Sunday, January 6, 2013

IMPLEMENTASI PERAN LEGISLASI DPR RI DALAM UU BPJS


Oleh: Dr. Ahmad Nizar Shihab, SpAn
Ketua Pansus RUU BPJS
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI


PENGANTAR

Jaminan sosial atau social security bukanlah entitas baru dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan karena telah dikenal berabad-abad yang lalu. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Bila kita membicarakan kesejahteraan sosial (terutama pekerja) dewasa ini, maka akan mencakup upah, keselamatan dan kesehatan kerja (occupational safety and occupational health) serta jaminan sosial.

Perkembangan social security dapat diikuti dari keberadaan International Social Security Association (ISSA) yang terkait dengan International Labour Organization (ILO) yang berpusat di Jenewa, Swiss. Dalam menghadapi penyelenggaraan General Assembly ISSA di Indonesia pada tahun 1995, lima perusahaan (masing-masing adalah Jamsostek, Taspen, Askes, Asabri, dan Jasa Raharja) membentuk Asosiasi Asuransi dan Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI) sebagai tuan rumah General Assembly. Dalam General Assembly yang dihadiri oleh sekitar 1.500 peserta itu, Indonesia memprakarsai pembentukan ASEAN Social Security Association (ASSA). ASSA telah berkembang dengan baik dan anggotanya mencakup delapan dari 10 negara anggota ASEAN (Myanmar dan Kamboja belum aktif).

Dari pengalaman ISSA dan ASSA, kita tentu dapat memetik pelajaran untuk perkembangan jaminan sosial di Indonesia. Termasuk kemudian mengundangkan UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU SJSN disusun dan diundangkan dalam rangka memenuhi hak warganegara akan jaminan sosial sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28H ayat 3 UUD 1945. Secara empirik, UU SJSN mengamanatkan terpenuhinya jaminan sosial bagi seluruh rakyat melalui pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sekarang rancangan undang-undangnya (RUU) telah memasuki tahapan finalisasi untuk disetujui menjadi undang-undang (UU).

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tujuan akhir SJSN adalah: Semua penduduk Republik Indonesia memperoleh pelayanan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kematian; Bagi yang mampu diwajibkan membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan Bagi yang tidak mampu maka iuran akan dibayar oleh pemerintah. Secara agak lebih khusus, SJSN juga bertujuan agar semua penduduk lanjut usia mempunyai uang pensiun bulanan sampai ia meninggal dunia dan semua anak yang orang-tuanya meninggal sebelum usia pensiun memiliki pendapatan pensiun sampai ia mampu mandiri.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tadi dibutuhkan BPJS yang menyelenggarakan SJSN dengan prinsip-prinsip: kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dan amanat. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.   


LANDASAN HUKUM

Pasal 5 UU No.40 Tahun 2004 Tentang SJSN mengatur bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) harus dibentuk berdasarkan undang-undang. Sejak berlakunya UU (No.40 Tahun 2004) ini, BPJS yang sudah ada dinyatakan sebagai BPJS menurut UU ini. Dalam hal diperlukan BPJS selain yang telah ada, maka dapat dibentuk yang baru dengan UU. Dan, UU BPJS sebagai titik berangkat pembetukan BPJS baru sampai sekarang belum ada. Untuk itulah kemudian, pada akhir tahun 2009, DPR berinisiatif mengajukan RUU tentang Pembentukan BPJS.

DPR menggunakan hak inisiatif mengajukan RUU sebagaimana diatur oleh Pasal 21 UUD 1945. Pasal ini menegaskan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.

Selain hak inisiatif mengajukan usul RUU, sebagaimana diatur oleh pasal 20 UUD 1945, DPR juga memegang kekuasaan membentuk UU. Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika RUU tidak mendapat persetujuan bersama maka RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Kemudian, mengingat BPJS merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang adalah dana amanat milik seluruh peserta, DPR pun bekerja dengan landasan hukum pasal 23A UUD 1945 yang menandaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU.

