Dia belajar
dari orang-orang tua karena dia sadar di setiap lembar rambutnya yang memutih
itu ada pengalaman berharga untuk dipetik hikmahnya. Dia simak setiap butir
fatwa yang mengalir dari bibirnya.
KH Toto Tasmara, dai kondang
SIANG itu, sang mentari demikian
terik menyengat kulit. Serasa membakar apa saja yang ada di muka bumi ini. Tak
terkecuali kulit-kulit hitam legam serombongan nelayan yang baru saja diantar
angin laut merapat ke bibir muara Sungai Kayan yang berada di salah satu sudut Desa
Salimbatu.
Salimbatu merupakan sebuah desa
yang berada di wilayah pemerintahan Kecamatan Tanjung Palas Tengah, Kabupaten
Bulungan, Kalimantan Timur (sekarang masuk wilayah Provinsi Kalimantan Utara).
Sebagian besar warga desa itu adalah etnis Tidung –sebuah komunitas masyarakat
yang memutar roda kehidupannya penuh kebersajahaan. Guna menyambung perjalanan
hidup, mereka cuma mengandalkan dari anugerah hasil alam yang bisa diperoleh
dari laut ataupun kebun di bantaran Sungai Kayan. Tidaklah mengherankan bila
kehidupan mereka tampak amat sederhana. Bahkan, sampai tahun 2000-an, Desa
Salimbatu belum banyak mengalami perubahan, apalagi modernisasi.
Sebagian besar warga masyarakat
Tidung masih bekerja sebagai petani dan nelayan tradisional. Kalaupun ada yang
bekerja pada beberapa perusahaan swasta atau memilih menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS), jumlahnya relatif sangat terbatas.
Kondisi yang demikian sederhana
tidak lantas membuat Desa Salimbatu tenggelam dalam percaturan politik lokal
dan pemerintahan daerah setempat. Desa Salimbatu memang sarat catatan historis
yang cukup menarik. Catatan legenda Desa Salimbatu menyebutkan: Konon nama
“Salimbatu” berasal sebuah proses dialog antara seorang wali dan warga asli
setempat di suatu masa beberapa ratus tahun silam. Bermula dari kedatangan
pertama kali seorang Waliullah dari Kepulauan Suluk (Filipina) ke desa yang
ketika itu belum bernama. Saat pertama kali tiba, Waliullah yang belakangan
diketahui sebagai Syech Abdudurachman Al-Idrus bertemu seorang penduduk desa
lalu menghampirinya sembari mengucapkan salam. Namun penduduk desa itu tidak
menyahut salam beliau, boleh jadi memang masih asing dengan ucapan salam. Setelah
tiga kali mengucapkan salam, tiba-tiba batu tempat orang tersebut duduk
langsung bergetar seolah menyahut salam dari Waliullah tersebut. Sejak saat itu
Islam mulai dikenalkan di desa tersebut. Dan, segenap penduduk yang ada di desa
itu pun perlahan namun pasti masuk dan menganut agama Islam. Sejak peristiwa
itu pula, nama desa tersebut dikenal dengan nama Salimbatu.
Di awal 1960-an, tinggallah
pasangan suami-isteri Hasan dan Nurhani. Sehari-hari Hasan menggeluti jaring
ikan di tengah laut lepas, menggumuli dunia nelayan yang akrab dengan alam.
Sedangkan Nurhani hanya ibu rumah tangga biasa. Dari rahim Nurhani lahir tujuh
orang anak –salah satunya (anak kelima) adalah bayi lelaki yang lahir pada
tanggal 27 Februari 1962 yang kemudian diberi nama Undunsyah. Sosok bayi yang
di kemudian hari sanggup mengguratkan sebuah sejarah baru komunitas Tidung di
pentas politik lokal pemekaran daerah otonomi Kabupaten Bulungan. Sosok yang
sukses mencetuskan dan memperjuangkan kelahiran Kabupaten Tana Tidung sekaligus
menjadi bupati definitif yang pertama setelah wilayah otonomi ini lepas dari sang
induk Kabupaten Bulungan.
