Monday, February 4, 2013

PAPUA DALAM BINGKAI SOSIAL-KULTURAL



"Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Kita tak bisa mengubah sesuatu yang tak bisa dihindari. Satu hal yang bisa kita lakukan adalah berpegang pada tali yang kita punya. Dan itu adalah perilaku yang benar."
Charles R. Swindoll, Penulis Amerika Serikat

Syahdan. Enam puluh juta tahun silam. Sebuah peristiwa alam menerpa bumi. Lempeng Asia (Sunda Shelf), Australia (Sahul Shelf) dan Pasifik saling bertemu. Lalu, sebuah daratan baru terangkat ke atas permukaan laut dari dasar Samudera Pasifik yang paling dalam. Daratan ini merupakan hasil sedimentasi dari benua Australia. Dan, daratan baru ini pun menyatu dengan benua Australia di bagian utara.

Kemudian, sekitar 15.000 tahun lampau kembali muncul fenomena alam: suhu permukaan bumi meningkat tajam. Tak pelak, es di Kutub Utara dan Kutub Selatan pun mencair. Lantas, daratan baru itu terpisah lautan dari Benua Kanguru dan menjadi sebuah pulau. Sebuah pulau berbentuk seekor burung raksasa yang dikenal sebagai Tanah atau Pulau Papua.

Secara geologis, memang, kondisi di Papua menunjukkan banyak terjadinya gejala-gejala pengangkatan dan penurunan kulit bumi dengan perbedaan yang cukup signifikan, sehingga topografi Papua bisa disebut ‘kasar’. Di daerah-daerah tepi pantai banyak terdapat dataran rendah yang sangat luas serta tertutup hutan bakau (mangrove), terutama di pantai bagian utara yang dikenal dengan lembah Sungai Mamberamo dan pantai selatan dengan lembah-lembah Sungai Agats, Braza, Lourenz dan Digoel. Daerah sekitar Sungai Mamberamo dan sungai-sungai lainnya sesungguhnya sangat potensial bagi pengembangan proyek energi guna memenuhi kebutuhan energi listrik.

Papua juga dilalui oleh tiga deretan pegunungan, yaitu: deretan Pegunungan Utara yang merupakan outer arc (lingkar luar), deretan pegunungan yang merupakan inner arc di sebelah selatan, dan deretan Pegunungan Tengah yang merupakan tepi dari The Australian Continent. Di bawah bentangan pegunungan-pegunungan di Papua, terjadi pertemuan lempeng bumi dari Asia dengan lempeng bumi dari Pasifik/Australia. Karena adanya pertemuan lempeng bumi tersebut, maka tidaklah mengherankan bila perut bumi Papua kemudian memiliki potensi alam di bidang pertambangan yang besar, antara lain emas, tembaga, perak dan minyak bumi beserta turunannya. Untuk emas, tembaga dan perak, penyebarannya berada di sekitar daerah Papua Tengah ke arah timur, sementara minyak bumi lebih banyak berada di kawasan Kepala Burung.

Pulau Papua (Indonesia) secara geografis terletak di 0º19’-10º45’ Lintang Selatan (LS) dan 130º 45’-141º 48’ Bujur Timur (BT), membentang dari barat ke timur sepanjang 1.200 Km (dari Sorong hingga Jayapura) dan membujur dari utara ke selatan sekitar 736 Km (dari Jayapura sampai Merauke). Papua memiliki wilayah seluas 644.981 Km persegi, terdiri dari 421.981 Km persegi daratan dan 228.000 Km persegi lautan. Secara keseluruhan Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greendland di Antartika.

Saat ini, Papua menjadi wilayah paling timur Indonesia. Wilayah ini berbatasan dengan Samudera Pasifik di sebelah utara. Lalu, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Maluku, Maluku Utara, Laut Arafuru dan Laut Seram. Lantas berbatas Selat Torres (wilayah Australia) di sebelah selatan dan Negara Papua New Guinea (PNG) di sebelah timur.

Sejarah alam Papua yang amat panjang serta wilayah yang sangat kaya sumber daya alam dan kehidupan anak manusia itu ternyata telah lama menarik perhatian banyak kalangan mulai dari pedagang, penguasa sampai peneliti. Banyak bangsa dari berbagai belahan bumi telah menyambangi wilayah Tanah Papua. Dan mereka pun memiliki kesan tersendiri tentang wilayah Tanah yang Diberkati Tuhan (the blessed land) itu.

Salah satu kesan datang dari Antonio D’Abreu dan Fransisco Serrano, pelaut berkebangsaan Portugis, seaktu melakukan ekspedisi pencarian rempah-rempah pada tahun 1511 Masehi. I has dos Papuas, pulau tempat orang berambut halus. Demikian kata-kata yang muncul dari mulut Antonio D’Abreau dan Fransisco Serrano tatkala keduanya melihat penduduk serta pulau yang kini disebut Papua.

