Oleh: Dr. Ahmad Nizar Shihab, SpAn
Ketua Pansus RUU BPJS
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI
PENGANTAR
Jaminan
sosial atau social security bukanlah
entitas baru dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan karena telah dikenal
berabad-abad yang lalu. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan
sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak. Bila kita membicarakan kesejahteraan sosial (terutama
pekerja) dewasa ini, maka akan mencakup upah, keselamatan dan kesehatan kerja (occupational safety and occupational health)
serta jaminan sosial.
Perkembangan
social security dapat diikuti dari
keberadaan International Social Security
Association (ISSA) yang terkait dengan International
Labour Organization (ILO) yang berpusat di Jenewa, Swiss. Dalam menghadapi
penyelenggaraan General Assembly ISSA di Indonesia pada tahun 1995, lima
perusahaan (masing-masing adalah Jamsostek, Taspen, Askes, Asabri, dan Jasa
Raharja) membentuk Asosiasi Asuransi dan Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI)
sebagai tuan rumah General Assembly. Dalam General Assembly yang dihadiri oleh
sekitar 1.500 peserta itu, Indonesia memprakarsai pembentukan ASEAN Social
Security Association (ASSA). ASSA telah berkembang dengan baik dan anggotanya mencakup
delapan dari 10 negara anggota ASEAN (Myanmar dan Kamboja belum aktif).
Dari
pengalaman ISSA dan ASSA, kita tentu dapat memetik pelajaran untuk perkembangan
jaminan sosial di Indonesia. Termasuk kemudian mengundangkan UU Nomor 40 Tahun
2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU SJSN disusun dan
diundangkan dalam rangka memenuhi hak warganegara akan jaminan sosial
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28H ayat 3 UUD 1945. Secara empirik, UU SJSN
mengamanatkan terpenuhinya jaminan sosial bagi seluruh rakyat melalui
pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sekarang rancangan undang-undangnya
(RUU) telah memasuki tahapan finalisasi untuk disetujui menjadi undang-undang
(UU).
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa tujuan akhir SJSN adalah: Semua penduduk Republik
Indonesia memperoleh pelayanan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kematian; Bagi yang mampu diwajibkan
membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan Bagi yang tidak mampu
maka iuran akan dibayar oleh pemerintah. Secara agak lebih khusus, SJSN juga
bertujuan agar semua penduduk lanjut usia mempunyai uang pensiun bulanan sampai
ia meninggal dunia dan semua anak yang orang-tuanya meninggal sebelum usia
pensiun memiliki pendapatan pensiun sampai ia mampu mandiri.
Untuk
mencapai tujuan-tujuan tadi dibutuhkan BPJS yang menyelenggarakan SJSN dengan
prinsip-prinsip: kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas,
portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dan amanat. Hasil
pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
LANDASAN HUKUM
Pasal
5 UU No.40 Tahun 2004 Tentang SJSN mengatur bahwa Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) harus dibentuk berdasarkan undang-undang. Sejak
berlakunya UU (No.40 Tahun 2004) ini, BPJS yang sudah ada dinyatakan sebagai BPJS
menurut UU ini. Dalam hal diperlukan BPJS selain yang telah ada, maka dapat
dibentuk yang baru dengan UU. Dan, UU BPJS sebagai titik berangkat pembetukan
BPJS baru sampai sekarang belum ada. Untuk itulah kemudian, pada akhir tahun
2009, DPR berinisiatif mengajukan RUU tentang Pembentukan BPJS.
DPR
menggunakan hak inisiatif mengajukan RUU sebagaimana
diatur oleh Pasal 21 UUD 1945. Pasal ini menegaskan bahwa Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.