Tentu amat menarik bila kita
mencermati dan mengikuti perjalanan hidup seorang Undunsyah yang lahir dari
keluarga nelayan Desa Salimbatu yang kehidupannya jauh dari kata cukup untuk
sekadar menutupi kebutuhan sehari-hari. Dengan alasan itu pula tentu menarik
untuk mengikuti perjalanan masa kecil Undunsyah sampai upayanya memperjuangkan
terbentuknya Kabupaten Tana Tidung (KTT).
A. Masa Kecil yang Teramat Pahit dan Sulit
Kisah bermula dari masa Undunsyah
kanak-kanak yang akrab disapa Yundun. Namun, lantaran pengaruh dialek keseharian
orang-orang Tidung, nama Undun berubah menjadi Yundun. Dia merupakan anak
kelima dari tujuh bersaudara yang lahir dari keluarga nelayan kecil tradisional
yang mengalami perjalanan masa kecil yang teramat pahit dan sulit. Ayahnya
bernama Hasan dan Nurhani adalah perempuan yang melahirkannya.
Masa kecil Undunsyah sangat jauh
berbeda dibandingkan anak-anak kecil kebanyakan di sekitarnya waktu itu. Di
kala anak-anak asyik bermain menikmati masa kecil, Undunsyah justru lebih
memilih merangkai bubu (alat tangkap udang) yang baru diangkat dari sungai.
Dapat dikatakan masa kecil Undunsyah lebih banyak dihabiskan untuk membantu
ayahnya. Bersama kakak-kakaknya, dia harus melewati masa-masa kepahitan kerja
keras guna menucukupi kebutuhan sehar-hari sekeluarga. Kesempatan untuk
menikmati bangku sekolah nyaris tidak dirasakan oleh Undunsyah. Bersekolah
hanya sekadarnya.
Manakala tidak melaut, Undunsyah
tetap tidak bisa beristirahat. Dia sibuk dengan pancingnya. Sepanjang hari
Undunsyah berdiam di bawah pohon perengat
yang banyak tumbuh di sepanjang
aliran Sungai Kayan. Dengan tekun kesabaran dia menunggui pancingnya sampai
disambar ikan Patin yang cukup banyak berkeliaran di perairan sungai kebanggaan
warga Bulungan tersebut.
Saat sore menjelang, masih ada
pekerjaan yang mesti dituntaskan, yaitu mengambil air untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari di rumah. Dengan ember yang hampir seukuran badannya, dia harus
bolak-balik dari rumah ke sungai yang jaraknya memang tidak seberapa jauh.
Bagi warga Desa Salimbatu, sungai
tidak saja sebagai satu-satunya jalur transportasi. Tapi, sungai juga menjadi
sumber buat memenuhi kebutuhan air bersih. “Sungguh sangat menyedihkan, bila
mengenang masa-masa itu. Namun apa mau dikata, itulah masa kecil kami dan
seluruh anak-anak Desa Salimbatu,” ujar Undunsyah menerawang mengenang ke masa
silam yang terasa getir.
Mengambil air dengan wadah ember
adalah rutinitas Undunsyah saban sore. Tidaklah mengherankan manakala usai
santap malam, keletihan langsung mendera sekujur tubuhnya. Matanya pun memerah
lantaran rasa kantuk yang teramat berat. Bahkan, saat kantuk sudah tak
tertahankan, Undusnyah langsung tergolek lelap di ruang dapur.
Rumah yang ditempati pasutri
Hasan-Nurhani memang tidak seberapa luas. Tidak ada sekat antara ruang tamu,
kamar tidur dan dapur. Apalagi tempat khusus buat belajar dan rak buku.
Akibatnya, buku-buku tulis milik Undunsyah tak pernah tersimpan di tempat yang
layak. Bahkan, tidak jarang terbawa dan tercecer sampai dapur.
Di waktu belajar, Undunsyah tidak
pernah merasakan kenyamanan meja belajar. Pojok rumah tepat di bawah lampu
minyak yang menempel di dinding menjadi tempat ‘keramat’ Undunsyah manakala
masa ujian tiba. Di sana Undunsyah membaca ulang materi pelajaran kendati cuma
alakadarnya. Tidaklah mengherankan bila prestasi Undunsyah termasuk kelompok rata-rata
saja.
