Oleh Sulastomo
Direktur
Operasi PT Askes Indonesia Periode 1986-2000
Seandainya harga obat murah, biaya pelayanan kesehatan di
Indonesia tentu tidak akan semahal sekarang. Ini karena komponen biaya obat
bisa mencapai 45 persen dari total biaya kesehatan. Lalu, mengapa harga obat
mahal? Penyebabnya adalah tidak ada subsidi sebagaimana harga bahan bakar
minyak. Padahal, harga obat bisa lebih murah kalau kita mengetahui seluk-beluk
pasar obat.
Berbagai faktor yang membuat harga obat mahal adalah jumlah dan
jenis obat yang beredar di Indonesia terlalu banyak, baik yang menggunakan nama
generik maupun nama dagang. Jumlahnya sudah ribuan. Padahal, yang diperlukan
untuk dapat memenuhi kebutuhan pengobatan/medik hanya 800-1.000 nama generik
dan dagang.
Terlalu
banyak obat
Selain itu, produsen/pabrikan obat juga terlalu banyak. Tak
jarang, satu nama generik diproduksi oleh beberapa produsen dengan harga yang
sangat berbeda. Meski khasiat sama, harganya bisa berbeda sepuluh kali lipat.
Kalau dokter memberi kita obat yang harganya mahal, sudah tentu harga resep
kita menjadi mahal. Padahal, ada pilihan obat dengan harga yang bisa jauh lebih
murah dengan khasiat yang sama.
Meski demikian, ada hal-hal yang memang membuat harga obat
mahal. Sebagian besar bahan baku obat masih diimpor dan tidak bebas pajak,
seperti beras dan bahan pokok lain. Dengan demikian, harga obat lebih banyak
ditentukan oleh harga bahan baku, kurs mata uang, dan pasar internasional.
Kalau ada gejolak ekonomi yang memengaruhi perekonomian dunia, harga obat bisa
naik. Misalnya kenaikan harga BBM atau krisis di suatu negara yang berdampak
terhadap distribusi obat.
Selain itu, obat juga sudah menjadi komoditas atau industri yang
harus memperhitungkan biaya riset, produksi, dan distribusinya. Obat adalah
juga komoditas yang tak banyak diketahui oleh para konsumen atau pasien. Mereka
ini, selain tak tahu (ignorance) terhadap obat yang harus dibayarnya, dalam
hubungan pasien-dokter, pasien sebagai konsumen hampir selalu berada di pihak
yang lemah. Terserah dokter, mau diberi obat apa.
Sebagian besar pasien meminta obat yang dianggap paling mujarab
meski harganya mahal. Sementara banyak dokter tentu saja ingin memenuhi
keinginan pasien. Urusan obat memang kadang tidak rasional karena yang
dipertaruhkan adalah kesehatan, bahkan jiwanya sendiri. Maka, anggarannya
sering tanpa batas, sampai ”kantongnya” kosong. Faktor psikologis ini yang
dimanfaatkan bagian pemasaran atau detailmen obat yang mendatangi para dokter
untuk menuliskan resep obat yang mereka pasarkan.
Dengan kenyataan seperti itu, yang terjadi justru keadaan yang
berlebihan (overutilization). Obat yang semestinya tidak perlu—bahkan yang
tidak perlu sama sekali pun—diberikan kepada pasien. Inilah yang membuat obat
semakin mahal.
Kendali
harga dan mutu
Dengan memerhatikan kondisi pasar obat, sebagaimana dikemukakan
di atas, sesungguhnya masih ada celah untuk menurunkan harga obat. Kalau jumlah
dan jenis obat yang beredar bisa ditekan sampai pada jumlah yang wajar—dengan
syarat tetap memenuhi kebutuhan pengobatan/medik—harga obat bisa turun dengan
mutu yang tetap terjamin. Sebab, obat yang tercantum dalam daftar obat itu
adalah pilihan para ahli.
Di sinilah perlunya memiliki daftar obat atau formularium obat
yang direkomendasikan untuk ditulis dalam resep sehingga tidak perlu jumlah dan
jenis obat yang terlalu banyak. Kita mengenal daftar obat esensial atau
formularium rumah sakit atau daftar obat yang digunakan perusahaan asuransi.
Dengan jumlah yang terbatas, apalagi kalau bisa bekerja sama
dengan produsen obat, biaya produksi, pengadaan, dan distribusi obat bisa ditekan.
Apalagi kalau dalam daftar obat/formularium itu memiliki harga plafon (harga
tertinggi) untuk satu jenis obat yang harganya sangat bervariasi itu. Semakin
besar pengguna daftar obat, semakin besar pula kemungkinan penurunan harga
obat.
Pengalaman PT Askes Indonesia, dengan jumlah peserta sekitar 16
juta orang, bisa menjadi contoh. Sejak memperkenalkan Daftar dan Plafon Harga
Obat (DPHO) tahun 1987, terjadi penurunan belanja obat secara bermakna. Harga
setiap jenis obat dalam DPHO bisa lebih rendah 30 persen dibandingkan dengan
harga pasar. Semakin besar pengguna DPHO, semakin murah harga obat. Ini karena
bagi produsen/pabrikan obat (pabrik obat), jumlah pengguna DPHO merupakan
captive market yang sangat bermakna tanpa kegiatan pemasaran lagi. Dengan
demikian, biaya produksi dan distribusi bisa turun.
Perlunya
asuransi kesehatan
Maka, seandainya DPHO diberlakukan secara nasional, harga obat
pasti tak akan semahal sekarang. Namun, hal ini baru bisa terwujud kalau
sebagian besar penduduk Indonesia dicakup dalam program asuransi kesehatan,
sebagaimana (antara lain) program Jaminan Kesehatan yang termaktub dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Di
sinilah manfaat setiap program asuransi kesehatan di banyak negara, yang selain
menjamin biaya pemeliharaan kesehatan juga mengendalikan harga dan mutu obat.
Konsumen yang masih fragmented—karena cakupan program asuransi/jaminan
kesehatan masih terbatas—adalah faktor penyebab berikutnya mahalnya harga obat
di Indonesia.
Dengan gambaran seperti di atas, bermimpi harga obat murah
bukanlah suatu kemustahilan. Syaratnya, Indonesia harus sudah mulai
bersungguh-sungguh membangun sistem asuransi kesehatan sehingga sebagian besar
atau seluruh penduduk Indonesia tercakup. Tanpa program asuransi kesehatan,
harga obat tidak hanya mahal, tetapi juga semakin sulit dikendalikan, baik mutu
maupun harganya.
Konsumen pun akan semakin fragmented karena tidak ada
lembaga/badan penyelenggara asuransi kesehatan yang memiliki posisi tawar
memadai untuk mengendalikan harga dan mutu obat. Kampanye obat generik tidak
akan bermakna menurunkan harga obat. Kenyataan menunjukkan, pengguna obat
generik masih sangat terbatas hingga hari ini. (Sumber: Kompas, 21 Februari
2011)
No comments:
Post a Comment