampuan untuk menciptakan pekerjaan atau lapangan kerja pun bertambah besar.

Seharusnya pembiayaan pembangunan Indonesia itu salah satunya bertumpu pada Sistem Jaminan Sosial Nasional seperti halnya yang terjadi di awal kemerdekaan Amerika Serikat, Eropa, Malaysia, Singapura dan negara-negara ASEAN lainnya. Namun yang terjadi, pem­bangunan Indonesia dila­kukan dengan Dana Pin­jaman dan ini berdampak ri­bawi yang menjurus kepada keharaman. Dana Jaminan Sosial Nasional adalah dana non-ribawi. Makanya, perlu dilakukan perubahan paradigma dan strategi dalam pem­bangunan nasional Indonesia.

3. Menyangkut kemakmuran masyarakat secara luas ser­ta hajat hidup orang banyak dan masa manfaat melebihi masa iur, maka harus dilakukan secara sentralisasi (pooling) karena menganut hukum bilangan besar. Sentralisasi ini sering disalah-artikan secara salah kaprah dengan monopoli. Selama monopoli untuk kepentingan ma­sya­rakat luas, hajat hidup orang banyak, demi rakyat dan berlaku umum atau public service, maka tidak perlu dikhawatirkan dampaknya. Sebab, output-nya adalah kemakmuran. Sebaliknya, kalau monopoli un­tuk bisnis memang perlu diwaspadai dan dilakukan pengawasan secara ketat. Bahkan bisa ditolak, karena output-nya adalah penumpukan harta, kekayaan atau kekuasaan pada segelintir orang.

4. Dana Cadangan Keuangan Nasional atau National Reserve Fund karena Dana Pensiun, Dana THT dan Jaminan Sosial itu merupakan bagian dari Da­na Cadangan Keuangan Nasional.

Sumber Dana Ca­dangan Keuangan Nasional itu terdiri dari:

- Dana Pensiun (National Provident Fund).
- Dana THT (Tunjangan Hari Tua).
- Asuransi.
- Jaminan Sosial (National Social Security), yang ter­­diri dari Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua dan jaminan lainnya (misalnya Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Perumahan dan sebagainya).
-    Donasi.
-    Lembaga Tabungan Haji.
-    Shodaqah (Zakat, Infak dan Sedekah).
-    BUMN.
-    Kekayaan dan Wilayah Negara.

Perekonomian dan pembangunan Malaysia dan Singa­pura bertumpu pada Cadangan Keuangan Nasional seperti tersebut di atas. Dana “fresh money” untuk pembangunan di Malaysia sendiri mencapai Rp800 triliun. Walhasil, Malaysia tidak membutuhkan bantuan dan campur tangan IMF dan World Bank.

5. Kemandirian Ekonomi dan Bangsa.

Program kesejahteraan nasional, khususnya Program Pensiun dan Asuransi serta Jaminan Sosial, yang dibangun dan didirikan dengan memperhatikan aspek sentralisasi, penciptaan lapangan kerja dan Cadangan Keuangan Nasional, secara berkesinambungan akan menumbuhkan kemandirian dalam keuangan dan ekonomi yang akhirnya akan menumbuhkan kekuatan, kemakmuran dan kemandirian bangsa.

6. Budaya dan Sistem Sosial Suatu Bangsa.

Dana Jaminan Sosial Nasional terkait de­ngan budaya dan sistem sosial suatu bangsa sehingga sebuah sistem yang baik bagi suatu negara belum tentu baik buat negara lain. Dengan demikian, jangan asal ambil sistem dari negara-negara lain kalau diperkirakan tidak cocok. Jangan juga asal ambil hanya karena pertimbangan perolehan grant dari negara tertentu. Pertimbangan asal konsultan dan pengalamannya harus menjadi perhatian yang mendalam mengingat konsultan luar negeri dibentuk pula oleh sistem negara, school of thought dan kebiasaan hidupnya.

Saat ini, sistem Kesejahteraan Warganegara/Pekerja/PNS/TNI/Polri (Dana Pensiun, THT dan Asuransi serta Jaminan Sosial) di Indonesia belum tertata secara baik dan selalu mengikuti sistem dari berbagai negara. Akibatnya, menjadi tumpang tindih dan ruwet. Hal ini juga tidak terlepas dari upaya “trial and error” yang selama ini dilakukan Indonesia.

Lantas, apa langkah terbaik yang dapat dilakukan?

