"Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Kita tak bisa mengubah sesuatu
yang tak bisa dihindari. Satu hal yang bisa kita lakukan adalah berpegang pada
tali yang kita punya. Dan itu adalah perilaku yang benar."
Charles R.
Swindoll, Penulis Amerika Serikat
Syahdan. Enam puluh
juta tahun silam. Sebuah peristiwa alam menerpa bumi. Lempeng Asia (Sunda Shelf), Australia (Sahul Shelf) dan Pasifik saling bertemu.
Lalu, sebuah daratan baru terangkat ke atas permukaan laut dari dasar Samudera
Pasifik yang paling dalam. Daratan ini merupakan hasil sedimentasi dari benua Australia. Dan, daratan baru
ini pun
menyatu dengan benua Australia di bagian utara.
Kemudian, sekitar 15.000 tahun
lampau kembali muncul fenomena alam: suhu permukaan bumi
meningkat tajam. Tak pelak, es di Kutub
Utara dan Kutub Selatan pun mencair. Lantas, daratan baru itu terpisah lautan dari
Benua Kanguru dan menjadi sebuah pulau. Sebuah pulau berbentuk seekor burung
raksasa yang dikenal sebagai Tanah atau Pulau Papua.
Secara
geologis, memang, kondisi di Papua menunjukkan banyak terjadinya gejala-gejala
pengangkatan dan penurunan kulit bumi dengan perbedaan yang cukup signifikan, sehingga
topografi Papua bisa disebut ‘kasar’. Di daerah-daerah tepi pantai banyak
terdapat dataran rendah yang sangat luas serta tertutup hutan bakau (mangrove),
terutama di pantai bagian utara yang dikenal dengan lembah Sungai Mamberamo dan
pantai selatan dengan lembah-lembah Sungai Agats, Braza, Lourenz dan Digoel.
Daerah sekitar Sungai Mamberamo dan sungai-sungai lainnya sesungguhnya sangat
potensial bagi pengembangan proyek energi guna memenuhi kebutuhan energi
listrik.
Papua
juga dilalui oleh tiga deretan pegunungan, yaitu: deretan Pegunungan Utara yang
merupakan outer arc (lingkar luar),
deretan pegunungan yang merupakan inner
arc di sebelah selatan, dan deretan Pegunungan Tengah yang merupakan tepi
dari The Australian Continent. Di
bawah bentangan pegunungan-pegunungan di Papua, terjadi pertemuan lempeng bumi
dari Asia dengan lempeng bumi dari Pasifik/Australia. Karena adanya pertemuan
lempeng bumi tersebut, maka tidaklah mengherankan bila perut bumi Papua kemudian
memiliki potensi alam di bidang pertambangan yang besar, antara lain emas,
tembaga, perak dan minyak bumi beserta turunannya. Untuk emas, tembaga dan
perak, penyebarannya berada di sekitar daerah Papua Tengah ke arah timur,
sementara minyak bumi lebih banyak berada di kawasan Kepala Burung.
Pulau
Papua (Indonesia) secara geografis terletak di 0º19’-10º45’ Lintang Selatan
(LS) dan 130º 45’-141º 48’ Bujur Timur (BT), membentang dari barat ke timur
sepanjang 1.200 Km (dari Sorong hingga Jayapura) dan membujur dari utara ke
selatan sekitar 736 Km (dari Jayapura sampai Merauke). Papua memiliki wilayah
seluas 644.981 Km persegi, terdiri dari 421.981 Km persegi daratan dan 228.000 Km
persegi lautan. Secara keseluruhan
Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greendland di Antartika.
Saat ini, Papua menjadi wilayah paling timur Indonesia. Wilayah
ini berbatasan dengan Samudera Pasifik di sebelah utara. Lalu, di sebelah barat berbatasan dengan
Provinsi Maluku, Maluku Utara, Laut Arafuru dan Laut Seram. Lantas berbatas Selat
Torres (wilayah Australia) di sebelah selatan dan Negara Papua New Guinea (PNG)
di sebelah timur.
Sejarah
alam Papua yang amat panjang serta wilayah yang sangat kaya sumber daya alam dan
kehidupan anak manusia itu ternyata telah lama menarik perhatian banyak kalangan
mulai dari pedagang, penguasa sampai peneliti. Banyak bangsa dari berbagai
belahan bumi telah menyambangi wilayah Tanah Papua. Dan mereka pun memiliki
kesan tersendiri tentang wilayah Tanah yang Diberkati Tuhan (the blessed land) itu.
Salah
satu kesan datang dari Antonio D’Abreu dan Fransisco Serrano, pelaut
berkebangsaan Portugis, seaktu melakukan ekspedisi pencarian rempah-rempah pada
tahun 1511 Masehi. I has dos Papuas,
pulau tempat orang berambut halus. Demikian kata-kata yang muncul dari mulut
Antonio D’Abreau dan Fransisco Serrano tatkala keduanya melihat penduduk serta pulau
yang kini disebut Papua.
Lain
Portugis lain pula kesan orang Spanyol. Alvaro De Saveedra, orang pertama
Spanyol yang menjejakkan kakinya di Tanah Papua pada tahun 1528, melihat
hamparan pasir kuarsa bercampur emas di Korido (sekarang ibukota Kabupaten Supiori).
Lalu, dia memberi nama Isla Del Oro (Island of Gold) atau Pulau Emas untuk wilayah
Pulau Papua. Kemudian diikuti oleh Inigo Ortiz de Rates dengan kapalnya “Saint
Juan” yang berhasil berlabuh di muara Amberamo dalam pelayaran menuju Mexico
pada 20 Juni 1545. Ketika itu Inigo Ortiz teringat pada masyarakat di Guinea,
Afrika Barat. Sebab itu, dia menamakan Papua dengan sebutan Nova-Guinea (Guinea
Baru). Sampai akhirnya, Kerajaan Spanyol mengklaim Papua sebagai bagian dari wilayah
kekuasaannya. Hal ini dinyatakan oleh Louis Vaez de Torres ketika mendarat di
pantai selatan Papua. Kedatangan mereka diabadikan dengan menjadikan nama de
Torres sebagai nama sebuah selat, yakni selat yang kini memisahkan antara Papua
dan Australia.