Selain
hak inisiatif mengajukan usul RUU, sebagaimana
diatur oleh pasal 20 UUD 1945, DPR juga memegang
kekuasaan membentuk UU. Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. Jika RUU tidak mendapat persetujuan bersama maka RUU itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Kemudian,
mengingat BPJS merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial yang adalah dana amanat milik seluruh peserta, DPR
pun bekerja dengan landasan hukum pasal 23A UUD 1945 yang menandaskan bahwa
pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan UU.
Tidak
hanya sebatas memperjuangkan hak inisiatif pengajuan usulan RUU dan alasan yang
lebih bersifat ekonomis pasal 23A tadi, DPR juga mengajukan usul inisiatif RUU
BPJS ini demi pemenuhan hak-hak rakyat. Sebagaimana diatur oleh pasal 28H ayat
1 sampai 3 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan. Bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
Masih
seputar pemenuhan hak rakyat, DPR berpegang pula pada pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD
1945. Ayat 1 pasal ini merumuskan bahwa fakir miskin dab anak-anak yang
terlantar dipelihara negara. Lalu ayat 2 menyebutkan negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
PROSES
PEMBENTUKAN RUU BPJS
Akhir
tahun 2009, sejumlah anggota DPR berinisiatif mengajukan usul pembentukan RUU
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kemudian, pada 10 Februari 2010,
langkah ini ditindak-lanjuti dengan rapat dengar pendapat DPR dengan
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Asosiasi Rumah Daerah
(Arsada), dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI).
Selanjutnya, pada 16 Februari 2010, DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan
PT Taspen, PT Askes, PT Asabri dan PT Jamsostek.
Lalu,
pada 30 April sampai 2 Mei 2010, DPR mengadakan konsinyering Panitia Kerja
(Panja) RUU Pembentukan BPJS. Melalui Panja ini, DPR lantas melakukan kunjungan
kerja untuk menyerap aspirasi masyarakat di Makassar (Sulawesi Selatan),
Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Surabaya (Jawa Timur). Berikutnya, Komisi IX
DPR memutuskan untuk merumuskan draft RUU BPJS dan dilanjutkan dengan langkah
harmonisasi di Badan Legislatif DPR sampai sempurna memenuhi persyaratan
menjadi sebuah RUU yang layak dikirimkan ke Pemerintah (Eksekutif).
Berikut
sepintas ringkasan draft sistematika RUU BPJS usul inisiatif DPR.
Sistematika
dan Substansi RUU BPJS
(Total
16 Bab 54 Pasal)
·
Bab
I: Ketentuan Umum
·
Bab
II: Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup
·
Bab
III: Status dan Kedudukan
·
Bab
IV: Tugas dan Wewenang
·
Bab
V: Hak dan Kewajiban
·
Bab
VI: Kepesertaan dan Iuran
·
Bab
VII: Organ Kelembagaan
·
Bab
VIII: Pengambilan Keputusan
·
Bab
IX: Pertanggung-jawaban
·
Bab
X: Kekayaan dan Belanja Operasional
·
Bab
XI: Penyelesaian Sengketa
·
Bab
XII: Larangan
·
Bab
XIII: Ketentuan Pidana
·
Bab
XIV: Ketentuan Lain-lain
·
Bab
XV: Ketentuan Peralihan
·
Bab
XVI: Ketentuan Penutup
Bab I
Ketentuan Umum
Bab
I memuat definisi tentang istilah atau kata yang sering muncul di batang tubuh
undang-undang ini.
Bab II Asas,
Tujuan dan Ruang Lingkup
Asas:
·
BPJS
dibentuk sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN.
·
BPJS
yang sudah ada sebagai konversi dari Persero (PT Taspen, PT Askes, PT Jamsostek
dan PT Asabri) tetap sebagai BPJS.
·
BPJS
mengemban lima program jaminan sosial, masing-masing jaminan kesehatan, jaminan
hari tua, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian.