Tidak hanya sebatas memperjuangkan hak inisiatif pengajuan usulan RUU dan alasan yang lebih bersifat ekonomis pasal 23A tadi, DPR juga mengajukan usul inisiatif RUU BPJS ini demi pemenuhan hak-hak rakyat. Sebagaimana diatur oleh pasal 28H ayat 1 sampai 3 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

Masih seputar pemenuhan hak rakyat, DPR berpegang pula pada pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Ayat 1 pasal ini merumuskan bahwa fakir miskin dab anak-anak yang terlantar dipelihara negara. Lalu ayat 2 menyebutkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.


PROSES PEMBENTUKAN RUU BPJS

Akhir tahun 2009, sejumlah anggota DPR berinisiatif mengajukan usul pembentukan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kemudian, pada 10 Februari 2010, langkah ini ditindak-lanjuti dengan rapat dengar pendapat DPR dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Asosiasi Rumah Daerah (Arsada), dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Selanjutnya, pada 16 Februari 2010, DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan PT Taspen, PT Askes, PT Asabri dan PT Jamsostek.

Lalu, pada 30 April sampai 2 Mei 2010, DPR mengadakan konsinyering Panitia Kerja (Panja) RUU Pembentukan BPJS. Melalui Panja ini, DPR lantas melakukan kunjungan kerja untuk menyerap aspirasi masyarakat di Makassar (Sulawesi Selatan), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Surabaya (Jawa Timur). Berikutnya, Komisi IX DPR memutuskan untuk merumuskan draft RUU BPJS dan dilanjutkan dengan langkah harmonisasi di Badan Legislatif DPR sampai sempurna memenuhi persyaratan menjadi sebuah RUU yang layak dikirimkan ke Pemerintah (Eksekutif).

Berikut sepintas ringkasan draft sistematika RUU BPJS usul inisiatif DPR.

Sistematika dan Substansi RUU BPJS
(Total 16 Bab 54 Pasal)
·         Bab I: Ketentuan Umum
·         Bab II: Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup
·         Bab III: Status dan Kedudukan
·         Bab IV: Tugas dan Wewenang
·         Bab V: Hak dan Kewajiban
·         Bab VI: Kepesertaan dan Iuran
·         Bab VII: Organ Kelembagaan
·         Bab VIII: Pengambilan Keputusan
·         Bab IX: Pertanggung-jawaban
·         Bab X: Kekayaan dan Belanja Operasional
·         Bab XI: Penyelesaian Sengketa
·         Bab XII: Larangan
·         Bab XIII: Ketentuan Pidana
·         Bab XIV: Ketentuan Lain-lain
·         Bab XV: Ketentuan Peralihan
·         Bab XVI: Ketentuan Penutup

Bab I Ketentuan Umum
Bab I memuat definisi tentang istilah atau kata yang sering muncul di batang tubuh undang-undang ini.

Bab II Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup
Asas:
·         BPJS dibentuk sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN.
·         BPJS yang sudah ada sebagai konversi dari Persero (PT Taspen, PT Askes, PT Jamsostek dan PT Asabri) tetap sebagai BPJS.
·         BPJS mengemban lima program jaminan sosial, masing-masing jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian.

Prinsip dan Ruang Lingkup BPJS:
·         Kegotong-royongan, yaitu prinsip kebersamaan antar-peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya;
·         Nirlaba, yaitu prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta;
·         Keterbukaan, yaitu prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar dan jelas bagi setiap peserta;
·         Kehati-hatian, yaitu prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib;
·         Akuntabilitas, yaitu prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan;
·         Portabilitas, yaitu prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
·         Kepesertaan bersifat wajib, yaitu prinsip yang mengaruskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial yang dilaksanakan secara bertahap;
·         Dana amanat, bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial; dan
·         Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta.

Tujuan: menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional yang efektif dan efisien secara bertahap bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bab III Status dan Kedudukan     
·         BPJS adalah badan hukum publik wali amanah dan dana milik peserta.
·         Pimpinan BPJS terdiri dari satu orang ketua dan empat orang wakil ketua.
·         Pimpinan BPJS diusulkan oleh DJSN ke Presiden, Presiden ke DPR, fit and proper test oleh DPR, kemudian ditetapkan Presiden.
·         Wakil ketua BPJS masing-masing membawahi: Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kecelakaan Kerja; Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian; Keuangan dan Investasi; dan Pengembangan, SDM danSIM.
·         BPJS berkedudukan dan berkantor pusat di ibukota negara.

