Percayailah orang dan mereka akan bersikap
tulus padamu, percayailah mereka dengan sungguh-sungguh maka mereka akan
melakukan hal-hal hebat untukmu.
Ralph Waldo
Emerson, Penulis Kenamaan
Tekad kuat
Undunsyah untuk terus belajar tidak pernah padam. Ihwal minimnya sarana
pendidikan dan wawasan bagi lulusan sekolah pada masa itu membuat Undunsyah
kebingungan memilih arah dan cita-cita. Ilmu yang diperoleh selama mengikuti
pendidikan SD dan SLTP ternyata belum mampu membenamkan arti sebuah asa dan
cita-cita ke dalam benaknya yang semakin berbenak.
Undunsyah
cuma tahu: sekolah, sekolah dan terus bersekolah. Mesti ke mana melanjutkan
pendidikan hanya berdasarkan keberadaan lembaga sekolah yang bersedia
menerimanya. Dia tidak mengerti tentang minat dan bakat.
Selepas
lulus SMP pada tahun ajaran 1978-1979 itu Undunsyah lalu mendaftarkan diri di
Sekolah Menengah Teknik (STM). Waktu itu di Tarakan cuma ada sebuah STM swasta.
Ketiadaan biaya untuk masuk ke SMA negeri memaksanya memilih sekolah kejuruan tersebut.
Padahal, sebenarnya, dia tidak punya bekal dan bakat buat masuk ke dunia
teknik. Ditambah lagi dia harus berjuang melawan hasratnya yang demikian kuat
buat masuk ke sekolah umum.
Pilihan
masuk STM membuat Undunsyah harus bergelut dengan pendidikan teknik yang
baginya lumayan sukar. Sampai akhirnya ketika tiba kenaikan kelas, Undunsyah
memilih pindah dari STM. “Alhamdulillah saya naik kelas. Waktu itu saya kurang
sekali dalam mata pelajaran menggambar. Sementara saya mengambil jurusan
bangunan. Sebab itu, saya memilih pindah sekolah,” terang Undunsyah penuh
kenangan.
Pilihan
Undunsyah jatuh ke SMA Negeri Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan. Tanpa aral
yang berarti, dia diterima di kelas dua jurusan IPA. Kepindahan ke Tanjung
Selor pun sebetulnya memiliki arti penting dalam perjalanan hidup seorang
Undunsyah. Dia memberanikan diri pindah sekolah dan tinggal di Tanjung Selor
dengan tekad untuk bisa bersekolah di SMA.
“Kebetulan
ada kerabat yang bersedia menolong saya,” Undunsyah berkisah. Orang itu adalah
H. Saleh Umar dan Abdul Manap, dua sosok yang mengulurkan tangannya untuk
membantu Undunsyah melanjutkan sekolah sesuai keinginannya. Tidaklah
mengherankan bila di kemudian hari keberadaan kedua sosok itu tak mudah
dilupakannya. “Berkat bantuan beliau berdua, saya bisa bersekolah di Tanjung
Selor,” ungkap Undunsyah.
Di Tanjung
Selor, kehidupan sebagai siswa sekolah yang sesungguhnya dijalani Undunsyah
remaja. Sehari-hari dia tinggal di asrama pelajar. Namun lantas bukan berarti
urusan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi gampang.
Asrama pelajar
sekadar dijadikan tempat menginap bersama teman-temannya. Setiap jam makan tiba,
Undunsyah dan beberapa rekan seasrama ‘numpang’ makan di rumah H. Saleh Umar.
“Saya tinggal di Asrama Harapan, bersama 13 orang pelajar. Kebetulan di asrama
itu kebanyakan pelajar dari Tarakan yang pindah ke Tanjung Selor,” jelas
Undusyah.
Sebagai
imbalan kepada H. Saleh Umar yang memberi jatah makan dua kali sehari, setiap
hari Ahad, bersama-sama teman-temannya, Undunsyah mengumpulkan kayu bakar buat
keperluan keluarga H. Saleh Umar.
“Kami
mencari kayu bakar sampai di Jalan Sengkawit (sekarang adalah lokasi Kantor
Bupati Bulungan),” tutur Undunsyah mengenang. Bila tidak sedang mencari kayu
bakar (Sabtu sore sepulang sekolah), maka Undunsyah memilih pulang ke Tarakan.
Dia biasanya berada di Tarakan sampai Ahad sore.
