Sunday, January 6, 2013

Jamsosnas Indonesia



 
A.      Undang-Undang Dasar (UUD)

Dari sejak kemerdekaan Negara Kesatuan Re­pu­blik In­donesia, UUD 1945 mengalami empat kali peru­bahan. Se­lama perubahan itu terjadi pula perubahan dalam pe­mahaman mengenai Jaminan Sosial. Bahkan, dalam UUD yang pertama (1945) tidak secara tersurat jelas adanya Ja­minan Sosial, tetapi menggunakan istilah Kesejahteraan Sosial, dan tidak ada penjelasan yang lengkap.

Istilah Jaminan Sosial muncul dalam perubahan UUD dalam kalimat-kalimat seperti: Sistem Jaminan Sosial Nasio­nal, Jaminan Sosial, Kesejahteraan Sosial dan Kesejahteraan Umum.

•  Kesejahteraan Umum: UUD 1945.
•  Kesejahteraan Sosial: UUD 1945 (pasal 33 ditambah 2 ayat).
•  Jaminan Sosial: UUD Amandemen kedua tahun 2000 pasal 28 H.
•  Sistem Jaminan Sosial: UUD Amandemen keempat tahun 2002 pasal 34.

Bagaiamana pun, saya berucap syukur alhamdulillah ka­rena pada akhirnya para pemimpin Indonesia menyadari kekurangannya selama ini bahwa ada hal strategis yang sa­ngat penting bagi kemandirian dan kesejahteraan bangsa dan negara yang belum terakomodasi dalam UUD dan perundang-undangannya, yaitu perlu adanya Jaminan Sosial bagi masyarakatnya. Selama puluhan tahun tidak ada pemikiran untuk memasukkan dalam perundang-undang­an negara. Dalam revisi (amandemen) keempat telah dimasuk­kan per­lunya sistem Jaminan Sosial, di mana hal ini perlu dirumuskan dan diwujudkan agar dapat diimplementasi­kan secara nyata. Untuk itu, sudah sepantasnya diikuti dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang kemudian menjadi UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN.


B. Proses Penyusunan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sis­tem Jaminan Sosial Nasional.

Saya mengikuti penyusunan RUU tentang Sistem Ja­minan Sosial Nasional (SJSN) di pertengahan proses. Ke­san saya bahwa ternyata tidak semua anggota tim yang ber­asal dari Interdep memahami dengan benar hakikat atau filosofi sistem Jaminan Sosial, termasuk juga anggota DPR. Bahkan, karena tim banyak terdiri dari orang-orang asu­ransi kesehatan maka ada yang mengarahkan Jaminan So­sial menjadi Jaminan Sosial Kesehatan. Hal ini nampak dari hal-hal sebagai berikut:

•  Selain Tim-nya banyak terdiri dari ekpertise asuransi atau jaminan kesehatan, juga konsultannya berasal dari institusi asuransi kesehatan.
•  Ketika melakukan studi banding ke negara-negara lain, termasuk ke Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan Chi­na, selalu mengunjungi lembaga atau institusi dan peru­sahaan asuransi kesehatan, sedangkan in­stitusi, lembaga dan perusahaan yang mengelola Ja­minan Sosial seperti pensiun, jaminan hari tua dan social security, tidak pernah didatangi.
•  Dengan meninggalnya Bapak DR. Indra Hattari dan Ibu DR. Yaumil Agus Achir, maka kemudian Tim dinakhodai oleh mereka yang mempunyai background asuransi kesehatan (health care), sehingga semua desain UU diarahkan ke Asuransi Kesehatan.
•  Background konsultannya juga health care, bukan social security, sehingga kita tahu ke arah mana UU Jaminan Sosial dibangun.

Selain itu terkesan bahwa RUU ini dibuat terburu-buru sehingga tidak matang betul. Walhasil, banyak hal yang menjadi kelemahan UU ini. Memburu dead-line ternyata men­jadi ciri UU ini sehingga selain ada kelemahan juga banyak hal yang terlewatkan. Saat itu, ada kesan pokoknya jadi dulu nanti gampang disempurnakan. Saya yang terbiasa bekerja dengan semangat “why not the best” dan mendapatkan titipan arahan dari Presiden Megawati, maka berusaha menutup kelemahan-kelemahan yang terjadi tetapi tentunya memerlukan waktu dan referensi. Selama ini memang Tim dan Sekretariat Tim kekurangan referensi dalam penyusunan RUU terse­but. Maka benar sinyalemen Guru Besar Ilmu Hukum Uni­versitas Muhammadiyah Ma­lang (UMM), Pak Muslan Ab­durrahman, sebagaimana di­rilis koran Republika tanggal 6 April 2009 yang menyatakan bahwa UU Indonesia sangat dangkal.

Dalam RUU versi 8 Januari 2004 pada pasal 70 ayat 1 berbunyi: “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, PT (Persero) Jamsostek, PT (Persero) Askes, PT (Prsero) Taspen dan PT (Persero) Asabri tetap melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan pembentukannya de­ngan kewajiban secara bertahap menyesuaikan diri de­ngan Undang-undang ini“, perlu direvisi. Tidak perlu me­nye­butkan nama PT Asabri, PT Taspen dan PT Askes ka­rena ketiganya bukan perusahaan dengan aktivitasnya di Jaminan Sosial tetapi di Asuransi. Dengan demikian se­baiknya bunyinya diubah menjadi sebagai berikut:

“Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, BUMN, BUMD dan BUMS yang bergerak di bidang Jaminan Sosial tetap melak­sanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan pembentukannya dengan kewajiban secara bertahap menyesuaikan sistem pengelolaan Jaminan Sosial-nya dengan Undang-undang ini. “

Perlu ditekankan mengenai “menyesuaikan sistem penge­lolaan Jaminan Sosialnya”. Jadi, kata “sistem” tidak akan bisa diartikan sebagai “merger”.