Bersyukur, waktu itu prestasi bukan
hal yang terlampau menarik bagi para pelajar. Bahkan orang tua Undunsyah pun
tidak pernah mempertanyakan ihwal perkembangan sekolah pada dirinya. Mereka
lebih sibuk mengurus perahu dan menangkap ikan buat memenuhi kebutuhan keluarga
sehari-hari. “Kami tidak pernah bicara soal rangking atau juara kelas. Bisa
baca tulis saja sudah luar biasa,” ujar Undunsyah.
Lebih lanjut Undunsyah berkisah, “Di
kalangan keluarga, kami tidak dididik secara akademis. Cukup bisa baca tulis
bahasa Melayu dan Al Quran. Komunikasi keluarga dengan keluarga lain
menggunakan bahasa Arab Melayu. Tapi, kakak saya rata-rata sudah punya
pendidikan, mulai yang nomor dua itu sudah berpendidikan SD dan SMP. Ya,
rata-rata semua lulusan SD. Kakak-kakak saya bisa lulus SMP karena pendidikan
kami utamakan. Keluarga menerapkan prinsip pendidikan harus bisa mengaji dan membaca
Al Quran.”
Walau masa kecilnya terasa sukar
dan getir, Undunsyah tetap menjalaninya penuh kegembiraan. Bersama ayah dan
kakak-kakaknya, dia selalu menghabiskan hari-harinya di laut. Termasuk terlelap
di atas perahu.
Sayang, romansa kegembiraan bersama sang ayah
hanya berlangsung sebentar. Di kala Undunsyah menginjak usia tujuh tahun, sang
ayah meninggal dunia. Tiada lagi orang yang mengajarkannya melaut dan membimbing
merangkai bubu.
Sepeninggal sang ayah, kehidupan
keluarga Undunsyah terasa semakin sulit. Dia cuma bisa bergantung dari hasil
kakak-kakaknya melaut. Sang ibu, Nurhani, yang semakin renta hanya pasrah
melihat kehidupan anak-anaknya yang telah yatim. Masa-masa sulit itu dilalui
Undunsyah sampai menginjak masa remaja. Sampai kemudian dia diasuh oleh nenek
H. Filak di Tarakan.
B. Pindah ke Rumah Nenek
Mendung duka yang menyaput keluarga
Nurhani memantik rasa iba salah seorang kerabatnya. Terlebih lagi melihat
kondisi Undunsyah. Laiknya anak kecil yang suka merengek-rengek di pangkuan
sang ayah, mulai usia tujuh tahun, Undunsyah harus belajar mengurus diri
sendiri dalam kondisi yang serba kekurangan.
Kemudian, sang kerabat yang tiada
lain adalah neneknya itu pun meminta izin kepada Nurhani untuk memboyong
Undunsyah ke Tarakan. Setelah memperoleh persetujuan dari Nurhani, sang nenek
yang bernama H. Filak lalu membawa Undunsyah ke tempat tinggalnya di Kota Tarakan.
Fase baru perjalanan hidup
Undunsyah dimulai. Dia mesti berpisah dari ibu, kakak-kakak dan adik-adiknya.
Pindah ke Tarakan sebetulnya bukan pilihan yang terbaik bagi Undunsyah waktu
itu. Namun, demi meringankan beban dan orang tua dan mencoba hidup lebih
mandiri, dia tak lagi menawar keinginan sang nenek yang berkehendak memboyongnya
ke Tarakan.
Waktu itu, perjalanan dari Desa
Salimbatu ke Tarakan memakan waktu relatif lama. Untuk tiba di Tarakan, Undunsyah
harus menempuh perjalanan laut dengan perahu kecil. “Kalau lagi musim gelombang
tinggi, untuk sampai di Tarakan membutuhkan waktu sehari penuh,” terang
Undunsyah.
Saat itu sarana transportasi laut masih
sangat tradisional dan sederhana. Untuk berangkat dari Bulungan ke pulau-pulau
lain di sekitarnya, warga masyarakat cuma mengandalkan Padaw (perahu kecil khas milik masyarakat Tidung).
