A. Undang-Undang Dasar (UUD)
Dari sejak kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD
1945 mengalami empat kali perubahan. Selama perubahan itu terjadi pula
perubahan dalam pemahaman mengenai Jaminan Sosial. Bahkan, dalam UUD yang
pertama (1945) tidak secara tersurat jelas adanya Jaminan Sosial, tetapi
menggunakan istilah Kesejahteraan Sosial, dan tidak ada penjelasan yang
lengkap.
Istilah
Jaminan Sosial muncul dalam perubahan UUD dalam kalimat-kalimat seperti: Sistem
Jaminan Sosial Nasional, Jaminan Sosial, Kesejahteraan Sosial dan
Kesejahteraan Umum.
• Kesejahteraan
Umum: UUD 1945.
• Kesejahteraan
Sosial: UUD 1945 (pasal 33 ditambah 2 ayat).
• Jaminan
Sosial: UUD Amandemen kedua tahun 2000 pasal 28 H.
• Sistem Jaminan
Sosial: UUD Amandemen keempat tahun 2002 pasal 34.
Bagaiamana
pun, saya berucap syukur alhamdulillah karena pada akhirnya para
pemimpin Indonesia menyadari kekurangannya selama ini bahwa ada hal strategis
yang sangat penting bagi kemandirian dan kesejahteraan bangsa dan negara yang
belum terakomodasi dalam UUD dan perundang-undangannya, yaitu perlu adanya
Jaminan Sosial bagi masyarakatnya. Selama puluhan tahun tidak ada pemikiran
untuk memasukkan dalam perundang-undangan negara. Dalam revisi (amandemen)
keempat telah dimasukkan perlunya sistem Jaminan Sosial, di mana hal ini
perlu dirumuskan dan diwujudkan agar dapat diimplementasikan secara nyata.
Untuk itu, sudah sepantasnya diikuti dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang
mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang kemudian menjadi UU No.40
Tahun 2004 tentang SJSN.
B. Proses Penyusunan UU No.40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Saya
mengikuti penyusunan RUU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di
pertengahan proses. Kesan saya bahwa ternyata tidak semua anggota tim yang berasal
dari Interdep memahami dengan benar hakikat atau filosofi sistem Jaminan
Sosial, termasuk juga anggota DPR. Bahkan, karena tim banyak terdiri dari
orang-orang asuransi kesehatan maka ada yang mengarahkan Jaminan Sosial
menjadi Jaminan Sosial Kesehatan. Hal ini nampak dari hal-hal sebagai berikut:
• Selain Tim-nya
banyak terdiri dari ekpertise asuransi atau jaminan kesehatan, juga
konsultannya berasal dari institusi asuransi kesehatan.
• Ketika
melakukan studi banding ke negara-negara lain, termasuk ke Malaysia, Thailand,
Korea Selatan dan China, selalu mengunjungi lembaga atau institusi dan perusahaan
asuransi kesehatan, sedangkan institusi, lembaga dan perusahaan yang mengelola
Jaminan Sosial seperti pensiun, jaminan hari tua dan social security,
tidak pernah didatangi.
• Dengan
meninggalnya Bapak DR. Indra Hattari dan Ibu DR. Yaumil Agus Achir, maka
kemudian Tim dinakhodai oleh mereka yang mempunyai background asuransi
kesehatan (health care), sehingga semua desain UU diarahkan ke Asuransi
Kesehatan.
• Background
konsultannya juga health care, bukan social security, sehingga
kita tahu ke arah mana UU Jaminan Sosial dibangun.
Selain itu
terkesan bahwa RUU ini dibuat terburu-buru sehingga tidak matang betul.
Walhasil, banyak hal yang menjadi kelemahan UU ini. Memburu dead-line
ternyata menjadi ciri UU ini sehingga selain ada kelemahan juga banyak hal
yang terlewatkan. Saat itu, ada kesan pokoknya jadi dulu nanti gampang disempurnakan. Saya
yang terbiasa bekerja dengan semangat “why not the best” dan mendapatkan
titipan arahan dari Presiden Megawati, maka berusaha menutup
kelemahan-kelemahan yang terjadi tetapi tentunya memerlukan waktu dan
referensi. Selama ini memang Tim dan Sekretariat Tim kekurangan referensi dalam
penyusunan RUU tersebut. Maka benar sinyalemen Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM), Pak Muslan Abdurrahman, sebagaimana dirilis koran
Republika tanggal 6 April 2009 yang menyatakan bahwa UU Indonesia sangat
dangkal.
Dalam RUU
versi 8 Januari 2004 pada pasal 70 ayat 1 berbunyi: “Pada saat Undang-undang
ini mulai berlaku, PT (Persero) Jamsostek, PT (Persero) Askes, PT (Prsero)
Taspen dan PT (Persero) Asabri tetap melaksanakan tugasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pembentukannya dengan kewajiban secara bertahap
menyesuaikan diri dengan Undang-undang ini“, perlu direvisi. Tidak
perlu menyebutkan nama PT Asabri, PT Taspen dan PT Askes karena ketiganya
bukan perusahaan dengan aktivitasnya di Jaminan Sosial tetapi di Asuransi.
Dengan demikian sebaiknya bunyinya diubah menjadi sebagai berikut:
“Pada saat
Undang-undang ini mulai berlaku, BUMN, BUMD dan BUMS yang bergerak di bidang
Jaminan Sosial tetap melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan pembentukannya dengan kewajiban secara bertahap menyesuaikan
sistem pengelolaan Jaminan Sosial-nya dengan Undang-undang ini. “
Perlu
ditekankan mengenai “menyesuaikan sistem pengelolaan Jaminan Sosialnya”. Jadi,
kata “sistem” tidak akan bisa diartikan sebagai “merger”.
