Terlepas dari sistem politik dan sistem
ekonomi yang dianut oleh suatu negara, merupakan suatu keharusan bagi negara
berikut semua aparaturnya untuk mensejahterakan seluruh warga dan penduduknya. Tugas
dan fungsi yang bersifat imperatif ini biasanya diatur dalam UUD atau berbagai
peraturan lainnya.
Selain merupakan mandat konstitusional,
kewajiban mensejahterakan kawulanya merupakan keharusan secara etis dan moral.
UUD Republik Indonesia
secara tegas dan jelas mengamanatkan hal ini. Kewajiban negara untuk membangun
suatu sistem agar kesejahteraan lahir dan batin ini tidak terabaikan biasanya
diatur dalam suatu lembaga dan lembaga yang demikian itu umumnya dikenal dengan
Predikat ‘Sistem Jaminan Sosial’ atau Social
Security System.
Suatu Sistem Jaminan Sosial yang handal
seharusnya memenuhi beberapa kriteria yang dapat diukur dalam implementasinya.
Pertama, cakupannya luas serta dapat diakses oleh seluruh penduduk yang
membutuhkan proteksi dan bantuan.
Kedua, berkelanjutan dan tidak tergantung dari kebijakan Pemerintah untuk
suatu waktu tertentu.
Ketiga, transparan dan tidak menjadi alat politik oleh pihak mana pun.
Keempat, jika menggunakan sistem asuransi (sosial), maka iurannya harus
dapat dipikul oleh peserta dalam batas kemampuan penghasilan tetap mereka.
Demikian pula jika pemberi kerja harus berkontribusi, maka kontribusi mereka
tidak boleh merupakan sumber kerugian bagi perusahaan.
Kelima, manfaat yang diperoleh oleh peserta harus jelas dari semula: besaran,
jangka waktu, dan siapa saja yang berhak memperoleh manfaat (batasan
keluarga).
Keenam, iuran oleh negara harus terukur dan dalam batas kemampuan negara
dalam proyeksi jangka panjang.
Di negara-negara Eropa, Sistem Jaminan
Sosial telah mulai diintroduksikan sejak abad ke-19, bahkan pondasi cikal
bakalnya telah diletakkan sejak abad ke-18. Sistem Jaminan Sosial (SJS) di
Eropa telah tumbuh dan berkembang dengan cakupan yang semakin luas (universal coverage). Pembangunan SJS di
Eropa dimulai dengan asuransi sosial.
Di Indonesia, Sistem Jaminan Sosial
sebenarnya telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, meskipun dalam cakupan
yang sangat terbatas yang berbasis pada Sistem Pensiun bagi pegawai-pegawai
Pemerintah Kolonial Belanda. Bantuan Sosial (Social Assistance) juga ada dalam bidang kesehatan.
Setelah Indonesia merdeka, Sistem Jaminan
Sosial dimulai dengan program pensiun bagi pegawai negeri yang dilaksanakan
dengan UU Nomor 11 Tahun 1956 yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 11 Tahun
1969 yang berlaku hingga kini. Pada tahun 1990-an, Indonesia menyelenggarakan pula
Sistem Jaminan Sosial bagi para pekerja dalam bentuk asuransi tenaga kerja
(Astek). Demikian pula Askes dibangun sebagai Sistem Asuransi Sosial bagi
pegawai negeri, pensiunan dan keluarganya. Bagi TNI-Polri telah dibangun pula
Asabri. Asuransi Kecelakaan di jalan ditutup dengan Jasa Raharja. Lebih lanjut
cakupan SJSN diperluas dengan diperkenalkannya Jamkesmas yang dapat diakses
pula oleh masyarakat luas. Keseluruhan lembaga-lembaga itu sebagai
penyelenggara asuransi sosial berbentuk BUMN.
Selain lembaga-lembaga tersebut, sejak tahun
1970-an, telah dibangun dan dikembangkan hingga kini berbagai layanan-layanan
sosial yang pada hakikatnya memberikan bantuan sosial kepada masyarakat tidak
mampu atau miskin. Demikian pula telah dikembangkan berbagai program untuk
membantu keluarga-keluarga agar lebih berkemampuan secara ekonomis. Berbagai
program untuk menolong usaha-usaha kecil, guna meningkatkan permodalan dan
kemampuan usaha mereka juga digulirkan. Pada saat ini terdapat beratus-ratus
(menurut catatan ADB terdapat sekitar 800) program banrtuan sosial dan ekonomi
yang terserak di berbagai instansi Pemerintah, baik di pusat maupun daerah.
