Monday, February 11, 2013

Romantika Kehidupan Keluarga Nelayan dari Desa Salimbatu





Dia belajar dari orang-orang tua karena dia sadar di setiap lembar rambutnya yang memutih itu ada pengalaman berharga untuk dipetik hikmahnya. Dia simak setiap butir fatwa yang mengalir dari bibirnya.
KH Toto Tasmara, dai kondang

SIANG itu, sang mentari demikian terik menyengat kulit. Serasa membakar apa saja yang ada di muka bumi ini. Tak terkecuali kulit-kulit hitam legam serombongan nelayan yang baru saja diantar angin laut merapat ke bibir muara Sungai Kayan yang berada di salah satu sudut Desa Salimbatu.
Salimbatu merupakan sebuah desa yang berada di wilayah pemerintahan  Kecamatan Tanjung Palas Tengah, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur (sekarang masuk wilayah Provinsi Kalimantan Utara). Sebagian besar warga desa itu adalah etnis Tidung –sebuah komunitas masyarakat yang memutar roda kehidupannya penuh kebersajahaan. Guna menyambung perjalanan hidup, mereka cuma mengandalkan dari anugerah hasil alam yang bisa diperoleh dari laut ataupun kebun di bantaran Sungai Kayan. Tidaklah mengherankan bila kehidupan mereka tampak amat sederhana. Bahkan, sampai tahun 2000-an, Desa Salimbatu belum banyak mengalami perubahan, apalagi modernisasi.
Sebagian besar warga masyarakat Tidung masih bekerja sebagai petani dan nelayan tradisional. Kalaupun ada yang bekerja pada beberapa perusahaan swasta atau memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), jumlahnya relatif sangat terbatas.
Kondisi yang demikian sederhana tidak lantas membuat Desa Salimbatu tenggelam dalam percaturan politik lokal dan pemerintahan daerah setempat. Desa Salimbatu memang sarat catatan historis yang cukup menarik. Catatan legenda Desa Salimbatu menyebutkan: Konon nama “Salimbatu” berasal sebuah proses dialog antara seorang wali dan warga asli setempat di suatu masa beberapa ratus tahun silam. Bermula dari kedatangan pertama kali seorang Waliullah dari Kepulauan Suluk (Filipina) ke desa yang ketika itu belum bernama. Saat pertama kali tiba, Waliullah yang belakangan diketahui sebagai Syech Abdudurachman Al-Idrus bertemu seorang penduduk desa lalu menghampirinya sembari mengucapkan salam. Namun penduduk desa itu tidak menyahut salam beliau, boleh jadi memang masih asing dengan ucapan salam. Setelah tiga kali mengucapkan salam, tiba-tiba batu tempat orang tersebut duduk langsung bergetar seolah menyahut salam dari Waliullah tersebut. Sejak saat itu Islam mulai dikenalkan di desa tersebut. Dan, segenap penduduk yang ada di desa itu pun perlahan namun pasti masuk dan menganut agama Islam. Sejak peristiwa itu pula, nama desa tersebut dikenal dengan nama Salimbatu. 
Di awal 1960-an, tinggallah pasangan suami-isteri Hasan dan Nurhani. Sehari-hari Hasan menggeluti jaring ikan di tengah laut lepas, menggumuli dunia nelayan yang akrab dengan alam. Sedangkan Nurhani hanya ibu rumah tangga biasa. Dari rahim Nurhani lahir tujuh orang anak –salah satunya (anak kelima) adalah bayi lelaki yang lahir pada tanggal 27 Februari 1962 yang kemudian diberi nama Undunsyah. Sosok bayi yang di kemudian hari sanggup mengguratkan sebuah sejarah baru komunitas Tidung di pentas politik lokal pemekaran daerah otonomi Kabupaten Bulungan. Sosok yang sukses mencetuskan dan memperjuangkan kelahiran Kabupaten Tana Tidung sekaligus menjadi bupati definitif yang pertama setelah wilayah otonomi ini lepas dari sang induk Kabupaten Bulungan.