Bagi
generasi tua, pulau yang memiliki gunung bersalju ini dikenal dengan sebutan
Irian. Kata Irian berasal dari bahasa Biak yang berarti: tanah panas yang
terbit dari laut. Kesan-kesan dan sebutan yang muncul itu seolah mewakili
kekayaan alam yang ada di wilayah Tanah Papua, tak terkecuali kekayaan ragam anak
manusia yang menjadi penduduk asli wilayah Tanah yang Diberkati Tuhan (the blessed land) itu.
Hasil
penelitian ahli biologi Alfred R Wallace tahun 1861 menyebutkan bahwa Papua
memiliki penduduk dengan ras tersendiri. Mereka memiliki warna kulit cokelat
tua (tapi bukan seperti ras negro) dan rambut keras-keriting dengan perawakan
lebih tinggi dari rerata orang-orang ras Melayu. Jika dibandingkan dengan ras
Melayu, orang Papua lebih impulsif (menurut dorongan hati) dan lebih
demonstratif (terbuka) dalam kata serta perbuatan. Perasaan dan keinginan mereka terlihat dalam suara dan ekspresi muka.
Mereka juga memiliki mobilitas lebih tinggi.
Dari
berbagai literatur dan penelitian, dapat dikatakan bahwa ciri-ciri ras yang ada
pada penduduk Papua (Irian Barat) termasuk ciri-ciri Ras Australoid, Weddoid,
Negroid/Negritoid, Melanesoid dan sejumlah kecil ras Mongolid. Bangsa-bangsa
yang membawa ciri-ciri ras tersebut, menurut pakar antropoligi Kleiweg de
Zwaan, datang dari arah barat pulau ini, yakni dari arah Benua Asia.
Pakar
antrolopogi Amir Sutarga berpendapat bahwa ciri-ciri ras yang sekarang melekat
pada penduduk Papua berakar jauh di masa silam di zaman Mesoliticum dan barangkali
pula di zaman sebelumnya (zaman Palaeoliticum Atas). Ciri-ciri ras semacam itu
terdapat pada artefak Palaeo-antropologi yang digali di daerah-daerah bagian
barat Indonesia. Dan sampai zaman sekarang, ciri-ciri ras itu pun banyak
terdapat pada penduduk dari kawasan timur Indonesia.
Mengacu
pada pendapat ketiga ahli tersebut, dapat dikatakan, penduduk pribumi Papua termasuk
rumpun bangsa Papua-Melanesia. Rumpun Melanesia bermukim di daerah Melanesia,
yakni sekelompok pulau yang berada di sebelah timur laut Australia, yang
terdiri dari Kepulauan Bismark, Solomon, Santa Cruz, New Hebriden, Fiji, Lusiade,
dan New Caledonia. Rumpun bangsa Papua-Melanesia yang hidup di Pulau Papua
memiliki ciri-ciri: berkulit hitam, rambutnya hitam keriting, muka bulat,
hidungnya tinggi serta lebar dan sering melengkung. Di daerah pedalaman,
suku-bangsa Papua nyaris mirip dengan suku bangsa Afrika. Secara geografis,
persebaran mereka dapat dikelompokkan minimal menjadi dua atau empat kelompok
geografi (kawasan) di mana mereka tinggal serta melakukan aktivitas ekonomi,
sosial dan budaya.
Ditinjau
dari aspek biogeografi dan sejarah etnogeologi, penduduk asli Papua dapat
dibedakan menjadi dua kelompok etnik besar: pertama,
kelompok etnik Melanesia, masyarakat yang mendiami daerah pesisir dan
kepulauan. Kedua, kelompok etnik yang
mendiami sebuah kawasan di dataran tinggi (The
Central Range of Papua) sepanjang 1.500 mil (sekitar 2.400 kilometer, mulai
dari Papua Nieuw Guinea di timur sampai ke leher burung Papua di barat). Mereka
sebagai suatu single human group bermata
pencaharian pertanian sederhana, yaitu menanam ubi jalar (sweet potato) dan terisolir dari dunia luar, karena morfologi
lingkungan yang sulit (Numberi, 2008; Karubaba, 2007; Watson, 1961).
Dari
kedua kelompok besar tadi, wilayah budaya Papua dapat dikelompokkan lagi berdasarkan
lingkaran kebudayaan Papua-Melanesia (Erari, 1999; Karubaba, 2007; Numberi,
2008), menjadi enam wilayah budaya, yaitu: pertama,
wilayah Budaya Koreri, yang meliputi suku bangsa Kepulauan Biak, Numfor dan
Raja Ampat di daerah Kepala Burung. Kedua,
wilayah Budaya Kuri Pasai, yang meliputi kawasan Teluk Cenderawasih (suku
bangsa Wandamen, Nabire, Waropen dan Kepulauan Yapen) yang ada di daerah utara
Papua.
Ketiga, wilayah
Budaya Kimani Deoun dan Ondoafi bagian Laut Papua, yang meliputi daerah Sarmi,
Demta, Depapre, Genyem, Sentani, Nafri dan kawasan perbatasan Papua New Guinea,
dengan fokus Bigmen yang meliputi sepanjang wilayah pegunungan tengah atau
pedalaman Papua. Keempat, wilayah
Budaya Wam atau Babi, dengan fokus kepada Bigmen yang meliputi sepanjang
kawasan Pegunungan Tengah (Papua Central
Range) atau pedalaman Papua.
Kelima, wilayah
Budaya Kain Timur, yang meliputi kawasan barat daya daerah Kepala Burung,
seperti suku bangsa Moi, Teminabuan, Ayamaru, Aitinyo dan Aifat. Dan keenam, wilayah Budaya Bis (Mbis) atau dikenal
sebagai budaya tiang besar berukir motif manusia leluhur, yang meliputi kawasan
tenggara Papua, dengan fokus pada kelompok suku bangsa Asmat dan budaya Dema
untuk suku bangsa Marind Anim.