1). Belajar dari negara tetangga yang mempunyai kesa­maan karakteristik dengan Indonesia seperti Ma­laysia, Thailand, Filipina dan  China.
2). Back to basic atau kembali ke kaidah dasar yang harus dilakukan oleh semua Badan Penyelenggara dan Pe­me­rintah atau regulator.
3). Reposisi atau menata kembali sistem dan prosedur serta aturan, dan jangan membuat sesuatu yang sulit untuk dikerjakan seperti usaha untuk melakukan merger Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau Dana Pensiun dan Asuransi yang sudah ada.


F. Jaminan Sosial Nasional Sifatnya yang Nasional maka Harus Mencakup Semua Warganegara dan Semua Profesi yang Sifatnya Da­sar (Basic). Jaminan Sosial Nasional ini Mengikat Masyarakat Go­longan Rendah, Menengah dan Atas.

Jaminan Sosial Nasional tipe Dasar (Basic) ini bisa ditentukan iurannya secara minimal dengan misalnya 0,5-1 persen, atau dengan cara nominal misalnya menyetor Rp1.000, Rp5.000, Rp10.000, Rp100.000, dan seterusnya sesuai dengan stratanya. Untuk PNS, su­dah waktunya Pemerintah menambahkan iurannya baik dari Peserta maupun Pemerintah selaku Pemberi Kerja. Se­dangkan Perusahaan Swasta dan BUMN tinggal me­min­dah­kan internal Social Security yang saat ini ada di perusahaan yang dikelola sendiri ke Lembaga ini. Tidak akan menambah iuran yang memberatkan peserta dari swasta.

Mengingat demikian luas ruang lingkupnya maka harus dilakukan secara bertahap dan sebaiknya dimulai dari masyarakat paling bawah yang selama ini belum dapat diliput dan disentuh dengan sistem yang telah tersedia se­perti sistem Dana Pensiun dan Asuransi. Setelah kelompok lapisan bawah berjalan, kemudian yang menengah dan selanjutnya masyarakat yang berkelebihan. Tahap pertama dimulai dari mereka yang belum pernah tersentuh pelayan­an atau program Kesejahteraan Purna Tugas, mi­salnya mu­lai dari nelayan, petani hutan, petani sawah, pe­tani pekarangan, pekerja pelabuhan, sopir taksi, sopir bus, tukang becak dan lainnya.

Mengingat lingkup operasionalisasinya yang luas, maka diperlukan pula masa transisi bagi Jaminan Sosial yang telah ada untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang berlaku dalam UU SJSN. Selain itu, perlu pengaturan mengenai akreditasi dari setiap pekerjaan karena untuk membedakan mana yang bertindak selaku majikan dan mana pula yang pekerja.

Dari Sistem Jaminan Sosial Nasional Dasar ini, lantaran mencakup semua warganegara, dapat diterbitkan Social Security Num­ber atau IC (Identification Card) yang sekaligus bisa menjadi Kartu Penduduk.

Pada tanggal 27 Juli 2011 penulis diundang untuk mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Bappenas dan JICA di Hotel Nikko, Jakarta. Seminar ini menampilkan beberapa pembicara, di antaranya adalah: Prof. Dr. Eiji Tajika dari Graduate School of Economics, School of International and Public Policy, Hitotsubashi University, yang membawakan makalah berjudul Construction of Public Pension in Developing Economics. Lalu Prof. Dr. Yoshinori Hiroi dari Department of Policy Studies, Faculty of Law and Economics, Chiba University, yang membawakan makalah bertajuk Developments and Evaluation of Health Care System and Social Protection in Japan. Dan, Bapak Dr. Fahmi Idris dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dengan makalah berjudul Reformasi Jaminan Kesehatan dan Jaminan Hari Tua di Indonesia.



Pada sesi tanya-jawab, penulis menanyakan, ”Bagaimana dengan pensiun para Anggota DPR dan Pejabat Negara seperti Menteri di Jepang yang masa kerjanya hanya 5-7 tahun?” Dr. Tajika menjawab bahwa di Jepang berlaku Two Tier System, yaitu para pejabat menerima 2 jaminan sosial, masing-masing: yang basic dan yang non-basic sesuai dengan masa service-nya. Bagi mereka yang, misalnya, mempunyai masa jabatan 5 tahun, maka mereka menerima santunan selama masa kerjanya tersebut. Sedangkan untuk yang basic, mereka menerima jaminan sosial selama hidup. Jadi di sini ada yang bersifat basic dalam kapasitasnya sebagai warganegara (seperti halnya NSSF di China) dan yang satu lagi terkait dengan Profesi yang dijalaninya (mirip Komisaris dan Direksi BUMN di Indonesia yang masa kerjanya pendek 5-10 tahun) menerima Santunan Purna Jabatan yang diberikan berupa dana lumpsum dari perusahaan atau dengan sistem Asuransi.