Prinsip dan
Ruang Lingkup BPJS:
·
Kegotong-royongan,
yaitu prinsip kebersamaan antar-peserta dalam menanggung beban biaya jaminan
sosial yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai
dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya;
·
Nirlaba,
yaitu prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan
dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta;
·
Keterbukaan,
yaitu prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar dan jelas bagi
setiap peserta;
·
Kehati-hatian,
yaitu prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib;
·
Akuntabilitas,
yaitu prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan
dapat dipertanggung-jawabkan;
·
Portabilitas,
yaitu prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah
pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI);
·
Kepesertaan
bersifat wajib, yaitu prinsip yang mengaruskan seluruh penduduk menjadi peserta
jaminan sosial yang dilaksanakan secara bertahap;
·
Dana
amanat, bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari
peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan
sosial; dan
·
Hasil
pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta.
Tujuan: menyelenggarakan
sistem jaminan sosial nasional yang efektif dan efisien secara bertahap bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Bab III Status
dan Kedudukan
·
BPJS
adalah badan hukum publik wali amanah dan dana milik peserta.
·
Pimpinan
BPJS terdiri dari satu orang ketua dan empat orang wakil ketua.
·
Pimpinan
BPJS diusulkan oleh DJSN ke Presiden, Presiden ke DPR, fit and proper test oleh DPR, kemudian ditetapkan Presiden.
·
Wakil
ketua BPJS masing-masing membawahi: Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kecelakaan
Kerja; Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian; Keuangan dan
Investasi; dan Pengembangan, SDM danSIM.
·
BPJS
berkedudukan dan berkantor pusat di ibukota negara.
Bab IV Tugas
dan Wewenang
Tugas:
menyelenggarakan program jaminan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia sesuai
dengan ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN.
Wewenang:
·
Memungut
iuran.
·
Mengelola
dana jaminan sosial.
·
Menempatkan
dana untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang.
·
Melakukan
inspeksi, kontrol dan menghentikan pelayanan bila pemberi kerja tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana diatur oleh UU SJSN.
·
Membuat
kesepakatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan tingkat nasional dan daerah
mengenai besarnya pembayaran.
·
Membuat
atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan.
·
Melaporkan
pemberi kerja kepada yang berwenang bila lebih dari 3 bulan tidak membayar
iuran dan mendaftarkan pekerja mereka.
Bab V Hak dan Kewajiban
Kewajiban:
·
Memberikan
nomor identitas tungggal untuk setiap peserta dan anggota keluarganya.
·
Memberi
informasi tentang hak dan kewajiban peserta termasuk prosedur mendapatkan
setiap jaminan sosial di kantor BPJS, media cetak dan elektronik.
·
Memberi
informasi saldo Jaminan Hari Tua dan Pensiun plus hasil pengembangannya sekali
setahun.
·
Memberi
informasi mengenai kekayaan, hasil pengembangan, dan belanja masing-masing
program melalui media cetak dan elektronik.
·
Melakukan
pemukuan sesuai prinsip-prinsip akuntansi.
·
Menyimpan
dan mengelola seluruh surplus anggaran sebagai dana cadangan teknis kumulatif.
·
Melakukan
pelaporan program dari keuangan kepada DJSN setiap tiga bulan sekali.
Larangan:
·
Mendirikan
dan atau memiliki seluruh atau sebagian fasilitas kesehatan dan fasilitas
sosial lainnya.
·
Investasi
kecuali surat berharga tertentu dan peningkatan kualitas.
Bab VII Organ
Kelembagaan
Dewan Pengawas
dan Dewan Direksi
·
Dewan
Pengawas:
- Diusulkan oleh
DJSN, melewati uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR, diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden.
- Berjumlah 7
orang (2 orang wakil pemerintah, 1 orang organisasi pemberi kerja, 2 wakil
organisasi pekerja, 1 orang tokoh masyarakat, 1 orang akademisi), ketua dipilih
di antara mereka.
·
Dewan Direksi
- Diusulkan oleh
DJSN, melewati uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR, diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden.