Bantuan Sosial semacam ini pada dasarnya dibiayai dari APBN dan APBD.
Jika dilihat gambaran seperti itu sebenarnya
Indonesia
secara bertahap telah mengadopsi Sistem Jaminan Sosial (termasuk Bantuan
Sosial) dengan cakupan yang agak luas, meskipun belum diberikan landasan hukum
yang memadai. UU tentang SJSN, baru dilahirkan pada tahun 2004 dengan UU No.40
tahun 2004 tentang SJSN. Jika dicermati UU ini (meskipun di sana-sini ada
kekurangan yang agak mendasar), UU ini mengamanatkan Sistem Jaminan Sosial
dengan cakupan yang cukup luas atau telah mengadopsi sistem universal coverage.
Sistem Jaminan dan perlindungan sosial serta
bantuan sosial selayaknya harus dilihat sebagai bagian dari pembangunan sosial
yang di dalamnya termasuk menu untuk mengurangi kemiskinan. Pembangunan sosial bertujuan
meningkatkan kemampuan sosial ekonomi masyarakat miskin dam masyarakat rentan,
sehingga memungkinkan mereka mengalami mobilitas vertikal sebagai bagian dari transformasi
sosial. Pembangunan sosial dengan wawasan semacam ini mempunyai dampak langsung
yang positif bagi pembangunan ekonomi, bahkan pembangunan politik. Peningkatan
kemampuan masyarakat secara langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara bertahap akan meningkatkan jumlah
dan kualitas golongan menengah yang secara empiris telah terbukti di
negara-negara maju akan meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan demikian, dapat
dibuktikan bahwa SJSN dengan cakupan yang luas yang
secara simultan ditopang pula oleh berbagai bantuan sosial memberikan
kontribusi yang berarti bagi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Indonesia
sebagaimana layaknya negara-negara berkembang, sektor informalnya lebih besar
dibandingkan dengan sektor formal. Sektor informal mencakup berbagai
usaha-usaha swadaya masyarakat, kerajinan rumah tangga, usaha-usaha kecil yang
jumlah karyawannya kurang dari 10 orang. Berbagai warung-warung yang menjual
kebutuhan sehari-hari dan makanan, para pengrajin, toko-toko, dan masih banyak
lagi varian lainnya, yang diperkirakan mengambil bagian dua pertiga dilihat
dari sudut mereka yang bekerja pada seluruh sektor ekonomi nasional. Taspen, Asabri,
Jamsostek, dan Askes pada dasarnya melayani sektor formal. Karena itu, perlu
secepatnya dibangun suatu lembaga Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diperuntukkan untuk menangani secara
berkelanjutan sektor informal dan hal ini sejalan dengan UU SJSN. Sebagai
langkah awal, berbagai program bantuan sosial yang terserak di berbagai lembaga
Pemerintah, pusat dan daerah, dapat diintegrasikan ke dalam suatu lembaga SJSN
untuk sektor informal. Sumber keuangan lainnya yang dapat digunakan untuk
mengembangkan SJSN bagi sektor informal ini secara nasional seharusnya diambil
dari subsidi APBN yang secara rasional dan dari sudut keadilan tidak dapat
dibenarkan, yaitu subsidi BBM yang salah arah, sehingga sebagian besar justru
dinikmati bukan oleh penduduk miskin.
Sementara
itu asuransi sosial, aspek legalitasnya perlu dibenahi. Hingga saat ini
Indonesia belum memiliki UU tersendiri mengenai penyelenggaraan asuransi
sosial. Penyelenggara asuransi sosial diatur dalam salah satu pasal UU Nomor 2
Tahun 1992 tentang Perasuransian. Dalam UU itu dinyatakan bahwa program
asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara. Pada
saat ini Taspen, Asabri, Askes, Jamsostek, dan Jasa Raharja sebenarnya telah
berfungsi menyelenggarakan asuransi sosial. Agar supaya penyelenggaraan
asuransi sosial ini mempunyai landasan hukum yang lebih kuat (sebagai salah
satu jaminan agar benar-benar berkelanjutan), maka seharusnya disiapkan UU
tentang asuransi sosial.