Pada hari Sabtu tanggal 16 Januari 2004 dalam pertemuan dengan Komisi VII yang diprakarsai oleh Tim SJSN (Tim baru tanpa Taspen, Asabri dan Askes) yang kebetulan saya diundang, Menko Kesejahteraan Rakyat (Kesra) da­lam arah­annya kepada peserta diskusi yang saya sempat men­dengar adalah bahwa tidak perlu mengutik-ngutik lembaga yang sudah ada, yaitu baik Taspen, Asabri dan Askes. Ketiga lembaga ini tetap ada. Arahan ini jauh lebih maju dari yang disampaikan pada rapat Koordinasi Kesra tanggal 7 Januari 2004 yang ketika itu kami juga diundang.

RUU SJSN versi tanggal 16 Januari 2004 yang dibagikan di Hotel Horison, Jakarta, sangat banyak kelemahannya dan memang bermasalah. Ternyata, masih memasukkan na­ma Taspen, Asabri dan Askes yang sesuai arahan Menko Kesra bahwa Badan tersebut tidak perlu disebut. Sangat disayangkan sebelum matang di pihak Pemerintah ternyata telah disampaikan ke DPR. Justru saat-saat terakhir tidak me­libatkan seluruh Tim, khususnya Tim pendukung. Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes juga ditinggal sehingga banyak kekurangannya. Maka dalam kesempatan pertemuan lan­jutannya pada hari Minggu, Taspen menegaskan tidak bertanggungjawab terhadap isi dari draft tanggal 16 Januari 2004. Draft tanggal 16 Januari 2004 berbeda dengan draft tang­gal 8 Januari 2004.

Sebagai komitmen Taspen terhadap pertemuan tanggal 10 November 2003 dan dukungan kepada program SJSN, maka kami telah menyampaikan usulan draft RUU SJSN se­ba­gaimana tercantum dalam lampiran surat No. Srt-648/DIR/122003 tanggal 24 Desember 2003 kepada Menteri Se­kre­taris Negara. Sungguh Taspen tidak ingin setengah-se­tengah dengan kehadiran UU SJSN karena program ini me­mang merupakan salah satu program yang belum ada di Indonesia dan memang dibutuhkan di samping program Dana Pensiun Nasional yang sangat diperlukan bagi ke­mak­muran masyarakat, bangsa dan negara. Di mana, se­jak awal penataan kesejahteraan PNS, Taspen pun selalu mem­bicarakan dan terus mengkampanyekannya.

Pada hari Kamis tanggal 22 Januari 2004 ketika bersama Pak Hasan Seigeyr (mewakili KORPRI di MPR) menemui Men-PAN Pak Feisal Tamin di kediamannya pada pukul 10.00 sebelum me­nu­naikan Ibadah Haji. Men-PAN Pak Feisal Tamin menyampaikan bahwa draft yang dibahas dalam Sidang Ka­­binet adalah draft tanggal 8 Januari 2004 dan telah di­usul­kan perubahan yang diterima oleh Sidang Kabinet me­nyang­kut beberapa hal termasuk perubahan seperti butir 8, yaitu nama-nama BUMN: Taspen, Asabri, Askes dan Jam­sostek tidak perlu disebut-sebut tetapi diganti dengan “BUMN, BUMD dan BUMS” dan seterusnya. Sebelumnya, Taspen memang diminta memberi masukan kepada Men-PAN me­ngenai RUU SJSN dan masukan disampaikan pada hari Kamis Pagi pukul 08.30 tanggal 15 Januari 2004 sebelum Men-PAN menghadiri Sidang Kabinet.

Pada hari Jum’at sore tanggal 29 Januari 2004 pukul 16.30 ketika diterima Menko Perekonomian di ruang kerjanya di Lapangan Banteng dan hadir pula di antaranya Pak Eddy Purwanto, Menko Perekonomian Pak Dorodjatun Kuntjo­rojakti menyatakan bahwa (antara lain) Sidang Kabinet me­mutuskan untuk tidak memasukkan nama-nama BUMN dalam draft RUU SJSN. Draft yang dibicarakan dalam Sidang Kabinet adalah draft versi tanggal 8 Januari 2004. Menko Perekonomian menyampaikan untuk dapat mem­berikan input kepada RUU secara profesional dan isi RUU harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum di dunia. Selain itu, Pak Dorodjatun juga menyatakan bahwa penanganan RUU dilakukan oleh Menko Kesra. Ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa SJSN lebih kental ke­persoalan Kesra atau Sosial Kemasyarakatan-nya daripada persoalan Ekonomi. Dengan demikian sudah jelas bahwa Taspen, Asabri dan Askes tidak terkait dengan persoalan kemasyarakatan tetapi kepada persoalan kesejahteraan aparatur atau persoalan ekonomi.

Dalam pertemuan hari Rabu tanggal 13 Januari 2004 di Kantor Sekretariat Wapres, kami menyampaikan untuk me­revisi beberapa pasal dalam RUU SJSN. Namun, Ketua Tim Pak Dr. Sulastomo menyampaikan: “Nanti saja di Horison untuk dilakukan revisi, kalau keliru-keliru sedikit tidak apa-apa.” Akan tetapi, apa yang terjadi ternyata ketika di Hotel Horison justru telah dianggap final dan langsung dibi­carakan dengan Komisi VII DPR-RI. Tidak dapat dimengerti, mengapa Tim tidak transparan dan menutup diri dari koreksi yang justru untuk lebih menyempurnakan draft RUU.