Di Tarakan, nenek Undunsyah dikenal
sebagai dukun bayi atau dukun yang menolong persalinan bayi. “Waktu itu di
Tarakan memang belum ada bidan desa. Sebab itu, nenek saya sangat dikenal
karena ia banyak membantu orang dalam persalinan,” kata Undunsyah mengenang.
Pada ketika itu, kondisi Tarakan relatif
lebih maju dibandingkan daerah-daerah lain di Kalimantan Timur bagian utara. Di
Tarakan, beberapa fasilitas pendidikan bahkan sudah tersedia. Bersyukur, sejak
dalam pengasuhan sang nenek, waktu Undunsyah untuk bersekolah lebih luang.
Kendati kegiatan seperti mencucui piring dan membantu pekerjaan domestik rumah
tangga tetap harus dijalaninya.
Kehidupan nenek yang mengasuhnya
banyak memberikan pelajaran pada diri Undunsyah. Walau usianya telah melewati
paruh baya, sang nenek masih memiliki semangat hidup yang tinggi. Ia membantu orang-orang
yang akan melahirkan tanpa mengenal kata lelah. Tak peduli siang ataupun malam.
Meski imbalan yang diterima seadanya, semua dilakukan guna memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, termasuk buat membiayai sekolah Undunsyah.
Kerasnya batu kehidupan dalam
bingkai serba kekurangan yang diperlihatkan sang nenek, menjadi motivasi
tersendiri bagi Undansyah. “Nenek saya memang sangat ulet. Itu yang tidak dapat
saya lupakan. Dari situlah saya pandai bagaimana menghadapi hidup ini,” kenang
Undunsyah tentang sosok sang nenek.
Di Tarakan, pola hidup Undunsyah
tak banyak berubah. Namun, minimal dia mampu merasakan sekolah yang lebih layak
dibandingkan sat masih di Desa Salimbatu. “Beliau sangat paham akan masa depan.
Sebab itu, dengan uang pas-pasan beliau tetap memaksa saya agar masuk sekolah.
Waktu pindah dari Salimbatu, saya diterima di kelas tiga SD Karang Balik,”
jelas Undunsyah.
Tekad dan spirit bersekolah yang
diembuskan sang nenek terus melekat dalam sanubari Undunsyah. Kebiasaan sebagai
nelayan kecil di kampung halamannya kini berangsur berubah menjadi anak
sekolahan. Buat ikut meringankan beban sang nenek dalam membiayai sekolah,
Undunsyah tak berpangku tangan dan bermalas-malasan. Dia senantiasa membantu
orang dari rumah ke rumah guna sekadar untuk mencari tambahan biaya sekolah. Dia
merasa bahagia hidup bersama sang nenek, kendati mesti banting tulang agar
tetap dapat hidup layak dan lancar sekolah.
C. Masa Sekolah
Seiring dengan kehangatan mentari
dan kesegaran udara pagi, Undunsyah biasa memulai hari-harinya bersekolah.
Benar, sekolah menjadi sebuah rutinitas yang tiada terlewatkan Undunsyah saban
hari. SD Karang Balik (berlokasi di depan Bank Kaltim Cabang Tarakan saat ini)
tempat Undunsyah belajar jaraknya cukup jauh dari rumah sang nenek. Namun hal
itu tidak menyurutkan niatnya terus menimba ilmu. Dengan berjalan kaki disambanginya
sekolah yang relatif jauh tersebut. Memang waktu itu, angkutan umum di Tarakan
masih sangat jarang. Kalau pun ada, Undunsyah jelas tidak punya cukup duit untuk
membayar ongkosnya.
Begitu pula ketika pulang sekolah.
Undunsyah harus kembali berjalan kaki bersama teman-temannya. Saat tiba di
rumah, dia tidak dapat langsung beristirahat. Ada saja pekerjaan rumah yang
mesti diselesaikan. Mencuci, memasak dan membersihkan rumah menjadi tugas
tambahan yang sudah rutin dikerjaan satiap hari. “Masih sama dengan di
Salimbatu, di Tarakan juga tidak ada waktu khusus buat belajar,” ucap Undunsyah
mengenang masa-masa bersama nenek di Tarakan.