Pengalaman Jepang ini patut dicontoh oleh Indonesia, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Membentuk BPJS untuk Jaminan Sosial Dasar yang berlaku bagi seluruh penduduk (warganegara), termasuk untuk pejabat negara. Untuk mewujudkan BPJS ini perlu dilakukan secara bertahap. Tahap pertama diperuntukan bagi sektor informal, kemudian dikembangkan ke kalangan menengah dan atas. 
2.  Pejabat negara (seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Anggota DPR dan pejabat negara lainnya) yang hanya mempunyai masa service jangka pendek tidak menerima jaminan pensiun karena akan sangat membebani administrasi dan APBN. Pemerintah dan DPR sebaiknya memutuskan untuk memberikan santunan purna jabatan yang disesuaikan dengan masa pelayanannya kepada masyarakat atau rakyat. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan PT Asuransi Jiwasraya.

Langkah ini telah dilaksanakan oleh BUMN terkait dengan jaminan pensiun Dewan Komisaris dan Direksi. Dulu, Dewan Komisaris dan Direksi menerima pensiun kemudian diubah dengan pola Santunan Purna Jabatan melalui pembayaran lumpsum dari Perusahaan atau Perusahaan Asuransi. Banyak yang mendukung gagasan ini, termasuk mantan Menteri Perindustrian yang juga mantan Wakil Kepala Bappenas Prof. Dr. Ir. Rahardi Ramelan.


G. Format dan Struktur Sistem Jaminan Sosial Na­sional

Secara garis besar, format dan struktur (organisasi) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat terdiri dari: Dewan Pertimbangan Jaminan Sosial Nasional sebagai lembaga yang menetapkan kebijakan; Dewan Pengawas Jaminan Sosial Nasional sebagai lembaga yang mengawasi; dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional Dasar.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Sebelum menjelaskan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional Dasar, ada baiknya kita terlebih dulu memahami pengertian dan konteks Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) itu sendiri. Mengenai hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
     
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau disingkat dengan  BPJS merupakan badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang dananya berasal dari:

a.      Pengalihan kekayaan BPJS atau konversi dari Persero atau badan usaha lainnya.
b.      Pembentukan baru.
Pemerintah perlu memfasilitasi pembentukan BPJS baru yang dimaksud dengan menyediakan mulai dari dana, sarana  sampai SDM-nya. Dalam hal ini, kendati modal awal BPJS disediakan oleh Pemerintah, tidak berarti merupakan kekayaan negara tetapi sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, BPJS tidak bisa go public.

BPJS akan menyelenggarakan program Jaminan Sosial bagi para pesertanya  yang merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial guna menjamin seluruh rakyat agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak.

     BPJS sebagaimana dijelaskan dalam Bagian 15 buku ini terdiri dari tiga:

1.1. BP Jaminan Sosial Nasional Dasar (Basic). 
Indonesia saat ini merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang belum memiliki Lembaga Jaminan Sosial Nasional Dasar (National Social Security System).

1.2. BP Jaminan Sosial Profesi
                BPJS Profesi adalah BPJS yang diberi amanah untuk mengadministrasikan dan mengelola dana jaminan sosial guna memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peserta. BPJS ini melaksanakan minimal 5 program jaminan sosial yang sudah ditetapkan. Agar efisien dan fokus pada program Jaminan Sosial yang telah ditetapkan maka tidak harus dikerjakan sendiri oleh BPJS Profesi, tetapi dapat pula dikerjakan oleh BPJS Penunjang. Misalnya dalam soal PT Taspen, program kesehatan PNS bisa dikerjakan oleh PT Askes yang termasuk dalam BPJS Penunjang.                  

Termasuk ke dalam BPJS Profesi di antaranya adalah:
-  BPJS Pegawai Negeri Sipil (Profesi)
-  BPJS TNI/Polri (Profesi)
-  BPJS Karyawan BUMN (Profesi)
-  BPJS Karyawan BUMS (Profesi)
-  BPJS Tenaga Pendidik Swasta (Profesi)
-  BPJS Tenaga Medis Swasta (Profesi)
    
BPJS Profesi ini bisa dikembangkan lebih lanjut yang mencakup antara lain petani, nelayan, dan tenaga yang bekerja di rumah-rumah ibadah seperti marbot dan khatib.
                                
1.3. BP Jaminan Sosial Penunjang 
BPJS penunjang adalah BPJS yang diberi amanah untuk melaksanakan program jaminan sosial tertentu yang bersifat menunjang BPJS Profesi. Tujuannya agar manfaat yang diterima oleh peserta lebih optimal dan terlayani secara lebih baik.
                