Lain Portugis lain pula kesan orang Spanyol. Alvaro De Saveedra, orang pertama Spanyol yang menjejakkan kakinya di Tanah Papua pada tahun 1528, melihat hamparan pasir kuarsa bercampur emas di Korido (sekarang ibukota Kabupaten Supiori). Lalu, dia memberi nama Isla Del Oro (Island of Gold) atau Pulau Emas untuk wilayah Pulau Papua. Kemudian diikuti oleh Inigo Ortiz de Rates dengan kapalnya “Saint Juan” yang berhasil berlabuh di muara Amberamo dalam pelayaran menuju Mexico pada 20 Juni 1545. Ketika itu Inigo Ortiz teringat pada masyarakat di Guinea, Afrika Barat. Sebab itu, dia menamakan Papua dengan sebutan Nova-Guinea (Guinea Baru). Sampai akhirnya, Kerajaan Spanyol mengklaim Papua sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Hal ini dinyatakan oleh Louis Vaez de Torres ketika mendarat di pantai selatan Papua. Kedatangan mereka diabadikan dengan menjadikan nama de Torres sebagai nama sebuah selat, yakni selat yang kini memisahkan antara Papua dan Australia.

Bagi generasi tua, pulau yang memiliki gunung bersalju ini dikenal dengan sebutan Irian. Kata Irian berasal dari bahasa Biak yang berarti: tanah panas yang terbit dari laut. Kesan-kesan dan sebutan yang muncul itu seolah mewakili kekayaan alam yang ada di wilayah Tanah Papua, tak terkecuali kekayaan ragam anak manusia yang menjadi penduduk asli wilayah Tanah yang Diberkati Tuhan (the blessed land) itu.  

Hasil penelitian ahli biologi Alfred R Wallace tahun 1861 menyebutkan bahwa Papua memiliki penduduk dengan ras tersendiri. Mereka memiliki warna kulit cokelat tua (tapi bukan seperti ras negro) dan rambut keras-keriting dengan perawakan lebih tinggi dari rerata orang-orang ras Melayu. Jika dibandingkan dengan ras Melayu, orang Papua lebih impulsif (menurut dorongan hati) dan lebih demonstratif (terbuka) dalam kata serta perbuatan. Perasaan dan keinginan mereka terlihat dalam suara dan ekspresi muka. Mereka juga memiliki mobilitas lebih tinggi.

Dari berbagai literatur dan penelitian, dapat dikatakan bahwa ciri-ciri ras yang ada pada penduduk Papua (Irian Barat) termasuk ciri-ciri Ras Australoid, Weddoid, Negroid/Negritoid, Melanesoid dan sejumlah kecil ras Mongolid. Bangsa-bangsa yang membawa ciri-ciri ras tersebut, menurut pakar antropoligi Kleiweg de Zwaan, datang dari arah barat pulau ini, yakni dari arah Benua Asia.

Pakar antrolopogi Amir Sutarga berpendapat bahwa ciri-ciri ras yang sekarang melekat pada penduduk Papua berakar jauh di masa silam di zaman Mesoliticum dan barangkali pula di zaman sebelumnya (zaman Palaeoliticum Atas). Ciri-ciri ras semacam itu terdapat pada artefak Palaeo-antropologi yang digali di daerah-daerah bagian barat Indonesia. Dan sampai zaman sekarang, ciri-ciri ras itu pun banyak terdapat pada penduduk dari kawasan timur Indonesia.

Mengacu pada pendapat ketiga ahli tersebut, dapat dikatakan, penduduk pribumi Papua termasuk rumpun bangsa Papua-Melanesia. Rumpun Melanesia bermukim di daerah Melanesia, yakni sekelompok pulau yang berada di sebelah timur laut Australia, yang terdiri dari Kepulauan Bismark, Solomon, Santa Cruz, New Hebriden, Fiji, Lusiade, dan New Caledonia. Rumpun bangsa Papua-Melanesia yang hidup di Pulau Papua memiliki ciri-ciri: berkulit hitam, rambutnya hitam keriting, muka bulat, hidungnya tinggi serta lebar dan sering melengkung. Di daerah pedalaman, suku-bangsa Papua nyaris mirip dengan suku bangsa Afrika. Secara geografis, persebaran mereka dapat dikelompokkan minimal menjadi dua atau empat kelompok geografi (kawasan) di mana mereka tinggal serta melakukan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya.

Ditinjau dari aspek biogeografi dan sejarah etnogeologi, penduduk asli Papua dapat dibedakan menjadi dua kelompok etnik besar: pertama, kelompok etnik Melanesia, masyarakat yang mendiami daerah pesisir dan kepulauan. Kedua, kelompok etnik yang mendiami sebuah kawasan di dataran tinggi (The Central Range of Papua) sepanjang 1.500 mil (sekitar 2.400 kilometer, mulai dari Papua Nieuw Guinea di timur sampai ke leher burung Papua di barat). Mereka sebagai suatu single human group bermata pencaharian pertanian sederhana, yaitu menanam ubi jalar (sweet potato) dan terisolir dari dunia luar, karena morfologi lingkungan yang sulit (Numberi, 2008; Karubaba, 2007; Watson, 1961).

Dari kedua kelompok besar tadi, wilayah budaya Papua dapat dikelompokkan lagi berdasarkan lingkaran kebudayaan Papua-Melanesia (Erari, 1999; Karubaba, 2007; Numberi, 2008), menjadi enam wilayah budaya, yaitu: pertama, wilayah Budaya Koreri, yang meliputi suku bangsa Kepulauan Biak, Numfor dan Raja Ampat di daerah Kepala Burung. Kedua, wilayah Budaya Kuri Pasai, yang meliputi kawasan Teluk Cenderawasih (suku bangsa Wandamen, Nabire, Waropen dan Kepulauan Yapen) yang ada di daerah utara Papua.