Tentu amat menarik bila kita mencermati dan mengikuti perjalanan hidup seorang Undunsyah yang lahir dari keluarga nelayan Desa Salimbatu yang kehidupannya jauh dari kata cukup untuk sekadar menutupi kebutuhan sehari-hari. Dengan alasan itu pula tentu menarik untuk mengikuti perjalanan masa kecil Undunsyah sampai upayanya memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Tana Tidung (KTT).

A. Masa Kecil yang Teramat Pahit dan Sulit
Kisah bermula dari masa Undunsyah kanak-kanak yang akrab disapa Yundun. Namun, lantaran pengaruh dialek keseharian orang-orang Tidung, nama Undun berubah menjadi Yundun. Dia merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara yang lahir dari keluarga nelayan kecil tradisional yang mengalami perjalanan masa kecil yang teramat pahit dan sulit. Ayahnya bernama Hasan dan Nurhani adalah perempuan yang melahirkannya.
Masa kecil Undunsyah sangat jauh berbeda dibandingkan anak-anak kecil kebanyakan di sekitarnya waktu itu. Di kala anak-anak asyik bermain menikmati masa kecil, Undunsyah justru lebih memilih merangkai bubu (alat tangkap udang) yang baru diangkat dari sungai. Dapat dikatakan masa kecil Undunsyah lebih banyak dihabiskan untuk membantu ayahnya. Bersama kakak-kakaknya, dia harus melewati masa-masa kepahitan kerja keras guna menucukupi kebutuhan sehar-hari sekeluarga. Kesempatan untuk menikmati bangku sekolah nyaris tidak dirasakan oleh Undunsyah. Bersekolah hanya sekadarnya.
Manakala tidak melaut, Undunsyah tetap tidak bisa beristirahat. Dia sibuk dengan pancingnya. Sepanjang hari Undunsyah berdiam di bawah pohon perengat  yang banyak tumbuh di sepanjang aliran Sungai Kayan. Dengan tekun kesabaran dia menunggui pancingnya sampai disambar ikan Patin yang cukup banyak berkeliaran di perairan sungai kebanggaan warga Bulungan tersebut.
Saat sore menjelang, masih ada pekerjaan yang mesti dituntaskan, yaitu mengambil air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah. Dengan ember yang hampir seukuran badannya, dia harus bolak-balik dari rumah ke sungai yang jaraknya memang tidak seberapa jauh.
Bagi warga Desa Salimbatu, sungai tidak saja sebagai satu-satunya jalur transportasi. Tapi, sungai juga menjadi sumber buat memenuhi kebutuhan air bersih. “Sungguh sangat menyedihkan, bila mengenang masa-masa itu. Namun apa mau dikata, itulah masa kecil kami dan seluruh anak-anak Desa Salimbatu,” ujar Undunsyah menerawang mengenang ke masa silam yang terasa getir.
Mengambil air dengan wadah ember adalah rutinitas Undunsyah saban sore. Tidaklah mengherankan manakala usai santap malam, keletihan langsung mendera sekujur tubuhnya. Matanya pun memerah lantaran rasa kantuk yang teramat berat. Bahkan, saat kantuk sudah tak tertahankan, Undusnyah langsung tergolek lelap di ruang dapur.
Rumah yang ditempati pasutri Hasan-Nurhani memang tidak seberapa luas. Tidak ada sekat antara ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Apalagi tempat khusus buat belajar dan rak buku. Akibatnya, buku-buku tulis milik Undunsyah tak pernah tersimpan di tempat yang layak. Bahkan, tidak jarang terbawa dan tercecer sampai dapur.
Di waktu belajar, Undunsyah tidak pernah merasakan kenyamanan meja belajar. Pojok rumah tepat di bawah lampu minyak yang menempel di dinding menjadi tempat ‘keramat’ Undunsyah manakala masa ujian tiba. Di sana Undunsyah membaca ulang materi pelajaran kendati cuma alakadarnya. Tidaklah mengherankan bila prestasi Undunsyah termasuk kelompok rata-rata saja.