Pimpinan Tim SJSN yang baru sungguh sangat disa­yang­kan kare­na ternyata tidak transparan dan tidak berupaya menghasilkan RUU yang terbaik dan benar. Berupaya un­tuk secepatnya menyelesaikan meskipun output-nya tidak “excellent”.

Pembentukan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) patut didukung karena sifatnya memberikan perlin­dungan dasar bagi setiap warganegara. Namun, dalam penyu­sun­an­nya perlu memperhatikan kaidah-kaidah Jaminan So­sial yang benar, didasarkan pada prinsip-prinsip yang di­te­­­rima secara umum di dunia atau ”generally well accepted principle”.

Prinsip-prinsip pengelolaan Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas), antara lain:

a.  Jaminan Sosial Nasional bersifat dasar karena menyangkut semua warganegara.
b.  Jaminan Sosial Nasional harus pooling atau sentralisasi karena menganut konsep jamaah.
c.  Jaminan Sosial Nasional terkait dengan penciptaan la­pangan kerja (Employment Creation).
d. Jaminan Sosial Nasional terkait dengan Cadangan Ke­uangan Nasional (National Reserve Fund) dan kestabilan ekonomi negara.
e.  Jaminan Sosial Nasional harus dengan pola pendanaan penuh (Fully Funded System).
f.   Jaminan Sosial Nasional terkait dengan pengelolaan berdasarkan sistem tabungan.
g.  Jaminan Sosial Nasional terkait dengan pembiayaan jang­ka panjang.
h.  Jaminan Sosial Nasional harus transparan.
i.   Jaminan Sosial Nasional harus bebas pajak.
j.   Jaminan Sosial Nasional harus zero deviden.
k.  Karyawan Jaminan Sosial Nasional adalah Aparatur Negara.

Taspen dan Asabri yang saat ini berbentuk Persero adalah suatu perusahaan Asuransi Sosial sehingga menjadi anggota Dewan Asuransi Indonesia. Sesuai ketentuan yang berlaku saat ini, Taspen dan Asabri adalah perusahaan asuransi sosial dalam kaitannya dengan asuransi dan bukan asuransi sosial yang terkait dengan Jaminan Sosial. Asuransi sosial itu mempunyai dua jurusan, yang pertama terkait dengan asuransi; dan yang kedua terkait dengan Jaminan Sosial. Adapun yang membedakan keduanya adalah mengenai sistem dan proses pelayanannya. Yang pertama pelayanan dengan sistem asuransi, sedangkan yang kedua dengan sis­tem Jaminan Sosial dengan pelayanan pola tabungan. Me­mindahkan proses dari satu sistem ke sistem yang lain akan mempunyai dampak finansial yang besar.

Sayangnya, di Indonesia kegiatan asuransi sosial tidak diwadahi Undang-Undang. UU No.2 Tahun 1992 tentang per­asuransian, asuransi sosial tidak termasuk di dalamnya. Adalah kesalahan yang sangat fatal jika menyatakan bahwa dana yang ada di Taspen dan Asabri adalah dana mi­lik pemberi kerja atau Pemerintah sehingga merupakan dana APBN. Sangat disayangkan jika ada Pejabat Tinggi yang juga tidak memahami soal ini. Bayangkan, kepentingan apa­raturnya sendiri yang selalu membantu menyukseskan tugasnya sehari-hari selaku pejabat, tetapi untuk urusan pegawainya sendiri tidak paham. Jika demikian kondisinya, lalu bagaimana membereskan urusan masyarakat yang lebih luas, apalagi urusan negara.

Persepsi itu terjadi sehingga Pemerintah di tahun 1994 telah memanfaatkan dana kumpulan iuran pensiun PNS yang digunakan oleh Pemerintah untuk membayar pen­siunan PNS, yaitu sebagai berikut (lihat halaman 248).

Dana yang ada di Taspen dan Asabri sumbernya berasal dari keringat PNS/TNI sendiri, bukan dari Pemberi Kerja atau Pemerintah. Karena, dana itu dikurangkan langsung dari gaji (penghasilan) PNS/TNI, bukan dari APBN. Oleh karena itu, tidak ada hak Pemerintah untuk memanfaatkan dana ini untuk kepentingan apapun, apalagi menghabiskannya. Ini akan terkait dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Bahkan Pemerintah justru seharusnya melindungi dan menambah dana tersebut.

------Tabel: Sumber Pembayaran Pensiun-----
Buku SJSN hal.248


Adapun dana yang ada di Askes sebelum tahun 2003 me­rupakan dana milik PNS. Namun, sejak tahun 2003 te­lah ada iuran dari Pemberi Kerja (Pemerintah). Demikian pu­la dengan Jamsostek, dari sejak awal pendiriannya telah di­te­tapkan adanya iuran baik dari Peserta (Pekerja) maupun Pemberi Kerja (Perusahaan).

Di awal penyusunan RUU sudah diwanti-wanti untuk tidak memasukkan nama Taspen, Asabri dan Askes da­lam UU SJSN, cukup seperti formulasi butir 10. Ini akan mem­buka “front” dengan PNS, TNI, KORPRI dan PWRI ser­ta PEPABRI. Selanjutnya, adalah pemikiran yang salah bahwa Taspen, Asabri dan Askes harus dimerger karena da­na ketiga perusahaan tersebut ada unsur hak individu di dalamnya yang terkait dengan HAM. Adalah juga pemikir­an yang salah bahwa dengan adanya UU SJSN maka UU Dana Pensiun dan UU Asuransi tak berlaku lagi dan dicabut.