Ketiga, wilayah Budaya Kimani Deoun dan Ondoafi bagian Laut Papua, yang meliputi daerah Sarmi, Demta, Depapre, Genyem, Sentani, Nafri dan kawasan perbatasan Papua New Guinea, dengan fokus Bigmen yang meliputi sepanjang wilayah pegunungan tengah atau pedalaman Papua. Keempat, wilayah Budaya Wam atau Babi, dengan fokus kepada Bigmen yang meliputi sepanjang kawasan Pegunungan Tengah (Papua Central Range) atau pedalaman Papua.

Kelima, wilayah Budaya Kain Timur, yang meliputi kawasan barat daya daerah Kepala Burung, seperti suku bangsa Moi, Teminabuan, Ayamaru, Aitinyo dan Aifat. Dan keenam, wilayah Budaya Bis (Mbis) atau dikenal sebagai budaya tiang besar berukir motif manusia leluhur, yang meliputi kawasan tenggara Papua, dengan fokus pada kelompok suku bangsa Asmat dan budaya Dema untuk suku bangsa Marind Anim.

Pengelompokan enam wilayah budaya tersebut mempengaruhi pola kepemimpinan masyarakat adat Papua. Mansoben (1974 dalam Karubaba, 2007; Numberi, 2008) misalkan, berdasarkan keenam wilayah budaya terdapat kurang lebih lima tipe kepemimpinan di Papua, yakni tokoh chiefman, bigmen trade system raja (di daerah Kepala burung), bigmen war (daerah Pegunungan Tengah), dan sistem campuran. Tokoh chiefman dikenal di kalangan suku-suku di sekitar Jayapura (Teluk Yos Sudarso, Danau Sentani); pemimpinnya disebut Ondoafi atau Ondofolo (daerah di sekitar Sentani) dan Charsori (di sekitar Teluk Yotefa).

Apakah dalam satu wilayah budaya hanya dihuni oleh satu etnik/suku yang berbicara dalam satu bahasa? Ternyata tidak. Selain kaya sumber daya alam, ternyata Papua juga kaya etnik dan bahasa. Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim Universitas Cenderawasih (1991), telah diidentifikasi 44 etnik yang masing-masing merupakan kesatuan budaya dan bahasa dengan adat-istiadat yang terpisah dari 177 rumpun (tribe). Suatu hal yang menarik, di antara 44 etnik tersebut tidak ada satu pun etnik yang terbesar atau memiliki dominasi terhadap etnik yang lain.

Lalu, berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2005, penduduk asli Papua terdiri dari 57 kelompok etnik yang hidup secara berkelompok dalam unit-unit kecil. Mereka memiliki 252 adat, budaya dan bahasa yang sangat dihormati oleh warga masyarakatnya. Suku-suku di Papua tersebar mulai dari Suku Biak Numfor (sebagai suku terbesar) sampai yang kecil-kecil seperti Suku Nalka (Jayawijaya), Pilka (Jayawijaya) dan Urundi (Merauke). Suku Biak Numfor menggunakan satu bahasa daerah, yakni bahasa Biak Numfor. Saat ini tengah  diperjuangkan bahasa Biak Numfor menjadi bahasa daerah Papua.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim dari dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 menemukan 224 bahasa lokal yang kemudian dapat diklasifikasikan ke dalam 31 kelompok bahasa Melanesia, antara lain Tobati, Kwime, Sewan, Ambai, Turu, Wondama, Arfak, Mimika, Moni, dan Awin. Bahasa-bahasa tersebut dipakai oleh berbagai kelompok suku, dari yang jumlahnya puluhan hingga puluhan ribu orang.

Tahun 2003, SIL kembali melakukan penelitian dan menemukan lebih dari 270 bahasa lokal Papua. Sementara itu bahasa pengantar kegiatan pendidikan, mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pendidikan di wilayah Tanah Papua karena telah dipergunakan untuk mendidik orang-orang Papua keluar dari “kegelapan” menuju “fajar” harapan baru. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa persatuan nasional di Tanah Papua yang diperkenalkan sejak 5 Februari 1855 (yang waktu itu disebut Maleise Taal –Bahasa Melayu) ketika terjadi penyebaran Agama Kristen masuk di Pulau Mansinam (Manokwari), Tanah Papua dan berlangsung sampai sekarang (Karubaba, 2007; Numberi, 2008).

Sebagai kawasan pulau yang terbuka, tak hanya ras dan bahasa penduduk Papua semata yang terpengaruh oleh dunia luar. Secara kultural, masyarakat Papua juga dipengaruhi oleh budaya dari luar. Tentang jalur penerimaan pengaruh budaya dari luar yang masuk ke arah Papua dilukiskan antara lain: bahwa Pulau Papua telah menerima pengaruh megalitik dari Asia Tenggara melalui dua jurusan. Pengaruh pertama melalui kepulauan Indonesia sebelah selatan, lewat Kepulauan Maluku menuju bagian barat Papua Barat. Arus dari arah barat ini mempengaruhi daerah pantai selatan, barat dan utara Irian barat sampai Mamberamo. Pengaruh kedua dari Mikronesia melalui Filipina, lalu ke Sulawesi Utara menuju daerah Sepik di Papua Timur. Arus dari arah Mikronesia ini mempengaruhi seluruh Papua Barat dengan batas baratnya ditentukan di daerah Sentani, karena di Sentani terdapat pula beberapa unsur dari arah utara seperti pemahatan pada batu-batu, adat mas kawin dan atap-atap rumah yang melengkung. Penyebaran arus dari arah Mikronesia diteruskan sampai ke Melanesia dan Polinesia.