Pengelompokan
enam wilayah budaya tersebut mempengaruhi pola kepemimpinan masyarakat adat
Papua. Mansoben (1974 dalam Karubaba, 2007; Numberi, 2008) misalkan,
berdasarkan keenam wilayah budaya terdapat kurang lebih lima tipe kepemimpinan
di Papua, yakni tokoh chiefman, bigmen trade system raja (di daerah
Kepala burung), bigmen war (daerah
Pegunungan Tengah), dan sistem campuran. Tokoh chiefman dikenal di kalangan suku-suku di sekitar Jayapura (Teluk
Yos Sudarso, Danau Sentani); pemimpinnya disebut Ondoafi atau Ondofolo (daerah
di sekitar Sentani) dan Charsori (di sekitar Teluk Yotefa).
Apakah
dalam satu wilayah budaya hanya dihuni oleh satu etnik/suku yang berbicara
dalam satu bahasa? Ternyata tidak. Selain kaya sumber daya alam, ternyata Papua
juga kaya etnik dan bahasa. Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim
Universitas Cenderawasih (1991), telah diidentifikasi 44 etnik yang
masing-masing merupakan kesatuan budaya dan bahasa dengan adat-istiadat yang
terpisah dari 177 rumpun (tribe).
Suatu hal yang menarik, di antara 44 etnik tersebut tidak ada satu pun etnik
yang terbesar atau memiliki dominasi terhadap etnik yang lain.
Lalu,
berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) tahun 2005, penduduk asli Papua terdiri dari 57 kelompok etnik yang
hidup secara berkelompok dalam unit-unit kecil. Mereka memiliki 252 adat,
budaya dan bahasa yang sangat dihormati oleh warga masyarakatnya. Suku-suku di
Papua tersebar mulai dari Suku Biak Numfor (sebagai suku terbesar) sampai yang kecil-kecil
seperti Suku Nalka (Jayawijaya), Pilka (Jayawijaya) dan Urundi (Merauke). Suku
Biak Numfor menggunakan satu bahasa daerah, yakni bahasa Biak Numfor. Saat ini tengah
diperjuangkan bahasa Biak Numfor menjadi
bahasa daerah Papua.
Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh tim dari dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 menemukan 224
bahasa lokal yang kemudian dapat diklasifikasikan ke dalam 31 kelompok bahasa
Melanesia, antara lain Tobati, Kwime, Sewan, Ambai, Turu, Wondama, Arfak,
Mimika, Moni, dan Awin. Bahasa-bahasa tersebut dipakai oleh berbagai kelompok
suku, dari yang jumlahnya puluhan hingga puluhan ribu orang.
Tahun
2003, SIL kembali melakukan penelitian dan menemukan lebih dari 270 bahasa lokal
Papua. Sementara itu bahasa pengantar kegiatan pendidikan, mereka menggunakan
Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pendidikan di wilayah Tanah
Papua karena telah dipergunakan untuk mendidik orang-orang Papua keluar dari
“kegelapan” menuju “fajar” harapan baru. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa
persatuan nasional di Tanah Papua yang diperkenalkan sejak 5 Februari 1855
(yang waktu itu disebut Maleise Taal –Bahasa Melayu) ketika terjadi penyebaran
Agama Kristen masuk di Pulau Mansinam (Manokwari), Tanah Papua dan berlangsung
sampai sekarang (Karubaba, 2007; Numberi, 2008).
Sebagai
kawasan pulau yang terbuka, tak hanya ras dan bahasa penduduk Papua semata yang
terpengaruh oleh dunia luar. Secara kultural, masyarakat Papua juga dipengaruhi
oleh budaya dari luar. Tentang jalur penerimaan pengaruh budaya dari luar yang
masuk ke arah Papua dilukiskan antara lain: bahwa Pulau Papua telah menerima
pengaruh megalitik dari Asia Tenggara melalui dua jurusan. Pengaruh pertama
melalui kepulauan Indonesia sebelah selatan, lewat Kepulauan Maluku menuju
bagian barat Papua Barat. Arus dari arah barat ini mempengaruhi daerah pantai
selatan, barat dan utara Irian barat sampai Mamberamo. Pengaruh kedua dari
Mikronesia melalui Filipina, lalu ke Sulawesi Utara menuju daerah Sepik di Papua
Timur. Arus dari arah Mikronesia ini mempengaruhi seluruh Papua Barat dengan
batas baratnya ditentukan di daerah Sentani, karena di Sentani terdapat pula
beberapa unsur dari arah utara seperti pemahatan pada batu-batu, adat mas kawin
dan atap-atap rumah yang melengkung. Penyebaran arus dari arah Mikronesia
diteruskan sampai ke Melanesia dan Polinesia.
Terdapatnya
pengaruh-pengaruh tersebut dimungkinkan karena adanya kontak antar-pemilik
kebudayaan tersebut, baik kontak secara langsung maupun kontak secara tidak
langsung. Terutama lantaran faktor terdapatnya migrasi penduduk yang memiliki
unsur-unsur kebudayan tersebut. Pengaruh itu akan makin kuat bilamana pendukung
kebudayaan itu bermigrasi ke suatu daerah, sehingga masyarakat penerima imigran
itu mengadopsi kebudayaan yang datang, dan selanjutnya menjadi bagian dari
kebudayaannya yang baru.
Dilihat
dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan pola kehidupannya, penduduk
asli Papua itu dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: Papua
pegunungan/pedalaman, dataran tinggi; dan Papua dataran rendah dan pesisir. Pengelompokan
ini dapat dibagi-bagi lagi berdasarkan jenis dan parameter tertentu, seperti
tipe pemukiman, jenis mata pencaharian, kesamaan pola budaya dan adat-istiadat
seperti berikut: pertama, Penduduk
pesisir pantai. Mata pencaharian utamanya adalah nelayan, selain berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan
dengan lingkungan pemukiman mereka. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar
sudah tidak asing lagi bagi mereka. Kedua,
Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah. Mereka termasuk peramu sagu,
berkebun, menangkap ikan di sungai, dan berburu di hutan. Mereka senang
mengembara dalam kelompok kecil. Di antara mereka ada yang mendiami tanah
kering, ada yang mendiami rawa payau dan ada lagi yang mukim di pinggiran sepanjang
aliran sungai. Mereka memegang teguh adat-istiadat dan selalu mencurigai
pendatang baru.