Pada hari
Sabtu tanggal 16 Januari 2004 dalam pertemuan dengan Komisi VII yang
diprakarsai oleh Tim SJSN (Tim baru tanpa Taspen, Asabri dan Askes) yang
kebetulan saya diundang, Menko Kesejahteraan Rakyat (Kesra) dalam arahannya
kepada peserta diskusi yang saya sempat mendengar adalah bahwa tidak perlu
mengutik-ngutik lembaga yang sudah ada, yaitu baik Taspen, Asabri dan Askes.
Ketiga lembaga ini tetap ada. Arahan ini jauh lebih maju dari yang disampaikan
pada rapat Koordinasi Kesra tanggal 7 Januari 2004 yang ketika itu kami juga
diundang.
RUU SJSN
versi tanggal 16 Januari 2004 yang dibagikan di Hotel Horison, Jakarta, sangat
banyak kelemahannya dan memang bermasalah. Ternyata, masih memasukkan nama
Taspen, Asabri dan Askes yang sesuai arahan Menko Kesra bahwa Badan tersebut
tidak perlu disebut. Sangat disayangkan sebelum matang di pihak Pemerintah
ternyata telah disampaikan ke DPR. Justru saat-saat terakhir tidak melibatkan
seluruh Tim, khususnya Tim pendukung. Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes juga
ditinggal sehingga banyak kekurangannya. Maka dalam kesempatan pertemuan lanjutannya
pada hari Minggu, Taspen menegaskan tidak bertanggungjawab terhadap isi dari
draft tanggal 16 Januari 2004. Draft tanggal 16 Januari 2004 berbeda dengan
draft tanggal 8 Januari 2004.
Sebagai
komitmen Taspen terhadap pertemuan tanggal 10 November 2003 dan dukungan kepada
program SJSN, maka kami telah menyampaikan usulan draft RUU SJSN sebagaimana
tercantum dalam lampiran surat No. Srt-648/DIR/122003 tanggal 24 Desember 2003
kepada Menteri Sekretaris Negara. Sungguh Taspen tidak ingin setengah-setengah
dengan kehadiran UU SJSN karena program ini memang merupakan salah satu
program yang belum ada di Indonesia dan memang dibutuhkan di samping program
Dana Pensiun Nasional yang sangat diperlukan bagi kemakmuran masyarakat,
bangsa dan negara. Di mana, sejak awal penataan kesejahteraan PNS, Taspen pun
selalu membicarakan dan terus mengkampanyekannya.
Pada hari
Kamis tanggal 22 Januari 2004 ketika bersama Pak Hasan Seigeyr (mewakili KORPRI
di MPR) menemui Men-PAN Pak Feisal Tamin di kediamannya pada pukul 10.00
sebelum menunaikan Ibadah Haji. Men-PAN Pak Feisal Tamin menyampaikan bahwa
draft yang dibahas dalam Sidang Kabinet adalah draft tanggal 8 Januari 2004
dan telah diusulkan perubahan yang diterima oleh Sidang Kabinet menyangkut
beberapa hal termasuk perubahan seperti butir 8, yaitu nama-nama BUMN: Taspen,
Asabri, Askes dan Jamsostek tidak perlu disebut-sebut tetapi diganti dengan
“BUMN, BUMD dan BUMS” dan seterusnya. Sebelumnya, Taspen memang diminta memberi
masukan kepada Men-PAN mengenai RUU SJSN dan masukan disampaikan pada hari
Kamis Pagi pukul 08.30 tanggal 15 Januari 2004 sebelum Men-PAN menghadiri
Sidang Kabinet.
Pada hari
Jum’at sore tanggal 29 Januari 2004 pukul 16.30 ketika diterima Menko
Perekonomian di ruang kerjanya di Lapangan Banteng dan hadir pula di antaranya
Pak Eddy Purwanto, Menko Perekonomian Pak Dorodjatun Kuntjorojakti menyatakan
bahwa (antara lain) Sidang Kabinet memutuskan untuk tidak memasukkan nama-nama
BUMN dalam draft RUU SJSN. Draft yang dibicarakan dalam Sidang Kabinet adalah
draft versi tanggal 8 Januari 2004. Menko Perekonomian menyampaikan untuk dapat
memberikan input kepada RUU secara profesional dan isi RUU harus sesuai
dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum di dunia. Selain itu, Pak
Dorodjatun juga menyatakan bahwa penanganan RUU dilakukan oleh Menko Kesra.
Ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa SJSN lebih kental kepersoalan Kesra atau
Sosial Kemasyarakatan-nya daripada persoalan Ekonomi. Dengan demikian sudah
jelas bahwa Taspen, Asabri dan Askes tidak terkait dengan persoalan
kemasyarakatan tetapi kepada persoalan kesejahteraan aparatur atau persoalan
ekonomi.
Dalam
pertemuan hari Rabu tanggal 13 Januari 2004 di Kantor Sekretariat Wapres, kami
menyampaikan untuk merevisi beberapa pasal dalam RUU SJSN. Namun, Ketua Tim
Pak Dr. Sulastomo menyampaikan: “Nanti saja di Horison untuk dilakukan revisi,
kalau keliru-keliru sedikit tidak apa-apa.” Akan tetapi, apa yang terjadi
ternyata ketika di Hotel Horison justru telah dianggap final dan langsung dibicarakan
dengan Komisi VII DPR-RI. Tidak dapat dimengerti, mengapa Tim tidak transparan
dan menutup diri dari koreksi yang justru untuk lebih menyempurnakan draft RUU.