Terdapatnya pengaruh-pengaruh tersebut dimungkinkan karena adanya kontak antar-pemilik kebudayaan tersebut, baik kontak secara langsung maupun kontak secara tidak langsung. Terutama lantaran faktor terdapatnya migrasi penduduk yang memiliki unsur-unsur kebudayan tersebut. Pengaruh itu akan makin kuat bilamana pendukung kebudayaan itu bermigrasi ke suatu daerah, sehingga masyarakat penerima imigran itu mengadopsi kebudayaan yang datang, dan selanjutnya menjadi bagian dari kebudayaannya yang baru.

Dilihat dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan pola kehidupannya, penduduk asli Papua itu dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: Papua pegunungan/pedalaman, dataran tinggi; dan Papua dataran rendah dan pesisir. Pengelompokan ini dapat dibagi-bagi lagi berdasarkan jenis dan parameter tertentu, seperti tipe pemukiman, jenis mata pencaharian, kesamaan pola budaya dan adat-istiadat seperti berikut: pertama, Penduduk pesisir pantai. Mata pencaharian utamanya adalah nelayan, selain  berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman mereka. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing lagi bagi mereka. Kedua, Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah. Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan di sungai, dan berburu di hutan. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Di antara mereka ada yang mendiami tanah kering, ada yang mendiami rawa payau dan ada lagi yang mukim di pinggiran sepanjang aliran sungai. Mereka memegang teguh adat-istiadat dan selalu mencurigai pendatang baru.

Ketiga, Penduduk pegunungan yang mendiami lembah. Sehari-hari mereka bercocok tanam dan memelihara babi sebagai ternak utama. Kadangkala mereka berburu dan memetik hasil hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok dengan penampilan yang lebih ramah dibandingkan dengan penduduk tipe kedua. Adat-istiadat dijalankan secara ketat dengan “pesta babi” sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui perang suku yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Memang ada sifat curiga terhadap orang asing (di luar komunitasnya), namun tidak seketat penduduk tipe kedua.

Dan keempat, Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung. Melihat tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh di mana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat-istiadat mereka sangat ketat. Perang suku merupakan aktivitas untuk mencari keseimbangan sosial, dan kecurigaan terhadap orang asing (luar komunitas) sangat tinggi.

***

DALAM perspektif kebudayaan, tentunya setiap masyarakat memiliki tradisi atau sistem nilai masing-masing yang menjadi pandangan hidup mereka. Sistem nilai tersebut dijadikan sebagai pedoman dan pendorong semangan yang kuat untuk mengarahkan kehidupan warga masyarakat. Dalam kebudayaan terdapat tujuh unsur universal yang senantiasa ada dalam sebuah masyarakat, meliputi bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 2004).

Kebudayaan penduduk Papua secara umum tidak merupakan suatu kesatuan, tapi menunjukkan suatu aneka warna yang unik. Kebudayaan-kebudayaan di daerah ini tidak hanya menunjukkan banyaknya perbedaan pada unsur-unsur adat kelahiran, kesehatan, juga teknologi dan dasar-dasar pencaharian hidup, dan kesenian. Pun pada unsur-unsur yang lebih bersifat mendalam seperti sistem kemasyarakatan. Untuk memahami masyarakat Papua, agar tidak salah dalam menerapkan pendekatan pembangunan, ada baiknya kita tengok kultur masyarakat Papua dalam memandang kesehatan dan penyakit yang ada di sekitarnya.

Mengingat keaneka-ragaman kebudayaan orang Papua yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka konsep sehat dan sakit juga dapat dipersepsikan berbeda-beda menurut pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing. Orang Moi di sebelah utara kota Jayapura, misalkan, mengkonsepsikan sakit sebagai gangguan keseimbangan fisik lantaran masuknya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia. Gangguan itu disebabkan oleh roh manusia yang merusak tubuh manusia (Wambrauw, 1994). Hal ini berarti, agar orang Moi senantiasa sehat, ia harus selalu menghindari gangguan dari roh manusia tersebut dengan menghindarkan diri dari tempat-tempat di mana roh itu selalu berada (tempat keramat, kuburan, dan hutan larangan). Kekuatan-kekuatan alam itu berada di lingkungan-lingkungan yang menurut adat mereka merupakan tempat pantangan untuk dilewati secara sembarangan. Sebab itu, untuk mencari pengobatan, biasanya mereka langsung pergi ke dukun, mengobati sendiri secara tradisional atau melalui orang lain yang dapat mendiagnosa penyakitnya (dukun akan mengobati kalau hal itu memang terganggu langsung oleh roh manusia).

Orang Moi di Kepala Burung Papua (Sorong) lain lagi. Mereka percaya bahwa sakit itu disebabkan oleh adanya kekuatan-kekuatan supernatural, seperti dewa-dewa, kekuatan bukan manusia (seperti roh halus) dan kekuatan manusia dengan menggunakan black magic. Selain itu ada kepercayaan bahwa kalau orang melanggar pantangan-pantangan secara adat maka mereka akan menderita sakit. Di kalangan orang Moi, pasangan ibu hamil dan suaminya harus berpantang beberapa makanan, kegiatan tertentu, dan tidak boleh melewati tempat-tempat yang keramat karena bisa terkena roh jahat dan akan sakit (Dumatubun, 1999). Artinya, agar senantiasa sehat, seorang perempuan Moi yang tengah hamil tidak boleh makan makanan tertentu dan suaminya tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, misalkan membunuh binatang besar.