Ketiga, Penduduk
pegunungan yang mendiami lembah. Sehari-hari mereka bercocok tanam dan
memelihara babi sebagai ternak utama. Kadangkala mereka berburu dan memetik
hasil hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok dengan penampilan yang lebih
ramah dibandingkan dengan penduduk tipe kedua. Adat-istiadat dijalankan secara
ketat dengan “pesta babi” sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati
janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari
keseimbangan sosial melalui perang suku yang dapat diibaratkan sebagai
pertandingan atau kompetisi. Memang ada sifat curiga terhadap orang asing (di
luar komunitasnya), namun tidak seketat penduduk tipe kedua.
Dan
keempat, Penduduk pegunungan yang
mendiami lereng-lereng gunung. Melihat tempat pemukimannya yang tetap di
lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis
terhadap jangkauan musuh di mana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap
makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat-istiadat mereka sangat ketat.
Perang suku merupakan aktivitas untuk mencari keseimbangan sosial, dan kecurigaan
terhadap orang asing (luar komunitas) sangat tinggi.
***
DALAM perspektif
kebudayaan, tentunya setiap masyarakat memiliki tradisi atau sistem nilai
masing-masing yang menjadi pandangan hidup mereka. Sistem nilai tersebut
dijadikan sebagai pedoman dan pendorong semangan yang kuat untuk mengarahkan
kehidupan warga masyarakat. Dalam kebudayaan terdapat tujuh unsur universal
yang senantiasa ada dalam sebuah masyarakat, meliputi bahasa, sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem
mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 2004).
Kebudayaan
penduduk Papua secara umum tidak merupakan suatu kesatuan, tapi menunjukkan
suatu aneka warna yang unik. Kebudayaan-kebudayaan di daerah ini tidak hanya
menunjukkan banyaknya perbedaan pada unsur-unsur adat kelahiran, kesehatan,
juga teknologi dan dasar-dasar pencaharian hidup, dan kesenian. Pun pada
unsur-unsur yang lebih bersifat mendalam seperti sistem kemasyarakatan. Untuk
memahami masyarakat Papua, agar tidak salah dalam menerapkan pendekatan
pembangunan, ada baiknya kita tengok kultur masyarakat Papua dalam memandang
kesehatan dan penyakit yang ada di sekitarnya.
Mengingat
keaneka-ragaman kebudayaan orang Papua yang terdiri dari berbagai suku bangsa,
maka konsep sehat dan sakit juga dapat dipersepsikan berbeda-beda menurut
pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing. Orang Moi di sebelah utara
kota Jayapura, misalkan, mengkonsepsikan sakit sebagai gangguan keseimbangan
fisik lantaran masuknya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia. Gangguan itu
disebabkan oleh roh manusia yang merusak tubuh manusia (Wambrauw, 1994). Hal
ini berarti, agar orang Moi senantiasa sehat, ia harus selalu menghindari
gangguan dari roh manusia tersebut dengan menghindarkan diri dari tempat-tempat
di mana roh itu selalu berada (tempat keramat, kuburan, dan hutan larangan).
Kekuatan-kekuatan alam itu berada di lingkungan-lingkungan yang menurut adat
mereka merupakan tempat pantangan untuk dilewati secara sembarangan. Sebab itu,
untuk mencari pengobatan, biasanya mereka langsung pergi ke dukun, mengobati
sendiri secara tradisional atau melalui orang lain yang dapat mendiagnosa
penyakitnya (dukun akan mengobati kalau hal itu memang terganggu langsung oleh
roh manusia).
Orang
Moi di Kepala Burung Papua (Sorong) lain lagi. Mereka percaya bahwa sakit itu
disebabkan oleh adanya kekuatan-kekuatan supernatural, seperti dewa-dewa,
kekuatan bukan manusia (seperti roh halus) dan kekuatan manusia dengan
menggunakan black magic. Selain itu
ada kepercayaan bahwa kalau orang melanggar pantangan-pantangan secara adat
maka mereka akan menderita sakit. Di kalangan orang Moi, pasangan ibu hamil dan
suaminya harus berpantang beberapa makanan, kegiatan tertentu, dan tidak boleh
melewati tempat-tempat yang keramat karena bisa terkena roh jahat dan akan
sakit (Dumatubun, 1999). Artinya, agar senantiasa sehat, seorang perempuan Moi yang
tengah hamil tidak boleh makan makanan tertentu dan suaminya tidak boleh
melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, misalkan membunuh binatang besar.
Hal
yang sama berlaku pula bagi orang Moi Kalabra yang berada di hulu Sungai Beraur
(Sorong). Mereka percaya bahwa penyakit itu disebabkan oleh adanya gangguan roh
jahat, bikinan orang serta melanggar pantangan-pantangan secara adat. Sekadar
contoh, bila seorang ibu hamil mengalami keguguran atau perdarahan selagi hamil
maka berarti si ibu tersebut terkena “hawa kurang baik” (terkena black magic atau roh jahat). Mereka juga
percaya kalau ibu itu tidak bisa hamil atau tidak bisa meneruskan keturunan,
berarti si ibu tersebut telah dikunci karena suami belum melunasi mas kawin.
Kehamilan akan terjadi bilamana sang suami sudah dapat melunasi mas kawin.
Pelunasan mas kawin itu dipercaya akan membuka black magic yang mengunci si ibu itu (Dumatubun, 1999).
Kemudian
orang Biak Numfor mengkonsepsikan penyakit sebagai suatu hal yang menyebabkan
terdapat ketidak-seimbangan dalam tubuh seseorang. Hal ini berarti adanya
sesuatu kekuatan yang diberikan oleh seseorang melalui kekuatan gaib gara-gara rasa
dengki terhadap orang tersebut (Wambrauw, 1994). Ini berarti sakit itu
disebabkan oleh sesuatu buatan orang lain melalui kekuatan gaib yang bisa
berupa tenung dan black magic. Sebab
itu, proses penyembuhannya selalu dengan bantuan dukun atau orang yang dapat
mengembalikan buatan orang tersebut menggunakan mantera-mantera.
Di
mata orang Marind-anim yang berada di wilayah selatan Papua, apabila seseorang
sakit berarti orang tersebut terkena guna-guna (black magic). Mereka juga memandang bahwa penyakit itu akan datang bilamana
sudah tidak ada lagi keseimbangan antara lingkungan hidup dan manusia.