Pulang ke
Tarakan bukan berarti berlibur. Tapi, bersama dengan kakaknya, dia memanfaatkan
waktu lowong buat melaut. “Saya ikut kakak memukat. Masa itu kami memakai pukat
gondrong untuk menangkap udang,” Undunsyah mengingat memori yang tak terlupakan
itu.
Sekali
melaut, Undunsyah mampu mengumpulkan uang sampai beberapa ratus ribu rupiah.
Dan uang itu kemudian dia gunakan untuk membayar uang sekolah. “Kadang sekali
bayar untuk enam bulan,” jelas Undunsyah.
Tinggal di
asrama makan dengan santunan H. Saleh Umar serta melaut setiap hari Sabtu
hingga Ahad, dijalani Undunsyah selama dua tahun. Sampai akhirnya dia berhasil
menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri Tanjung Selor pada tahun 1982.
A. Kisah Ijazah dan Sepotong Kayu Ulin
Kepahitan
hidup selama menempuh pendidikan di SMA Negeri Tanjung Selor tidak menghentikan
tapak langkah Undunsyah. Dia justru semakin terpacu untuk terus maju. Sebab
itu, Undunsyah mulai menyiapkan diri guna meretas jalan pendidikan tinggi guna meraih
gelar sarjana.
Setamat
dari SMA Negeri Tanjung Selor, walau sempat diterima sebagai calon pegawai negeri
sipil, Undunsyah tetap memilih melanjutkan kuliah. “Saya sempat ikut tes
pegawai negeri dengan ijazah SMP dan diterima sebagai pegawai negeri dengan
pangkat/golongan I-B. Namun waktu itu saya lebih memilih melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi,” katanya.
Tentu ada
hal yang aneh mengapa Undunsyah mengikuti tes calon pegawai negeri sipil dengan
bekal ijazah SMP, bukan dengan bukti kelulusan yang lebih tinggi lagi. Padahal
dia telah lulus dari SMA Negeri Tanjung Selor. Alasannya klasik, Undunsyah
belum mampu memperoleh ijazah SMA gara-gara masih menunggak uang Sumbangan
Pembinaan Pendidikan (SPP). “Saya tidak punya uang buat melunasi tunggakan SPP.
Jadi ijazah SMA terpaksa ditahan oleh pihak sekolah,” ucap Undunsyah mengenang
masa-masa getir selepas SMA.
Untuk
melunasi SPP yang masih terutang, dia tidak punya uang lagi. Di satu sisi dia
harus pula menyiapkan uang buat biaya kuliah. “Bingung juga, bagaimana caranya agar
bisa memperoleh ijazah dan sekaligus bisa ke Samarinda untuk mendaftarkan diri
sebagai mahasiswa,” terang Undunsyah.
Di tengah
kebingungan ini, Undunsyah berikhtiar mencari jalan agar mampu menebus
ijazahnya di SMA Negeri Tanjung Selor tanpa harus menunda keberangkatan ke
Samarinda buat mendaftar ke Perguruan Tinggi idolanya, Universitas Mulawarman. Alhasil,
berkat kecerdikannya, dia mampu menemukan kiat agar dapat melunasi uang SPP sekaligus
berangkat ke Ibukota Provinsi Kalimantan Timur. “Waktu itu saya datangi kakak
(H. Fidu – red) dan tanpa sungkan-sungkan
minta bantuan. Ternyata dia saat itu memiliki kayu ulin sebanyak empat kubik.
Kayu itu lalu saya jual dan hasil penjualannya saya gunakan buat melunasi SPP
dan menebus ijazah SMA Negeri Tanjung Selor,” papar Undunsyah.
Kayu ulin itu
akhirnya dijual Undunsyah. Itu pun dengan harga relatif murah. “Empat kubik waktu
itu dijual hanya seharga Rp176.000. Bersyukur, uang hasil penjualan kayu ulin
itu cukup buat menutupi SPP yang tertunggak dan ongkos pergi ke Samarinda,”
Undunsyah mengenang masa silam yang teramat kelam.
B. Ke Samarinda Merenda Masa Depan
Bila kita
sedang sedih, maka jangan abaikan kesedihan itu. Penderitaan haruslah dinikmati.
Dengan begitu, penderitaan akan berbuah kenikmatan. Lalu kita pun akan mengerti
dan memahami esensi penderitaan yang datang mewarnai perjalanan hidup kita.
Pulang dari
Tanjung Selor, Undunsyah semakin mantap untuk melanjutkan kuliah ke Samarinda.