Termasuk BPJS Penunjang antara lain:
- BPJS Jaminan Kesehatan
- BPJS Jaminan Kecelakaan Kerja
- BPJS Jaminan Kecelakaan Dalam Perjalanan
- BPJS Jaminan Kematian
- BPJS Jaminan Perumahan
- BPJS Jaminan Pendidikan

BPJS Penunjang pun dapat dikembangkan lebih lanjut.

2. Organisasi

Dalam menyelenggarakan SJSN, BPJS mesti memiliki unsur-unsur

2.1.         RUB ( Rapat Umum BPJS).
Sebagai pengganti dari RUPS dalam Persero maka diperlukan lembaga RUB yang mempunyai kewenangan antara lain menetapkan Rencana Kegiatan dan Anggaran BPJS, mengesahkan Laporan Keuangan BPJS, dan mengangkat Dewan Pengawas dan Direksi.
2.2.         Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Dewan Jaminan Sosial ini bertugas untuk menetapkan kebijakan yang akan diselenggarakan oleh BPJS.
2.3.         Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas mengawasi operasionalisasi BPJS.
2.4.         Direksi.
Direksi melaksanakan pengurusan (manajeman) BPJS.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional Dasar

Sampai sekarang ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang belum mempunyai Lembaga Jaminan Sosial Nasional Dasar (National Social Security System) dan Dana Pensiun Nasional (National Pension Fund). Untuk itu penulis dapat uraikan beberapa hal menyangkut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional Dasar sebagai berikut:

1). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional Dasar memiliki alat kelengkapan:
a.    Rapat Umum BPJS (RUB).
b.   Dewan Jaminan Sosial Nasional.
c. Dewan Pengawas, yang terdiri dari:
-    Unsur Pemerintah selaku Administrator.
-    Unsur Pemerintah selaku Regulator.
-    Unsur Serikat Pekerja.
-    Unsur Pensiunan Pekerja.
-    Unsur Independen.
-    Unsur BUMN.
-    Unsur Korpri.
-    Unsur TNI/Polri.
Dilengkapi pula dengan beberapa Komite sebagai be­rikut:
-    Komite Manajemen Risiko.
-    Komite Anggaran.
-    Komite Compliance.
-    Komite Remunerasi.
     d.      Direksi.

2). Penyelenggaraan Program Manfaat Jaminan Sosial Nasional dilakukan dengan pola:
a.  Sentralisasi.
b.  Sifatnya dasar (basic).
c.  Peserta PNS, TNI, Polri, pekerja perusahaan, pekerja informal dan pemberi kerja (Pemerintah, Peru­sahaan, Pribadi) turut mengiur.
d. Pemerintah selaku Administrator memberikan da­nanya yang berasal dari pajak dalam bentuk lump­sum.
e.  Sistem Pendanaan Penuh (Funded System), artinya terdapat unsur pemberi kerja.
f.   Terdapat 2 (dua) bentuk Pembayaran Manfaat, yaitu:
(1). Bulanan, dilakukan dengan pola Pensiun dan pembayaran dilakukan setiap bulan sete­lah peserta melampaui masa pensiun atau dila­kukan secara lumpsum yang disebut Ja­minan Pensiun.
(2). THT dengan pola tabungan yang dinamakan Jaminan Hari Tua.
g.  Jika peserta berhenti bekerja dari suatu lem­baga pemerintah/perusahaan/pekerjaan, maka pro­gram manfaat bulan­an ini tetap dapat dilanjut­kan oleh yang bersangkutan dengan pemberi kerja yang baru atau sesudahnya.
h.  Jika peserta mengambil lumpsum maka program ini dianggap selesai ketika seluruh dananya diambil dengan hitung-hitungan tabungan, yang disebut Jaminan Hari Tua.
i.   Dalam hal terjadi shortage dana, maka Pemerintah yang akan mengambil-alih dan dimasukkan dalam program Bantuan Sosial yang sumbernya berasal dari pajak.

3). Jika Badan ini berbentuk BUMN khusus, maka:
•  Harus Zero Dividend (tapi bukan nirlaba).
•  Harus Tax Free (bebas pajak).

Pasal 70 ayat 1 RUU SJSN versi tanggal 8 Januari 2004 yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, PT (Persero) Jamsostek, PT (Persero) Askes, PT (Persero) Taspen dan PT (Persero) Asabri tetap melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan pembentukannya dengan kewajiban secara bertahap me­nyesuaikan diri dengan Undang-Undang ini“, perlu direvisi. Tidak perlu menyebutkan nama PT Asabri, PT Taspen dan PT Askes karena ketiganya bukan perusahaan dengan aktivitasnya di bidang Jaminan Sosial, tetapi di bidang Asuransi.