Lingkungan sudah tidak dapat mendukung kehidupan manusia, karena mulai tidak
berimbang. Bila keseimbangan ini sudah terganggu maka akan ada banyak orang yang
sakit. Biasanya, menurut adat kepercayaan mereka, akan datang seorang kuat (Tikanem) yang melakukan pembunuhan
terhadap warga dari masing-masing kampung secara berurutan sebanyak lima orang,
agar lingkungan dapat kembali normal dan dapat mendukung kehidupan warganya
(Dumatubun, 2001). Hal yang sama pula terdapat pada orang Amungme, di mana bila
terjadi ketidak-seimbangan antara lingkungan dan manusia maka akan timbul
berbagai penyakit. Yang dimaksudkan dengan lingkungan di sini adalah yang lebih
berkaitan dengan tanah lantaran tanah dianggap sebagai “mama” yang memelihara,
mendidik, merawat, dan memberikan makan kepada mereka (Dumatubun, 1987). Untuk
itu bila orang Amungme mau sehat, janganlah merusak alam (tanah), dan harus
terus dipelihara secara baik.
Orang
dari Suku Hatam yang tinggal di daerah Manokwari percaya bahwa sakit itu
disebabkan oleh gangguan kekuatan supranatural seperti dewa, roh jahat, dan bikinan
manusia. Orang Hatam percaya bahwa bila ibu hamil sulit melahirkan, berarti ibu
tersebut terkena buatan orang dengan obat racun (rumuep) atau penyakit oleh orang lain yang disebut priet (Dumatubun, 1999).
Orang-orang
Suku Kaureh di Kecamatan Lereh berkeyakinan bahwa seorang ibu yang mandul merupakan
hasil perbuatan orang lain dengan black
magic atau juga gara-gara kutukan oleh keluarga yang tidak menerima bagian
harta mas kawin. Kultur serupa melekat pula pada orang Walsa (Keerom). Mereka
percaya bahwa sakit disebabkan oleh gangguan roh jahat, buatan orang, atau
terkena gangguan dewa-dewa. Bila seorang ibu hamil meninggal tanpa sakit
terlebih dulu, berarti sakitnya dibuat orang dengan jampi-jampi (sinas), ada juga yang disebabkan oleh
roh-roh jahat (beuvwa). Di samping
itu sakit juga disebabkan oleh melanggar pantangan-pantangan secara adat baik
berupa makanan yang dilarang maupun perkawinan (Dumatubun,1999).
Tak
hanya sebatas pemahaman sakit-sehat yang telah mengakar kuat pada benak orang-orang
Papua. Secara kultural, mereka juga memiliki pengetahuan tentang pengobatan
secara tradisional. Pengobatann secara tradisional orang Papua dapat
dikelompokkan ke dalam enam pola pengobatan, yaitu: pertama, Pola Pengobatan Jimat. Pola pengobatan jimat dikenal oleh
masyarakat di daerah kepala burung, terutama masyarakat Meibrat dan Aifat.
Prinsip pengobatan jimat adalah orang menggunakan benda-benda kuat atau jimat
untuk memberi penyembuhan terhadap penyakit. Jimat adalah segala sesuatu yang
telah diberi kekuatan gaib, sering berupa tumbuh-tumbuhan yang beraroma kuat
dan berwarna tua.
Kedua, Pola
Pengobatan Kesurupan. Pola kesurupan dikenal oleh suku bangsa di daerah sayap
burung, yaitu daerah Teluk Arguni. Prinsip pengobatan kesurupan adalah seorang
pengobat sering kemasukan roh/makhluk halus pada waktu berusaha mengobati orang
yang sakit. Dominasi kekuatan gaib dalam pengobatan ini sangat kentara seperti
pada pengobatan jimat.
Ketiga, Pola
Pengobatan Penghisapan Darah. Pola penghisapan darah dikenal oleh suku bangsa
yang tinggal di sepanjang Sungai Tor di daerah Sarmi, Marind-anim, Kimaam, dan
Asmat. Prinsip pola pengobatan ini, bahwa penyakit itu terjadi karena darah
kotor, maka dengan menghisap darah kotor itu, penyakit dapat disembuhkan. Cara
pengobatan penghisapan darah ini dilakukan dengan membuat kerik dengan pisau,
pecahan beling, atau taring babi pada bagian tubuh yang sakit. Cara lain dengan
meletakkan daun oroh dan kapur pada bagian tubuh yang sakit. Dengan lidah dan
bibir, daun tersebut digosok-gosok sampai timbul cairan merah yang dianggap
perdarahan. Pengobatan dengan cara ini khusus pada wanita saja. Prinsip ini
sama persis pada masyarakat Jawa seperti kerok.
Keempat, Pola
Pengobatan Injak. Pola injak dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di sepanjang
Sungai Tor di daerah Sarmi. Prinsip dari pengobatan ini, bahwa penyakit itu terjadi
gara-gara tubuh kemasukan roh, maka pengobatan dilakukan dengan menginjak-injak
tubuh si sakit yang dimulai dari kedua tungkai, dilanjutkan ke tubuh sampai
akhirnya ke kepala. Injakan tersebut dipercaya akan dapat mengeluarkan roh
jahat dari dalam tubuh si sakit.
Kelima, Pola
Pengobatan Pengurutan. Pola pengurutan dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di
daerah selatan Merauke (Suku Asmat) dan selatan Kabupaten Jayapura (Suku Towe).
Prinsip pola pengobatan ini, bahwa penyakit itu terjadi gara-gara tubuh
kemasukan roh, maka dengan mengurut seluruh tubuh si sakit diyakini akan keluar
roh jahat dari dalam tubuhnya. Orang Asmat menggunakan lendir dari hidung
sebagai minyak untuk pengurutan. Sedangkan pada suku bangsa Towe penyebab
penyakit adalah faktor empirik dan magis. Dengan menggunakan daun-daun yang
sudah dipilih, umumnya beraroma menyengat, dipanaskan lalu diurutkan pada bagian
tubuh si sakit.