Bersyukur, tatkala Undunsyah pindah
ke Tarakan pada tahun 1971 bertepatan dengan pertengahan tahun ajaran. Sebab
itu, tidak berapa lama duduk di bangku kelas tiga SD Negeri Karang Balik, saat
tiba kenaikan kelas, Undunsyah juga ikut naik ke kelas empat.
“Waktu itu bukannya senang karena
naik ke kelas empat. Tapi saya justru takut. Saya ini kan anak dari kampung,
jelas pelajarannya jauh ketinggalan dibandingkan dengan anak-anak di Tarakan.
Jangankan mengikuti pelajaran kelas empat, pelajaran kelas tiga saja seandainya
diujikan, belum tentu saya bisa lolos,” kisah Undunsyah sembari tertawa.
Itulah yang namanya tantangan.
Tidak mungkin Undunsyah minta untuk tinggal kelas. Akhirnya dia tetap berusaha
setidaknya dapat mengikuti pelajaran kelas empat. “Kalaupun nanti tinggal
kelas, apa boleh buat. Saya memang tidak pintar kok,” ucap Undunsyah.
Tekadnya yang membaja untuk terus
giat belajar di bangku kelas empat SD membuat prestasi Undunsyah lumayan
mengkilap. Dan, tepat pada tahun ajaran 1975-1976 Undunsyah berhasil menamatkan
pendidikannya di SDN Karang Balik.
Pada tahun yang sama, Undunsyah
diterima pula sebagai siswa baru di SMP Negeri Tarakan. Waktu itu SMP Negeri 1
merupakan sekolah terbaik dan banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin Tarakan,
khususnya di era tahun 2000-an. Sebut saja Wali Kota Tarakan dr. H. Jusuf
Serang Kasim yang juga lulusan sekolah ini. Namun ia lebih dulu menginjakkan
kakinya di sekolah ini dibandingkan Undunsyah.
Di gedung sekolah berasitektur Belanda
itu, Undunsyah tidak lama mengenyam pendidikan. Karena alasan jarak yang
relatif jauh dari tempat tinggalnya, Undunsyah kemudian berpindah sekolah ke
SMP Filial yang belakangan berganti nama menjadi SMP Negeri 2 di daerah Karang
Balik.
Di sekolahnya yang baru ini,
Undunsyah tidak masuk dalam daftar anak cerdas. Namun lagi-lagi kondisi telah menolong
Undunsyah untuk dapat menamatkan bangku SMP. Dia berhasil lulus SMP berkat
adanya perubahan sistem pendidikan secara nasional saat itu yang membuat
seluruh sekolah meluluskan siswa kelas tiga yang mengikuti ujian. Undunsyah
tercatat sebagai alumni SMP Negeri 2 tahun ajaran 1978-1979.
“Saya masih ingat waktu itu terjadi
perubahan sistem pendidikan yang membuat tahun pembelajaran tidak dimulai dari
awal tahun. Tetapi dimulai pada pertengahan tahun sekitar bulan Juli,” jelas
Undunsyah.
D. Menjadi Yatim-Piatu Lalu Jualan Es Lilin
Dalam pengasuhan sang nenek,
Undunsyah tetap harus bekerja keras demi mempertahankan hidup. Sang nenek pun
terus bekerja keras membantu ibu-ibu melahirkan agar Undunsyah tetap bisa
bersekolah.
Kerja keras cucu dan nenek itu pun
berbuah. Undunsyah berhasil menuntaskan pendidikan di SMP Filial (SMP Negeri 2
Tarakan) pada tahun ajaran 1978-1979, walau dengan nilai pas-pasan.
Untung tak mudah diraih malang tak
dapat ditolak. Menjelang kelulusan SMP, tepatnya saat hendak menempuh ujian
SMP, musibah datang menggoncang kehidupan Undunsyah. Nurhani, perempuan yang
telah melahirkannya, berpulang ke Rahmatullah.
Kendati rasa sedih terus
menggelayuti hari-hari Undunsyah di saat dia mesti menjawab soal-soal ujian
akhir SMP, dia mengaku memperoleh pelajaran yang sangat berharga di detik-detik
terakhir bersama sang ibu.