Pimpinan Tim
SJSN yang baru sungguh sangat disayangkan karena ternyata tidak transparan
dan tidak berupaya menghasilkan RUU yang terbaik dan benar. Berupaya untuk
secepatnya menyelesaikan meskipun output-nya tidak “excellent”.
Pembentukan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) patut didukung karena
sifatnya memberikan perlindungan dasar bagi setiap warganegara. Namun, dalam
penyusunannya perlu memperhatikan kaidah-kaidah Jaminan Sosial yang benar,
didasarkan pada prinsip-prinsip yang diterima secara umum di dunia atau ”generally
well accepted principle”.
Prinsip-prinsip
pengelolaan Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas), antara lain:
a. Jaminan Sosial Nasional bersifat dasar karena
menyangkut semua warganegara.
b. Jaminan Sosial Nasional harus pooling
atau sentralisasi karena menganut konsep jamaah.
c. Jaminan Sosial Nasional terkait dengan
penciptaan lapangan kerja (Employment Creation).
d. Jaminan Sosial Nasional terkait dengan Cadangan
Keuangan Nasional (National Reserve Fund) dan kestabilan ekonomi
negara.
e. Jaminan Sosial Nasional harus dengan pola
pendanaan penuh (Fully Funded System).
f. Jaminan Sosial Nasional terkait dengan
pengelolaan berdasarkan sistem tabungan.
g. Jaminan Sosial Nasional terkait dengan
pembiayaan jangka panjang.
h. Jaminan Sosial Nasional harus transparan.
i. Jaminan Sosial Nasional harus bebas pajak.
j. Jaminan Sosial Nasional harus zero deviden.
k. Karyawan Jaminan Sosial Nasional adalah
Aparatur Negara.
Taspen dan
Asabri yang saat ini berbentuk Persero adalah suatu perusahaan Asuransi Sosial
sehingga menjadi anggota Dewan Asuransi Indonesia. Sesuai ketentuan yang
berlaku saat ini, Taspen dan Asabri adalah perusahaan asuransi sosial dalam
kaitannya dengan asuransi dan bukan asuransi sosial yang terkait dengan Jaminan
Sosial. Asuransi sosial itu mempunyai dua jurusan, yang pertama terkait
dengan asuransi; dan yang kedua terkait dengan Jaminan Sosial. Adapun
yang membedakan keduanya adalah mengenai sistem dan proses pelayanannya. Yang pertama
pelayanan dengan sistem asuransi, sedangkan yang kedua dengan sistem
Jaminan Sosial dengan pelayanan pola tabungan. Memindahkan proses dari satu
sistem ke sistem yang lain akan mempunyai dampak finansial yang besar.
Sayangnya,
di Indonesia kegiatan asuransi sosial tidak diwadahi Undang-Undang. UU No.2
Tahun 1992 tentang perasuransian, asuransi sosial tidak termasuk di dalamnya.
Adalah kesalahan yang sangat fatal jika menyatakan bahwa dana yang ada di
Taspen dan Asabri adalah dana milik pemberi kerja atau Pemerintah sehingga
merupakan dana APBN. Sangat disayangkan jika ada Pejabat Tinggi yang juga tidak
memahami soal ini. Bayangkan, kepentingan aparaturnya sendiri yang selalu
membantu menyukseskan tugasnya sehari-hari selaku pejabat, tetapi untuk urusan
pegawainya sendiri tidak paham. Jika demikian kondisinya, lalu bagaimana
membereskan urusan masyarakat yang lebih luas, apalagi urusan negara.
Persepsi itu
terjadi sehingga Pemerintah di tahun 1994 telah memanfaatkan dana kumpulan
iuran pensiun PNS yang digunakan oleh Pemerintah untuk membayar pensiunan PNS,
yaitu sebagai berikut (lihat halaman 248).
Dana yang
ada di Taspen dan Asabri sumbernya berasal dari keringat PNS/TNI sendiri, bukan
dari Pemberi Kerja atau Pemerintah. Karena, dana itu dikurangkan langsung dari
gaji (penghasilan) PNS/TNI, bukan dari APBN. Oleh karena itu, tidak ada hak
Pemerintah untuk memanfaatkan dana ini untuk kepentingan apapun, apalagi
menghabiskannya. Ini akan terkait dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Bahkan
Pemerintah justru seharusnya melindungi dan menambah dana tersebut.
------Tabel: Sumber Pembayaran Pensiun-----
Buku SJSN hal.248
Adapun dana
yang ada di Askes sebelum tahun 2003 merupakan dana milik PNS. Namun, sejak tahun 2003
telah ada iuran dari Pemberi Kerja (Pemerintah). Demikian pula dengan
Jamsostek, dari sejak awal pendiriannya telah ditetapkan adanya iuran baik
dari Peserta (Pekerja) maupun Pemberi Kerja (Perusahaan).
Di awal penyusunan RUU sudah diwanti-wanti untuk tidak memasukkan nama
Taspen, Asabri dan Askes dalam UU SJSN, cukup seperti formulasi butir 10. Ini
akan membuka “front” dengan PNS, TNI, KORPRI dan PWRI serta PEPABRI.