Bersyukur, waktu itu prestasi bukan hal yang terlampau menarik bagi para pelajar. Bahkan orang tua Undunsyah pun tidak pernah mempertanyakan ihwal perkembangan sekolah pada dirinya. Mereka lebih sibuk mengurus perahu dan menangkap ikan buat memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. “Kami tidak pernah bicara soal rangking atau juara kelas. Bisa baca tulis saja sudah luar biasa,” ujar Undunsyah.
Lebih lanjut Undunsyah berkisah, “Di kalangan keluarga, kami tidak dididik secara akademis. Cukup bisa baca tulis bahasa Melayu dan Al Quran. Komunikasi keluarga dengan keluarga lain menggunakan bahasa Arab Melayu. Tapi, kakak saya rata-rata sudah punya pendidikan, mulai yang nomor dua itu sudah berpendidikan SD dan SMP. Ya, rata-rata semua lulusan SD. Kakak-kakak saya bisa lulus SMP karena pendidikan kami utamakan. Keluarga menerapkan prinsip pendidikan harus bisa mengaji dan membaca Al Quran.”
Walau masa kecilnya terasa sukar dan getir, Undunsyah tetap menjalaninya penuh kegembiraan. Bersama ayah dan kakak-kakaknya, dia selalu menghabiskan hari-harinya di laut. Termasuk terlelap di atas perahu.
 Sayang, romansa kegembiraan bersama sang ayah hanya berlangsung sebentar. Di kala Undunsyah menginjak usia tujuh tahun, sang ayah meninggal dunia. Tiada lagi orang yang mengajarkannya melaut dan membimbing merangkai bubu.
Sepeninggal sang ayah, kehidupan keluarga Undunsyah terasa semakin sulit. Dia cuma bisa bergantung dari hasil kakak-kakaknya melaut. Sang ibu, Nurhani, yang semakin renta hanya pasrah melihat kehidupan anak-anaknya yang telah yatim. Masa-masa sulit itu dilalui Undunsyah sampai menginjak masa remaja. Sampai kemudian dia diasuh oleh nenek H. Filak di Tarakan.

B. Pindah ke Rumah Nenek
Mendung duka yang menyaput keluarga Nurhani memantik rasa iba salah seorang kerabatnya. Terlebih lagi melihat kondisi Undunsyah. Laiknya anak kecil yang suka merengek-rengek di pangkuan sang ayah, mulai usia tujuh tahun, Undunsyah harus belajar mengurus diri sendiri dalam kondisi yang serba kekurangan.
Kemudian, sang kerabat yang tiada lain adalah neneknya itu pun meminta izin kepada Nurhani untuk memboyong Undunsyah ke Tarakan. Setelah memperoleh persetujuan dari Nurhani, sang nenek yang bernama H. Filak lalu membawa Undunsyah ke tempat tinggalnya di Kota Tarakan.
Fase baru perjalanan hidup Undunsyah dimulai. Dia mesti berpisah dari ibu, kakak-kakak dan adik-adiknya. Pindah ke Tarakan sebetulnya bukan pilihan yang terbaik bagi Undunsyah waktu itu. Namun, demi meringankan beban dan orang tua dan mencoba hidup lebih mandiri, dia tak lagi menawar keinginan sang nenek yang berkehendak memboyongnya ke Tarakan.
Waktu itu, perjalanan dari Desa Salimbatu ke Tarakan memakan waktu relatif lama. Untuk tiba di Tarakan, Undunsyah harus menempuh perjalanan laut dengan perahu kecil. “Kalau lagi musim gelombang tinggi, untuk sampai di Tarakan membutuhkan waktu sehari penuh,” terang Undunsyah.
Saat itu sarana transportasi laut masih sangat tradisional dan sederhana. Untuk berangkat dari Bulungan ke pulau-pulau lain di sekitarnya, warga masyarakat cuma mengandalkan Padaw (perahu kecil khas milik masyarakat Tidung).