- Berjumlah 5
orang (Direktur Utama, Direktur Operasional dan Pelayanan, Direktur Keuangan
dan Investasi, Direktur Umum dan SDM, serta Direktur Perencanaan Pengembangan
dan Informasi).
·
BPJS dapat
membentuk
- Kantor
perwakilan di provinsi, dan
- Kantor cabang
di kabupaten.
·
Pada setiap
kantor perwakilan dibentuk Dewan Pengawas Daerah
- Anggotanya
paling banyak 7 orang termasuk ketua (2 orang wakil pemerintah, 1 orang wakil
pemberi kerja, 2 orang wakil organisasi pekerja, 1 orang tokoh masyarakat, 1
orang akademisi).
- Diusulkan oleh
gubernur, diuji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD, diangkat oleh BPJS.
·
Pada setiap
kantor cabang dibentuk Dewan Pengawas Cabang
- Anggotanya
paling banyak 7 orang termasuk ketua (2 orang wakil pemerintah, 1 orang wakil
pemberi kerja, 2 orang wakil organisasi pekerja, 1 orang tokoh masyarakat, 1
orang akademisi).
- Diusulkan oleh
bupati, diuji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD, diangkat oleh BPJS.
·
Syarat anggota
Dewan Direksi:
- WNI
- Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Sehat jasmani
dan rohani
- Berkelakuan
baik
- Umur maksimal
60 tahun
- Lulusan
minimal S-1
- Memiliki
pengalaman dan kompetensi di bidang jaminan sosial
- Memiliki
integritas dan kepemimpinan dalam menyelenggarakan jaminan sosial.
- Tidak rangkap
jabatan di pemerintahan atau badan hukum lain
- Tidak menjabat
pengurus partai politik
- Tidak pernah
dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang diancam hukuman penjara
lebih dari 5 tahun
- Tidak sedang
dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.
- Tidak pernah
menjadi anggota direksi, komisaris atau dewan pengawas dari suatu badan hukum
yang pailit karena perbuatan yang bersangkutan
·
Syarat anggota
Dewan Pengawas:
- WNI
- Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Sehat jasmani
dan rohani
- Berkelakuan
baik
- Lulusan
minimal S-1
- Memiliki
pengetahuan dan/atau
pengalaman di bidang jaminan sosial, keuangan, investasi, atau aktuaria
- Tidak rangkap
jabatan di pemerintahan atau badan hukum lain
- Tidak menjabat
pengurus partai politik
- Tidak pernah
dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang diancam hukum penjara
lebih dari 5 tahun
- Tidak sedang
dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemerinksaan di pengadilan
- Tidak pernah
menjadi anggota direksi, komisaris atau dewan pengawas dari suatu badan hukum
yang pailit karena perbuatan yang bersangkutan
·
Dewan
Pengawas dan Dewan Direksi menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali
untuk 1 kali masa jabatan 5 tahun berikutnya.
·
Anggota
Dewan Pengawas dan Dewan Direksi berhenti dari jabatannya karena:
- Meninggal
- Sakit
terus-menerus selama 6 bulan
- Masa jabatan
berakhir
- Mengundurkan
diri secara tertulis atas permintaan sendiri
- Tidak lagi
memenuhi persyaratan
- Diberhentikan
atas usul DJSN karena: melalaikan kewajiban terus-menerus selama tiga bulan dan
atau merugikan BPJS dan peserta karena salah kebijakan. Dalam keadaan seperti
ini, DJSN mengusulan penggantinya kepada Presiden setelah lulus uji kepatutan
dan kelayakan oleh DPR.
·
Anggota
Dewan Pengawas dan Dewan Direksi dapat diberhentikan sementara karena:
- Sakit
terus-menerus selama 3 bulan
- Sedang dalam
proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan
- Digugat karena
merugikan BPJS
Pada keadaan
seperti ini DJSN dapat menunjuk Pelaksana Tugas.