Selanjutnya, adalah pemikiran yang salah bahwa Taspen, Asabri dan Askes harus
dimerger karena dana ketiga perusahaan tersebut ada unsur hak individu di
dalamnya yang terkait dengan HAM. Adalah juga pemikiran yang salah bahwa
dengan adanya UU SJSN maka UU Dana Pensiun dan UU Asuransi tak berlaku lagi dan
dicabut.
Kemudian, dalam RUU SJSN pun belum tergambar secara jelas dukungan kajian
dan analisa serta konsekuensi finansial yang menyangkut besaran iuran,
manajemen keuangan, cadangan premi dan bagaimana pemenuhan dananya dan
lain-lain. Draft RUU SJSN yang menjadi dasar keputusan Sidang Kabinet adalah
draft bertanggal 8 Januari 2004, tidak dipergunakan oleh Tim SJSN untuk
diajukan ke DPR. Draft RUU SJSN yang diajukan ke DPR bertanggal 16 Januari
2004 yang justru banyak kelemahannya.
Jaminan Sosial harus dibedakan antara sistem dan program. Jaminan
Sosial sebagai suatu sistem dapat dibagi dalam beberapa sub-sistem. Demikian
pula sebagai suatu program, Jaminan Sosial dapat dibagi menjadi beberapa
program. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah ada UU-nya, yaitu UU
No.40 Tahun 2004, dengan segala kekurangannya akibat diamandemen oleh Mahkamah
Konstitusi dan dalam perumusannya sangat tergesa-gesa mengejar dead-line,
seyogyanya diformat dengan mengikuti pola Malaysia dan China dan
disesuaikan dengan situasi di Indonesia,
yaitu Indonesia dapat membangunnya menjadi tiga (3) sub-sitem, yaitu:
• Sub-sistem Jaminan Sosial untuk Penduduk/Warganegara.
• Sub-sistem Jaminan Sosial untuk Profesi.
• Sub-sistem Jaminan Sosial untuk Penunjang.
Adapun mengenai programnya dalam UU No.40 Tahun 2004, Jaminan Sosial
terdiri dari lima (5) program, yaitu:
• Jaminan Pensiun.
• Jaminan Tunjangan Hari Tua,
termasuk jika terjadi PHK.
• Jaminan Kesehatan.
• Jaminan Kecelakaan Kerja.
• Jaminan Kematian.
Sistem
Jaminan Sosial yang baik (sempurna) seharusnya memasukkan Jaminan Perumahan dan
Jaminan Pendidikan sehingga terdiri dari minimal sembilan (9) program Jaminan
Sosial, yaitu:
• Jaminan Pensiun.
• Jaminan Tunjangan Hari Tua,
termasuk jika terjadi PHK.
• Jaminan Kesehatan.
• Jaminan Kecelakaan Kerja.
• Jaminan Kecelakaan Dalam Perjalanan.
. Jaminan Perumahan.
• Jaminan Pendidikan.
• Jaminan Kematian.
Tidak adanya
program Jaminan Perumahan dan Jaminan Pendidikan merupakan kelemahan UU No.40
Tahun 2004. Demikian pula dengan jaminan kecelakaan dalam perjalanan yang
selama ini dikelola oleh PT Jasa Raharja. Sebagai catatan tambahan, bahwa bagi
negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini bisa pula
memasukkan satu tambahan program, yaitu Jaminan Ibadah Haji. Hal ini dapat diwadahi
dalam lembaga pembiayaan haji atau Tabungan Haji Indonesia, sebagai sebuah
lembaga Jaminan Sosial tersendiri.
Di tahap
awal penyusunan UU No.40 Tahun 2004 ada pemikiran untuk menggabungkan semua
sistem Jaminan Sosial yang sudah ada dengan menghapus UU yang telah ada. Ini
adalah pemikiran sesat dari sementara penggagas. Untung Menko Kesra
ketika itu, Pak M. Jusuf Kalla, tanggap dan menolak ide merger dari lembaga
yang sudah ada.
Yang sering
tidak dipahami oleh Pemerintah, politisi dan pakar bahwa sebenarnya
pengangguran atau tidak tersedianya kesempatan kerja dan terjadinya
kemiskinan yang ada di suatu negara itu sangat bergantung kepada beberapa
faktor, salah satunya adalah Jaminan Sosial negara tersebut. Keduanya
sebenarnya seperti sebuah koin mata uang dengan sisi yang berbeda. Satu sisinya
adalah Jaminan Sosial, sedangkan sisi lainnya adalah penciptaan lapangan
kerja. Jika sistem Jaminan Sosial di suatu negara dibangun sesuai best
practices dan tertata dengan baik, maka kesempatan kerja yang ada di negara
tersebut sangat besar. Jika kesempatan kerja tersedia, maka iuran Jaminan
Sosial akan bertambah besar.
Lebih
lanjut, mekanisme ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Bahwa negara dengan
sistem Jaminan Sosial yang tertata dengan baik dengan pola funded, compulsory
dan pooling, maka akan menumbuhkan adanya tabungan jangka panjang yang
besaran jumlahnya tentu bisa menjadi sumber pembiayaan pembangunan negara. Dan
ini diperlukan untuk membangkitkan pasar modal guna membiayai proyek-proyek
yang pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Dengan
tersedianya lapangan kerja bagi masyarakat maka kesejahteraan rakyat akan meningkat,
baik secara individu maupun makro. Selanjutnya, kemampuan untuk mengiur
Jaminan Sosial juga akan semakin besar dan kemampuan dalam berasuransi pun menjadi
lebih besar. Demikian seterusnya siklus ini berjalan.