Kemudian, dalam RUU SJSN pun belum tergambar se­cara jelas dukungan kajian dan analisa serta konsekuensi finansial yang menyangkut besaran iuran, manajemen ke­uangan, cadangan premi dan bagaimana pemenuhan dana­nya dan lain-lain. Draft RUU SJSN yang menjadi dasar ke­pu­tusan Sidang Kabinet adalah draft bertanggal 8 Januari 2004, tidak dipergunakan oleh Tim SJSN untuk diajukan ke DPR. Draft RUU SJSN yang diajukan ke DPR bertanggal 16 Ja­­nuari 2004 yang justru banyak kelemahannya.

Jaminan Sosial harus dibedakan antara sistem dan pro­gram. Jaminan Sosial sebagai suatu sistem dapat dibagi da­lam beberapa sub-sistem. Demikian pula sebagai suatu program, Jaminan Sosial dapat dibagi menjadi beberapa program. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah ada UU-nya, yaitu UU No.40 Tahun 2004, dengan segala kekurangannya akibat diamandemen oleh Mahkamah Kon­stitusi dan dalam perumusannya sangat tergesa-gesa mengejar dead-line, seyogyanya diformat dengan mengi­kuti pola Malaysia dan China dan disesuaikan  dengan situasi di Indonesia, yaitu Indonesia dapat memba­ngunnya menjadi tiga  (3) sub-sitem, yaitu:

•  Sub-sistem Jaminan Sosial untuk Penduduk/War­ga­negara.
•  Sub-sistem Jaminan Sosial untuk Profesi.
•  Sub-sistem Jaminan Sosial untuk Penunjang.

Adapun mengenai programnya dalam UU No.40 Tahun 2004, Jaminan Sosial terdiri dari lima (5) program, yaitu:

•  Jaminan Pensiun.
•  Jaminan Tunjangan Hari Tua, termasuk jika terjadi PHK.
•  Jaminan Kesehatan.
•  Jaminan Kecelakaan Kerja.
•  Jaminan Kematian.

Sistem Jaminan Sosial yang baik (sempurna) seharusnya memasukkan Jaminan Perumahan dan Jaminan Pendidikan sehingga terdiri dari minimal sembilan (9) program Jaminan Sosial, yaitu:

•  Jaminan Pensiun.
•  Jaminan Tunjangan Hari Tua, termasuk jika terjadi PHK.
•  Jaminan Kesehatan.
•  Jaminan Kecelakaan Kerja.
•  Jaminan Kecelakaan Dalam Perjalanan.
.    Jaminan Perumahan.
•  Jaminan Pendidikan.
•  Jaminan Kematian.


Tidak adanya program Jaminan Perumahan dan Jaminan Pendidikan merupakan kelemahan UU No.40 Tahun 2004. Demikian pula dengan jaminan kecelakaan dalam perjalanan yang selama ini dikelola oleh PT Jasa Raharja. Sebagai catatan tambahan, bahwa bagi negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini bisa pula memasukkan satu tambahan program, yaitu Jaminan Ibadah Haji. Hal ini dapat di­wadahi dalam lembaga pembiayaan haji atau Tabungan Haji Indonesia, sebagai sebuah lembaga Ja­minan Sosial ter­sendiri.

Di tahap awal penyusunan UU No.40 Tahun 2004 ada pemikiran untuk menggabungkan semua sistem Jaminan Sosial yang sudah ada dengan menghapus UU yang telah ada. Ini adalah pemikiran sesat dari sementara penggagas. Untung Menko Kesra ketika itu, Pak M. Jusuf Kalla, tanggap dan menolak ide merger dari lembaga yang sudah ada.

Yang sering tidak dipahami oleh Pemerintah, politisi dan pakar bahwa sebenarnya pengangguran atau tidak ter­se­dianya kesempatan kerja dan terjadinya kemiskinan yang ada di suatu negara itu sangat bergantung kepada be­berapa faktor, salah satunya adalah Jaminan Sosial ne­gara tersebut. Keduanya sebenarnya seperti sebuah koin mata uang dengan sisi yang berbeda. Satu sisinya adalah Ja­minan Sosial, sedangkan sisi lainnya adalah penciptaan lapangan kerja. Jika sistem Jaminan Sosial di suatu negara dibangun sesuai best practices dan tertata dengan baik, maka kesempatan kerja yang ada di negara tersebut sangat besar. Jika kesempatan kerja tersedia, maka iuran Jaminan Sosial akan bertambah besar.

Lebih lanjut, mekanisme ini bisa dijelaskan sebagai be­rikut. Bahwa negara dengan sistem Jaminan Sosial yang ter­tata dengan baik dengan pola funded, compulsory dan pooling, maka akan menumbuhkan adanya tabungan jangka panjang yang besaran jumlahnya tentu bisa menjadi sumber pembiayaan pembangunan negara. Dan ini diperlukan un­tuk membangkitkan pasar modal guna membiayai pro­yek-proyek yang pada gilirannya akan menciptakan la­pangan kerja bagi masyarakat. Dengan tersedianya la­pangan ker­ja bagi masyarakat maka kesejahteraan rakyat akan meningkat, baik secara individu maupun makro. Selan­jutnya, kemampuan untuk mengiur Jaminan Sosial juga akan se­makin besar dan kemampuan dalam berasuransi pun men­jadi lebih besar. Demikian seterusnya siklus ini ber­jalan.