Kendati untuk naik kapal ke Samarinda saja sebetulnya dia sudah tidak punya
cukup ongkos. Uang yang tersisa dari menebus ijazah dan melunasi SPP di SMA
Negeri Tanjung Selor tidak cukup lagi buat membeli tiket kapal laut ke
Samarinda. “Saya lupa berapa jumlah uang yang tersisa dari penjualan kayu ulin.
Tapi setelah saya kumpulkan dengan uang pemberian nenek, jumlahnya sekitar
Rp220.000,” kata Undunsyah mengenang masa lepas dari kesulitan yang satu ke
kesulian berikutnya. Penuh keberanian Undunsyah berangkat pula ke Samarinda.
Merasa
takut uangnya tidak cukup, Undunsyah juga membawa bekal dua dus gelas Arqopal –gelas bikinan Malaysia yang
sangat diminati oleh warga perbatasan dan sangat laku jual. “Maksudnya kalau
uang saya tidak cukup, gelas itu bisa saya jual setiba di Samarinda,” jelas
Undunsyah.
Setelah
semua disiapkan, baju-baju dan ijazah dikemas, Undunsyah lalu pamitan pada
saudara dan neneknya untuk berangkat ke Samarinda. Waktu itu perjalanan dari
Tarakan ke Samarinda biasa ditempuh dengan kapal laut reguler. Namun, karena
uang pas-pasan, Undunsyah tidak bisa menumpang kapal tersebut.
“Saya
menunggu ada tug boat yang berangkat
dari Tarakan ke Samarinda. Memang cukup lama di perjalanan. Namun dengan naik tug boat, saya tidak perlu bayar alias
gratis. Selain itu masih bisa makan gratis bersama anak buah kapal,” katanya
bangga.
Tug boat yang ditumpangi Undunsyah waktu
itu tengah menarik ponton bermuatan pasir. Rutenya tidak langsung ke Samarinda.
“Kami ke Biduk-Biduk (Kabupaten Berau – red),
baru kemudian ke Samarinda,” ungkapnya. Lama perjalanan menuju Samarinda
mencapai lima hari lima malam. Waktu itu Undunsyah bersama tiga orang temannya
(Usman, Mulyono dan Saleh) yang juga akan ke Samarinda hendak melanjutkan
kuliah.
Selama
dalam perjalanan, mereka terpaksa tidur di atas palka. Panas di siang hari dan
dingin manakala malam tiba, membuat empat sekawan ini mabuk laut. “Luar biasa
waktu itu. Kami berempat muntah-muntah. Sementara di tug boat tidak ada air untuk mandi,” ujar Undunsyah.
Dapat
dibayangkan, saat tiba di Samarinda, bagaimana bau badan empat sekawan
tersebut. Keringat bercampur muntahan ditambah tidak mandi selama lima hari
lima malam.
Masalah
belum tuntas setiba di Samarinda. Di ibukota Provinsi Kalimantan Timur itu,
mereka tidak tahu hendak ke mana. “Untungnya juragan tug boat orang Samarinda dan dia mau mengantarkan kami ke Asrama
Bulungan di Jalan Muso Salim. Waktu itu Jalan Muso Salim lebih dikenal dengan
nama Jalan Banjar,” Undunsyah mengenang. Dia dan ketiga temannya dapat bernafas
lega. Buat mereka bertiga, tinggal di Asrama Bulungan rasanya seperti berada di
lingkungan keluarga sendiri.
Pada awal
kehadirannya di Asrama Bulungan itu, Undunsyah dan ketiga temannya mesti
melewati masa orientasi. Misalkan wajib menaati jadwal piket dan hanya
diperbolehkan tidur di musholla asrama. Kendati cukup berat menjalani kehidupan
asrama, dia tetap berusaha menyiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi ujian
seleksi masuk perguruan tinggi. “Selama di asrama, saya sempatkan diri
mengikuti bimbingan tes belajar untuk masuk perguruan tinggi,” jelas Undunsyah.
Tibalah
waktu pendaftaran masuk perguruan tinggi, Universitas Mulawarman (Unmul).
Undunsyah mendaftarkan diri di dua fakultas. Pilihan pertama adalah Fakultas Pertanian dan, kedua, jatuh pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Dengan berbagai pertimbangan, terutama rasa ingin mengabdi kepada masyarakat
Tana Tidung melalui pendidikan, Undunsyah akhirnya menjatuhkan pilihan Program
Studi Bimbingan Konseling pada FKIP Unmul. “Cita-cita saya waktu itu cuma ingin
menjadi seorang guru, agar bisa mengajar banyak orang menjadi lebih pintar,”
ucap Undunsyah ihwal cita-citanya yang mengerucut pada pengabdian di dunia
pendidikan.
