Monday, February 11, 2013

Kepentingan Abadi


SUATU waktu, aku harus menemui seorang elit partai politik (parpol) ternama. Untuk sebuah keperluan meminta komentar atau penilaian terhadap seorang tokoh lokal yang hendak maju ke pilkada gubernur. Tokoh lokal yang sebenarny telah menasional, karena jauh sebelumnya dia sempat mewarnai kiprahnya di Parlemen Senayan. Sang elit parpol dan si tokoh lokal ini tidak terlampau jauh ketika menjadi aktivis mahasiswa. Beda-beda sedikit lah. Keduanya sempat satu fraksi di Senayan namun berbeda posisi dan komisi. Sang elit pernah menjadi elit pimpinan di Parlemen Senayan.

Aku berharap ada komentar obyektif sang elit terhadap si tokoh lokal. Setelah menunggu agak lama, akhirnya aku ketemu juga. Begitu bersua, kekecewaan yang muncul dalam benakku. “Saya tidak kenal tuh tokoh lokal yang Anda maksud. Memang kami satu partai, tapi saya tidak mungkin kenal satu per satu orang partai. Partai kami sangat besar, bukan partai gurem,” sang elit berkilah.

“Bukankah Anda dulu pernah satu fraksi di Senayan? Dan dia kan cukup dikenal di kalangan petinggi parpol Anda?” ujarnya berusaha mengingatkan.

“Tidak kenal saya, sekali lagi tidak kenal saya,” ujar sang elit parpol.

Aku seperti kehabisan ide untuk bertanya lebih jauh. Tokoh yang satu ini memang agak pelit bicara. Kemudian, aku berusaha mencari tahu ihwal mengapa sang elit tak mau buka suara. Dari sejumlah orang dalam parpol itu, sang elit tidak begitu suka pada si tokoh lokal lantaran berbeda faksi atau kelompok dalam parpol.

Aku lalu memberitahukan kepada si tokoh lokal tentang ketidak-bersediaan sang elit dimintai komentar untuk penulisan sebuah biografi si tokoh lokal ini. “Benar, kamu sudah bertemu, lalu apa komentarnya?” tanya si tokoh lokal.

“Sudah Pak, tapi beliau katakan tidak mengenal Bapak,” jawabku singkat.

“Ok, lupakan saya, cari narasumber yang lain,” si tokoh lokal membesarkan hati.

Perjalanan menuju kursi gubernur terus mendekat. Sampailah pada pesta demokrasi langsung di tangan rakyat. Dengan penuh perjuangan, si tokoh lokal itu akhirnya memenangi pertarungan.
Tibalah waktu si tokoh lokal dilantik oleh Menteri Dalam Negeri di ibukota provinsi. Lantaran sang elit parpol merasa tidak mengenal dirinya, si tokoh lokal tidak mengundang hadir di acara pelantikan.

Tapi, sungguh terlalu. Sang elit parpol itu muncul di acara pelantikan dan ikut memberikan ucapan selamat kepada si tokoh lokal yang baru saja menjadi gubernur definitif. “Saya sih nggak ada perasaan dendam atau apa, beliau kasih selamat dan merangkul, ya saya balas merangkul dan berterima-kasih,” tutur si tokoh lokal kepadaku.

Aku berusaha mendekati sang elit parpol. Begitu melihat diriku mendekat, sang elit parpol tersipu malu. “Tak perlu malu Bang, saya jadi tahu kualitas Abang dalam menjalin komunikasi sesama kader,” ujarku sambil berlalu meninggalkan sang elit parpol.

Kini, nama sang elit parpol itu kembali mencuat, suaranya lantang meramaikan perebutan kursi RI-1 tahun 2014. Pemimpin semacam itukah yang hendak kita pilih? Pemimpin yang cuma mengedepankan kepentingan dirinya, faksi dalam parpolnya, dan paling luas kepentingan parpolnya. Mari kita jeli memilih, sampai melihat pada rekam jejak yang paling kecil sekalipun. (BN)   

No comments:

Post a Comment