Bab IV Tugas dan Wewenang
Tugas: menyelenggarakan program jaminan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia sesuai dengan ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN.

Wewenang:
·         Memungut iuran.
·         Mengelola dana jaminan sosial.
·         Menempatkan dana untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang.
·         Melakukan inspeksi, kontrol dan menghentikan pelayanan bila pemberi kerja tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur oleh UU SJSN.
·         Membuat kesepakatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan tingkat nasional dan daerah mengenai besarnya pembayaran.
·         Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan.
·         Melaporkan pemberi kerja kepada yang berwenang bila lebih dari 3 bulan tidak membayar iuran dan mendaftarkan pekerja mereka.

Bab V Hak dan Kewajiban
Kewajiban:
·         Memberikan nomor identitas tungggal untuk setiap peserta dan anggota keluarganya.
·         Memberi informasi tentang hak dan kewajiban peserta termasuk prosedur mendapatkan setiap jaminan sosial di kantor BPJS, media cetak dan elektronik.
·         Memberi informasi saldo Jaminan Hari Tua dan Pensiun plus hasil pengembangannya sekali setahun.
·         Memberi informasi mengenai kekayaan, hasil pengembangan, dan belanja masing-masing program melalui media cetak dan elektronik.
·         Melakukan pemukuan sesuai prinsip-prinsip akuntansi.
·         Menyimpan dan mengelola seluruh surplus anggaran sebagai dana cadangan teknis kumulatif.
·         Melakukan pelaporan program dari keuangan kepada DJSN setiap tiga bulan sekali.

Larangan:
·         Mendirikan dan atau memiliki seluruh atau sebagian fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial lainnya.
·         Investasi kecuali surat berharga tertentu dan peningkatan kualitas.