Saat itu
Program Pendidikan Bimbingan Konseling merupakan program yang baru dibuka di Unmul.
Dan, Undunsyah tidak menemui kesulitan berarti untuk lolos seleksi. Setelah
pengumuman penerimaan mahasiswa baru, nama Undunsyah dinyatakan lulus dan
secara resmi diterima sebagai mahasiswa baru Unmul. Dia kemudian menghitung
beragam kebutuhan untuk masuk dan memulai kuliah di universitas kebanggaan
warga Kalimantan Timur itu.
Dari bekal
uang yang dibawanya sebesar Rp220.000 dikurangi dengan berbagai kebutuhannya
selama di Asrama Bulungan, bekal yang tersisa tinggal Rp165.000. Sisa uang itu
dia gunakan buat membayar biaya pendaftaran, uang makan selama tiga bulan dan
SPP dalam satu semester serta uang kontrak asrama selama satu tahun. “Sisanya
waktu itu tinggal Rp2.300. Itulah yang kemudian saya gunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari selama beberapa bulan,” papar Undunsyah.
Selama
menjalani perkuliahan, keuangan Undunsyah tak jua membaik. Enam bulan sekali
dia memperoleh kiriman uang dari keluarganya. Itupun cuma sebesar Rp15.000 per
bulan. Dengan uang kiriman itu, Undunsyah masih saja makan sekali sehari.
Padahal, masa itu, sepotong roti hanya dibanderol Rp100.
“Kalau
sudah tidak punya uang, saya biasa berpuasa. Kalau tidak berpuasa, ya
berpura-pura bertamu ke rumah teman, siapa tahu bisa diajak makan,” katanya
penuh senyum di kulum.
Bagi
Undunsyah, kesukaran tidak dianggap sebagai kendala permanen atau sebuah aral
melintang, melainkan sebuah garis yang mesti dilampaui. “Kesulitan adalah suatu
ukuran untuk kita bisa menjadi lebih besar,” ucap Undunsyah penuh kesungguhan.
Waktu terus
melaju. Sepertinya Undunsyah demikian akrab dengan nestapa. Selama masa
perkuliahan, dapat dikatakan Undunsyah tidak pernah punya uang lebih buat
hura-hura. Manakala tak punya rupiah, Undunsyah bertandang ke rumah
karib-kerabat dengan harapan ada makan gratis.
Seiring
perjalanan sang waktu, rupanya kekuatan anak manusia itu berbatas. Undunsyah
seolah menyerah. Dia lalu mencari cara ihwal bagaimana dapat memiliki uang
untuk memenuhi kebutuhan selama masa kuliah. Ya, paling tidak urusan makan
dapat teratasi tanpa berpura-pura bertamu. Ketika itu dia berpikir, apapun bisa
dikerjakan, yang penting dia bisa makan dan tidak merugikan orang lain.
Kebetulan
kala itu di Asrama Mahasiswa Bulungan, Undunsyah kenal dengan salah satu
keluarga yang dapat dikatakan cukup berpunya. Keluarga itu adalah keluarga
Kamaruddin Abdullah –seorang pegawai di PT Pelindo yang juga tengah
menyelesaikan perkuliahan di Unmul. Dia melihat Kamaruddin Abdullah bisa membantu
namun Undunsyah tidak serta merta minta pertolongan begitu saja.
Untuk
meraih pertolongan itu, Undunsyah menawarkan jasa kepada Kamaruddin Abdullah menjadi tukang
cuci dan tukang setrika di rumahnya. “Dia terkaget-kaget ketika saya bilang
begitu. Tapi, karena saya serius, kemudian permintaan saya itu dia penuhi,”
tutur Undunsyah. Dari pekerjaan yang ditekuninya selama dua tahun itulah,
Undunsyah memperoleh uang makan.
Ya,
pribadi-pribadi yang tengah mengupayakan kebesaran bagi dirinya dan orang lain
akan tetap berfungsi maksimal kendati dalam keadaan sakit, tertekan dan penuh
nestapa. Dia akan mengatakan, “The show
must go on.”
C. Guru Honorer yang Sempat Gagal Ujian
Sebagaimana
halnya sebagian besar mahasiswa, selain menekuni bangku kuliah, waktu-waktu
luang di sela-sela perkuliahan Undunsyah manfaatkan aktif di organisasi. Ketika
itu, dia memilih bergabung dengan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII).