·
Dewan
Pengawas bertugas:
- Melakukan
pengawasan penerapan kebijakan program jaminan sosial yang dilaksanakan oleh
BPJS, dan
- Melaporkan
hasil pengawasannya kepada DJSN sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali
·
Dewan
Pengawas berwenang:
- Mengevaluasi
rencana kerja BPJS
- Meminta
laporan pelaksanaan rencana kerja kepada BPJS, dan
- Memberikan
saran dan pertimbangan penyelenggaraan program jaminan sosial kepada BPJS
·
Dewan
Pengawas Daerah dan Cabang bertugas:
- Melakukan
pengawasan penerapan kebiajkan penyelenggaraan program jaminan sosial di
daerahnya, dan
- Melaporkan
hasil pengawasannya kepada DJSN sekurang-kurang 3 (tiga) bulan sekali.
·
Dewan
Pengawas Daerah dan Cabang berwenang:
- Mengevaluasi
rencana kerja BPJS di daerahnya
- Meminta
laporan pelaksanan rencana kerja kepada BPJS di daerahnya masing-masing
- Memberikan
saran dan pertimbangan penyelenggaraan program jaminan sosial kepada BPJS di
wilayahnya masing-masing
·
Rapat
Dewan Pengawas
- Setiapdianggap
perlu anggota
- Diadakan di
tempat perusahaan, di BPJS, atau tempat lain yang ditetapkan direksi
- Sah dan berhak
mengambil keputusan bila dihadiri oleh lebih dari separuh anggota
- Dipimpin oleh
ketua atau anggota lain bilamana ketua berhalangan hadir
·
Tugas
Direksi
- Menyelenggarakan
program jaminan sosial sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh DJSN;
- Menyusun
rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran BPJS sebagai penjabaran
kebijakan umum program jaminan sosial;
- Menyampaikan
laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali dan laporan akhir tahun
buku kepada DJSN; dan
- Memberikan
pertanggungjawaban pada akhir masa tugas kepada Presiden melalui DJSN.
·
Wewenang
Direksi
- Mewakili BPJS
di dalam maupun di luar pengadilan;
- Melakukan
segala tindakan dan perbuatan mengenai pengelolaan dana amanat dan mengikat
BPJS dengan pihak lain dan atau pihak lain dengan pembatasan yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini;
- Mengangkat dan
memberhentikan karyawan BPJS.
-----Skema
mekanisme kerja DJS – BPJS
------
(Gambar
ada di makalah Pak Nizar)
Bab VIII Pengambilan
Keputusan
·
Keputusan
strategis diambil dalam rapat yang dipimpin Direktur Utama, bilamana
berhalangan hadir maka boleh dipimpin oleh salah seorang direktur sesuai
bidangnya.
·
Rapat
sah dan dapat mengambil keputusan bila dihadiri lebih dari ½ jumlah anggota.
·
Keputusan
rapat berdasar musyawarah mufakat, bila tidak tercapai diperluas dengan
mengundang Dewan Pengawas.
Bab IX
Pertanggung-jawaban
·
Laporan
keuangan direksi BPJS yang telah diaudit akuntan publik:
- Disampaikan
setahun sekali kepada DJSN
- Dipublikasikan
minimal di 3 koran nasional paling lambat 31 Maret tahun berikutnya.
·
Direksi
bertanggung-jawab tanggung renteng atas kerugian finansial karena kesalahan
pengelolaan dana amanat.
·
Direksi
dan Dewan Pengawas wajib hadir pada rapat tahunan DJSN
·
Pada
akhir masa jabatan, direksi wajib membuat laporan kinerja dan keuangan kepada
DJSN.
Bab X Kekayaan
dan Belanja Operasional
·
Kekayaan:
- Kekayaan awal
adalah seluruh kekayaan Badan Penyelenggara yang dialihkan, sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
- Aset tetap
dapat diambil dari dana pengembangan maksimal 2%.