Dana yang berasal dari Jaminan Sosial secara “sunnatullah” harus digunakan untuk tujuan kebaikan karena dari dana Jaminan Sosial akan menciptakan lapangan kerja serta mengu­rangi pengangguran dan kemiskinan. Bukan untuk tujuan yang lain yang bersifat keburukan misalnya perang. Amerika Serikat, misalnya, yang memanfaatkan dana Ja­minan Sosial tidak sesuai sunnatullah demi memenuhi ambisi perangnya di Kuwait, Irak dan Afganistan, maka ter­jadilah krisis keuangan di dalam negeri Amerika Serikat yang demikian seriusnya, serta berdampak terhadap meningkatnya pengangguran dan kemiskinan di Amerika Se­rikat dan masyarakat global.

Di Indonesia, siklus Jaminan Sosial ini mengalami ken­dala karena beberapa hal berikut ini:

•  Pemerintah lalai tidak melaksanakan kewajiban untuk memberikan iuran Jaminan Sosial bagi PNS dan Angkat­an Bersenjata-nya dari sejak lembaga pengelolanya didi­rikan.
•  Pemerintah belum membangun Jaminan Sosial untuk seluruh warganegara.
•  Jaminan Sosial tenaga kerja belum mencakup seluruh te­naga kerja.
•  Pengambil kebijakan baik di pemerintahan, parlemen ma­upun lembaga yudikatif, tidak memahami dengan be­nar mekanisme Jaminan Sosial.

Semoga Indonesia segera melakukan reformasi dari Sistem Jaminan Sosial Nasional-nya yang sebenarnya sudah dipahami oleh Menteri Keuangan Pak Mar’ie Muhammad dan Ibu Sri Mulyani Indrawati, yang memerlukan du­kungan dari Presiden dan Wakil Presiden serta DPR RI. Semakin ditunda-tunda, upaya perbaikan Sistem Jamsos­nas ini akan menyebabkan Indonesia semakin jauh keting­galan ketahanan keuangan nasionalnya dari negara-ne­gara tetangga dan semakin tidak mampu keluar dari jerat pin­jaman luar negeri. Akibatnya, Indonesia pun akan terus bergulat dengan problematika pengangguran dan kemis­kinan yang semakin akut.

Langkah reformasi tersebut harus ditandai dengan se­rang­kaian tindakan kongkret untuk menata kembali tata ke­lola keuangan nasional atau tata kelola pembiayaan pem­bangunan nasional. Di antaranya adalah ber­ke­naan dengan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Ja­minan Sosial Na­sional, yang memang masih memerlukan penjabaran lebih lanjut untuk bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal yang masih merupakan kaidah-kaidah umum, yang teknisnya belum dijelaskan untuk me­wujudkannya secara nyata.

Untuk itu, agar implementasi Jamsosnas menjadi lebih kong­kret, kita perlu memahami pendekatan (approach) yaitu pertama : Pen­dekatan Kependudukan, Profesi dan Penunjang di satu pihak dan kedua Pendekatan Program. Kedua pendekatan ini harus dilihat dari kacamata sistem: a). Fardhu/Wajib (Compulsory); dan b). Sunnah/Tidak Wajib (Non-Compulsory). Seharusnya, yang Wajib (Com­pulsory) harus dikerjakan terlebih dulu, baru yang Sunnah atau Non-Compulsory. Masalahnya, sekali lagi, di Indonesia ini justru sebaliknya, yang sunnah dikerjakan dan yang fardhu ditinggalkan. Karena itu, kita perlu belajar pula dari RRC (China), yang dulu cara berpikirnya juga seperti Indonesia: mendahulukan yang Sunnah. Namun, RRC telah melakukan perbaikan dan penyempurnaan dengan me­lakukan reformasi (mendahulukan yang Wajib, dan diikuti yang Sunnah) dengan mengikuti Pola Bank Dunia (Five Tiers System) dengan membentuk NSSF (National Social Security Fund) untuk seluruh warganegara sejak tahun 1997. Sekali lagi, Indonesia seyogyanya mengikuti jejak RRC untuk melakukan penataan kembali Dana Pensiun, Asuransi Sosial dan Jaminan Sosial-nya, termasuk membangun Jaminan So­sial Nasional dasar (basic) bagi seluruh penduduknya (JAMSOSNASDA).

Berkenaan dengan ”Pendekatan Kependudukan, Pro­­fesi dan Penunjang” tadi, fakta di dalam masyarakat menunjukkan ada­­nya Warganegara/Penduduk dan ada Profesi (PNS, TNI-Polri serta Karyawan/Pekerja BUMN dan BUMS [Swas­ta]) serta ada Penunjang. Badan Penyelenggara Ja­minan Sosial (BPJS) yang dibentuk pun harus mengikuti pen­de­katan ini, yakni:

•  BPJS Warganegara (Basic Social Security).
•  BPJS Profesi :  BPJS Pegawai Negeri Sipil (Profesi).
                              BPJS TNI/POLRI (Profesi).
                              BPJS Karyawan BUMN (Profesi).
                              BPJS Karyawan BUMS (Profesi)
                              BPJS Tenaga Pendidik Swasta (Profesi)
                              BPJS Tenaga Medis Swasta (Profesi)
                              
                              BPJS Profesi ini bisa dikembangkan lebih lanjut mencakup petani, nelayan, tenaga yang bekerja di rumah ibadah seperti marbot, khotib dll.

•  BPJS Penunjang :
                              BPJS Jaminan Kesehatan
                              BPJS Jaminan Kecelakaan Kerja
                              BPJS Jaminan Kecelakaan Dalam Perjalanan
                              BPJS Jaminan Kematian
                              BPJS Jaminan Perumahan
                              BPJS Jaminan Pendidikan
                
                         BPJS Penunjang inipun terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut dengan program jaminan sosial yang lain..