Dan
keenam, Pola Pengobatan Ukup. Pola
ukup dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di selatan Kabupaten Jayapura yang berbatasan
dengan kabupaten Jayawijaya (Suku Towe dan Ubrup). Prinsip pengobatan ini
adalah bahwa penyakit terjadi lantaran tubuh kemasukan roh, hilang keseimbangan
antara tubuh dan jiwa, maka dengan mandi uap dari hasil ramuan daun-daun yang
dipanaskan dapat mengeluarkan roh jahat dan penyebab empirik penyakit.
Berdasarkan
beberapa contoh di atas dapatlah dipahami bahwa orang Papua memiliki persepsi
tentang sehat-sakit dan pengobatan berdasarkan pandangan dasar kebudayaan
mereka masing-masing. Memang kepercayaan tersebut bila dilihat sekarang sudah
mulai berkurang terutama pada orang Papua yang berada di daerah-daerah
perkotaan. Sedangkan bagi mereka yang masih berada di daerah pedesaan dan jauh
dari jangkauan kesehatan modern, hal tersebut masih nampak jelas dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
***
SELAMA ini kita
kerapkali memandang kebudayaan orang Papua semata-mata sebagai hasil seni dan kerajinan
tradisional. Padahal, secara kultural dan filosofis, mereka memiliki pandangan
terhadap alam begitu tinggi sehingga mampu menjaga kelestarian lingkungan
hidup, ada egalitarisme yang mendasari relasi antar-individu dan memiliki sistem
pertanian yang adaptif terhadap keadaan alam. Mereka pun mempunyai cara
tersendiri dalam memperlakukan tanah yang dipijak dan tempat menjalani
kehidupan.
Sekadar
contoh tradisi pangan dan budidaya pertanian. Selama ini, dapat dikatakan, cuma
dua jenis makanan yang begitu sohor di kalangan masyarakat Papua, yakni sagu
bagi masyarakat pantai dan ubi jalar untuk masyarakat pedalaman. Pangan lokal
seperti ubi jalar, keladi, pisang, singkong dan sagu sudah popoler sejak nenek
moyang. Makanan ini secara turun-temurun telah dikenal orang Papua. Bahkan,
sagu memiliki nilai budaya dan tradisi yang sangat tinggi karena mengandung
unsur mistis dan magis.
Kita
lihat saja gaya masyarakat pedalaman dalam soal memberi nama ubi jalar.
Masyarakat Pegunungan Tengah, terutama di Lembah Baliem (Jayawijaya), menyebut
ubi jalar dengan sebutan hipere.
Penduduk suku Kurima (Jayawijaya) menyebut supuru
dan penduduk di Tiom menyebut mbi.
Ubi jalar asal Baliem, termasuk jenis raksasa, memiliki panjang dua meter, garis tengah mencapai 30 Cm, dan
berat mencapai 15 Kg.
Orang
pedalaman mengenal ratusan jenis ubi jalar sesuai dengan nama yang mereka berikan
sendiri. Puluhan nama ubi jalar itu untuk memudahkan pola penanaman. Terkadang
dalam satu bedeng berukuran 10 meter x 20 meter ditanam lebih dari 20 macam ubi
jalar. Pola penanaman dilakukan bervariasi. Bila larik pertama ditanami jenis
ubi jalar saporeken, musan, sapoleleke, dan pilhabaru, maka larik berikutnya
ditanami ubi jalar jenis yang lain. Penanaman secara variatif ini dimaksudkan agar mereka tidak dilanda
kebosanan mengonsumsi satu jenis ubi jalar tertentu. Karena rasa dan aroma
setiap ubi jalar berbeda.
Pengetahuan
masyarakat Pegunungan Tengah mengenai manfaat ubi boleh dikatakan termasuk
tinggi. Warga masyarakat setempat biasanya memberikan ubi jalar jenis walelum buat
anak-anak atau bayi karena teksturnya halus, tidak berserat dan mengandung
betakarotein tinggi. Jenis helalekue dan arugulek dikonsumsi oleh orang dewasa.
Dan untuk makanan ternak (babi) biasanya diberikan jenis musan, yang tidak bercita-rasa
dan kulitnya tampak pecah-pecah.
"Di
sini ada kearifan budaya pangan lokal Papua yang tidak begitu saja dapat digantikan
oleh beras. Makanan–makanan tradisional ini memiliki legenda, adat dan budaya
yang semestinya dipertahankan dan dilestarikan, selain memasukkan jenis-jenis
makanan dari luar," kata Direktur Lembaga Pengembangan Penelitian
Universitas Cenderawasih (Uncen) Dr. Josh Mansoben.
Pun
demikian dengan tradisi sagu. Di Asmat sagu diyakini sebagai makanan khas
pemberian nenek moyang. Pada zaman dulu, menokok sagu harus diawali dengan
upacara adat agar nenek moyang yang menjaga sagu itu dapat memberikan sari yang
bagus dan dapat dikonsumsi untuk pertumbuhan dan kesehatan seluruh isi keluarga.
Tampak bahwa dari ubi jalar dan sagu, masyarakat pedalaman memiliki kultur
lokal budidaya tanaman pangan.
Selain
kultur pangan dan budidaya pertanian yang berangkat dari kearifan lokal, ada pula
keterkaitan yang khas orang Papua dengan tanah yang menjadi tempat
berkehidupan. Bagi masyarakat adat Papua, tidak ada kehidupan di atas bumi ini
bila tidak ada tanah. Tanah menjadi segala sumber kehidupan di muka bumi ini.
Itulah filosofi tanah bagi orang Papua. Dengan demikian, jika masyarakat modern
memandang tanah terpisah dari segala sesuatu yang ada di atas maupun di dalam
tanah sebagai bentuk-bentuk sumber daya alam, masyarakat adat Papua justru
memandang tanah sebagai sebuah keseluruhan dari sumber daya alam itu. Tanah
menjadi satu kesatuan dengan apa yang ada di atas ataupun di dalamnya.