Hal yang sama berlaku pula bagi orang Moi Kalabra yang berada di hulu Sungai Beraur (Sorong). Mereka percaya bahwa penyakit itu disebabkan oleh adanya gangguan roh jahat, bikinan orang serta melanggar pantangan-pantangan secara adat. Sekadar contoh, bila seorang ibu hamil mengalami keguguran atau perdarahan selagi hamil maka berarti si ibu tersebut terkena “hawa kurang baik” (terkena black magic atau roh jahat). Mereka juga percaya kalau ibu itu tidak bisa hamil atau tidak bisa meneruskan keturunan, berarti si ibu tersebut telah dikunci karena suami belum melunasi mas kawin. Kehamilan akan terjadi bilamana sang suami sudah dapat melunasi mas kawin. Pelunasan mas kawin itu dipercaya akan membuka black magic yang mengunci si ibu itu (Dumatubun, 1999).

Kemudian orang Biak Numfor mengkonsepsikan penyakit sebagai suatu hal yang menyebabkan terdapat ketidak-seimbangan dalam tubuh seseorang. Hal ini berarti adanya sesuatu kekuatan yang diberikan oleh seseorang melalui kekuatan gaib gara-gara rasa dengki terhadap orang tersebut (Wambrauw, 1994). Ini berarti sakit itu disebabkan oleh sesuatu buatan orang lain melalui kekuatan gaib yang bisa berupa tenung dan black magic. Sebab itu, proses penyembuhannya selalu dengan bantuan dukun atau orang yang dapat mengembalikan buatan orang tersebut menggunakan mantera-mantera.

Di mata orang Marind-anim yang berada di wilayah selatan Papua, apabila seseorang sakit berarti orang tersebut terkena guna-guna (black magic). Mereka juga memandang bahwa penyakit itu akan datang bilamana sudah tidak ada lagi keseimbangan antara lingkungan hidup dan manusia. Lingkungan sudah tidak dapat mendukung kehidupan manusia, karena mulai tidak berimbang. Bila keseimbangan ini sudah terganggu maka akan ada banyak orang yang sakit. Biasanya, menurut adat kepercayaan mereka, akan datang seorang kuat (Tikanem) yang melakukan pembunuhan terhadap warga dari masing-masing kampung secara berurutan sebanyak lima orang, agar lingkungan dapat kembali normal dan dapat mendukung kehidupan warganya (Dumatubun, 2001). Hal yang sama pula terdapat pada orang Amungme, di mana bila terjadi ketidak-seimbangan antara lingkungan dan manusia maka akan timbul berbagai penyakit. Yang dimaksudkan dengan lingkungan di sini adalah yang lebih berkaitan dengan tanah lantaran tanah dianggap sebagai “mama” yang memelihara, mendidik, merawat, dan memberikan makan kepada mereka (Dumatubun, 1987). Untuk itu bila orang Amungme mau sehat, janganlah merusak alam (tanah), dan harus terus dipelihara secara baik.

Orang dari Suku Hatam yang tinggal di daerah Manokwari percaya bahwa sakit itu disebabkan oleh gangguan kekuatan supranatural seperti dewa, roh jahat, dan bikinan manusia. Orang Hatam percaya bahwa bila ibu hamil sulit melahirkan, berarti ibu tersebut terkena buatan orang dengan obat racun (rumuep) atau penyakit oleh orang lain yang disebut priet (Dumatubun, 1999).

Orang-orang Suku Kaureh di Kecamatan Lereh berkeyakinan bahwa seorang ibu yang mandul merupakan hasil perbuatan orang lain dengan black magic atau juga gara-gara kutukan oleh keluarga yang tidak menerima bagian harta mas kawin. Kultur serupa melekat pula pada orang Walsa (Keerom). Mereka percaya bahwa sakit disebabkan oleh gangguan roh jahat, buatan orang, atau terkena gangguan dewa-dewa. Bila seorang ibu hamil meninggal tanpa sakit terlebih dulu, berarti sakitnya dibuat orang dengan jampi-jampi (sinas), ada juga yang disebabkan oleh roh-roh jahat (beuvwa). Di samping itu sakit juga disebabkan oleh melanggar pantangan-pantangan secara adat baik berupa makanan yang dilarang maupun perkawinan (Dumatubun,1999).

Tak hanya sebatas pemahaman sakit-sehat yang telah mengakar kuat pada benak orang-orang Papua. Secara kultural, mereka juga memiliki pengetahuan tentang pengobatan secara tradisional. Pengobatann secara tradisional orang Papua dapat dikelompokkan ke dalam enam pola pengobatan, yaitu: pertama, Pola Pengobatan Jimat. Pola pengobatan jimat dikenal oleh masyarakat di daerah kepala burung, terutama masyarakat Meibrat dan Aifat. Prinsip pengobatan jimat adalah orang menggunakan benda-benda kuat atau jimat untuk memberi penyembuhan terhadap penyakit. Jimat adalah segala sesuatu yang telah diberi kekuatan gaib, sering berupa tumbuh-tumbuhan yang beraroma kuat dan berwarna tua.