Di Tarakan, nenek Undunsyah dikenal sebagai dukun bayi atau dukun yang menolong persalinan bayi. “Waktu itu di Tarakan memang belum ada bidan desa. Sebab itu, nenek saya sangat dikenal karena ia banyak membantu orang dalam persalinan,” kata Undunsyah mengenang.
Pada ketika itu, kondisi Tarakan relatif lebih maju dibandingkan daerah-daerah lain di Kalimantan Timur bagian utara. Di Tarakan, beberapa fasilitas pendidikan bahkan sudah tersedia. Bersyukur, sejak dalam pengasuhan sang nenek, waktu Undunsyah untuk bersekolah lebih luang. Kendati kegiatan seperti mencucui piring dan membantu pekerjaan domestik rumah tangga tetap harus dijalaninya.
Kehidupan nenek yang mengasuhnya banyak memberikan pelajaran pada diri Undunsyah. Walau usianya telah melewati paruh baya, sang nenek masih memiliki semangat hidup yang tinggi. Ia membantu orang-orang yang akan melahirkan tanpa mengenal kata lelah. Tak peduli siang ataupun malam. Meski imbalan yang diterima seadanya, semua dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk buat membiayai sekolah Undunsyah.
Kerasnya batu kehidupan dalam bingkai serba kekurangan yang diperlihatkan sang nenek, menjadi motivasi tersendiri bagi Undansyah. “Nenek saya memang sangat ulet. Itu yang tidak dapat saya lupakan. Dari situlah saya pandai bagaimana menghadapi hidup ini,” kenang Undunsyah tentang sosok sang nenek.
Di Tarakan, pola hidup Undunsyah tak banyak berubah. Namun, minimal dia mampu merasakan sekolah yang lebih layak dibandingkan sat masih di Desa Salimbatu. “Beliau sangat paham akan masa depan. Sebab itu, dengan uang pas-pasan beliau tetap memaksa saya agar masuk sekolah. Waktu pindah dari Salimbatu, saya diterima di kelas tiga SD Karang Balik,” jelas Undunsyah.
Tekad dan spirit bersekolah yang diembuskan sang nenek terus melekat dalam sanubari Undunsyah. Kebiasaan sebagai nelayan kecil di kampung halamannya kini berangsur berubah menjadi anak sekolahan. Buat ikut meringankan beban sang nenek dalam membiayai sekolah, Undunsyah tak berpangku tangan dan bermalas-malasan. Dia senantiasa membantu orang dari rumah ke rumah guna sekadar untuk mencari tambahan biaya sekolah. Dia merasa bahagia hidup bersama sang nenek, kendati mesti banting tulang agar tetap dapat hidup layak dan lancar sekolah.

C. Masa Sekolah
Seiring dengan kehangatan mentari dan kesegaran udara pagi, Undunsyah biasa memulai hari-harinya bersekolah. Benar, sekolah menjadi sebuah rutinitas yang tiada terlewatkan Undunsyah saban hari. SD Karang Balik (berlokasi di depan Bank Kaltim Cabang Tarakan saat ini) tempat Undunsyah belajar jaraknya cukup jauh dari rumah sang nenek. Namun hal itu tidak menyurutkan niatnya terus menimba ilmu. Dengan berjalan kaki disambanginya sekolah yang relatif jauh tersebut. Memang waktu itu, angkutan umum di Tarakan masih sangat jarang. Kalau pun ada, Undunsyah jelas tidak punya cukup duit untuk membayar ongkosnya.
Begitu pula ketika pulang sekolah. Undunsyah harus kembali berjalan kaki bersama teman-temannya. Saat tiba di rumah, dia tidak dapat langsung beristirahat. Ada saja pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Mencuci, memasak dan membersihkan rumah menjadi tugas tambahan yang sudah rutin dikerjaan satiap hari. “Masih sama dengan di Salimbatu, di Tarakan juga tidak ada waktu khusus buat belajar,” ucap Undunsyah mengenang masa-masa bersama nenek di Tarakan.