·
Belanja
Operasional
- Dari iuran
hasil pengembangan.
- Maksimal 5%
per tahun.
- Dewan
pengawas, direksi, karyawan BPJS mendapat insentif, sesuai kinerja, berasal
dari biasa operasional
- Indikator
kinerja ditetapkan oleh DJSN.
Bab XI
Penyelesaian Sengketa
·
BPJS wajib
membentuk unit pengendali mutu pelayanan dan penangananpengaduan peserta
(frekuensi pengaduan merupakan indikator kinerja BPJS).
·
Penyelesaian pengaduan
maksimal 15 hari kerja sejak pengaduan diterima.
·
Pihak yang dirugikan
dapat menyelesaikan sengketa lewat mediasi (mediator berasal dari orang yang
mengerti jaminan sosial atau hukum, berjumlah 3 orang yaitu seorang ditunjuk
pihak yang dirugikan, seorang ditunjuk BPJS, dan seorang ditunjuk bersama).
·
Gagal – Pengadilan
Negeri (harus selesai maksimal 90 hari kerja) – Pengadilan Tinggi (harus
selesai maksimal 60 hari kerja).
Bab XII Larangan
Bab XIII
Ketentuan Pidana
·
Mengatur
sanksi pidana dan denda terhadap pelanggaran yang terjadi.
Bab XIV
Ketentuan Lain-lain
·
Presiden (Kepala
Negara) sewaktu-waktu melalui DJSN dapat meminta laporan kinerja dan keuangan
kepada BPJS.
·
Bila
ada kebijakan moneter pemerintah yang akan mempengaruhi solvabilitas BPJS,
Pemerintah mengambil kebijakan khusus untuk menjamin kelangsungan program.
·
Wabah
atau bencana alam, pemerintah wajib memberikan jaminan sosial (bila belum
sanggup), BPJS membayarkan dahulu manfaat jaminan sosial.
Bab XV
Ketentuan Peralihan
·
Waktu untuk
menyesuaikan diri dan transisi dari PT Asabri, PT Taspen, PT Jamsostek, dan PT
Askes menjadi BPJS.
Bab XVI Ketentuan
Penutup
·
Pada saat UU ini
dilaksanakan, PT Asabri, PT Taspen, PT Jamsostek dan PT Askes dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Dengan
selesainya draft RUU BPJS tersebut, selanjutnya pada akhir Juli 2010 DPR
menggelar sidang paripurna untuk memutuskan usul inisiatif RUU BPJS dari DPR. Kemudian,
tanggal 9 Agustus 2010, draft RUU BPJS dikirimkan ke Presiden. Sebagai respon
atas draft tersebut, pada 2, 16 dan 29 September 2010, Presiden mengirim surat
ke DPR yang berisi penunjukan mitra yang akan terlibat dalam pembahasan RUU
BPJS. DPR pun membentu Panitia Khusus (Pansus) BPJS.
PERJALANAN
PEMBAHASAN RUU BPJS di DPR
Pansus
RUU BPJS pun segera bekerja menuntaskan pembahasan RUU BPJS tersebut. Denyut pembahasan RUU BPJS mulai terasa saat memasuki
masa sidang II (Oktober-Desember 2010) tahun siding 2010-2011.
·
Pembahasan
Masa Sidang II Tahun Sidang 2010-2011
Rapat Pansus
RUU BPJS dengan Pemerintah tanggal 7 Oktober 2010. Pemerintah meminta waktu
penundaan penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Lalu, tanggal
25 Oktober 2010 Pansus RUU BPJS kembali rapat dengan Pemerintah. Kali ini
Pemerintah menyampaikan penjelasan tentang DIM. Pada DIM yang disampaikan
Pemerintah dapat dijelaskan:
- Rumusan DIM
yang disetujui Pemerintah, yang dirumuskan tetap, sejumlah 12 DIM.