Kedua, Pola Pengobatan Kesurupan. Pola kesurupan dikenal oleh suku bangsa di daerah sayap burung, yaitu daerah Teluk Arguni. Prinsip pengobatan kesurupan adalah seorang pengobat sering kemasukan roh/makhluk halus pada waktu berusaha mengobati orang yang sakit. Dominasi kekuatan gaib dalam pengobatan ini sangat kentara seperti pada pengobatan jimat.

Ketiga, Pola Pengobatan Penghisapan Darah. Pola penghisapan darah dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di sepanjang Sungai Tor di daerah Sarmi, Marind-anim, Kimaam, dan Asmat. Prinsip pola pengobatan ini, bahwa penyakit itu terjadi karena darah kotor, maka dengan menghisap darah kotor itu, penyakit dapat disembuhkan. Cara pengobatan penghisapan darah ini dilakukan dengan membuat kerik dengan pisau, pecahan beling, atau taring babi pada bagian tubuh yang sakit. Cara lain dengan meletakkan daun oroh dan kapur pada bagian tubuh yang sakit. Dengan lidah dan bibir, daun tersebut digosok-gosok sampai timbul cairan merah yang dianggap perdarahan. Pengobatan dengan cara ini khusus pada wanita saja. Prinsip ini sama persis pada masyarakat Jawa seperti kerok.

Keempat, Pola Pengobatan Injak. Pola injak dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di sepanjang Sungai Tor di daerah Sarmi. Prinsip dari pengobatan ini, bahwa penyakit itu terjadi gara-gara tubuh kemasukan roh, maka pengobatan dilakukan dengan menginjak-injak tubuh si sakit yang dimulai dari kedua tungkai, dilanjutkan ke tubuh sampai akhirnya ke kepala. Injakan tersebut dipercaya akan dapat mengeluarkan roh jahat dari dalam tubuh si sakit.

Kelima, Pola Pengobatan Pengurutan. Pola pengurutan dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di daerah selatan Merauke (Suku Asmat) dan selatan Kabupaten Jayapura (Suku Towe). Prinsip pola pengobatan ini, bahwa penyakit itu terjadi gara-gara tubuh kemasukan roh, maka dengan mengurut seluruh tubuh si sakit diyakini akan keluar roh jahat dari dalam tubuhnya. Orang Asmat menggunakan lendir dari hidung sebagai minyak untuk pengurutan. Sedangkan pada suku bangsa Towe penyebab penyakit adalah faktor empirik dan magis. Dengan menggunakan daun-daun yang sudah dipilih, umumnya beraroma menyengat, dipanaskan lalu diurutkan pada bagian tubuh si sakit.

Dan keenam, Pola Pengobatan Ukup. Pola ukup dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di selatan Kabupaten Jayapura yang berbatasan dengan kabupaten Jayawijaya (Suku Towe dan Ubrup). Prinsip pengobatan ini adalah bahwa penyakit terjadi lantaran tubuh kemasukan roh, hilang keseimbangan antara tubuh dan jiwa, maka dengan mandi uap dari hasil ramuan daun-daun yang dipanaskan dapat mengeluarkan roh jahat dan penyebab empirik penyakit.

Berdasarkan beberapa contoh di atas dapatlah dipahami bahwa orang Papua memiliki persepsi tentang sehat-sakit dan pengobatan berdasarkan pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing. Memang kepercayaan tersebut bila dilihat sekarang sudah mulai berkurang terutama pada orang Papua yang berada di daerah-daerah perkotaan. Sedangkan bagi mereka yang masih berada di daerah pedesaan dan jauh dari jangkauan kesehatan modern, hal tersebut masih nampak jelas dalam kehidupan mereka sehari-hari.

***

SELAMA ini kita kerapkali memandang kebudayaan orang Papua semata-mata sebagai hasil seni dan kerajinan tradisional. Padahal, secara kultural dan filosofis, mereka memiliki pandangan terhadap alam begitu tinggi sehingga mampu menjaga kelestarian lingkungan hidup, ada egalitarisme yang mendasari relasi antar-individu dan memiliki sistem pertanian yang adaptif terhadap keadaan alam. Mereka pun mempunyai cara tersendiri dalam memperlakukan tanah yang dipijak dan tempat menjalani kehidupan.

Sekadar contoh tradisi pangan dan budidaya pertanian. Selama ini, dapat dikatakan, cuma dua jenis makanan yang begitu sohor di kalangan masyarakat Papua, yakni sagu bagi masyarakat pantai dan ubi jalar untuk masyarakat pedalaman. Pangan lokal seperti ubi jalar, keladi, pisang, singkong dan sagu sudah popoler sejak nenek moyang. Makanan ini secara turun-temurun telah dikenal orang Papua. Bahkan, sagu memiliki nilai budaya dan tradisi yang sangat tinggi karena mengandung unsur mistis dan magis.

Kita lihat saja gaya masyarakat pedalaman dalam soal memberi nama ubi jalar. Masyarakat Pegunungan Tengah, terutama di Lembah Baliem (Jayawijaya), menyebut ubi jalar dengan sebutan hipere. Penduduk suku Kurima (Jayawijaya) menyebut supuru dan penduduk di Tiom menyebut mbi. Ubi jalar asal Baliem, termasuk jenis raksasa, memiliki panjang  dua meter, garis tengah mencapai 30 Cm, dan berat mencapai 15 Kg.