Dalam UU No.40 Tahun 2004, BAB III pasal 5, telah pula disebutkan mengenai BADAN PENYELENGGARA JA­MIN­AN SOSIAL ini.

Ayat 1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus di­bentuk dengan Undang-Undang.
Ayat 2.  Sejak berlakunya Undang-Undang ini, Badan Pe­nyelenggara Jaminan Sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial me­nurut Undang-Undang ini.
Ayat 3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK).
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN).
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi So­sial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Ke­sehatan Indonesia (ASKES).
Ayat 4. Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Ja­minan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang.

Berdasarkan Bab III pasal 5 tersebut, jelaslah bahwa Pe­­merintah sebenarnya tinggal membentuk Badan Penye­lenggara Jaminan Sosial untuk seluruh warganegara atau JAMSOSNASDA. Dan untuk Karyawan BUMN yang sela­ma ini berdiri sendiri-sendiri diserahkan kepada serikat karya­wan apakah semuanya akan berkumpul dalam JAMSOSPEG. Dengan demikian, maka Badan Penyelenggara Jaminan So­sial Nasional (Jamsosnas) akan terdiri dari:

Pilar I:   BPJS Warganegara (Basic Social Security) = JAMSOSNASDA
-    Jaminan Pensiun
-    Jaminan Hari Tua
-    Jaminan Kesehatan
-    Jaminan Kecelakaan Kerja
-    Jaminan Kematian

BPJS Warganegara dinamakan JAMSOSNASDA karena mencakup baik Pusat maupun Daerah. Di RRC namanya NSSF (National Social Security Fund) yang didirikan tahun 1997 atas saran World Bank. Di Korea Selatan dinamakan NPS (National Pension System). Meskipun namanya ”Pensiun” tetapi pe­la­yanan yang diberikan menyangkut berbagai Ja­minan Sosial.
Di Jepang termasuk dalam Tier pertama dari sistem Two Tier.

China mendirikan NSSF tahun 1997 sesuai sa­ran Bank Dunia. Dimulai dari Beijing dan dua pro­vinsi. Saat ini, NSSF mengelola dana Social Security  lebih dari US$30 juta. Berita terakhir akan ber­gerak ke provinsi yang lainnya. Pemberi kerja tidak hanya menyangkut Pemerintah Pusat tetapi juga Pemerintah Daerah dan majikan swasta (Peru­sahaan).

Pendek kata, saya menyarankan untuk segera di­bentuk Tim Pendirian JAMSOSNASDA yang ter­diri dari berbagai keahlian dan mereka yang telah berpengalaman: Demografi, Aktuaria, Keuangan, Investasi, Akuntansi dan lainnya. Diperlukan ana­lisa demografi, analisa aktuaria, analisa pendanaan, analisa kemampuan investasi dan lainnya.

Ada 3 (tiga) alternatif untuk mewujudkan JAMSOS­NASDA.

Alternatif 1  : Membentuk satu BPJS baru untuk pada tahap pertama menangani sektor informal. Selanjutnya dikembangkan untuk menangani jaminan sosial dasar untuk seluruh penduduk sebagaimana terjadi dengan NSSF di China dan juga di Jepang dan negara-negara lain.
                   Program pertama yang dikerjakan adalah Jaminan Kesehatan,                   Jaminan  Kematian dan Jaminan Kecelakaan Kerja.
Alternatif 2 : Menjadikan program Jaminan Kese­hatan Departemen Kesehatan menjadi JAM­SOS­NASDA dan ditambah secara bertahap dengan program Jaminan Pensiun dan Jaminan THT serta Jaminan Ke­sehatan Dasar (sudah ada), Jaminan Kema­tian Dasar, dan Jaminan Kecelakaan Kerja Dasar.

Pilar II:      BPJS Profesi

 2.1. BPJS Pegawai Negeri Sipil (Profesi):
-    Jaminan Pensiun
-    Jaminan Hari Tua
-    Jaminan Kesehatan
-    Jaminan Kecelakaan Kerja
-    Jaminan Kematian

                   BPJS PNS = TASPEN

2.2.   BPJS TNI/POLRI.
-    Jaminan Pensiun
-    Jaminan Hari Tua
-    Jaminan Kesehatan
-    Jaminan Kecelakaan Kerja
-    Jaminan Kematian

                   BPJS TNI/POLRI = ASABRI

2.3.   BPJS Karyawan BUMN (Profesi)
-    Jaminan Pensiun
-    Jaminan Hari Tua
-    Jaminan Kesehatan
-    Jaminan Kecelakaan Kerja
-    Jaminan Kematian

                   BPJS KARYAWAN BUMN = JAMSOSPEG

2.4.   BPJS Karyawan BUMS (Profesi)
-    Jaminan Pensiun
-    Jaminan Hari Tua
-    Jaminan Kesehatan
-    Jaminan Kecelakaan Kerja
-    Jaminan Kematian

                   BPJS KARYAWAN BUMS (SWASTA) = JAMSOSTEK
       
2.5.   BPJS Tenaga Pendidik Swasta (Profesi)
-    Jaminan Pensiun
-    Jaminan Hari Tua
-    Jaminan Kesehatan
-    Jaminan Kecelakaan Kerja
-    Jaminan Kematian

                   BPJS TENAGA PENDIDIK SWASTA = JAMSOSDIK
2.6.   BPJS TENAGA MEDIS SWASTA (Profesi)
-    Jaminan Pensiun
-    Jaminan Hari Tua
-    Jaminan Kesehatan
-    Jaminan Kecelakaan Kerja
-    Jaminan Kematian