Bersyukur, tatkala Undunsyah pindah ke Tarakan pada tahun 1971 bertepatan dengan pertengahan tahun ajaran. Sebab itu, tidak berapa lama duduk di bangku kelas tiga SD Negeri Karang Balik, saat tiba kenaikan kelas, Undunsyah juga ikut naik ke kelas empat.
“Waktu itu bukannya senang karena naik ke kelas empat. Tapi saya justru takut. Saya ini kan anak dari kampung, jelas pelajarannya jauh ketinggalan dibandingkan dengan anak-anak di Tarakan. Jangankan mengikuti pelajaran kelas empat, pelajaran kelas tiga saja seandainya diujikan, belum tentu saya bisa lolos,” kisah Undunsyah sembari tertawa.
Itulah yang namanya tantangan. Tidak mungkin Undunsyah minta untuk tinggal kelas. Akhirnya dia tetap berusaha setidaknya dapat mengikuti pelajaran kelas empat. “Kalaupun nanti tinggal kelas, apa boleh buat. Saya memang tidak pintar kok,” ucap Undunsyah.
Tekadnya yang membaja untuk terus giat belajar di bangku kelas empat SD membuat prestasi Undunsyah lumayan mengkilap. Dan, tepat pada tahun ajaran 1975-1976 Undunsyah berhasil menamatkan pendidikannya di SDN Karang Balik.
Pada tahun yang sama, Undunsyah diterima pula sebagai siswa baru di SMP Negeri Tarakan. Waktu itu SMP Negeri 1 merupakan sekolah terbaik dan banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin Tarakan, khususnya di era tahun 2000-an. Sebut saja Wali Kota Tarakan dr. H. Jusuf Serang Kasim yang juga lulusan sekolah ini. Namun ia lebih dulu menginjakkan kakinya di sekolah ini dibandingkan Undunsyah.
Di gedung sekolah berasitektur Belanda itu, Undunsyah tidak lama mengenyam pendidikan. Karena alasan jarak yang relatif jauh dari tempat tinggalnya, Undunsyah kemudian berpindah sekolah ke SMP Filial yang belakangan berganti nama menjadi SMP Negeri 2 di daerah Karang Balik.
Di sekolahnya yang baru ini, Undunsyah tidak masuk dalam daftar anak cerdas. Namun lagi-lagi kondisi telah menolong Undunsyah untuk dapat menamatkan bangku SMP. Dia berhasil lulus SMP berkat adanya perubahan sistem pendidikan secara nasional saat itu yang membuat seluruh sekolah meluluskan siswa kelas tiga yang mengikuti ujian. Undunsyah tercatat sebagai alumni SMP Negeri 2 tahun ajaran 1978-1979.
“Saya masih ingat waktu itu terjadi perubahan sistem pendidikan yang membuat tahun pembelajaran tidak dimulai dari awal tahun. Tetapi dimulai pada pertengahan tahun sekitar bulan Juli,” jelas Undunsyah.

D. Menjadi Yatim-Piatu Lalu Jualan Es Lilin
Dalam pengasuhan sang nenek, Undunsyah tetap harus bekerja keras demi mempertahankan hidup. Sang nenek pun terus bekerja keras membantu ibu-ibu melahirkan agar Undunsyah tetap bisa bersekolah.
Kerja keras cucu dan nenek itu pun berbuah. Undunsyah berhasil menuntaskan pendidikan di SMP Filial (SMP Negeri 2 Tarakan) pada tahun ajaran 1978-1979, walau dengan nilai pas-pasan.
Untung tak mudah diraih malang tak dapat ditolak. Menjelang kelulusan SMP, tepatnya saat hendak menempuh ujian SMP, musibah datang menggoncang kehidupan Undunsyah. Nurhani, perempuan yang telah melahirkannya, berpulang ke Rahmatullah.   
Kendati rasa sedih terus menggelayuti hari-hari Undunsyah di saat dia mesti menjawab soal-soal ujian akhir SMP, dia mengaku memperoleh pelajaran yang sangat berharga di detik-detik terakhir bersama sang ibu.