Dengan demikian penulis menyarankan bunyinya diubah menjadi sebagai berikut:

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, BUMN, BUMD dan BUMS yang bergerak di bidang Jaminan Sosial tetap me­laksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan pembentukannya dengan kewajiban secara bertahap me­nyesuaikan Sistem Pengelolaan Jaminan Sosial-nya dengan Un­dang-undang ini.“

Perlu stressing atau penekanan mengenai “menyesuaikan sistem pengelolaan Jaminan Sosial-nya”. Kata “sistem” sudah barang tentu tidak akan bisa diartikan sebagai “merger”.

Sebagaimana telah penulis sampaikan pada Bagian 15 buku ini, bahwa pada tanggal 16 Januari 2004 dalam per­temuan dengan Komisi VII DPR-RI yang diprakarsai oleh Tim SJSN (Tim baru tanpa PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes) yang kebetulan penulis juga diundang, Menko Kesra (saat itu) Bapak M. Jusuf Kalla dalam arahannya kepada pe­serta diskusi (yang penulis sempat mendengar) menyatakan tidak perlu lagi mengutik-utik lembaga yang sudah ada, baik PT Taspen, PT Asabri maupun PT Askes. Ketiga lembaga ini tetap eksis. Arahan ini jauh lebih maju dibandingkan yang disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesra tanggal 7 Januari 2004 yang ketika itu kami pun diundang.

RUU SJSN versi tanggal 16 Januari 2004 yang dibagikan di Hotel Horison, Jakarta, memiliki banyak kelemahan dan memang bermasalah. Salah satunya, RUU ini masih memasukkan nama PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes yang sesuai arahan Menko Kesra Bapak M. Jusuf Kalla bahwa Badan tersebut tidak perlu disebut-sebut lagi. Sangat disayangkan sebelum matang di pihak Pemerintah ternyata naskah RUU SJSN telah disampaikan ke DPR. Masalahnya lagi, justru pada saat-saat terakhir pembahasan tidak melibatkan seluruh Tim, khususnya Tim pendukung. PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes juga ditinggalkan sehingga ba­nyak kekurangannya. Maka dalam kesempatan pertemuan lanjutannya pada tanggal 18 Januari 2004, PT Taspen menegaskan bahwa pihaknya tidak ber­tanggung-jawab terhadap isi draft tanggal 16 Januari 2004. Draft tanggal 16 Januari 2004 berbeda dibandingkan dengan draft tang­gal 8 Januari 2004.

Sebagai komitmen PT Taspen terhadap pertemuan tanggal 10 November 2003 dan dukungan kepada program penyelenggaraan SJSN, maka PT Taspen telah menyampaikan usulan draft RUU SJSN sebagaimana tercantum dalam lampiran surat No. Srt-648/DIR/122003 tanggal 24 Desember 2003 kepada Menteri Sekretaris Negara. Sungguh PT Taspen tidak ingin setengah-setengah dalam merespon kehadiran UU SJSN karena program ini memang merupakan salah satu program yang belum ada di Indonesia. Selain program Dana Pensiun Nasional, program SJSN juga sangat diperlukan bagi ke­makmuran masyarakat, bangsa dan negara ini. Di mana, sejak awal penataan kesejahteraan PNS, PT Taspen pun selalu membicarakan dan terus mengkampanyekannya.

Pada tanggal 22 Januari 2004, bersama Bapak Hasan Seigeyr (mewakili Korpri di MPR), kami menemui Men-PAN Bapak Feisal Tamin di kediamannya pada pukul 10.00 WIB sebelum beliau me­nu­naikan Ibadah Haji. Men-PAN me­nyam­paikan bahwa draft yang dibahas dalam Sidang Ka­binet adalah draft tanggal 8 Januari 2004 dan telah diu­sulkan perubahan yang diterima oleh Sidang Kabinet me­nyangkut beberapa hal termasuk perubahan seperti butir 8, yaitu nama-nama PT Taspen, PT Asabri, PT Askes dan PT Jamsostek, tidak perlu disebut-sebut lagi tetapi diganti dengan “BUMN, BUMD dan BUMS” dan seterusnya. Sebelumnya, PT Taspen memang diminta memberi masukan kepada Men-PAN mengenai RUU SJSN dan masukan disampaikan pada tanggal 15 Januari 2004 sekitar pukul 08.30 WIB sebelum beliau menghadiri Sidang Kabinet.