Bab VII Organ Kelembagaan
Dewan Pengawas dan Dewan Direksi
·         Dewan Pengawas:
-      Diusulkan oleh DJSN, melewati uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
-      Berjumlah 7 orang (2 orang wakil pemerintah, 1 orang organisasi pemberi kerja, 2 wakil organisasi pekerja, 1 orang tokoh masyarakat, 1 orang akademisi), ketua dipilih di antara mereka.
·         Dewan Direksi
-      Diusulkan oleh DJSN, melewati uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
-      Berjumlah 5 orang (Direktur Utama, Direktur Operasional dan Pelayanan, Direktur Keuangan dan Investasi, Direktur Umum dan SDM, serta Direktur Perencanaan Pengembangan dan Informasi).
·         BPJS dapat membentuk
-      Kantor perwakilan di provinsi, dan
-      Kantor cabang di kabupaten. 
·         Pada setiap kantor perwakilan dibentuk Dewan Pengawas Daerah
-      Anggotanya paling banyak 7 orang termasuk ketua (2 orang wakil pemerintah, 1 orang wakil pemberi kerja, 2 orang wakil organisasi pekerja, 1 orang tokoh masyarakat, 1 orang akademisi).
-      Diusulkan oleh gubernur, diuji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD, diangkat oleh BPJS.
·         Pada setiap kantor cabang dibentuk Dewan Pengawas Cabang
-      Anggotanya paling banyak 7 orang termasuk ketua (2 orang wakil pemerintah, 1 orang wakil pemberi kerja, 2 orang wakil organisasi pekerja, 1 orang tokoh masyarakat, 1 orang akademisi).
-      Diusulkan oleh bupati, diuji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD, diangkat oleh BPJS.
·         Syarat anggota Dewan Direksi:
-      WNI
-      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
-      Sehat jasmani dan rohani
-      Berkelakuan baik
-      Umur maksimal 60 tahun
-      Lulusan minimal S-1
-      Memiliki pengalaman dan kompetensi di bidang jaminan sosial
-      Memiliki integritas dan kepemimpinan dalam menyelenggarakan jaminan sosial.
-      Tidak rangkap jabatan di pemerintahan atau badan hukum lain
-      Tidak menjabat pengurus partai politik
-      Tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang diancam hukuman penjara lebih dari 5 tahun
-      Tidak sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.
-      Tidak pernah menjadi anggota direksi, komisaris atau dewan pengawas dari suatu badan hukum yang pailit karena perbuatan yang bersangkutan
·         Syarat anggota Dewan Pengawas:
-      WNI
-      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
-      Sehat jasmani dan rohani
-      Berkelakuan baik
-      Lulusan minimal S-1
-      Memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang jaminan sosial, keuangan, investasi, atau aktuaria
-      Tidak rangkap jabatan di pemerintahan atau badan hukum lain
-      Tidak menjabat pengurus partai politik
-      Tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang diancam hukum penjara lebih dari 5 tahun
-      Tidak sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemerinksaan di pengadilan
-      Tidak pernah menjadi anggota direksi, komisaris atau dewan pengawas dari suatu badan hukum yang pailit karena perbuatan yang bersangkutan
·         Dewan Pengawas dan Dewan Direksi menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan 5 tahun berikutnya.
·         Anggota Dewan Pengawas dan Dewan Direksi berhenti dari jabatannya karena:
-      Meninggal
-      Sakit terus-menerus selama 6 bulan
-      Masa jabatan berakhir
-      Mengundurkan diri secara tertulis atas permintaan sendiri
-      Tidak lagi memenuhi persyaratan
-      Diberhentikan atas usul DJSN karena: melalaikan kewajiban terus-menerus selama tiga bulan dan atau merugikan BPJS dan peserta karena salah kebijakan. Dalam keadaan seperti ini, DJSN mengusulan penggantinya kepada Presiden setelah lulus uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR.
·         Anggota Dewan Pengawas dan Dewan Direksi dapat diberhentikan sementara karena:
-      Sakit terus-menerus selama 3 bulan
-      Sedang dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan
-      Digugat karena merugikan BPJS
Pada keadaan seperti ini DJSN dapat menunjuk Pelaksana Tugas.
·         Dewan Pengawas bertugas:
-      Melakukan pengawasan penerapan kebijakan program jaminan sosial yang dilaksanakan oleh BPJS, dan
-      Melaporkan hasil pengawasannya kepada DJSN sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali
·         Dewan Pengawas berwenang:
-      Mengevaluasi rencana kerja BPJS
-      Meminta laporan pelaksanaan rencana kerja kepada BPJS, dan
-      Memberikan saran dan pertimbangan penyelenggaraan program jaminan sosial kepada BPJS
·         Dewan Pengawas Daerah dan Cabang bertugas:
-      Melakukan pengawasan penerapan kebiajkan penyelenggaraan program jaminan sosial di daerahnya, dan
-      Melaporkan hasil pengawasannya kepada DJSN sekurang-kurang 3 (tiga) bulan sekali.
·         Dewan Pengawas Daerah dan Cabang berwenang:
-      Mengevaluasi rencana kerja BPJS di daerahnya
-      Meminta laporan pelaksanan rencana kerja kepada BPJS di daerahnya masing-masing
-      Memberikan saran dan pertimbangan penyelenggaraan program jaminan sosial kepada BPJS di wilayahnya masing-masing
·         Rapat Dewan Pengawas
-      Setiapdianggap perlu anggota
-      Diadakan di tempat perusahaan, di BPJS, atau tempat lain yang ditetapkan direksi
-      Sah dan berhak mengambil keputusan bila dihadiri oleh lebih dari separuh anggota
-      Dipimpin oleh ketua atau anggota lain bilamana ketua berhalangan hadir
·         Tugas Direksi
-      Menyelenggarakan program jaminan sosial sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh DJSN;
-      Menyusun rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran BPJS sebagai penjabaran kebijakan umum program jaminan sosial;
-      Menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali dan laporan akhir tahun buku kepada DJSN; dan
-      Memberikan pertanggungjawaban pada akhir masa tugas kepada Presiden melalui DJSN.
·         Wewenang Direksi
-      Mewakili BPJS di dalam maupun di luar pengadilan;
-      Melakukan segala tindakan dan perbuatan mengenai pengelolaan dana amanat dan mengikat BPJS dengan pihak lain dan atau pihak lain dengan pembatasan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini;
-      Mengangkat dan memberhentikan karyawan BPJS.