Dana yang
berasal dari Jaminan Sosial secara “sunnatullah” harus digunakan untuk
tujuan kebaikan karena dari dana Jaminan Sosial akan menciptakan lapangan kerja
serta mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Bukan untuk tujuan yang lain
yang bersifat keburukan misalnya perang. Amerika Serikat, misalnya, yang
memanfaatkan dana Jaminan Sosial tidak sesuai sunnatullah demi memenuhi
ambisi perangnya di Kuwait, Irak dan Afganistan, maka terjadilah krisis
keuangan di dalam negeri Amerika Serikat yang demikian seriusnya, serta
berdampak terhadap meningkatnya pengangguran dan kemiskinan di Amerika Serikat
dan masyarakat global.
Di
Indonesia, siklus Jaminan Sosial ini mengalami kendala karena beberapa hal
berikut ini:
• Pemerintah lalai tidak melaksanakan kewajiban
untuk memberikan iuran Jaminan Sosial bagi PNS dan Angkatan Bersenjata-nya
dari sejak lembaga pengelolanya didirikan.
• Pemerintah belum membangun Jaminan Sosial
untuk seluruh warganegara.
• Jaminan Sosial tenaga kerja belum mencakup
seluruh tenaga kerja.
• Pengambil kebijakan baik di pemerintahan,
parlemen maupun lembaga yudikatif, tidak memahami dengan benar mekanisme
Jaminan Sosial.
Semoga Indonesia segera melakukan reformasi dari Sistem Jaminan Sosial
Nasional-nya yang sebenarnya sudah dipahami oleh Menteri Keuangan Pak Mar’ie
Muhammad dan Ibu Sri Mulyani Indrawati, yang memerlukan dukungan
dari Presiden dan Wakil Presiden serta DPR RI. Semakin ditunda-tunda, upaya
perbaikan Sistem Jamsosnas ini akan menyebabkan Indonesia semakin jauh ketinggalan
ketahanan keuangan nasionalnya dari negara-negara tetangga dan semakin tidak
mampu keluar dari jerat pinjaman luar negeri. Akibatnya, Indonesia pun akan
terus bergulat dengan problematika pengangguran dan kemiskinan yang semakin
akut.
Langkah reformasi tersebut harus ditandai dengan serangkaian tindakan
kongkret untuk menata kembali tata kelola keuangan nasional atau tata kelola
pembiayaan pembangunan nasional. Di antaranya adalah berkenaan dengan UU
No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang memang masih
memerlukan penjabaran lebih lanjut untuk bisa diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Banyak hal yang masih merupakan kaidah-kaidah umum, yang teknisnya
belum dijelaskan untuk mewujudkannya secara nyata.
Untuk itu, agar implementasi Jamsosnas menjadi lebih kongkret,
kita perlu memahami pendekatan (approach) yaitu pertama : Pendekatan
Kependudukan, Profesi dan Penunjang di satu pihak dan kedua Pendekatan Program.
Kedua pendekatan ini harus dilihat dari kacamata sistem: a). Fardhu/Wajib (Compulsory);
dan b). Sunnah/Tidak Wajib (Non-Compulsory). Seharusnya, yang Wajib (Compulsory)
harus dikerjakan terlebih dulu, baru yang Sunnah atau Non-Compulsory.
Masalahnya, sekali lagi, di Indonesia ini justru sebaliknya, yang sunnah
dikerjakan dan yang fardhu ditinggalkan. Karena itu, kita perlu belajar pula
dari RRC (China), yang dulu cara berpikirnya juga seperti Indonesia:
mendahulukan yang Sunnah. Namun, RRC telah melakukan perbaikan dan
penyempurnaan dengan melakukan reformasi (mendahulukan yang Wajib, dan diikuti
yang Sunnah) dengan mengikuti Pola Bank Dunia (Five Tiers System) dengan
membentuk NSSF (National Social Security Fund) untuk seluruh warganegara
sejak tahun 1997. Sekali lagi, Indonesia seyogyanya mengikuti jejak RRC untuk
melakukan penataan kembali Dana Pensiun, Asuransi Sosial dan Jaminan
Sosial-nya, termasuk membangun Jaminan Sosial Nasional dasar (basic)
bagi seluruh penduduknya (JAMSOSNASDA).
Berkenaan dengan ”Pendekatan Kependudukan, Profesi dan Penunjang”
tadi, fakta di dalam masyarakat menunjukkan adanya Warganegara/Penduduk dan
ada Profesi (PNS, TNI-Polri serta Karyawan/Pekerja BUMN dan BUMS [Swasta])
serta ada Penunjang. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dibentuk
pun harus mengikuti pendekatan ini, yakni:
• BPJS Warganegara (Basic Social Security).
• BPJS Profesi :
BPJS Pegawai Negeri Sipil (Profesi).
BPJS TNI/POLRI
(Profesi).
BPJS Karyawan
BUMN (Profesi).
BPJS Karyawan
BUMS (Profesi)
BPJS Tenaga
Pendidik Swasta (Profesi)
BPJS Tenaga Medis
Swasta (Profesi)
BPJS Profesi ini
bisa dikembangkan lebih lanjut mencakup petani, nelayan, tenaga yang bekerja di
rumah ibadah seperti marbot, khotib dll.
• BPJS Penunjang :
BPJS Jaminan
Kesehatan
BPJS Jaminan Kecelakaan Kerja
BPJS Jaminan
Kecelakaan Dalam Perjalanan
BPJS Jaminan
Kematian
BPJS Jaminan
Perumahan
BPJS Jaminan
Pendidikan
BPJS Penunjang inipun
terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut dengan program jaminan sosial yang
lain..