Pada tanggal 29 Januari 2004 sekitar pukul 16.30 WIB ketika diterima Menko Perekonomian di ruang kerja kantornya di kawasan Lapangan Banteng Jakarta Pusat, dan hadir pula di antaranya Bapak Eddy Purwanto, Menko Perekonomian Bapak Dorodjatun Kuntjorojakti menyatakan (antara lain) Sidang Kabi­net memutuskan untuk tidak memasukkan nama-nama BUMN dalam draft RUU SJSN. Draft yang dibicarakan dalam Sidang Kabinet adalah draft versi tanggal 8 Januari 2004. Menko Perekonomian berpesan agar penulis dapat memberikan input buat RUU SJSN secara profesional dan isi RUU harus se­suai dengan prinsip-prinsip yang dapat diterima secara umum di dunia. Selain itu, Bapak Dorodjatun juga menyatakan bahwa penanganan RUU dilakukan oleh Menko Kesra. Ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa SJSN lebih kental ke per­­soalan Kesra atau Sosial Kemasyarakatan daripada persoalan Ekonomi. Dengan demikian sudah jelas bahwa PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes tidak terkait dengan persoalan kema­sya­rakatan tetapi kepada persoalan kesejahteraan aparatur atau persoalan ekonomi.

Dalam pertemuan tanggal 13 Januari 2004 di Kantor Sekretariat Wakil Presiden, penulis menyampaikan untuk merevisi beberapa pasal dalam RUU SJSN. Namun, Ketua Tim SJSN Bapak dr. Sulastomo menyampaikan: “Nanti saja di Horison untuk dilakukan revisi, kalau keliru-keliru sedikit tidak apa-apa.” Akan tetapi, apa yang terjadi ternyata ketika di Hotel Horison justru telah dianggap final dan langsung dibicarakan dengan Komisi VII DPR-RI. Tidak dapat dime­ngerti, mengapa Tim tidak transparan dan menu­tup diri dari koreksi yang justru untuk lebih menyempurnakan draft RUU SJSN. Setelah Ibu Yaumil Agus Akhir meninggal karena sakit pada tanggal 1 Juli 2003, Ketua Tim SJSN dijabat oleh dr. Sulastomo.

Sungguh sangat disayangkan Pimpinan Tim SJSN yang baru tidak transparan dan tidak berupaya menghasilkan RUU yang terbaik dan benar. Sebaliknya, Pimpinan Tim SJSN hanya berupaya untuk secepatnya menyelesaikan meskipun output-nya tidak excellent.

Pembentukan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pa­tut didukung mengingat sifatnya memberikan perlindungan dasar bagi setiap warganegara. Namun, dalam penyusunannya perlu memperhatikan kaidah-kaidah Jaminan Sosial yang benar, didasarkan pada prinsip-prinsip yang diterima secara umum di dunia atau ”well generally accepted principles”.

Prinsip-prinsip pengelolaan Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas), antara lain:

a.  Jaminan Sosial Nasional bersifat dasar karena menyang­kut semua warganegara.
b.  Jaminan Sosial Nasional harus pooling atau sentralisasi karena menganut konsep jamaah.
c.  Jaminan Sosial Nasional terkait dengan penciptaan la­pangan kerja (Employment Creation).
d. Jaminan Sosial Nasional terkait dengan Cadangan Ke­uangan Nasional (National Reserve Fund) dan kestabilan ekonomi negara.
e.  Jaminan Sosial Nasional harus dengan pola pendanaan penuh (Fully Funded System).
f.   Jaminan Sosial Nasional terkait dengan pengelolaan ber­dasarkan sistem tabungan.
g.  Jaminan Sosial Nasional terkait dengan pembiayaan jangka panjang.
h.  Jaminan Sosial Nasional harus transparan.
i.   Jaminan Sosial Nasional harus bebas pajak.
j.   Jaminan Sosial Nasional harus zero dividend.
k. Pimpinan, staf dan karyawan Badan Pengelola Jaminan Sosial Nasional adalah aparatur negara. Mereka adalah amil dan bukan pegawai swasta atau serikat karyawan. Selama ini sudah salah kaprah. Seingat penulis, karyawan PT Askes masih berstatus PNS. Begitu pula dengan karyawan PT Taspen dan PT Jamsostek.

PT Taspen dan PT Asabri yang saat ini berbentuk Persero adalah suatu perusahaan Asuransi Sosial sehingga menjadi anggota Dewan Asuransi Indonesia (DAI) yang kemudian berubah menjadi FAPI (Federasi Asosiasi Perasuransian Indonesia). Sejak tahun 2010 berganti kembali ke DAI. Sesuai ketentuan yang berlaku saat ini, PT Taspen dan PT Asabri merupakan perusahaan asuransi sosial dalam kaitannya dengan asuransi. Asuransi sosial itu mempunyai dua jurusan, yang pertama terkait dengan asuransi; dan yang kedua terkait dengan Jaminan Sosial. Ada­pun yang membedakan keduanya adalah mengenai sis­tem dan proses pelayanannya. Yang pertama pelayanan dengan sistem asuransi, sedangkan yang kedua pelayanan dengan pola tabungan. Me­mindahkan proses dari satu sistem ke sistem yang lain tentu akan mempunyai dampak finansial yang besar.