                   BPJS TENAGA MEDIS SWASTA  = JAMSOSDIS


Pilar III:     BPJS Penunjang
Adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diarahkan pada  Penyelenggaraan Program yang saat ini telah ada dan mellaui pembentukan baru , yaitu:

-   Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan : ASKES.
-   Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Perumahan: BAPER­TARUM.
-   Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  Kematian
-   Badan Penyelenggran Jaminan Sosial Pendidikan .
-   Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja
-   Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kecelakaan Dalam Perjalanan :
     PT Jasa Raharja

ASKES karena sifat yang khusus menye­leng­ga­ra­­k­an Ja­minan Kesehatan, maka dimasukkan da­­lam Pilar III. Demikian pula dengan Bapertarum yang menyelenggarakan Jaminan Pe­rumahan bagi PNS. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Program khusus ini dapat diperbanyak sesuai kebutuhan, misalnya Ja­minan Pendidikan, Jaminan Haji, Donasi (Zakat/Infaq/Sedekah) dan lain sebagainya.

Pendekatan Program dapat dibentuk namun harus dihin­darkan hal-hal sebagai berikut:

a.  Pemusatan pada suatu institusi yang akan berkecen­de­rungan terjadinya monopoli.
b. Moral Hazard.

Pilar IV :Mencakup program yang diselenggarakan insti­tusi swasta ataupun lembaga individual yang ter­batas, yaitu Asuransi, DPPK (Dana Pensiun Pem­beri Kerja) dan DPLK (Dana Pensiun Lembaga Ke­­uangan), termasuk Yayasan , Koperasi.

Pilar V:       Mencakup Program yang diselenggarakan baik oleh pemerintah ataupun swasta

Dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas) di atas, ma­ka Askes harus menentukan sikap. Ada tiga al­ternatif pi­lihan, yaitu:

1). Menjadi BPJS Jaminan Kesehatan dengan pertimbangan selema ini Askes menyelenggarakan Jaminan Kesehatan.
2). Tetap menjadi perusahaan asuransi sosial, maka harus diproses undang-undangnya
3). Menjadi perusahaan asuransi di bidang yang spesifik yaitu asuransi kesehatan. Ini kategori Pilar IV.


C. Kelemahan Lain UU No.40 Tahun 2004

Beberapa kelemahan UU No.40 Tahun 2004 di antara­nya, adalah:

1).     UU ini tidak mencakup Pilar Zero, yaitu Bantuan Sosial atau Social Assisstance. Sesuai arahan Menko Kesra (waktu itu) Pak Jusuf Kalla dan Pak Lambock Nahattand, bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional seharusnya merupakan harmonisasi se­mua sistem yang ada di Indonesia. Hal itu karena ”Ru­mah Sistem Jaminan Sosial Nasional” belum ditemukan bentuknya. UU No.40 Tahun 2004 berlaku hanya untuk sistem yang mengiur, yaitu Pilar I sampai dengan Pilar IV dari Five Pillars-nya Bank Dunia dan Organisasi Ke­tenagakerjaan Internasional (ILO). Dengan demikian UU ini belum mencakup semua sistem yang selama ini berlaku di Indonesia sehingga pada saatnya perlu dila­kukan revisi dan penyempurnaan.

2).     Dalam hal Jaminan Pensiun, UU ini menyatakan:

“Jaminan Pensiun diselenggarakan berdasarkan Manfaat Pasti.”

Jaminan Pensiun dipatok untuk pola Manfaat Pasti. Pa­dahal, dalam sistem pensiun dikenal dua pola perhitungan manfaat pensiun, yaitu: Manfaat Pasti dan Iuran Pasti. Ke­duanya merupakan pilihan. Dengan manfaat pasti, maka perhitungan pensiun didasarkan atas gaji terakhir. Oleh karena dipilih ”manfaat pasti”, dalam praktiknya akan ba­nyak dijumpai persoalan lantaran akan menimbulkan past service liability akibat kekurangan pendanaan dalam setiap terjadinya kenaikan penghasilan peserta.