Dalam
pergaulannya di PMII, walau tidak sempat menjadi elit pimpinan, Undunsyah mengaku
memperoleh banyak bekal dan pengetahuan menjadi seorang organisatoris. Dari
organisasi ini pula kehidupan Undunsyah perlahan namun pasti mulai meretas
jalan asa yang lebih berpengharapan.
“Ada teman
satu organisasi yang merasa kasihan melihat tempat kos saya selepas dari Asrama
Mahasiswa Bulungan. Kemudian dia mengajak saya mencari pemondokan baru yang
lebih baik daripada tempat kos saya di kawasan Sungai Dama,” Undunsyah
berkisah.
Di kawasan
Sungai Dama, bersama tiga temannya, Undunsyah mengontrak sebuah kamar beratap
seng berukuran 4x4 meter persegi tanpa plafon. Sebuah ruangan berukuran 4x4
meter persegi diisi empat anak manusia, laiknya satu orang memperoleh 1x1 meter
persegi bagai kavling kuburan. Begitulah Undunsyah setiap kali berseloroh ihwal
sepenggal jalan hidupnya di masa kuliah. Ditambah lagi kawasan yang terasa
sesak padat mendekati kumuh. Saban hari mereka berempat memanfaatkan air Sungai
Dama untuk berbagai keperluan sehari-hari. Sungguh getir nan pahit.
Di
organisasi PMII pula Undunsyah memperoleh titian jalan untuk mencari pekerjaan
sampingan di sela-sela kesibukan perkuliahan.
Rasa
percaya diri Undunsyah termasuk cukup tinggi. Di masa itu, kendati masih baru
menimba ilmu di FKIP Unmul, Undunsyah merasa yakin bahwa dirinya telah mampu
mengajar. Ya, hitung-hitung praktik mengajar, mempraktikkan teori-teori yang
diserap di bangku kuliah.
Dengan penuh
keyakinan, Undunsyah memberanikan diri menjadi salah satu guru honorer di
Yayasan Pendidikan Al Ma’arif Samarinda yang kala itu tengah membuka sekolah
tingkat SD, SMP dan SMA. “Waktu itu saya menjadi guru honorer selama satu tahun
tiga bulan. Cukup lumayan dan honornya bisa untuk tambah-tambah biaya kuliah,” ucapnya
mengenang.
Aktivitas
sampingan Undunsyah mempraktikkan ilmu yang diperolehnya di FKIP Unmul ternyata
memberi angin positif terhadap prestasinya di kampus. Berkat keseriusan dan
usahanya yang kuat, Undunsyah terpilih menjadi salah satu mahasiswa penerima
beasiswa. “Saya menerima beasiswa ketika sudah memasuki semester lima
perkuliahan. Jadi beasiswa itu saya pergunakan untuk membiayai Kuliah Kerja
Nyata (KKN) dan ujian seminar,” terang Undunsyah.
Setelah
menuntaskan KKN, September 1986, Undunsyah mendapat kesempatan mengikuti ujian
komprehensif. Sayangnya, nasib baik belum berpihak ke dirinya. Hasil nilai
ujiannya ketika itu cuma meluluskan 80% mahasiswa Unmul, cuma dua orang yang
berasal dari FKIP. “Saya sempat kecewa. Padahal saya sudah berusaha dan belajar
secara maksimal, mengapa tidak lulus ya?” ucap Undunsyah sembari
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tidak mau
berlama-lama meratapi kegagalan ujian komprehensif, Undunsyah memutuskan pulang
ke Tarakan. Pulang kampung kali ini, dia tidak terlampau kesulitan, tidak perlu
lagi capek-capek naik tug boat. Dia
masih memiliki sedikit sisa uang dari beasiswa.
Tapi, baru
beberapa hari di Tarakan, dia memperoleh kabar dari Samarinda bahwa Unmul akan
menyelenggarakan ujian komprehensif tahap kedua pada bulan November 1986. Undunsyah
pun kembali ke kota di tepian Sungai Mahakam itu untuk mengikuti ujian
komprehensif. Alhasil, dia mampu melewati ujian komprehensif kali ini tanpa
aral yang berarti. Dia sukses memperoleh nilai kelulusan yang cukup baik.
Usai
mengikuti ujian komprehensif dan ujian pendadaran, tanggal 2 Januari 1987, Undunsyah
dinyatakan lulus bersama ratusan mahasiswa Unmul yang lain. Dan tanggal 7 Juni
1987 dia pun diwisuda sebagai sarjana pendidikan.
Setelah segala urusan tuntas, dia pun balik ke Tarakan.
