Saturday, January 5, 2013

SJSN: Suatu Keniscayaan


Terlepas dari sistem politik dan sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara, merupakan suatu keharusan bagi negara berikut semua aparaturnya untuk mensejahterakan seluruh warga dan penduduknya. Tugas dan fungsi yang bersifat imperatif ini biasanya diatur dalam UUD atau berbagai peraturan lainnya.

Selain merupakan mandat konstitusional, kewajiban mensejahterakan kawulanya merupakan keharusan secara etis dan moral. UUD Republik Indonesia secara tegas dan jelas mengamanatkan hal ini. Kewajiban negara untuk membangun suatu sistem agar kesejahteraan lahir dan batin ini tidak terabaikan biasanya diatur dalam suatu lembaga dan lembaga yang demikian itu umumnya dikenal dengan Predikat ‘Sistem Jaminan Sosial’ atau Social Security System.

Suatu Sistem Jaminan Sosial yang handal seharusnya memenuhi beberapa kriteria yang dapat diukur dalam implementasinya.
Pertama, cakupannya luas serta dapat diakses oleh seluruh penduduk yang membutuhkan proteksi dan bantuan.
Kedua, berkelanjutan dan tidak tergantung dari kebijakan Pemerintah untuk suatu waktu tertentu.
Ketiga, transparan dan tidak menjadi alat politik oleh pihak mana pun.
Keempat, jika menggunakan sistem asuransi (sosial), maka iurannya harus dapat dipikul oleh peserta dalam batas kemampuan penghasilan tetap mereka. Demikian pula jika pemberi kerja harus berkontribusi, maka kontribusi mereka tidak boleh merupakan sumber kerugian bagi perusahaan.
Kelima, manfaat yang diperoleh oleh peserta harus jelas dari semula: besaran, jangka waktu, dan siapa saja yang berhak memperoleh manfaat (batasan keluarga). 
Keenam, iuran oleh negara harus terukur dan dalam batas kemampuan negara dalam proyeksi jangka panjang.

Di negara-negara Eropa, Sistem Jaminan Sosial telah mulai diintroduksikan sejak abad ke-19, bahkan pondasi cikal bakalnya telah diletakkan sejak abad ke-18. Sistem Jaminan Sosial (SJS) di Eropa telah tumbuh dan berkembang dengan cakupan yang semakin luas (universal coverage). Pembangunan SJS di Eropa dimulai dengan asuransi sosial.

Di Indonesia, Sistem Jaminan Sosial sebenarnya telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, meskipun dalam cakupan yang sangat terbatas yang berbasis pada Sistem Pensiun bagi pegawai-pegawai Pemerintah Kolonial Belanda. Bantuan Sosial (Social Assistance) juga ada dalam bidang kesehatan.

Setelah Indonesia merdeka, Sistem Jaminan Sosial dimulai dengan program pensiun bagi pegawai negeri yang dilaksanakan dengan UU Nomor 11 Tahun 1956 yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 11 Tahun 1969 yang berlaku hingga kini. Pada tahun 1990-an, Indonesia menyelenggarakan pula Sistem Jaminan Sosial bagi para pekerja dalam bentuk asuransi tenaga kerja (Astek). Demikian pula Askes dibangun sebagai Sistem Asuransi Sosial bagi pegawai negeri, pensiunan dan keluarganya. Bagi TNI-Polri telah dibangun pula Asabri. Asuransi Kecelakaan di jalan ditutup dengan Jasa Raharja. Lebih lanjut cakupan SJSN diperluas dengan diperkenalkannya Jamkesmas yang dapat diakses pula oleh masyarakat luas. Keseluruhan lembaga-lembaga itu sebagai penyelenggara asuransi sosial berbentuk BUMN. 