Dalam UU No.40 Tahun 2004, BAB III pasal 5,
telah pula disebutkan mengenai BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL ini.
Ayat 1. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang.
Ayat 2. Sejak
berlakunya Undang-Undang ini, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang ada
dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut Undang-Undang
ini.
Ayat 3. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Perusahaan
Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK).
b. Perusahaan
Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN).
c. Perusahaan
Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI).
d. Perusahaan
Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).
Ayat 4. Dalam
hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat
(3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang.
Berdasarkan
Bab III pasal 5 tersebut, jelaslah bahwa Pemerintah sebenarnya tinggal
membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk seluruh warganegara atau
JAMSOSNASDA. Dan untuk Karyawan BUMN yang selama ini berdiri sendiri-sendiri
diserahkan kepada serikat karyawan apakah semuanya akan berkumpul dalam
JAMSOSPEG. Dengan demikian, maka Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional
(Jamsosnas) akan terdiri dari:
Pilar I: BPJS Warganegara (Basic Social Security)
= JAMSOSNASDA
- Jaminan Pensiun
- Jaminan Hari Tua
- Jaminan Kesehatan
- Jaminan Kecelakaan Kerja
- Jaminan Kematian
BPJS Warganegara
dinamakan JAMSOSNASDA karena mencakup baik Pusat maupun Daerah. Di RRC namanya NSSF (National Social
Security Fund) yang didirikan tahun 1997 atas saran World Bank. Di Korea
Selatan dinamakan NPS (National Pension System). Meskipun namanya
”Pensiun” tetapi pelayanan yang diberikan menyangkut berbagai Jaminan
Sosial.
Di Jepang termasuk dalam Tier pertama dari
sistem Two Tier.
China mendirikan NSSF
tahun 1997 sesuai saran Bank Dunia. Dimulai dari Beijing dan dua provinsi. Saat ini, NSSF mengelola
dana Social Security lebih dari
US$30 juta. Berita terakhir akan bergerak ke provinsi yang lainnya. Pemberi
kerja tidak hanya menyangkut Pemerintah Pusat tetapi juga Pemerintah Daerah dan
majikan swasta (Perusahaan).
Pendek kata, saya
menyarankan untuk segera dibentuk Tim Pendirian JAMSOSNASDA yang terdiri dari
berbagai keahlian dan mereka yang telah berpengalaman: Demografi, Aktuaria,
Keuangan, Investasi, Akuntansi dan lainnya. Diperlukan analisa demografi,
analisa aktuaria, analisa pendanaan, analisa kemampuan investasi dan lainnya.
Ada 3 (tiga) alternatif
untuk mewujudkan JAMSOSNASDA.
Alternatif 1 : Membentuk satu BPJS baru untuk pada tahap
pertama menangani sektor informal. Selanjutnya dikembangkan untuk menangani
jaminan sosial dasar untuk seluruh penduduk sebagaimana terjadi dengan NSSF di
China dan juga di Jepang dan negara-negara lain.
Program pertama yang
dikerjakan adalah Jaminan Kesehatan, Jaminan Kematian dan Jaminan Kecelakaan Kerja.
Alternatif 2 : Menjadikan
program Jaminan Kesehatan Departemen Kesehatan menjadi JAMSOSNASDA dan
ditambah secara bertahap dengan program Jaminan Pensiun dan Jaminan THT serta
Jaminan Kesehatan Dasar (sudah ada), Jaminan Kematian Dasar, dan Jaminan
Kecelakaan Kerja Dasar.
Pilar II: BPJS Profesi
2.1.
BPJS Pegawai Negeri Sipil (Profesi):
- Jaminan
Pensiun
- Jaminan
Hari Tua
- Jaminan
Kesehatan
- Jaminan
Kecelakaan Kerja
- Jaminan
Kematian
BPJS PNS = TASPEN
2.2. BPJS
TNI/POLRI.
- Jaminan
Pensiun
- Jaminan
Hari Tua
- Jaminan
Kesehatan
- Jaminan
Kecelakaan Kerja
- Jaminan
Kematian
BPJS TNI/POLRI = ASABRI
2.3. BPJS
Karyawan BUMN (Profesi)
- Jaminan
Pensiun
- Jaminan
Hari Tua
- Jaminan
Kesehatan
- Jaminan
Kecelakaan Kerja
- Jaminan
Kematian
BPJS KARYAWAN BUMN =
JAMSOSPEG
2.4. BPJS
Karyawan BUMS (Profesi)
- Jaminan
Pensiun
- Jaminan
Hari Tua
- Jaminan
Kesehatan
- Jaminan
Kecelakaan Kerja
- Jaminan
Kematian
BPJS KARYAWAN BUMS (SWASTA) =
JAMSOSTEK
2.5. BPJS
Tenaga Pendidik Swasta (Profesi)
- Jaminan
Pensiun
- Jaminan
Hari Tua
- Jaminan
Kesehatan
- Jaminan
Kecelakaan Kerja
- Jaminan
Kematian
BPJS TENAGA PENDIDIK SWASTA =
JAMSOSDIK
2.6. BPJS
TENAGA MEDIS SWASTA (Profesi)
- Jaminan
Pensiun
- Jaminan
Hari Tua
- Jaminan
Kesehatan
- Jaminan
Kecelakaan Kerja
- Jaminan
Kematian
BPJS TENAGA MEDIS SWASTA = JAMSOSDIS
Pilar III: BPJS
Penunjang
Adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) yang diarahkan pada Penyelenggaraan
Program yang saat ini telah ada dan mellaui pembentukan baru , yaitu:
- Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan : ASKES.
- Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Perumahan: BAPERTARUM.
- Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kematian
- Badan
Penyelenggran Jaminan Sosial Pendidikan .
- Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja
-
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kecelakaan Dalam Perjalanan :
PT Jasa Raharja
ASKES karena sifat yang khusus menyelenggarakan
Jaminan Kesehatan, maka dimasukkan dalam Pilar III. Demikian pula dengan
Bapertarum yang menyelenggarakan Jaminan Perumahan bagi PNS. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Program khusus ini dapat diperbanyak sesuai
kebutuhan, misalnya Jaminan Pendidikan, Jaminan Haji, Donasi (Zakat/Infaq/Sedekah)
dan lain sebagainya.
Pendekatan Program dapat
dibentuk namun harus dihindarkan hal-hal sebagai berikut:
a. Pemusatan
pada suatu institusi yang akan berkecenderungan terjadinya monopoli.
b. Moral
Hazard.
Pilar IV :Mencakup program yang
diselenggarakan institusi swasta ataupun lembaga individual yang terbatas,
yaitu Asuransi, DPPK (Dana Pensiun Pemberi Kerja) dan DPLK (Dana Pensiun
Lembaga Keuangan), termasuk Yayasan , Koperasi.
Pilar V: Mencakup Program yang diselenggarakan baik
oleh pemerintah ataupun swasta
Dengan
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas) di atas, maka Askes harus
menentukan sikap. Ada tiga alternatif pilihan, yaitu:
1). Menjadi BPJS Jaminan Kesehatan dengan
pertimbangan selema ini Askes menyelenggarakan Jaminan Kesehatan.
2). Tetap menjadi perusahaan asuransi
sosial, maka harus diproses undang-undangnya
3). Menjadi perusahaan asuransi di bidang
yang spesifik yaitu asuransi kesehatan. Ini kategori Pilar IV.
C. Kelemahan
Lain UU No.40 Tahun 2004
Beberapa
kelemahan UU No.40 Tahun 2004 di antaranya, adalah:
1). UU ini tidak mencakup Pilar Zero,
yaitu Bantuan Sosial atau Social Assisstance. Sesuai arahan Menko Kesra (waktu
itu) Pak Jusuf Kalla dan Pak Lambock Nahattand, bahwa Sistem Jaminan Sosial
Nasional seharusnya merupakan harmonisasi semua sistem yang ada di Indonesia.
Hal itu karena ”Rumah Sistem Jaminan Sosial Nasional” belum ditemukan
bentuknya. UU No.40 Tahun 2004 berlaku hanya untuk sistem yang mengiur, yaitu
Pilar I sampai dengan Pilar IV dari Five Pillars-nya Bank Dunia dan
Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO). Dengan demikian UU ini belum
mencakup semua sistem yang selama ini berlaku di Indonesia sehingga pada
saatnya perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan.
2). Dalam hal Jaminan Pensiun, UU ini
menyatakan:
“Jaminan
Pensiun diselenggarakan berdasarkan Manfaat Pasti.”
Jaminan Pensiun dipatok untuk pola Manfaat Pasti. Padahal,
dalam sistem pensiun dikenal dua pola perhitungan manfaat pensiun, yaitu:
Manfaat Pasti dan Iuran Pasti. Keduanya merupakan pilihan. Dengan manfaat
pasti, maka perhitungan pensiun didasarkan atas gaji terakhir. Oleh karena
dipilih ”manfaat pasti”, dalam praktiknya akan banyak dijumpai persoalan
lantaran akan menimbulkan past service liability akibat kekurangan
pendanaan dalam setiap terjadinya kenaikan penghasilan peserta.
Ketika kembali dari studi
banding ke Malaysia, saya kesulitan mencari angka berapa besar iuran
Pemerintah yang belum diselesaikan atau past service liability. Lalu berpikir
secara logis bahwa Malaysia memiliki pegawai negeri yang jumlahnya kecil
tetapi bergaji besar, sedangkan Indonesia PNS-nya berjumlah besar atau banyak
tetapi bergaji kecil, maka kira-kira kewajiban Pemerintah yang belum dipenuhi
nilainya sama yaitu sekitar Rp300 trilliun. Lantas dilakukan perhitungan
aktuaria secara internal untuk mendapatkan gambaran yang benar yang berdasarkan
asumsi tertentu, maka perhitungan aktuaria PT Taspen, dalam catatan Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat tercantum hasilnya adalah Rp306,32 triliun. Taspen sendiri sudah pernah mengajukan
surat penagihan kepada Pemerintah dengan surat No. S-419/Dir/092003 tanggal 1
September 2003.
3). Dewan Jaminan
Sosial Nasional .
Dalam pasal 8 ayat
2 Ketua dan Anggota diangkat oleh Presiden, sedangkan Sekretaris DJSN dalam
pasal 8 ayat 4 diangkat dan diberhentikan oleh Ketua DJSN. Dewan Jaminan Sosial
semestinya terdiri dari Ketua, Wakil Ketua (kalau dianggap perlu), Sekretaris
dan Anggota, semuanya seharusnya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
4). Ketua DJSN sebagaimana dinyatakan dalam pasal
8 ayat 3 sudah benar berasal dari unsur Pemerintah. Namun karena banyak
persoalan yang harus dihadapi dalam SJSN dan BPJS mencakup organisasi, sistem
termasuk perhitungan iuran dan manfaat
dan lain–lain permasalahan yang bersifat lintas sektoral maka seyogyanya
ketuanya adalah mantan Menteri Keuangan.
