Saturday, January 5, 2013

Bantuan Sosial


PERDEBATAN panjang mengenai Rancangan Undang-ndang Badan Pengelola Jaminan Sosial (RUU BPJS) segera berakhir. Segera akan ada kepastian apakah dapat dilaksanakan atau harus tertunda sampai 2014 saat keanggotaan lembaga legislatif akan berubah lagi.

Pertanyaan mendasar, apakah begitu penting RUU ini sehingga harus segera terwujud? Apa bukan hanya karena kepentingan suatu golongan? Semacam upaya menutup penyesalan karena terburu-buru mengesahkan suatu peraturan perundangan menjelang akhir masa jabatan? RUU BPJS yang merupakan amanat dari UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) memang patut menjadi pusat perhatian.

Setelah lebih dari enam tahun diterbitkan, amanat UU SJSN ini dianggap tidak dilaksanakan, pihak legislatif melakukan inisiatif menggulirkan RUU BPJS tersebut. Sementara UU No 40/2004 itu sendiri diterbitkan pada saat-saat “injury time”, menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Orang bijak pernah berkata: ”Keputusan yang ditetapkan pada saat-saat yang mendesak, sering kali menjadi kurang bijaksana.” Jadi, mungkin saja amanat UU No.40/2004 itu yang perlu dikoreksi dulu, ketimbang membuat RUU baru yang bisa jadi makin tidak bijaksana. Bahwasanya pemerintah harus melindungi masyarakat miskin dan mereka yang terlantar, sudah merupakan amanat Undang-Undang Dasar (UUD).

Tetapi, sifat bantuan sosial sangat berbeda dengan pengertian asuransi sosial.Tidak ada premi yang perlu dibayar sebagai tabungan bila saatnya nanti diperlukan pembayaran. Sehingga, sebenarnya jaminan sosial itu sendiri terdiri dari dua sisi, yaitu asuransi sosial yang tunduk pada peraturan dan tata cara asuransi biasa dan bantuan sosial yang memang merupakan kewajiban negara.

Pemahaman seperti ini agaknya perlu disepakati secara bersama sebelum sekadar berdebat dengan alasan menolong masyarakat miskin. Asuransi sosial memerlukan dana yang berasal dari para pembayar premi asuransi. Bisa datang dari peserta itu sendiri namun juga menjadi kewajiban lembaga atau organisasi tempat peserta asuransi bekerja.

Taspen, Jamsostek, Asabri, dan Askes; agaknya memenuhi syarat-syarat sebagai perusahaan asuransi tersebut. Oleh karenanya perlu dilanjutkan kegiatan mereka tanpa perlu mengubah bentuk organisasi yang ada.Hanya pembayar premi yang perlu dituntut agar melaksanakan kewajibannya.

Taspen mendapat dana dari iuran Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pemerintah. Memang disayangkan kalau sampai saat ini, sejak berdiri PT Taspen, pemerintah “lupa” untuk membayar premi asuransi yang menjadi kewajibannya. PT Jamsostek (Persero) memperoleh dana dari pekerja swasta dan perusahaan tempat peserta bekerja.

Permasalahan utama menyangkut dana yang betul-betul harus digunakan bagi kesejahteraan pekerja. Selain itu, kepatuhan pembayaran premi dan sekaligus menjaga kelangsungan keanggotaan merupakan persoalan serius yang perlu mendapat perhatian. Askes dan Asabri memiliki aturan tidak berbeda dengan kedua perusahaan asuransi yang disebut sebelumnya.

Jadi, adalah sangat bijaksana membiarkan keempat perusahaan jasa asuransi ini menjalankan tugas sebagaimana biasa.Tentunya perlu diikuti dengan pengawasan yang sistematis dari semua kalangan masyarakat luas, bukan semata-mata hanya tugas pemerintah saja. Bantuan sosial memang merupakan kewajiban negara.

Sudah banyak jenis bantuan sosial yang digelontorkan semenjak terjadinya krisis keuangan pada pertengahan tahun 1997. Tetapi, semua kebijakan itu tanpa penanganan sistematis. Bantuan tunai langsung, beras untuk masyarakat miskin, bantuan biaya sekolah, biaya kesehatan dan masih banyak lagi.

Semua dijalankan masing-masing instansi tanpa ada koordinasi. Justru untuk pengelolaan bantuan sosial ini secara lebih baik diperlukan badan yang mempunyai kewenangan cukup besar. Bila dipandang perlu langsung di bawah Presiden.

Apabila sudah terdapat badan yang menangani bencana alam, saat ini dikoordinasi oleh BNPB atau kepanjangannya Badan Nasional Penanggulangan Bencana, belum ada suatu badan yang menangani bencana sosial tersebut. BNPB hanya sebatas bencana alam. Kementerian Sosial sulit diharapkan bekerja secara efektif karena terlalu banyak yang ingin ditangani dan diselesaikan.

Bahkan, dalam menangani bantuan sosial sering rawan korupsi. Badan Nasional Bencana Sosial atau BNBS merupakan alternatif terbaik bilamana memang RUU BPJS ingin segera diterbitkan dan sekaligus membentuk Badan baru.

Badan yang bertugas menangani penanggulangan kemiskinan ini akan dapat melakukan koordinasi penanganan bantuan tunai langsung, bantuan operasional sekolah, bantuan kesehatan dan berbagai program pemerintah lain yang tidak bersifat asuransi.

Tugas pembayaran premi dari pemerintah hanya bagi pegawai negeri sipil (PNS) kepada PT Taspen karena PNS memang bekerja untuk negara. Kalau saja semua pihak berlapang dada dan tidak sekadar waton suloyo (asal menang), perdebatan RUU BPJS akan menemukan muara yang bermanfaat bagi seluruh rakyat. Semoga hati para penguasa dan wakil rakyat bisa terbuka.

(Tulisan ini ditulis oleh Prijono Tjiptoherijanto, Dosen sekaligus pengamat sosial kemasyarakatan, dimuat koran Seputar Indonesia pada tanggal 29 Agustus 2011). 

No comments:

Post a Comment