Kepemilikan
atas tanah pada masyarakat adat Papua adalah kepemilikan komunal berdasarkan
klan, marga atau keret. Dijumpai pula kepemilikan komunal berdasarkan gabungan
beberapa klan seperti di Sentani dan Genyem. Dalam kepemilikan komunal yang
berdasarkan satu klan, berlaku hak kesulungan. Yakni, hak yang diberikan kepada
anak sulung laki-laki untuk mengatur pemanfaatan tanah dan kekuasaan tersebut
dapat diwariskan kepada keturunan berikutnya dalam sistem patrilineal. Meski
dalam beberapa kelompok masyarakat hukum adat (MHA) ditemui kepemilikan
individu, namun secara mendasar, kepemilikan individu tersebut merupakan akibat
dari bertambahnya keturunan sebuah klan. Pendistribusian tanah dari seorang ayah
kepada anak-anaknya seringkali diartikan sebagai kepemilikan individu. Namun,
sesungguhnya, kepemilikan atas tanah-tanah yang didistribusikan tersebut tetap
berada pada sebuah klan atau gabungan klan.
Pada
beberapa kelompok masyarakat adat, dikenal adanya kearifan lokal mereka dalam
pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, misalnya tiatiki pada masyarakat adat Tepera, sasi sen pada masyarakat adat di kepulauan Padaido dan Biak Timur, igya ser hanjop pada masyarakat adat
Arfak atau etsin pada masyarakat adat
Kawera di Mamberamo. Bentuk-bentuk kearifan lokal ini jika dipandang dari
perspektif lingkungan memiliki kaitan erat dengan prinsip-prinsip pelestarian
dalam pengelolaan hutan (SDA).
Secara
turun temurun tanah bagi orang Papua merupakan sumber kehidupan dan identitas
orang Papua sehingga mereka tidak mengenal jual beli tanah. “Bagi orang Papua
tanah itu sangat penting karena sama dengan kehidupan manusia dan juga sebagai
identitas dari setiap kelompok etnis yang memiliki wilayah tertentu. Kalau ada
pemanfaatan terhadap tanah itu oleh pihak lain maka itu akan menjadi persoalan
besar. Karena setiap kelompok etnis mempunyai cara-cara tertentu untuk
memanfaatkan tanah. Ada bagian-bagian yang dipakai untuk berkebun, ada bagian
lain yang dibiarkan tetap hutan alami agar menjadi tempat tinggal hewan untuk
berburu atau tempat mencari kayu untuk bahan-bahan membangun rumah. Jadi ada
bagian-bagian tanah tertentu yang harus mereka tebang dan ada pula yang mesti dijaga
kelestariannya,” papar Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) Dr. Josh
Mansoben.
Tanah
mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan masyarakat hukum adat
Papua, karena sifat dan fakta dari tanah. Tanah mengalami keadaan bagaimanapun,
masih bersifat tetap saja dalam keadaan tanah seperti kita pahami sehari-hari.
Bahkan, kadang-kadang lebih menguntungkan. Sekadar contoh, apabila pepohonan di
atas sebidang tanah dibakar atau di atasnya dijatuhkan bom, tanah tersebut
tidak akan lenyap. Sebidang tanah yang dilanda banjir contoh lain, setelah air
surut akan tetap seperti semula, bahkan terdapat sisa-sisa lumpur yang
menyuburkan tanah tersebut. Pada kenyataannya tanah dijadikan buat tempat
tinggal, tempat penghidupan dan sebagai tempat penguburan bahkan diyakini menjadi
tempat tinggal para roh leluhur masyarakat adat (S. Wignjodipuro, 1979).
Kalau
kita melihat secara lebih mendalam, sebenarnya, orang Papua dari berbagai suku
dan etnis memiliki persepsi tentang tanah yang berbeda-beda. Antara lain ada
yang menyebut tanah itu sama dengan mama. Tanah sama dengan manusia dan tanah
itu adalah kehidupan. Tanpa tanah orang Papua tidak akan hidup. Karena, di
tanah, orang Papua menjadikannya sebagai tempat tinggal, tempat untuk mencari
tumbuh-tumbuhan buat makanan, tempat menyimpan jutaan tanaman obat-obatan yang
berguna bagi kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Jadi lumrah saja kalau tanah
itu sangat penting di mata orang asli Papua.
Begitulah
kekayaan kultural masyarakat Papua yang jauh berakar pada masa silam. Kekayaan
kultural yang telah membentuk wajah masyarakat Papua dengan segenap sistem
sosial, sistem kekerabatan, tradisi budidaya pangan, tradisi kesehatan dan
tradisi kepemilikan tanah yang membawa konsekuensi hidup komunal.
***
Boks:
Dari “Kegelapan Menuju Fajar”,
Kali Pertama Berbahasa Indonesia
Sebuah
penelitian sepasang suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics
(SIL) tahun 1978 menemukan 224 bahasa lokal, jika diklasifikasikan diperoleh 31
kelompok bahasa Melanesia, yaitu Tobati, Kwime, Sewan, Ambai, Kauwerawet,
Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran,
Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin Mandobo, Auyu,
Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah
pemakai bahasanya sangat bervariasi mulai dari yang cuma puluhan orang sampai
puluhan ribu orang.
Karena
keberagaman bahasa semacam itu, maka masyarakat Papua membutuhkan bahasa
pemersatu baik untuk pendidikan, komunikasi maupun persatuan. Hal ini telah
lama disadari oleh banyak kalangan. Misalnya, sewaktu mulai melakukan
penyebaran agama Kristen pada 5 Februari 1855, dua zendeling berkebangsaan
Belanda (C.W. Ottow dan G.J. Geissler) menyadari
bahwa harus ada satu bahasa yang dapat diterima oleh orang Papua. Maka
dipergunakanlah Bahasa Indonesia untuk siar agama Kristen di wilayah Tanah
Papua. Sejak saat itu, para zendeling tiba di Pulau Mansinam (Manokwari)
menggunakan Bahasa Indonesia yang ketika itu dikenal sebagai Bahasa Melayu (Maleise Taal). Bahasa Indonesia pun
kemudian dijadikan bahasa pendidikan di Tanah Papua untuk mendidik orang-orang
Papua keluar dari “kegelapan” menuju “fajar” harapan baru. Bahasa Indonesia
juga merupakan bahasa persatuan nasional di Tanah Papua yang diperkenalkan
sejak kedatangan para zendeling sampai sekarang (Karubaba, 2007; Numberi,
2008).