-----Skema mekanisme kerja DJS – BPJS ------
(Gambar ada di makalah Pak Nizar)


Bab VIII Pengambilan Keputusan
·         Keputusan strategis diambil dalam rapat yang dipimpin Direktur Utama, bilamana berhalangan hadir maka boleh dipimpin oleh salah seorang direktur sesuai bidangnya.
·         Rapat sah dan dapat mengambil keputusan bila dihadiri lebih dari ½ jumlah anggota.
·         Keputusan rapat berdasar musyawarah mufakat, bila tidak tercapai diperluas dengan mengundang Dewan Pengawas.

Bab IX Pertanggung-jawaban
·         Laporan keuangan direksi BPJS yang telah diaudit akuntan publik:
-      Disampaikan setahun sekali kepada DJSN
-      Dipublikasikan minimal di 3 koran nasional paling lambat 31 Maret tahun berikutnya.
·         Direksi bertanggung-jawab tanggung renteng atas kerugian finansial karena kesalahan pengelolaan dana amanat.
·         Direksi dan Dewan Pengawas wajib hadir pada rapat tahunan DJSN
·         Pada akhir masa jabatan, direksi wajib membuat laporan kinerja dan keuangan kepada DJSN.

Bab X Kekayaan dan Belanja Operasional
·         Kekayaan:
-      Kekayaan awal adalah seluruh kekayaan Badan Penyelenggara yang dialihkan, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
-      Aset tetap dapat diambil dari dana pengembangan maksimal 2%.
·         Belanja Operasional
-      Dari iuran hasil pengembangan.
-      Maksimal 5% per tahun.
-      Dewan pengawas, direksi, karyawan BPJS mendapat insentif, sesuai kinerja, berasal dari biasa operasional
-      Indikator kinerja ditetapkan oleh DJSN.

Bab XI Penyelesaian Sengketa
·         BPJS wajib membentuk unit pengendali mutu pelayanan dan penangananpengaduan peserta (frekuensi pengaduan merupakan indikator kinerja BPJS).
·         Penyelesaian pengaduan maksimal 15 hari kerja sejak pengaduan diterima.
·         Pihak yang dirugikan dapat menyelesaikan sengketa lewat mediasi (mediator berasal dari orang yang mengerti jaminan sosial atau hukum, berjumlah 3 orang yaitu seorang ditunjuk pihak yang dirugikan, seorang ditunjuk BPJS, dan seorang ditunjuk bersama).
·         Gagal – Pengadilan Negeri (harus selesai maksimal 90 hari kerja) – Pengadilan Tinggi (harus selesai maksimal 60 hari kerja).

Bab XII Larangan

Bab XIII Ketentuan Pidana
·         Mengatur sanksi pidana dan denda terhadap pelanggaran yang terjadi.  

Bab XIV Ketentuan Lain-lain
·         Presiden (Kepala Negara) sewaktu-waktu melalui DJSN dapat meminta laporan kinerja dan keuangan kepada BPJS.
·         Bila ada kebijakan moneter pemerintah yang akan mempengaruhi solvabilitas BPJS, Pemerintah mengambil kebijakan khusus untuk menjamin kelangsungan program.
·         Wabah atau bencana alam, pemerintah wajib memberikan jaminan sosial (bila belum sanggup), BPJS membayarkan dahulu manfaat jaminan sosial.

Bab XV Ketentuan Peralihan
·         Waktu untuk menyesuaikan diri dan transisi dari PT Asabri, PT Taspen, PT Jamsostek, dan PT Askes menjadi BPJS.

Bab XVI Ketentuan Penutup
·         Pada saat UU ini dilaksanakan, PT Asabri, PT Taspen, PT Jamsostek dan PT Askes dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dengan selesainya draft RUU BPJS tersebut, selanjutnya pada akhir Juli 2010 DPR menggelar sidang paripurna untuk memutuskan usul inisiatif RUU BPJS dari DPR. Kemudian, tanggal 9 Agustus 2010, draft RUU BPJS dikirimkan ke Presiden. Sebagai respon atas draft tersebut, pada 2, 16 dan 29 September 2010, Presiden mengirim surat ke DPR yang berisi penunjukan mitra yang akan terlibat dalam pembahasan RUU BPJS. DPR pun membentu Panitia Khusus (Pansus) BPJS.