Ketika kembali dari studi banding ke Malaysia, saya ke­sulitan mencari angka berapa besar iuran Pemerintah yang belum diselesaikan atau past service liability. Lalu ber­pikir secara logis bahwa Malaysia memiliki pegawai ne­geri yang jumlahnya kecil tetapi bergaji besar, sedangkan In­donesia PNS-nya berjumlah besar atau banyak tetapi ber­­gaji kecil, maka kira-kira kewajiban Pemerintah yang belum dipenuhi nilainya sama yaitu sekitar Rp300 trilliun. Lantas dilakukan perhitungan aktuaria secara inter­nal untuk mendapatkan gambaran yang benar yang berda­sarkan asumsi tertentu, maka perhitungan aktuaria PT Tas­pen, dalam catatan La­poran Keuangan Pemerintah Pusat ter­cantum hasilnya adalah Rp306,32 triliun. Taspen sendiri sudah per­nah me­ngajukan surat penagihan kepada Pemerintah de­ngan surat No. S-419/Dir/092003 tanggal 1 September 2003.
3). Dewan Jaminan Sosial Nasional .
Dalam pasal 8 ayat 2 Ketua dan Anggota diangkat oleh Presiden, sedangkan Sekretaris DJSN dalam pasal 8 ayat 4 diangkat dan diberhentikan oleh Ketua DJSN. Dewan Jaminan Sosial semestinya terdiri dari Ketua, Wakil Ketua (kalau dianggap perlu), Sekretaris dan Anggota, semuanya seharusnya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
4).  Ketua DJSN sebagaimana dinyatakan dalam pasal 8 ayat 3 sudah benar berasal dari unsur Pemerintah. Namun karena banyak persoalan yang harus dihadapi dalam SJSN dan BPJS mencakup organisasi, sistem termasuk perhitungan iuran dan  manfaat dan lain–lain permasalahan yang bersifat lintas sektoral maka seyogyanya ketuanya adalah mantan Menteri Keuangan.  
5).  Dalam pasal 8 ayat 6e terdapat persyaratan bahwa Pimpinan & Anggota DJSN
    berumur setinggi-tingginya 60 tahun. Seharusnya Pimpinan dan Anggota DJSN tidak perlu dibatasi umurnya yang diperlukan adalah pengalaman dan kearifannya atau “wisdom” nya. Dalam ketentuan BUMN atau Perusahaan Swasta untuk Dewan Komisarispun tidak ada pembatasan umur.
6). Pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa BPJS wajib memberikan NIT atau SSN (Social Security Number). Seharusnya tidak semua BPJS mengeluarkan NIT atau SSN cukup hanya satu BPJS saja yang mengeluarkannya yaitu BPJS yang terkait dengan seluruh penduduk yang dalam konsep ini dinamakan BPJS Warganegara atau BP Jamsosnasda.
7). Pemerintah secara bertahap mendaftarkan bantuan Iuran sebagai peserta kepada BPJS (pasal 14 ayat 1). Pasal ini tidak perlu kalau ada ketentuan tentang  BANTUAN SOSIAL.
8). BPJS hanya mengenal prinsip kebersamaan atau gotong royong melalui iuran bersama peserta dan pemberi kerja (pasal 4 ayat a). BPJS untuk mereka yang tidak mampu iurannya mampu ditanggung pemerintah (pasal 17 ayat 4) maka akan membengkakkan  APBN. Bagi mereka yang tidak termasuk dalam BPJS maka akan memperoleh bantuan sosial yang diberikan gratis tanpa harus mengiur. Bantuan Sosial selama ini telah berjalan khususnya diberikan oleh Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan dan Departemen/lembaga  yang lain. Hanya sayangnya dalam UU 40 Tahun 2004 tidak ada pasal atau ayat yang menyatakan adanya Bantuan Sosial itu.
9).  Jaminan Sosial memang berbeda dengan Asuransi Sosial. Prinsip Asuransi Sosial  adanya di undang-undang Perasuransian bukan di undang-undang yang menyangkut Jaminan Sosial. Prinsip Jaminan Sosil adalah tabungan wajib dari peserta dan pemberi kerja. Jadi dalam BPJS juga  tidak dikenal adanya prinsip asuransi sosial maka pasal-pasal 19 ayat 1, pasal 29 ayat 1, pasal 35 ayat 1, pasal 39 ayat 1, dan pasal 43 ayat 1 perlu disempurnakan.
10). Dari 5 Program Jaminan sosial dalam UU No 40 Tahun 2004 untuk Jaminan kesehatan diatur dalam 10 pasal sedangkan yang lainnya hanya 4 pasal.
 Ini menandakan bahwa dalam penyusunan UU No 40 Tahun 2004  lebih banyak     diatur  oleh mereka yang  mempunyai keahlian dibidang kesehatan termasuk para dokter.
11) .   Pasal 17 ayat (5).
Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk Program Jaminan Kesehatan.
Terkait dengan butir 8  pasal ini seharusnya tidak perlu ada kalau ada kejelasan mengenai Bantuan Sosial.
12).     Pasal 39 ayat(3) :
          Jaminan Pensiun  diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
 Hal ini tidak lengkap karena dalam prinsip pensiun dikenal dua perhitungan yaitu manfaat pasti dan iuran pasti.
 Dengan ketetapan manfaat pasti akan memberatkan pemberi kerja dan lebih meringankan kerja BPJS dalam operasionalisasinya karena tidak perlu melakukan perhitungan yang rumit seperti kalau menggunakan perhitungan iuran pasti.
 PT Jamsostek saat ini menggunakan pola  iuran pasti dalam perhitungan Jaminan Hari Tuanya.
15). Program Jaminan Kematian.
      Pasal  44 .
 Peserta  Jaminan Kematian adalah setiap orang  yang telah membayar iuran.
      Pasal  46 ayat (1).
 Iuran Jaminan kematian ditanggung  oleh pemberi kerja.
 Prinsip BPJS yang telah ditetapkan dalam UU NO 40 tahun 2001 adalah iuran bersama peserta dan pemberi kerja maka pasal 44 dan pasal 46 ayat 1  perlu di dituliskan kembali dan disempurnakan.
17).    Kepesertaan :
      - Pasal  20 : 1. Peserta Jaminan Kesehatan  adalah setiap orang yang telah
                               membayar.
                           2. Anggota Keluarga  peserta berhak menerima manfaat jaminan
                               kesehatan
                           3. Setiap peserta  dapat mengikut sertakan anggota keluarga yang
                               lain  yang menjadi tanggungannya  dengan penambahan iuran.
      - Pasal  30 : Peserta  jaminan kecelakaan  kerja  adalah seseorang yang  telah
                                membayar iuran.
      - Pasal   36 :  Peserta Jaminan Hari Tua adalah peserta yang telah membayar
                                  iuran.
      - Pasal   40 : Peserta Jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar
                                  iuran.
       - Pasal  44  : Peserta Jaminan kematian adalah setiap orang yang telah
                                 membayar iuran
      Kepesertaan dalam setiap program dinyatakan  dengan istilah berbeda-beda. Bahkan yang fatal untuk jaminan pensiun hanya untuk pekerja artinya tidak untuk PNS dan TNI/POLRI


*****

No comments:

Post a Comment