Zendeling
C.W. Ottow dan G.J. Geissler datang ke
Papua atas prakarsa pendeta Berlin Ds OG Heldring dengan memperkenalkan
konsep zendeling-pekerja. Yaitu, orang-orang Eropa bersedia
menetap di antara penduduk, mereka harus berpartisipasi di dalam pekerjaan
penduduk, agar memperoleh kepercayaan di tengah masyarakat sekitar. Namun
konsep yang cukup berhasil diterapkan di Eropa ini ternyata kurang cocok di
Papua. Setelah mengadakan penyesuaian, dua zendeling tadi menetap di Pulau
Mansinam (Manokwari) dan tampil sebagai pedagang. Mereka lalu dikenal sebagai
zendeling-pedagang. Selain itu mereka juga melaksanakan praktik zendeling-petani.
Selain
menyebarkan agama, para zendeling mencoba memberikan pendidikan ke warga masyarakat
asli Papua. Mereka mendidik warga setempat untuk menjadi guru. Mereka juga menarik
para guru dari Maluku dan Minahasa (Sulawesi Utara). Kegiatan ini memperoleh
dukungan keuangan dari Pemerintah Belanda. Dengan begitu, kegiatan pengajaran berlangsung
secara “besar-besaran” dan semua kampung besar memperoleh alokasi seorang guru.
Mereka mendidik masyarakat Papua dengan
pola pendidikan paling sederhana dan sebagian biayanya harus dibayar sendiri oleh desa. Tahap
berikutnya, pada tanggal 26 Oktober
1925, Pdt. I.S. Kijne mendirikan sebuah sekolah guru untuk
generasi muda Papua di Miei, Kabupaten Teluk Wondama. Mulai saat
itu generasi muda Papua dapat menikmati
pendidikan lanjutan.
Para
guru lulusan sekolah lanjutan di Miei mempunyai kewajiban untuk membekali
anak-anak di pendidikan tingkat dasar dengan kemampuan membaca, menulis dan
berhitung. Mereka diharuskan mempelajari kebudayaan masyarakat asli untuk
memahami karakter mereka. Pendidikan harus dikombinasikan dengan budaya
setempat agar mudah diterima. Sejak saat itu sampai kini Bahasa Indonesia digunakan
sebagai bahasa komunikasi dan persatuan Papua (Karubaba, JJ, 2007).
Dengan
kehadiran Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu tak berarti bahasa ibu
(lokal) diabaikan. Untuk menjaga kelestarian bahasa lokal, setiap sekolah
memasukkan muatan lokal bahasa setempat. Saat ini bahasa suku hanya digunakan
oleh antar-warga masyarakat sesama suku atau kekerabatan. Bahasa lokal sudah
seharusnya tetap hidup. Jika tidak dijaga lewat pelajaran di sekolah maka perlahan
tapi pasti akan ditinggalkan oleh generasi mendatang. Namun, perlu diakui bahwa
menjaga kelestarian bahasa suku cukup sulit terutama dalam komunitas sosial
yang lebih kompleks seperti di perkotaan.
Dari
ratusan suku yang ada di Papua, masing-masing kelompok suku memiliki bahasa dan
sistem adat sendiri-sendiri. Sekadar contoh suku-suku di Kaimana, Kokas, Sesenu
dan Kirimala yang semuanya termasuk dalam wilayah Kabupaten Fak-Fak. Di
daerah-daerah tersebut, mereka menggunakan bahasa Kokas. Itu untuk yang di
wilayah pesisir. Di wilayah pedalaman lain lagi, satu suku menggunakan bahasa
tersendiri. Misalnya di kawasan pegunungan yang melintang mulai dari daerah
Babo (Bintuni) sampai ke Waisol terdapat Suku Mationg dan Suku Arfak yang
masing-masing menggunakan bahasa Mationg dan Arfak. Di Sorong daratan, hidup suku
Karoang yang menggunakan bahasa Karoang. Kemudian suku yang tinggal di daerah Amaru
memiliki bahasa tersendiri, yakni bahasa Amaru. Semakin ke timur, misalkan dari
Serui sampai Mamberamo, penduduk setempat menggunakan bahasa Waropen sebagai
bahasa sehari-hari. Setiap bahasa berbeda satu sama lain. Kalau orang Serui Waropen dia tidak dapat berbahasa
Nabire. Pun sebaliknya.
Dari
ratusan suku-suku tersebut, suku yang terbesar di Papua adalah suku Biak
Numfor, sedang suku yang terkecil adalah Nalka (Jayawijaya), Pilka (Jayawijaya)
dan Urundi (Merauke). Suku Biak Numfor memiliki jumlah anggota 148.104 jiwa.
Suku ini hanya menggunakan satu bahasa daerah yakni bahasa Biak Numfor yang
saat ini sedang diperjuangkan menjadi bahasa daerah Papua. Sedangkan jumlah anggota
suku terkecil masing-masing beranggotakan
4 orang.
Kenyataan
inilah kemudian yang melatar-belakangi para misionaris Belanda yang tergabung
dalam Dutch Reformed Church’s Utrecht
Missionary Society ketika datang pertama kali di sebuah daerah
Doreri-Manokwari tahun 1858 mendirikan 4 buah stasiun bahasa Melayu. Sekitar 25
tahun berselang barulah mereka dapat memahami kondisi sosial masyarakat setempat
sekaligus meraih simpati penduduk pribumi.
Pada masa Pemerintah Hindia Belanda, sektor pendidikan memperoleh anggaran cukup besar. Bahkan, tahun-tahun terakhir
masa penjajahan, anggaran pendidikan mencapai sekitar 11 persen dari seluruh
pengeluaran tahun 1961. Sayangnya, pendidikan tidak disesuaikan dengan
kebutuhan tenaga kerja di sektor perekonomian modern. Mereka lebih mengutamakan
nilai-nilai Belanda dan agama. Baru, akhir tahun 1961, pendidikan diarahkan ke
usaha peningkatan keterampilan, tetapi tetap lebih mengutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan
kemasyarakatan. Bahasa “Melayu” dijadikan sebagai bahasa “Franca” (Lingua Franca), sedangkan bahasa Belanda
menjadi bahasa wajib untuk diajarkan mulai dari sekolah dasar. Kemudian bahasa
Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua yang mulai diajarkan di
sekolah lanjutan. ***
No comments:
Post a Comment