Perlu
ditekankan bahwa SJSN tidak mungkin hanya dibebankan kepada negara atau
Pemerintah meskipun peran negara adalah dominan. Peran serta masyarakat
termasuk masyarakat lokal, keluarga, usahawan, serta individu itu sendiri memegang
peran yang penting. Keluarga-keluarga harus diupayakan agar mandiri dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya dan tidak menggantungkan diri secara terus-menerus
pada bantuan sosial. Dengan demikian intervensi Pemerintah dapat difokuskan kepada
mereka yang benar-benar tidak mempunyai kapasitas atau masih sangat terbatas
untuk meningkatkan penghasilan mereka.
Tugas
Pemerintah tentu memberikan kepemimpinan, memfasilitasi serta membangun
lingkungan yang kondusif, termasuk penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya.
Selain itu dengan berbagai kebijakan dan intervensi negara SJSN harus berfungsi
secara maksimal sehingga mencapai sasarannya. Perlu diakui Indonesia masih
tertinggal di dalam membangun SJSN yang berkelanjutan. Kita berkejaran dengan
waktu untuk mewujudkan impian ini menjadi kenyataan. Tetapi dalam
pelaksanaannya, secara bertahap, realistis bahkan pragmatis. Jangan sampai
berbagai kemajuan yang telah dicapai hingga saat ini menjadi mundur, bahkan
kacau, karena ambisi dan pendekatan yang tidak realistis. Apalagi jika didorong
oleh motif-motif politik sesaat.
Bagian
akhir dari sambutan ini diisi dengan aspek demografi yang secara langsung
berkaitan dengan SJSN yang mempunyai coverage
universal. Aspek pertumbuhan penduduk dan strata sosial ekonomi dilihat
dari sudut penghasilan mempunyai korelasi langsung dengan ketangguhan SJSN
dalam proyeksi jangka panjang. Menggunakan data BPS, selama 30 tahun terakhir
telah terjadi lonjakan jumlah penduduk Indonesia sehingga menjadi dua kali
lipat. Penduduk Indonesia pada tahun 1971 mencapai 119 juta, sedangkan tahun
2010 menjadi dua kali lipat dengan total penduduk 238 juta. Ini berarti selama 40
tahun penduduk Indonesia bertambah 119 juta atau pertambahan sebesar 100 %.
Pertambahan jumlah penduduk yang dahsyat ini menimbulkan tekanan yang kuat
dalam berbagai bidang kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, penciptaan
lapangan kerja, makanan, perumahan, air bersih, sanitasi, transportasi, dan
kebutuhan fasilitas sosial lainnya. Yang perlu betul-betul diwaspadai adalah
lonjakan anak-anak muda yang berusia lima belas tahun, laki-laki dan wanita,
yang mulai menyerbu pasar kerja. Penciptaan lapangan kerja yang baru tidak
dapat memenuhi mereka yang membutuhkan pekerjaan secara tetap dan hal ini
menambah jumlah pengangguran. Keadaan semakin diperparah karena banyak golongan
penduduk yang miskin atau penghasilannya sangat terbatas dengan keluarga besar.
Akibatnya, dilihat dari aspek sosial, ekonomi, pendidikan, dan kualitas sumber
daya manusia, profil masyarakat Indonesia tertekan ke bawah dalam kualitasnya
(mengalami degradasi). Lebih lanjut hal ini menurunkan daya saing Indonesia,
karena daya saing sangat tergantung dari kualitas SDM.
Mengakhiri
Kata Sambutan buku karangan Saudara Achmad Subianto ini saya menyatakan
apresiasi pada Saudara Achmad Subianto yang sangat produktif di dalam menulis
serta memberikan makalah dalam berbagai kesempatan mengenai SJSN, meskipun
tentu tidak semua pendapatnya saya setujui.
Jakarta,
24 Agustus 2011
Mar’ie Muhammad
No comments:
Post a Comment