Adalah kesalahan yang sangat fatal jika kita menyatakan bahwa dana yang ada di PT Taspen dan PT Asabri sebagai dana milik Pemberi Kerja atau Pemerintah sehingga dianggap merupakan dana APBN. Sungguh sangat disayangkan bila ada Pejabat Tinggi yang tidak memahami persoalan ini. Bayangkan, mereka tidak tahu ke­pentingan aparaturnya sendiri yang selalu membantu mencapai keberhasilan tugasnya sehari-hari selaku pejabat. Jika demikian kon­disinya, lalu bagaimana mereka akan mampu membereskan urusan masyarakat dan negara yang lebih luas.

Dana yang ada di PT Taspen dan PT Asabri bersumber dari keringat PNS/TNI-Polri sendiri, bukan dari Pemberi Kerja atau Pemerintah. Dana itu diperoleh dari pemotongan langsung dari penghasilan PNS/TNI-Polri, bukan dari APBN. Oleh karena itu, sama sekali tidak ada hak Pemerintah untuk me­manfaatkan dana ini buat kepentingan apapun, apalagi menghabiskannya. Ini akan terkait dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Sudah seharusnya Pemerintah melindungi dan bahkan menambah dana tersebut.

Begitu pula dengan dana yang ada di PT Askes dan PT Jamsostek. Dana Askes sebelum tahun 2003 sepenuhnya merupakan dana milik PNS. Baru mulai tahun 2003, ada iuran dari Pemberi Kerja (Pemerintah) ke dalam dana Askes. Sedangkan di PT Jamsostek, dari sejak mula pendiriannya telah dite­tapkan adanya iuran baik dari Peserta (Pekerja) maupun Pem­beri Kerja (Perusahaan). Jadi, meskipun PT Jamsostek itu berstatus BUMN, namun sesungguhnya dana di PT Jamsostek itu adalah milik Pekerja dan Perusahaan (Swasta), tidak ada sama sekali dana dari Pemerintah.

Pada awal penyusunan RUU SJSN penulis sudah mewanti-wanti agar tidak memasukkan nama-nama PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes da­lam UU SJSN, namun cukup seperti formulasi butir 10. Pasalnya, jika UU tetap menyebut nama-nama mereka itu berarti akan mem­buka front dengan PNS dan TNI-Polri serta Korpri, PWRI dan Pepabri.

Selanjutnya, tentang pemikiran yang salah bahwa PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes harus di-merger karena dana ketiga perusahaan tersebut ada unsur hak individu yang di dalamnya jelas terkait dengan HAM. Juga pemikiran yang salah bahwa dengan adanya UU SJSN maka UU Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak berlaku lagi dan dicabut. Kedua UU itu masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut atau ada UU penggantinya.

Pemerintah memang harus segera menuntaskan per­soalan PT Taspen dan PT Asabri, di mana dalam kerangka SJSN bisa saja dimasukkan sebagai Pilar II. Dalam RUU SJSN belum tergambar secara jelas du­kungan kajian akademik dan analisa serta konsekuensi finansial yang menyangkut besaran iuran, manajemen keuangan, cadangan premi dan bagaimana pemenuhan dananya. Draft RUU SJSN yang menjadi dasar keputusan Sidang Kabinet, yaitu draft yang bertanggal 8 Januari 2004, tidak dipergunakan oleh Tim SJSN untuk diajukan ke DPR. Draft RUU SJSN yang diajukan ke DPR bertanggal 16 Januari 2004 yang justru memiliki banyak kelemahan. Dan akhirnya, ketika draft tersebut disahkan menjadi UU otomatis juga memiliki banyak kelemahan yang sebenarnya sudah dikoreksi dalam draft bertanggal 8 Januari 2004.

Sekali lagi, dari sejak mengikuti rapat-rapat Tim SJSN, timbul keheranan dalam diri penulis. Penulis pun bertanya-tanya mengapa Bapak Martiono Hadianto selaku Wakil Ketua Tim SJSN seperti tidak punya semangat mengikuti pertemuan dan pembahasan. Bahkan, beliau jarang hadir dalam pertemuan-pertemuan di Sekretariat Negara. Penulis bisa menghitung dengan jari kehadiran beliau ketika penulis aktif di Tim SJSN. Telisik punya telisik, dalam pertemuan hari Rabu tanggal 10 September 2003 pukul 19.00-22.30 WIB ter­ung­kap bahwa di awal terbentuknya Tim SJSN terdapat perbedaan pandangan antara Ketua Tim SJSN Ibu Prof. Dr. Yaumil Agus Akhir dan Bapak Martiono Hadianto dalam hal penyusunan sistem SJSN ini. Dan, perbedaan itu sangat mendasar.