Memahami
perjalanan dirinya selama kuliah di FKIP Unmul, dia menyadari betul bahwa
kesabaran itu demikian penting. Kesabaran itu bagai sebatang pohon pepaya.
Akar, pohon dan daunnya memang pahit, namun buahnya –bilamana telah matang— terasa
manis. Sebab itu, tutur Undunsyah, “Bersabarlah menunggu waktu sampai buah
pepaya matang di pohon. Bersabarlah dalam menghadapi setiap ujian kehidupan. Bersabarlah
demi sesuatu yang baik. Kelak kita akan menemui ujung kehidupan yang manis.”
Keheningan
dan kesulitan terkadang memiliki makna religius yang teramat dalam. Keduanya
mengajarkan hidup tanpa perlu bertutur. Dengan kesabaran menghadapi keduanya,
Undunsyah mampu memahami arti hidup yang sesungguhnya.
Tiba
kembali di Tarakan, Undunsyah tak tinggal diam. Bekal ijazahnya sebagai sarjana
pendidikan menjadi modal yang cukup buat melakoni perjalanan hidup selanjutnya.
Berkat ikhtiarnya yang tiada henti hendak mewujudkan cita-citanya, Undunsyah
memperoleh tawaran mengajar di Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri (SMEAN)
Tarakan. Tanpa menghadapi hambatan yang berarti, dia diterima sebagai tenaga
pengajar di SMEA Negeri Tarakan yang sampai sekarang masih menjadi sekolah
favorit dan unggulan. Cita-cita yang diimpikannya sedari kecil tak lekang
dimakan zaman, didapatkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Guna
memantapkan posisi dan karirnya di dunia pendidikan, Undunsyah mengikuti ujian
calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kemudian, jalan menuju sukses terbuka pula
pada tanggal 1 Maret 1988 setelah dia dinyatakan lulus ujian. Dan mulai saat
itu dia resmi menjadi PNS. Tugas resmi dari pemerintah yang diembannya adalah
menjadi guru tetap di SMEA Negeri Tarakan yang saat itu dipimpin oleh H.
Abdussamad.
Kerja keras
dan taktis tidak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup anak manusia bernama
Undunsyah ini. Serta merta karirnya pun cukup mengkilap. Di sela-sela mengajar
di SMEA Negeri Tarakan, dia masih menyempatkan diri mengajar di beberapa
sekolah di Kota Tarakan. Antara lain SMP Muhamadiyah, SMP Fajar, SPG Filial
Tarakan dan SPK Tarakan. Tanpa disadarinya, sosok guru Undunsyah mulai dikenal
banyak orang,
Tahun 1995,
Undunsyah masuk ke jajaran staf Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kecamatan Tarakan sebagai pelaksana harian (Plh) penilik Dikbud untuk wilayah
kerja Tarakan, Bunyu dan Nunukan. Jabatan itu dia jalani selama enam bulan
penuh suka cita.
Pada 1997,
H. Saderi selaku Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan
(Kakandepdikbudcam) Tarakan memasuki masa pensiun. untuk mengisi kekosongan
kursi jabatan, Undunsyah diangkat menjadi Pelaksana Harian Kakandepdikbud
Kecamatan Tarakan. Padahal seharusnya dia sudah didefinitifkan menjadi Kepala Kandepdikbud
Kecamatan Tarakan. Lantaran ada peraturan yang membatasi, jabatan Kepala
Kandepdikbud Kecamatan Tarakan batal dijabatnya.
“Waktu itu
ada perubahan peraturan pendidikan, membuat saya tidak bisa dilantik. Seingat
saya yang dilantik menduduki jabatan itu adalah Dede Sulaiman,” jelas Undunsyah
dalam satu perbincangan khusus. Dia tidak lantas bermuram durja atau bermuka
masam. Dia menerima keputusan penuh keikhlasan dan kesabaran.
Kisah
Undunsyah berkarir di dunia pendidikan nyaris tidak pernah surut. Sampai suatu
hari, dia kembali menjalani keseharian sebagai guru biasa di SMEA Negeri
Tarakan. Walau demikian aktivitas dan kesibukan Undunsyah tak pernah berkurang,
hingga suatu ketika dia ditawari untuk memimpin SMA Mulawarman yang tengah
berada di ambang keambrukan.
Kepercayaan
itu dibalas Undunsyah dengan unjuk kerja keras. Dia singsingkan lengan baju demi
keselamatan sekolah swasta ini dari jurang penutupan. Pada awal kepemimpinannya
di SMA Mulawarman pada tahun 1997, status SMA
itu diturunkan dari terakreditasi diakui menjadi terdaftar. Keadaan ini
menjadi beban yang cukup berat buat diemban Undunsyah.