Selain lembaga-lembaga tersebut, sejak tahun 1970-an, telah dibangun dan dikembangkan hingga kini berbagai layanan-layanan sosial yang pada hakikatnya memberikan bantuan sosial kepada masyarakat tidak mampu atau miskin. Demikian pula telah dikembangkan berbagai program untuk membantu keluarga-keluarga agar lebih berkemampuan secara ekonomis. Berbagai program untuk menolong usaha-usaha kecil, guna meningkatkan permodalan dan kemampuan usaha mereka juga digulirkan. Pada saat ini terdapat beratus-ratus (menurut catatan ADB terdapat sekitar 800) program banrtuan sosial dan ekonomi yang terserak di berbagai instansi Pemerintah, baik di pusat maupun daerah. Bantuan Sosial semacam ini pada dasarnya dibiayai dari APBN dan APBD.

Jika dilihat gambaran seperti itu sebenarnya Indonesia secara bertahap telah mengadopsi Sistem Jaminan Sosial (termasuk Bantuan Sosial) dengan cakupan yang agak luas, meskipun belum diberikan landasan hukum yang memadai. UU tentang SJSN, baru dilahirkan pada tahun 2004 dengan UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN. Jika dicermati UU ini (meskipun di sana-sini ada kekurangan yang agak mendasar), UU ini mengamanatkan Sistem Jaminan Sosial dengan cakupan yang cukup luas atau telah mengadopsi sistem universal coverage.

Sistem Jaminan dan perlindungan sosial serta bantuan sosial selayaknya harus dilihat sebagai bagian dari pembangunan sosial yang di dalamnya termasuk menu untuk mengurangi kemiskinan. Pembangunan sosial bertujuan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi masyarakat miskin dam masyarakat rentan, sehingga memungkinkan mereka mengalami mobilitas vertikal sebagai bagian dari transformasi sosial. Pembangunan sosial dengan wawasan semacam ini mempunyai dampak langsung yang positif bagi pembangunan ekonomi, bahkan pembangunan politik. Peningkatan kemampuan masyarakat secara langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara bertahap akan meningkatkan jumlah dan kualitas golongan menengah yang secara empiris telah terbukti di negara-negara maju akan meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan demikian, dapat dibuktikan bahwa SJSN dengan cakupan yang luas yang secara simultan ditopang pula oleh berbagai bantuan sosial memberikan kontribusi yang berarti bagi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Indonesia sebagaimana layaknya negara-negara berkembang, sektor informalnya lebih besar dibandingkan dengan sektor formal. Sektor informal mencakup berbagai usaha-usaha swadaya masyarakat, kerajinan rumah tangga, usaha-usaha kecil yang jumlah karyawannya kurang dari 10 orang. Berbagai warung-warung yang menjual kebutuhan sehari-hari dan makanan, para pengrajin, toko-toko, dan masih banyak lagi varian lainnya, yang diperkirakan mengambil bagian dua pertiga dilihat dari sudut mereka yang bekerja pada seluruh sektor ekonomi nasional. Taspen, Asabri, Jamsostek, dan Askes pada dasarnya melayani sektor formal. Karena itu, perlu secepatnya dibangun suatu lembaga  Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diperuntukkan untuk menangani secara berkelanjutan sektor informal dan hal ini sejalan dengan UU SJSN. Sebagai langkah awal, berbagai program bantuan sosial yang terserak di berbagai lembaga Pemerintah, pusat dan daerah, dapat diintegrasikan ke dalam suatu lembaga SJSN untuk sektor informal. Sumber keuangan lainnya yang dapat digunakan untuk mengembangkan SJSN bagi sektor informal ini secara nasional seharusnya diambil dari subsidi APBN yang secara rasional dan dari sudut keadilan tidak dapat dibenarkan, yaitu subsidi BBM yang salah arah, sehingga sebagian besar justru dinikmati bukan oleh penduduk miskin.

Sementara itu asuransi sosial, aspek legalitasnya perlu dibenahi. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU tersendiri mengenai penyelenggaraan asuransi sosial. Penyelenggara asuransi sosial diatur dalam salah satu pasal UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian. Dalam UU itu dinyatakan bahwa program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara. Pada saat ini Taspen, Asabri, Askes, Jamsostek, dan Jasa Raharja sebenarnya telah berfungsi menyelenggarakan asuransi sosial. Agar supaya penyelenggaraan asuransi sosial ini mempunyai landasan hukum yang lebih kuat (sebagai salah satu jaminan agar benar-benar berkelanjutan), maka seharusnya disiapkan UU tentang asuransi sosial.