Pernah suatu ketika hampir dikatakan bahwa Bapak Martiono Hadianto menghilang dari Tim dan bahkan hampir larut mengikuti pola sementara anggota Tim (mohon maaf Pak Martiono!) yang justru tidak memahami dengan benar mengenai sistem Jaminan Sosial. Terpikir oleh penulis mengapa Bapak Martiono berbeda dengan Bapak Martiono yang dulu? Namun, di akhir malam Kamis tanggal 11 September 2003 pandangan penulis berubah. Ternyata, Bapak Martiono masih tetap seperti yang dulu: Kritis dan istiqamah. Terima kasih Bapak Martiono.

Penulis kemudian menangkap sinyal ada perbedaan pendekatan dalam menyelesaikan persoalan Sistem Jaminan Sosial ini, antara Ketua dan Wakil Ketua Tim. Penulis baru jelas bahwa ketika hari Rabu malam (10 September 2003) Bapak Martiono mengungkapkan bahwa sebelum bicara SJSN harus diselesaikan dan dibikin jelas dulu persoalan kesempatan kerja atau “employment creation”. Benar apa yang dikatakan oleh Bapak Martiono. Namun, penulis pikir Ibu Yaumil Agus Akhir selaku Ketua Tim, yang bersikukuh bahwa Jaminan Sosial yang harus diselesaikan terlebih dulu (sesuai dengan kondisi saat itu), sebetulnya benar juga.

Terpikir dalam benak penulis bahwa sebenarnya antara “Employment Creation” dan “National Reserve Fund” itu mem­punyai kaitan yang erat, minimal terkait dengan 3 (tiga) hal, yaitu:

a.  Keduanya seperti Telor dan Ayam; atau
b.  Keduanya seperti Koin dengan dua mata sisi yang ber­beda. Namun kedua sisi ini meskipun berlainan tetapi seimbang, dan jika tidak seimbang maka bukan koin na­manya.
c.  Keduanya berlaku hukum keseimbangan. Jadi, menye­le­saikan yang satu harus memperhatikan yang lain. Jika penataan employment creation benar (berarti tidak akan terjadi pengangguran dan kemiskinan), maka Ja­minan Sosial bakal terlaksana secara baik. Sebaliknya, bila Jaminan Sosial tidak tertata secara benar, maka employment creation tidak terwujud, serta akan timbul pengangguran dan kemiskinan. Subhanallah, hal itu yang terjadi dan rupanya Tuhan telah mengaturnya demikian. Inilah sunnatullah, dalam menata kembali Jaminan Sosial dan kebijakan Tenaga Kerja, keduanya harus menjadi perhatian sekaligus. Kalau membicarakan salah satunya, maka harus pula mempertimbangkan yang lainnya. Tidak diperhatikan sendiri-sendiri sebagai sistem yang stand alone.

Maka yang harus ditempuh sekarang ini adalah ikuti saja apa yang dike­hendaki Tuhan. Jangan mengikuti IMF dan konsultan Luar Negeri tanpa reserve. Apalagi saat ini kita patut curiga dengan nasihat dari konsultan Barat dan Harvard, jangan-jangan ada unsur rekayasa ”kelompok tertentu” di dalamnya guna menghancurkan negeri ini. Selama ini, negeri tercinta Indonesia merupakan negeri dengan multi-ras dan warganya meng­anut multi-agama yang telah hidup dalam suasana te­nang dan damai, meskipun mayoritas penduduknya memang beragama Islam. Di negeri ini, meskipun warganya menganut multi-agama dengan komunitas-komunitasnya yang tersebar di seluruh Nusantara dalam suasana penuh kedamaian, na­mun ternyata tidak ada komunitas ”kelompok tertentu” tadi. Ada Arab, ada China, ada Eropa atau bule, Afrika, India, dan lain sebagainya. Indonesia ini benar-benar merupakan miniatur kehidupan dunia yang rukun dan damai. Apakah kiranya bapak-bapak dan ibu-ibu pimpinan dan masyarakat setuju adanya rekayasa ”kelompok tertentu” di balik semua keruwetan ini yang bertujuan untuk menghancurkan ne­geri Indonesia yang selama ini damai dan tenang? Wallahu alam bissawab.


*****

No comments:

Post a Comment