“Saya ingat betul waktu itu ibu sambil menangis menitip pesan di telinga saya. Kata-katanya kurang lebih begini, ‘... Ndun, tidak ada harta yang ibu dan bapakmu tinggalkan . Tapi kalau kamu mau hidup yang lebih enak, kamu harus sekolah tinggi dan punya ilmu’,” ujar Undunsyah penuh keharuan.
Pesan terakhir dari ibunya itulah yang ‘mencambuk’ Undunsyah untuk maju. “Memang benar tidak ada harta yang ditinggalkan orang tua kami. Yang ada hanya bekal pengalaman mengarungi laut mencari ikan, menyisir pinggir sungai untuk memasang pancing dan bubu,” tutur Undunsyah.
Selain itu masih ada pesan lain dari almarhumah ibunya yang sampai sekarang senantiasa terngiang di benak Undunsyah. “Pesan almarhumah begini, ‘Kamu tidak boleh jahat kepada orang meskipun kamu dijahati orang’. Istilah ibu saya waktu itu, kalau kamu diberi sebiji lombok maka balaslah dengan segenggam gula,” Undunsyah mengenang masa-masa terakhir bersama ibunya.
Undunsyah boleh dikatakan sosok pekerja keras, ulet dan tabah. Terlebih lagi, sepeninggal kedua orang-tuanya. Kedua kakinya semakin tegar berdiri. Semangatnya untuk hidup lebih mandiri kian menggelora di saat usianya yang beranjak dewasa. Pola pikirnya pun bertambah matang.
Ketika baru tiba di Tarakan, upaya Undunsyah mencari duit untuk biaya sekolah adalah dengan membantu keluarga dekatnya dari rumah ke rumah. Nah, selepas SMP, Undunsyah mengubah strategi. Dia memanfaatkan waktu liburan untuk berjualan es lilin.
Padahal, sewaktu dia telah menyelesaikan pendidikan SMP, tawaran kerja sebagai calon pegawai negeri sipil dapat diperolehnya. Maklum saja, di era tahun 1970-an itu siswa-siswa lulusan SMP memang sudah dapat bekerja sebagai pegawai negeri. Namun Undunsyah tidak kepincut pada dunia kerja.
Selepas SMP, tekad dan debut Undunsyah menimba ilmu semakin kuat melekat. Padahal saat itu, banyak teman Undunsyah yang lebih memilih memasuki dunia kerja. Ada pula yang menjatuhkan pilihannya menjadi nelayan. Tapi, bagi Undunsyah, lambaian laut tidak lagi menarik kendati dalam tubuhnya mengalir darah nelayan.
Menyadari betapa pentingnya pendidikan dan biaya sekolah, selama sekitar setahun, Undunsyah melanjutkan berjualan es lilin. Dagangannya ditambah dengan jagung tembak. Selain itu, bilamana ada kerabat atau anggota keluarga yang pulang dari negeri seberang (Malaysia), terkadang dia ikut membantu menjualkan barang-barang dagangan asal Malaysia.
Memang sejak dulu, daerah di sekitar Tarakan sudah memiliki hubungan dagang dengan Malaysia walau dilakukan secara tradisional. Barang pecah belah, makanan ringan dan makanan instan telah diperdagangkan kedua negara bertetangga ini.
Dalam polesan sang nenek, Undunsyah mampu tampil sebagai remaja yang memiliki tekad dan spirit untuk terus belajar sembari bekerja. Melalui pelajaran-pelajaran yang secara langsung ditunjukkan dalam perilaku keseharian, Undunsyah menjadi beda dibandingkan anak-anak sebayanya, yang sebagian besar lebih memilih dunia kerja daripada melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Undunsyah betul-betul belajar dari sang nenek yang rambutnya kian memutih, karena dia menyadari benar bahwa di setiap helai rambut yang memutih itu tersirat pengalaman penuh hikmah. ***    
      

No comments:

Post a Comment