PERJALANAN PEMBAHASAN RUU BPJS di DPR

Pansus RUU BPJS pun segera bekerja menuntaskan pembahasan RUU BPJS tersebut. Denyut pembahasan RUU BPJS mulai terasa saat memasuki masa sidang II (Oktober-Desember 2010) tahun siding 2010-2011.

·         Pembahasan Masa Sidang II Tahun Sidang 2010-2011
Rapat Pansus RUU BPJS dengan Pemerintah tanggal 7 Oktober 2010. Pemerintah meminta waktu penundaan penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Lalu, tanggal 25 Oktober 2010 Pansus RUU BPJS kembali rapat dengan Pemerintah. Kali ini Pemerintah menyampaikan penjelasan tentang DIM. Pada DIM yang disampaikan Pemerintah dapat dijelaskan:
-      Rumusan DIM yang disetujui Pemerintah, yang dirumuskan tetap, sejumlah 12 DIM.
-      Rumusan DIM yang disetujui Pemerintah tapi perlu perubahan redaksional, satu DIM.
-      Rumusan substansi yang belum disetujui Pemerintah sejumlah 194 DIM dari 207 DIM (67,7%).
-      Dari substansi belum disetujui tersebut terdapat 140 DIM yang menunggu persetujuan atas DIM Nomor 11.

Pansus RUU BPJS dan Pemerintah selanjutnya menggelar sidang pada 24 November 2010. Pansus dan Pemerintah bersepakat bahwa pembahasan RUU BPJS ditargetkan selesai pada pekan kedua Desember 2010. Selanjutnya, RUU BPJS ditargetkan dapat disahkan Paripurna Dewan penutupan masa sidang bulan Desember 2010.

Rupanya rapat tidak sesederhana yang direncanakan. Rapat Pansus BPJS dengan pemerintah itu membahas DIM sampai dengan DIM 4. Namun sebagian besar DIM terkait dengan DIM Nomor 11. DIM Nomor 11 adalah mengenai Pasal 1 Point (1) RUU BPJS bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.

Tanggapan Pemerintah: Pemerintah belum dapat menerima materi pengaturan pembentukan badan hukum untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dalam RUU ini, karena RUU ini hanya membentuk 1 (satu) badan hukum BPJS. Hal ini tidak sejalan dengan Pasal 1 angka 2 UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN yang menyatakan bahwa “Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial” dan putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara Nomor 007/PU-III/2005 yang diucapkan pada tanggal 31 Agustus 2005.

Jadi, terdapat perbedaan konsep antara RUU BPJS versi DPR dan pandangan Pemerintah terhadap UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN. Selain soal apakah BPJS bersifat tunggal atau multi (jamak, lebih dari satu), perbedaan pandangan juga menyangkut antara lain:
-      Apakah RUU BPJS ini bersifat penetapan saja atau bersifat penetapan dan pengaturan?
-      Bagaimanakan bentuk badan hukum BPJS? Apakah BUMN, BUMN Khusus atau Badan Hukum Publik?

Karena perbedaan konsep yang mendasar itulah kemudian diperlukan forum konsultasi (lobi) antara Pansus RUU BPJS DPR dan Pemerintah untuk menyesuaikan perbedaan substansi RUU BPJS. Kemudian, masih di bulan Desember 2010, dibentuk Tim Konsultasi yang terdiri dari Pimpinan Pansus (4 orang) dan 1 orang perwakilan tiap-tiap unsur Fraksi. Forum Konsultasi I pun digelar pada Desember 2010. Pada 15 Desember 2010, Forum Konsultasi II dilangsungkan.