“Saya ingat betul waktu itu ibu
sambil menangis menitip pesan di telinga saya. Kata-katanya kurang lebih
begini, ‘... Ndun, tidak ada harta yang ibu dan bapakmu tinggalkan . Tapi kalau
kamu mau hidup yang lebih enak, kamu harus sekolah tinggi dan punya ilmu’,”
ujar Undunsyah penuh keharuan.
Pesan terakhir dari ibunya itulah
yang ‘mencambuk’ Undunsyah untuk maju. “Memang benar tidak ada harta yang
ditinggalkan orang tua kami. Yang ada hanya bekal pengalaman mengarungi laut
mencari ikan, menyisir pinggir sungai untuk memasang pancing dan bubu,” tutur
Undunsyah.
Selain itu masih ada pesan lain
dari almarhumah ibunya yang sampai sekarang senantiasa terngiang di benak
Undunsyah. “Pesan almarhumah begini, ‘Kamu tidak boleh jahat kepada orang
meskipun kamu dijahati orang’. Istilah ibu saya waktu itu, kalau kamu diberi
sebiji lombok maka balaslah dengan segenggam gula,” Undunsyah mengenang
masa-masa terakhir bersama ibunya.
Undunsyah boleh dikatakan sosok
pekerja keras, ulet dan tabah. Terlebih lagi, sepeninggal kedua orang-tuanya.
Kedua kakinya semakin tegar berdiri. Semangatnya untuk hidup lebih mandiri kian
menggelora di saat usianya yang beranjak dewasa. Pola pikirnya pun bertambah
matang.
Ketika baru tiba di Tarakan, upaya
Undunsyah mencari duit untuk biaya sekolah adalah dengan membantu keluarga dekatnya
dari rumah ke rumah. Nah, selepas SMP, Undunsyah mengubah strategi. Dia
memanfaatkan waktu liburan untuk berjualan es lilin.
Padahal, sewaktu dia telah
menyelesaikan pendidikan SMP, tawaran kerja sebagai calon pegawai negeri sipil dapat
diperolehnya. Maklum saja, di era tahun 1970-an itu siswa-siswa lulusan SMP
memang sudah dapat bekerja sebagai pegawai negeri. Namun Undunsyah tidak
kepincut pada dunia kerja.
Selepas SMP, tekad dan debut
Undunsyah menimba ilmu semakin kuat melekat. Padahal saat itu, banyak teman
Undunsyah yang lebih memilih memasuki dunia kerja. Ada pula yang menjatuhkan
pilihannya menjadi nelayan. Tapi, bagi Undunsyah, lambaian laut tidak lagi
menarik kendati dalam tubuhnya mengalir darah nelayan.
Menyadari betapa pentingnya pendidikan
dan biaya sekolah, selama sekitar setahun, Undunsyah melanjutkan berjualan es
lilin. Dagangannya ditambah dengan jagung tembak. Selain itu, bilamana ada
kerabat atau anggota keluarga yang pulang dari negeri seberang (Malaysia),
terkadang dia ikut membantu menjualkan barang-barang dagangan asal Malaysia.
Memang sejak dulu, daerah di
sekitar Tarakan sudah memiliki hubungan dagang dengan Malaysia walau dilakukan
secara tradisional. Barang pecah belah, makanan ringan dan makanan instan telah
diperdagangkan kedua negara bertetangga ini.
Dalam polesan sang nenek, Undunsyah
mampu tampil sebagai remaja yang memiliki tekad dan spirit untuk terus belajar
sembari bekerja. Melalui pelajaran-pelajaran yang secara langsung ditunjukkan
dalam perilaku keseharian, Undunsyah menjadi beda dibandingkan anak-anak
sebayanya, yang sebagian besar lebih memilih dunia kerja daripada melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Undunsyah betul-betul belajar dari
sang nenek yang rambutnya kian memutih, karena dia menyadari benar bahwa di
setiap helai rambut yang memutih itu tersirat pengalaman penuh hikmah. ***
No comments:
Post a Comment