- Rumusan DIM
yang disetujui Pemerintah tapi perlu perubahan redaksional, satu DIM.
- Rumusan
substansi yang belum disetujui Pemerintah sejumlah 194 DIM dari 207 DIM
(67,7%).
- Dari substansi
belum disetujui tersebut terdapat 140 DIM yang menunggu persetujuan atas DIM
Nomor 11.
Pansus RUU
BPJS dan Pemerintah selanjutnya menggelar sidang pada 24 November 2010. Pansus
dan Pemerintah bersepakat bahwa pembahasan RUU BPJS ditargetkan selesai pada
pekan kedua Desember 2010. Selanjutnya, RUU BPJS ditargetkan dapat disahkan
Paripurna Dewan penutupan masa sidang bulan Desember 2010.
Rupanya rapat
tidak sesederhana yang direncanakan. Rapat Pansus BPJS dengan pemerintah itu
membahas DIM sampai dengan DIM 4. Namun sebagian besar DIM terkait dengan DIM
Nomor 11. DIM Nomor 11 adalah mengenai Pasal 1 Point (1) RUU
BPJS bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
Tanggapan Pemerintah: Pemerintah
belum dapat menerima materi pengaturan pembentukan badan hukum untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial dalam RUU ini, karena RUU ini hanya
membentuk 1 (satu) badan hukum BPJS. Hal ini tidak sejalan dengan Pasal 1 angka
2 UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN yang menyatakan bahwa “Sistem Jaminan Sosial
Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh
beberapa badan penyelenggara jaminan sosial” dan putusan Mahkamah Konstitusi
pada perkara Nomor 007/PU-III/2005 yang diucapkan pada tanggal 31 Agustus 2005.
Jadi, terdapat
perbedaan konsep antara RUU BPJS versi DPR dan pandangan Pemerintah terhadap UU
Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN. Selain soal apakah BPJS bersifat tunggal atau
multi (jamak, lebih dari satu), perbedaan pandangan juga menyangkut
antara lain:
- Apakah RUU
BPJS ini bersifat penetapan saja atau bersifat penetapan dan pengaturan?
- Bagaimanakan
bentuk badan hukum BPJS? Apakah BUMN, BUMN Khusus atau Badan Hukum Publik?
Karena
perbedaan konsep yang mendasar itulah kemudian diperlukan forum konsultasi
(lobi) antara Pansus RUU BPJS DPR dan Pemerintah untuk menyesuaikan perbedaan
substansi RUU BPJS. Kemudian, masih di bulan Desember 2010, dibentuk Tim
Konsultasi yang terdiri dari Pimpinan Pansus (4 orang) dan 1 orang perwakilan tiap-tiap
unsur Fraksi. Forum Konsultasi I pun digelar pada Desember 2010. Pada 15
Desember 2010, Forum Konsultasi II dilangsungkan.
·
Pembahasan
Masa Sidang III Tahun Sidang 2010-2011
Memasuki masa
sidang III Tahun Sidang DPR 2010-2011, Pemerintah mengirimkan Surat Pemerintah nomor
S-17/MK.01/2011 – M.HH.PP.01.02-6 tertanggal 12 Januari 2011. Di dalam surat
Menteri Keuangan dan Menteru Hukum dan HAM bernomor S-17/MK.01/2011 –
M.HH.PP.01.02-06 itu Pemerintah berpendapat bahwa karena pada Pasal 5 UU SJSN
menyatakan “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dibentuk dengan Undang-undang”
maka seyogianya RUU BPJS bersifat penetapan (beschikking) pembentukan BPJS saja. Lebih lanjut dalam surat
tersebut, Pemerintah menyatakan bahwa pengaturan mengenai tata kelola, tujuan
dan fungsi maupun hubungan antar-kelembagaan BPJS hendaknya dituangkan dalam
bab khusus yang mengatur tentang BPJS dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
SJSN.