·         Pembahasan Masa Sidang III Tahun Sidang 2010-2011
Memasuki masa sidang III Tahun Sidang DPR 2010-2011, Pemerintah mengirimkan Surat Pemerintah nomor S-17/MK.01/2011 – M.HH.PP.01.02-6 tertanggal 12 Januari 2011. Di dalam surat Menteri Keuangan dan Menteru Hukum dan HAM bernomor S-17/MK.01/2011 – M.HH.PP.01.02-06 itu Pemerintah berpendapat bahwa karena pada Pasal 5 UU SJSN menyatakan “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dibentuk dengan Undang-undang” maka seyogianya RUU BPJS bersifat penetapan (beschikking) pembentukan BPJS saja. Lebih lanjut dalam surat tersebut, Pemerintah menyatakan bahwa pengaturan mengenai tata kelola, tujuan dan fungsi maupun hubungan antar-kelembagaan BPJS hendaknya dituangkan dalam bab khusus yang mengatur tentang BPJS dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN.

Pansus RUU BPJS terus berjalan. Tanggal 13 dan 19 Januari 2011 menggelar rapat dengar pendapat umum dengan para pakar.

Selanjutnya, pada 2 Februari 2011, Pansus RUU BPJS rapat bersama Pemerintah. Pada rapat kali ini, Pemerintah menyatakan belum siap untuk membahas DIM RUU BPJS.

Kemudian pada 15 Maret 2011, Pansus RUU BPJS menggelar rapat konsultasi dengan Kementerian Keuangan RI. Dilanjutkan pada 16 Maret 2011, Pansus RUU BPJS mengadakan rapat konsultasi dengan Kementerian Hukum dan HAM RI. Setelah kedua rapat konsultasi tadi, Pansus RUU BPJS menggelar rapat internal pada 6 April 2011.

Berikutnya, pada 7 April 2011, DPR mengadakan rapat kerja dengan Pemerintah yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR didampingi Ketua Pansus RUU BPJS. Pada rapat kerja kali ini Pemerintah menyatakan siap membahas RUU BPJS dalam 1 (satu) masa sidang yang akan datang (47 hari). Pemerintah akan menyampaikan DIM sandingan yang baru pada tanggal 9 Mei 2011 untuk dibahas bersama dengan Pansus RUU BPJS.

·         Pembahasan Masa Sidang IV Tahun Sidang 2010-2011
Tanggal 9 April sampai 8 Mei 2011, DPR memasuki masa reses. Di sela-sela masa reses itu, DPR tetap berusaha menuntaskan pembahasan RUU BPJS dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU BPJS yang secepatnya harus bekerja menuntaskan pembahasan RUU BPJS begitu masa sidang IV (9 Mei-15 Juli 2011) dibuka. Dalam rentang waktu Mei-Juni 2001, Panja telah menggelar tiga kali rapat, masing-masing tanggal 30 Mei, 6-8 Juni dan 10-11 Juni 2011. Ketiga rapat itu menghasilkan kesepakatan, antara lain:
-      Kesepakatan membentuk dua BPJS, yaitu BPJS Program Jaminan Kesehatan, Kecelakaan Kerja dan Kematian; dan BPJS Program Pensiun dan Hari Tua. Ini mengakomodasi tawaran Pemerintah.
-      Organ BPJS terdiri dari organ Pengawas dan organ Pelaksana. Pemerintah diminta untuk menyiapkan uraian lebih rinci mengenai organ-organ tadi untuk dibahas pada rapat selanjutnya.
-      Sepakat mencantumkan semua prinsip yang terdapat dalam UU SJS ke dalam konsideran “menimbang” RUU BPJS.
-      Sepakat perlu adanya bab yang mengatur mengenai asas, tujuan, dan prinsip; serta bab mengenai pembentukan BPJS dan ruang lingkupnya.
-      Pemerintah dan DPR bersepakat untuk merumuskan bab mengenai fungsi, tugas dan wewenang. Adapun untuk bab hak dan kewajiban, pemerintah masih mempertimbangkan perlu-tidaknya dicantumkan. Menurut Pemerintah, substansi mengenai kewajiban BPJS telah tercantum dalam rumusan tugas dan fungsi BPJS. Sedangkan rumusan hak BPJS yang merupakan implikasi dari kewajiban BPJS telah tertampung dalam rumusan wewenang.

Begitulah perjalanan pembahasan RUU BPJS di DPR. Kami berharap RUU BPJS dapat dituntaskan sebelum masa sidang IV Tahun Sidang 2010-2011 berakhir. Kami berharap komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan semua yang telah disepakati untuk dilengkapi. ***

No comments:

Post a Comment