5). Dalam pasal 8 ayat 6e terdapat persyaratan
bahwa Pimpinan & Anggota DJSN
berumur setinggi-tingginya 60 tahun.
Seharusnya Pimpinan dan Anggota DJSN tidak perlu dibatasi umurnya yang
diperlukan adalah pengalaman dan kearifannya atau “wisdom” nya. Dalam ketentuan
BUMN atau Perusahaan Swasta untuk Dewan Komisarispun tidak ada pembatasan umur.
6). Pasal 15 ayat 1
menyatakan bahwa BPJS wajib memberikan NIT atau SSN (Social Security Number).
Seharusnya tidak semua BPJS mengeluarkan NIT atau SSN cukup hanya satu BPJS
saja yang mengeluarkannya yaitu BPJS yang terkait dengan seluruh penduduk yang
dalam konsep ini dinamakan BPJS Warganegara atau BP Jamsosnasda.
7). Pemerintah
secara bertahap mendaftarkan bantuan Iuran sebagai peserta kepada BPJS (pasal
14 ayat 1). Pasal ini tidak perlu kalau ada ketentuan tentang BANTUAN SOSIAL.
8). BPJS hanya
mengenal prinsip kebersamaan atau gotong royong melalui iuran bersama peserta
dan pemberi kerja (pasal 4 ayat a). BPJS untuk mereka yang tidak mampu iurannya
mampu ditanggung pemerintah (pasal 17 ayat 4) maka akan membengkakkan APBN. Bagi mereka yang tidak termasuk dalam
BPJS maka akan memperoleh bantuan sosial yang diberikan gratis tanpa harus
mengiur. Bantuan Sosial selama ini telah berjalan khususnya diberikan oleh
Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan dan Departemen/lembaga yang lain. Hanya sayangnya dalam UU 40 Tahun
2004 tidak ada pasal atau ayat yang menyatakan adanya Bantuan Sosial itu.
9). Jaminan Sosial memang berbeda dengan Asuransi
Sosial. Prinsip Asuransi Sosial adanya
di undang-undang Perasuransian bukan di undang-undang yang menyangkut Jaminan
Sosial. Prinsip Jaminan Sosil adalah tabungan wajib dari peserta dan pemberi
kerja. Jadi dalam BPJS juga tidak
dikenal adanya prinsip asuransi sosial maka pasal-pasal 19 ayat 1, pasal 29
ayat 1, pasal 35 ayat 1, pasal 39 ayat 1, dan pasal 43 ayat 1 perlu
disempurnakan.
10). Dari 5 Program
Jaminan sosial dalam UU No 40 Tahun 2004 untuk Jaminan kesehatan diatur dalam
10 pasal sedangkan yang lainnya hanya 4 pasal.
Ini menandakan bahwa dalam penyusunan UU No 40
Tahun 2004 lebih banyak diatur oleh mereka yang mempunyai keahlian dibidang kesehatan
termasuk para dokter.
11) . Pasal 17 ayat (5).
Pada tahap pertama,
iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk Program
Jaminan Kesehatan.
Terkait dengan
butir 8 pasal ini seharusnya tidak perlu
ada kalau ada kejelasan mengenai Bantuan Sosial.
12). Pasal 39 ayat(3) :
Jaminan
Pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat
pasti.
Hal ini tidak lengkap karena dalam prinsip
pensiun dikenal dua perhitungan yaitu manfaat pasti dan iuran pasti.
Dengan ketetapan manfaat pasti akan
memberatkan pemberi kerja dan lebih meringankan kerja BPJS dalam
operasionalisasinya karena tidak perlu melakukan perhitungan yang rumit seperti
kalau menggunakan perhitungan iuran pasti.
PT Jamsostek saat ini menggunakan pola iuran pasti dalam perhitungan Jaminan Hari
Tuanya.
15). Program Jaminan Kematian.
Pasal
44 .
Peserta Jaminan Kematian adalah setiap orang yang telah membayar iuran.
Pasal
46 ayat (1).
Iuran Jaminan kematian ditanggung oleh pemberi kerja.
Prinsip BPJS yang telah ditetapkan dalam UU NO 40 tahun
2001 adalah iuran bersama peserta dan pemberi kerja maka pasal 44 dan pasal 46
ayat 1 perlu di dituliskan kembali dan
disempurnakan.
17). Kepesertaan :
- Pasal 20 : 1. Peserta Jaminan Kesehatan adalah setiap orang yang telah
membayar.
2.
Anggota Keluarga peserta berhak menerima
manfaat jaminan
kesehatan
3.
Setiap peserta dapat mengikut sertakan
anggota keluarga yang
lain yang menjadi
tanggungannya dengan penambahan iuran.
- Pasal
30 : Peserta jaminan
kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah
membayar iuran.
- Pasal
36 : Peserta Jaminan Hari Tua
adalah peserta yang telah membayar
iuran.
- Pasal 40 : Peserta Jaminan pensiun adalah pekerja
yang telah membayar
iuran.
- Pasal 44 :
Peserta Jaminan kematian adalah setiap orang yang telah
membayar iuran
Kepesertaan dalam setiap program
dinyatakan dengan istilah berbeda-beda.
Bahkan yang fatal untuk jaminan pensiun hanya untuk pekerja artinya
tidak untuk PNS dan TNI/POLRI
*****
No comments:
Post a Comment