Orang pedalaman mengenal ratusan jenis ubi jalar sesuai dengan nama yang mereka berikan sendiri. Puluhan nama ubi jalar itu untuk memudahkan pola penanaman. Terkadang dalam satu bedeng berukuran 10 meter x 20 meter ditanam lebih dari 20 macam ubi jalar. Pola penanaman dilakukan bervariasi. Bila larik pertama ditanami jenis ubi jalar saporeken, musan, sapoleleke, dan pilhabaru, maka larik berikutnya ditanami ubi jalar jenis yang lain. Penanaman secara  variatif ini dimaksudkan agar mereka tidak dilanda kebosanan mengonsumsi satu jenis ubi jalar tertentu. Karena rasa dan aroma setiap ubi jalar berbeda.

Pengetahuan masyarakat Pegunungan Tengah mengenai manfaat ubi boleh dikatakan termasuk tinggi. Warga masyarakat setempat biasanya memberikan ubi jalar jenis walelum buat anak-anak atau bayi karena teksturnya halus, tidak berserat dan mengandung betakarotein tinggi. Jenis helalekue dan arugulek dikonsumsi oleh orang dewasa. Dan untuk makanan ternak (babi) biasanya diberikan jenis musan, yang tidak bercita-rasa dan kulitnya tampak pecah-pecah.

"Di sini ada kearifan budaya pangan lokal Papua yang tidak begitu saja dapat digantikan oleh beras. Makanan–makanan tradisional ini memiliki legenda, adat dan budaya yang semestinya dipertahankan dan dilestarikan, selain memasukkan jenis-jenis makanan dari luar," kata Direktur Lembaga Pengembangan Penelitian Universitas Cenderawasih (Uncen) Dr. Josh Mansoben.

Pun demikian dengan tradisi sagu. Di Asmat sagu diyakini sebagai makanan khas pemberian nenek moyang. Pada zaman dulu, menokok sagu harus diawali dengan upacara adat agar nenek moyang yang menjaga sagu itu dapat memberikan sari yang bagus dan dapat dikonsumsi untuk pertumbuhan dan kesehatan seluruh isi keluarga. Tampak bahwa dari ubi jalar dan sagu, masyarakat pedalaman memiliki kultur lokal budidaya tanaman pangan.

Selain kultur pangan dan budidaya pertanian yang berangkat dari kearifan lokal, ada pula keterkaitan yang khas orang Papua dengan tanah yang menjadi tempat berkehidupan. Bagi masyarakat adat Papua, tidak ada kehidupan di atas bumi ini bila tidak ada tanah. Tanah menjadi segala sumber kehidupan di muka bumi ini. Itulah filosofi tanah bagi orang Papua. Dengan demikian, jika masyarakat modern memandang tanah terpisah dari segala sesuatu yang ada di atas maupun di dalam tanah sebagai bentuk-bentuk sumber daya alam, masyarakat adat Papua justru memandang tanah sebagai sebuah keseluruhan dari sumber daya alam itu. Tanah menjadi satu kesatuan dengan apa yang ada di atas ataupun di dalamnya.

Kepemilikan atas tanah pada masyarakat adat Papua adalah kepemilikan komunal berdasarkan klan, marga atau keret. Dijumpai pula kepemilikan komunal berdasarkan gabungan beberapa klan seperti di Sentani dan Genyem. Dalam kepemilikan komunal yang berdasarkan satu klan, berlaku hak kesulungan. Yakni, hak yang diberikan kepada anak sulung laki-laki untuk mengatur pemanfaatan tanah dan kekuasaan tersebut dapat diwariskan kepada keturunan berikutnya dalam sistem patrilineal. Meski dalam beberapa kelompok masyarakat hukum adat (MHA) ditemui kepemilikan individu, namun secara mendasar, kepemilikan individu tersebut merupakan akibat dari bertambahnya keturunan sebuah klan. Pendistribusian tanah dari seorang ayah kepada anak-anaknya seringkali diartikan sebagai kepemilikan individu. Namun, sesungguhnya, kepemilikan atas tanah-tanah yang didistribusikan tersebut tetap berada pada sebuah klan atau gabungan klan.

Pada beberapa kelompok masyarakat adat, dikenal adanya kearifan lokal mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, misalnya tiatiki pada masyarakat adat Tepera, sasi sen pada masyarakat adat di kepulauan Padaido dan Biak Timur, igya ser hanjop pada masyarakat adat Arfak atau etsin pada masyarakat adat Kawera di Mamberamo. Bentuk-bentuk kearifan lokal ini jika dipandang dari perspektif lingkungan memiliki kaitan erat dengan prinsip-prinsip pelestarian dalam pengelolaan hutan (SDA).

Secara turun temurun tanah bagi orang Papua merupakan sumber kehidupan dan identitas orang Papua sehingga mereka tidak mengenal jual beli tanah. “Bagi orang Papua tanah itu sangat penting karena sama dengan kehidupan manusia dan juga sebagai identitas dari setiap kelompok etnis yang memiliki wilayah tertentu. Kalau ada pemanfaatan terhadap tanah itu oleh pihak lain maka itu akan menjadi persoalan besar. Karena setiap kelompok etnis mempunyai cara-cara tertentu untuk memanfaatkan tanah. Ada bagian-bagian yang dipakai untuk berkebun, ada bagian lain yang dibiarkan tetap hutan alami agar menjadi tempat tinggal hewan untuk berburu atau tempat mencari kayu untuk bahan-bahan membangun rumah. Jadi ada bagian-bagian tanah tertentu yang harus mereka tebang dan ada pula yang mesti dijaga kelestariannya,” papar Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) Dr. Josh Mansoben.  