Kerja keras
Undunsyah selama dua tahun kemudian berbuah manis. Status SMA Mulawarman naik
dari TERDAFTAR menjadi TERAKREDITASI DIAKUI. Dan tanpa dikomando, para pendiri
SMA Mulawarman ‘angkat topi’ mengapresiasi kinerja Undunsyah.
Selain mampu
mengembalikan status SMA Mulwarman, berkat kerja cerdas seorang Undunsyah mampu
mengubah SMA Mulawaran dari semula sebagai sekolah ‘buangan’ menjadi sekolah
yang cukup dipandang oleh warga Kota Tarakan. “Alhamdulillah pada ujian akhir
nasional (UAN) tahun 2000, siswa-siswa anak didik kami lulus 100 persen,”
ujarnya penuh rasa bangga. Goresan ‘tinta emas’ itu semakin mengokohkan
Undunsyah untuk memimpin sekolah itu sampai tahun 2006.
Terdapat
satu kunci sukses yang menjadikan kinerja Undunsyah mengkilap, yaitu bekal
keyakinan atau rasa percaya diri. Undunsyah berpendapat bila orang berpegang
pada keyakinan yang kuat maka hilanglah kesangsian dan bila orang terus
dihantui kebimbangan maka hilang pula rasa percaya diri.
D. Kepak Sayap di Organisasi
Bertemanlah
sebanyak-banyaknya yang dapat membantu, mengembangkan potensi, memberi nasehat,
dan menolong pada masa sulit. Seiring dengan waktu yang terus melaju, pola
pikir dan wawasan Undunsyah terus berkembang. Dia mulai berpikir dan bermimpi,
bagaimana caranya dengan ilmu yang dimilikinya akan bermanfaat bagi semakin
banyak orang. Undunsyah menyadari betul langkah yang mesti ditempuh. “Cara
untuk menjadi di depan adalah dimulai dari sekarang. Mengapa? Karena tahun
depan kita akan tahu banyak hal yang sekarang ini tidak kita ketahui. Dan kita
tak akan mengetahui masa depan jika kita hanya menunggu,” ujarnya mantap.
Untuk
mengejawantahkan ucapan itu, Undunsyah mulai aktif di beberapa organisasi
kepemudaan. Antara lain Angkat Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Berkat etos
kerja yang melekat kuat dalam dirinya, tidak mengherankan bila beragam jabatan
strategis dalam organisasi digenggamnya. Mulai dari Sekretaris Bidang,
Sekretaris Umum sampai Wakil Ketua dan Ketua. Guna menambah jam terbangnya di
organisasi, dia pun ‘menceburkan’ diri aktif di sebuah organisasi politik. “Itu
zamannya PNS masih boleh terjun ke partai politik,” tuturnya.
Ya, semua
bermula dari sebuah mimpi dan keyakinan memiliki potensi dan kualitas diri yang
baik. Pemimpilah yang senantiasa menciptakan dan membuat sebuah terobosan dalam
menuju kesuksesan. Undunsyah tak mengenal batas, keterikatan dan kata ‘tidak
bisa’ ataupun ‘tidak mungkin’. Semua dia jalani dengan ketekunan, fokus dan
selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
E. Karir di Pemerintah Kota Tarakan
Penggalan
kisah suksesUndunsyah di SMA Mulawarman menjadikan namanya semakin dikenal di
kalangan birokrat dan tokoh masyarakat. tak mengherankan jika dia memiliki
kedekatan dengan motor pendiri dan penggerak SMA Mulawarman dr. Jusuf Serang
Kasim, yang saat itu menjabat Walikota Tarakan. Tahun 2001, Undunsyah pun
dipercaya menjadi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tarakan. Itu
semua lantaran Undunsyah memiliki nilai rekam jejak yang baik dalam bekerja.
Ya, lumayan lama dia menjalani jabatan itu.
Di saat
menjadi pejabat teras di Kota Tarakan itulah, ide mencetuskan Kabupaten Tana
Tidung (KTT) mulai muncul ke permukaan. Bersama Drs. Ibrahim Adam Msi, dia
berusaha merealisasikan ide tersebut. Bahkan, akibat kesibukan mengurus
pembentukan KTT itu Undunsyah memilih untuk ditempatkan pada jabatan staf ahli.