Perlu ditekankan bahwa SJSN tidak mungkin hanya dibebankan kepada negara atau Pemerintah meskipun peran negara adalah dominan. Peran serta masyarakat termasuk masyarakat lokal, keluarga, usahawan, serta individu itu sendiri memegang peran yang penting. Keluarga-keluarga harus diupayakan agar mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan tidak menggantungkan diri secara terus-menerus pada bantuan sosial. Dengan demikian intervensi Pemerintah dapat difokuskan kepada mereka yang benar-benar tidak mempunyai kapasitas atau masih sangat terbatas untuk meningkatkan penghasilan mereka.

Tugas Pemerintah tentu memberikan kepemimpinan, memfasilitasi serta membangun lingkungan yang kondusif, termasuk penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya. Selain itu dengan berbagai kebijakan dan intervensi negara SJSN harus berfungsi secara maksimal sehingga mencapai sasarannya. Perlu diakui Indonesia masih tertinggal di dalam membangun SJSN yang berkelanjutan. Kita berkejaran dengan waktu untuk mewujudkan impian ini menjadi kenyataan. Tetapi dalam pelaksanaannya, secara bertahap, realistis bahkan pragmatis. Jangan sampai berbagai kemajuan yang telah dicapai hingga saat ini menjadi mundur, bahkan kacau, karena ambisi dan pendekatan yang tidak realistis. Apalagi jika didorong oleh motif-motif politik sesaat.

Bagian akhir dari sambutan ini diisi dengan aspek demografi yang secara langsung berkaitan dengan SJSN yang mempunyai coverage universal. Aspek pertumbuhan penduduk dan strata sosial ekonomi dilihat dari sudut penghasilan mempunyai korelasi langsung dengan ketangguhan SJSN dalam proyeksi jangka panjang. Menggunakan data BPS, selama 30 tahun terakhir telah terjadi lonjakan jumlah penduduk Indonesia sehingga menjadi dua kali lipat. Penduduk Indonesia pada tahun 1971 mencapai 119 juta, sedangkan tahun 2010 menjadi dua kali lipat dengan total penduduk 238 juta. Ini berarti selama 40 tahun penduduk Indonesia bertambah 119 juta atau pertambahan sebesar 100 %. Pertambahan jumlah penduduk yang dahsyat ini menimbulkan tekanan yang kuat dalam berbagai bidang kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan kerja, makanan, perumahan, air bersih, sanitasi, transportasi, dan kebutuhan fasilitas sosial lainnya. Yang perlu betul-betul diwaspadai adalah lonjakan anak-anak muda yang berusia lima belas tahun, laki-laki dan wanita, yang mulai menyerbu pasar kerja. Penciptaan lapangan kerja yang baru tidak dapat memenuhi mereka yang membutuhkan pekerjaan secara tetap dan hal ini menambah jumlah pengangguran. Keadaan semakin diperparah karena banyak golongan penduduk yang miskin atau penghasilannya sangat terbatas dengan keluarga besar. Akibatnya, dilihat dari aspek sosial, ekonomi, pendidikan, dan kualitas sumber daya manusia, profil masyarakat Indonesia tertekan ke bawah dalam kualitasnya (mengalami degradasi). Lebih lanjut hal ini menurunkan daya saing Indonesia, karena daya saing sangat tergantung dari kualitas SDM.


Mengakhiri Kata Sambutan buku karangan Saudara Achmad Subianto ini saya menyatakan apresiasi pada Saudara Achmad Subianto yang sangat produktif di dalam menulis serta memberikan makalah dalam berbagai kesempatan mengenai SJSN, meskipun tentu tidak semua pendapatnya saya setujui.

Jakarta, 24 Agustus 2011
Mar’ie Muhammad

No comments:

Post a Comment