Pansus RUU
BPJS terus berjalan. Tanggal 13 dan 19 Januari 2011 menggelar rapat dengar
pendapat umum dengan para pakar.
Selanjutnya,
pada 2 Februari 2011, Pansus RUU BPJS rapat bersama Pemerintah. Pada rapat kali
ini, Pemerintah menyatakan belum siap untuk membahas DIM RUU BPJS.
Kemudian pada
15 Maret 2011,
Pansus RUU BPJS menggelar rapat konsultasi dengan Kementerian Keuangan RI.
Dilanjutkan pada 16 Maret 2011, Pansus RUU BPJS mengadakan rapat konsultasi
dengan Kementerian Hukum dan HAM RI. Setelah kedua rapat konsultasi tadi,
Pansus RUU BPJS menggelar rapat internal pada 6 April 2011.
Berikutnya, pada
7 April 2011, DPR mengadakan rapat kerja dengan Pemerintah yang dipimpin oleh
Wakil Ketua DPR didampingi Ketua Pansus RUU BPJS. Pada rapat kerja kali ini
Pemerintah menyatakan siap membahas RUU BPJS dalam 1 (satu) masa sidang yang
akan datang (47 hari). Pemerintah akan menyampaikan DIM sandingan yang baru
pada tanggal 9 Mei 2011 untuk dibahas bersama dengan Pansus RUU BPJS.
·
Pembahasan Masa
Sidang IV Tahun Sidang 2010-2011
Tanggal 9
April sampai 8 Mei 2011, DPR memasuki masa reses. Di sela-sela masa reses itu,
DPR tetap berusaha menuntaskan pembahasan RUU BPJS dengan membentuk Panitia
Kerja (Panja) RUU BPJS yang secepatnya harus bekerja menuntaskan pembahasan RUU
BPJS begitu masa sidang IV (9 Mei-15 Juli 2011) dibuka. Dalam rentang waktu
Mei-Juni 2001, Panja telah menggelar tiga kali rapat, masing-masing tanggal 30
Mei, 6-8 Juni dan 10-11 Juni 2011. Ketiga rapat itu menghasilkan kesepakatan,
antara lain:
- Kesepakatan membentuk
dua BPJS, yaitu BPJS Program Jaminan Kesehatan, Kecelakaan Kerja dan Kematian;
dan BPJS Program Pensiun dan Hari Tua. Ini mengakomodasi tawaran Pemerintah.
- Organ BPJS
terdiri dari organ Pengawas dan organ Pelaksana. Pemerintah diminta untuk menyiapkan
uraian lebih rinci mengenai organ-organ tadi untuk dibahas pada rapat
selanjutnya.
- Sepakat
mencantumkan semua prinsip yang terdapat dalam UU SJS ke dalam konsideran “menimbang”
RUU BPJS.
- Sepakat perlu
adanya bab yang mengatur mengenai asas, tujuan, dan prinsip; serta bab mengenai
pembentukan BPJS dan ruang lingkupnya.
- Pemerintah dan
DPR bersepakat untuk merumuskan bab mengenai fungsi, tugas dan wewenang. Adapun
untuk bab hak dan kewajiban, pemerintah masih mempertimbangkan perlu-tidaknya
dicantumkan. Menurut Pemerintah, substansi mengenai kewajiban BPJS telah
tercantum dalam rumusan tugas dan fungsi BPJS. Sedangkan rumusan hak BPJS yang
merupakan implikasi dari kewajiban BPJS telah tertampung dalam rumusan
wewenang.
Begitulah
perjalanan pembahasan RUU BPJS di DPR. Kami berharap RUU BPJS dapat dituntaskan
sebelum masa sidang IV Tahun Sidang 2010-2011 berakhir. Kami berharap komitmen
Pemerintah untuk menyelesaikan semua yang telah disepakati untuk dilengkapi. ***
No comments:
Post a Comment