Di tengah
perjuangan membentuk KTT, Undunsyah mulai melakukan improvisasi. Hasilnya, dia
kembali memperoleh jabatan strategis di Pemkot Tarakan sebagai Direktur Utama
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Tarakan. Bak seorang raja midas, dia
kembali beraksi. Berkat kinerja dan kepemimpinannya ‘bertangan dingin’,
prestasi PDAM terus membaik. Dan hal ini membuat Walikota Tarakan Dr. Jusuf SK
memberikan amanah lebih berat lagi sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kota
Tarakan.
Diakuinya,
posisi sebagai Kepala Dinas Pendidikan merupakan sebuah jabatan yang cukup
diperhitungkan. “Apalagi dengan kompleksitas masalah pendidikan yang dihadapi
Kota Tarakan, membuat peran dinas ini cukup berat,” katanya penuh senyum.
Dinas
Pendidikan yang acap dijuliki ‘dinas raksasa’ itu terus menunjukkan kemajuan
selama di bawah kepemimpinan Undunsyah. Antara lain terlaksananya Ujian Akhir
Nasional (UAN) tanpa kekurangan, serta berjalannya program Sekolah
Internasional yang dicanangkan Pemkot Tarakan. Belum lagi prestasi-prestasi
lain yang sempat ditorehkannya. Baik dari kalangan pendidik maupun siswa-siswa
dari Kota Tarakan dalam berbagai even nasional dan internasional.
Lagi-lagi bicara
bicara soal keyakinan dan rasa percaya diri yang membuat Undunsyah menerima dan
menghadapi tantangan. Di sela-sela kesibukannya sebagai orang nomor satu di
Kabupaten Tana Tidung, dia mengatakan, “Kita bisa sukses sekalipun tak orang
yang percaya pada kita bahwa kita bisa sukses. Tapi kita tak akan pernah sukses
kalau kita sendiri tidak pernah percaya pada diri sendiri.”
F. Membangun dan Membina Keluarga
Tidak
seberapa lama setelah memperoleh surat keputusan pengangkatan dirinya menjadi
PNS pada 1 Maret 1988, Undunsyah memutuskan mengakhiri masa lajangnya. Sekitar
bulan Juni 1988, Undunsyah mempersunting Umi Suhartini --wanita pujaan hatinya
yang juga seorang guru. Umi Suhartini adalah salah muridnya sewaktu Undunsyah
mengajar di SMEA Negeri Tarakan. Dari pernikahaannya dengan Umi Suhartini kini
Undunsyah dikaruniai tiga orang anak yang telah beranjak dewasa.
Keluarga
pasangan Undunsyah – Umi Suhartini berjalan harmonis, baik saat membesarkan
anak-anak maupun dalam menjalai karir. “Mungkin karena kami sama-sama pendidik.
Jadi gaya pendidik itu terbawa sampai ke rumah, termasuk dalam pola mengasuh
anak-anak,” jelas Undunsyah.
Peran kuat
dorongan seorang isteri demikian dirasakan Undunsyah terutama ketika dirinya mulai
meretas jalan membangun Kabupaten Tana Tidung. Bahkan, dari isterinya pula,
Undunsyah mematangkan inisial pasangan caon bupati dan calon wakil bupati saat
maju ke Pilkada Kabupaten Tana Tidung tahun 2010.
Umi pun
mampu mengantarkan sang suami Undunsyah menjadi orang pertama di Kabupaten Tana
Tidung. Kendati Undunsyah dikelilingi oleh banyak pemikir namun buah pikrian
sang isteri tetap sangat diperhatikannya. Misalkan tatkala mencetuskan inisial
pasangan Undunsyah-Markus. “Banyak yang memberikan masukan soal ide inisial
itu. Ada yang mengusulkan menggunakan inisial UMAR (Undun-Markus) dan beberapa
inisial yang lain,” jelas Undunsyah.
Undunsyah
merasa lebih sreg dan pas dengan inisial
yang diciptakan isterinya, yakni Yu-Mark. “Inisial itu resmi pemberian isteri.
Nama saya memang Undunsyah. Namun d kalangan masyarakat Tidung, saya kerap
disapa Yundun. Itu pula yang menjadi pertimbangan isteri mengganti inisial
menjadi Yu-Mark,” terang Undunsyah.
Undunsyah
betul-betul bersyukur beristerikan Umi Suhartini yang dijumpai kali pertama di
perkuliahan dulu. Dia merasa pas menjatuhkan pilihan pada Umi Suhartini yang
kini cukup berhasil mendidik tiga anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa. Dan
pilihan itu terasa tepat karena Undunsyah memberikan kepercayaan penuh kepada
Umi Suhartini. ***
No comments:
Post a Comment