Tanah mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan masyarakat hukum adat Papua, karena sifat dan fakta dari tanah. Tanah mengalami keadaan bagaimanapun, masih bersifat tetap saja dalam keadaan tanah seperti kita pahami sehari-hari. Bahkan, kadang-kadang lebih menguntungkan. Sekadar contoh, apabila pepohonan di atas sebidang tanah dibakar atau di atasnya dijatuhkan bom, tanah tersebut tidak akan lenyap. Sebidang tanah yang dilanda banjir contoh lain, setelah air surut akan tetap seperti semula, bahkan terdapat sisa-sisa lumpur yang menyuburkan tanah tersebut. Pada kenyataannya tanah dijadikan buat tempat tinggal, tempat penghidupan dan sebagai tempat penguburan bahkan diyakini menjadi tempat tinggal para roh leluhur masyarakat adat (S. Wignjodipuro, 1979).

Kalau kita melihat secara lebih mendalam, sebenarnya, orang Papua dari berbagai suku dan etnis memiliki persepsi tentang tanah yang berbeda-beda. Antara lain ada yang menyebut tanah itu sama dengan mama. Tanah sama dengan manusia dan tanah itu adalah kehidupan. Tanpa tanah orang Papua tidak akan hidup. Karena, di tanah, orang Papua menjadikannya sebagai tempat tinggal, tempat untuk mencari tumbuh-tumbuhan buat makanan, tempat menyimpan jutaan tanaman obat-obatan yang berguna bagi kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Jadi lumrah saja kalau tanah itu sangat penting di mata orang asli Papua.

Begitulah kekayaan kultural masyarakat Papua yang jauh berakar pada masa silam. Kekayaan kultural yang telah membentuk wajah masyarakat Papua dengan segenap sistem sosial, sistem kekerabatan, tradisi budidaya pangan, tradisi kesehatan dan tradisi kepemilikan tanah yang membawa konsekuensi hidup komunal.

***

Boks:
Dari “Kegelapan Menuju Fajar”,
Kali Pertama Berbahasa Indonesia

Sebuah penelitian sepasang suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) tahun 1978 menemukan 224 bahasa lokal, jika diklasifikasikan diperoleh 31 kelompok bahasa Melanesia, yaitu Tobati, Kwime, Sewan, Ambai, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasanya sangat bervariasi mulai dari yang cuma puluhan orang sampai puluhan ribu orang.

Karena keberagaman bahasa semacam itu, maka masyarakat Papua membutuhkan bahasa pemersatu baik untuk pendidikan, komunikasi maupun persatuan. Hal ini telah lama disadari oleh banyak kalangan. Misalnya, sewaktu mulai melakukan penyebaran agama Kristen pada 5 Februari 1855, dua zendeling berkebangsaan Belanda  (C.W. Ottow dan G.J. Geissler) menyadari bahwa harus ada satu bahasa yang dapat diterima oleh orang Papua. Maka dipergunakanlah Bahasa Indonesia untuk siar agama Kristen di wilayah Tanah Papua. Sejak saat itu, para zendeling tiba di Pulau Mansinam (Manokwari) menggunakan Bahasa Indonesia yang ketika itu dikenal sebagai Bahasa Melayu (Maleise Taal). Bahasa Indonesia pun kemudian dijadikan bahasa pendidikan di Tanah Papua untuk mendidik orang-orang Papua keluar dari “kegelapan” menuju “fajar” harapan baru. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa persatuan nasional di Tanah Papua yang diperkenalkan sejak kedatangan para zendeling sampai sekarang (Karubaba, 2007; Numberi, 2008).

Zendeling C.W. Ottow dan G.J. Geissler datang ke Papua atas prakarsa pendeta Berlin Ds OG Heldring dengan memperkenalkan konsep zendeling-pekerja. Yaitu, orang-orang Eropa bersedia menetap di antara penduduk, mereka harus berpartisipasi di dalam pekerjaan penduduk, agar memperoleh kepercayaan di tengah masyarakat sekitar. Namun konsep yang cukup berhasil diterapkan di Eropa ini ternyata kurang cocok di Papua. Setelah mengadakan penyesuaian, dua zendeling tadi menetap di Pulau Mansinam (Manokwari) dan tampil sebagai pedagang. Mereka lalu dikenal sebagai zendeling-pedagang. Selain itu mereka juga melaksanakan praktik zendeling-petani.

Selain menyebarkan agama, para zendeling mencoba memberikan pendidikan ke warga masyarakat asli Papua. Mereka mendidik warga setempat untuk menjadi guru. Mereka juga menarik para guru dari Maluku dan Minahasa (Sulawesi Utara). Kegiatan ini memperoleh dukungan keuangan dari Pemerintah Belanda. Dengan begitu, kegiatan pengajaran berlangsung secara “besar-besaran” dan semua kampung besar memperoleh alokasi seorang guru. Mereka mendidik masyarakat Papua dengan pola pendidikan paling sederhana dan sebagian biayanya harus dibayar sendiri oleh desa. Tahap berikutnya, pada tanggal 26 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne mendirikan sebuah sekolah guru untuk generasi muda Papua di Miei, Kabupaten Teluk Wondama. Mulai saat itu generasi muda Papua dapat menikmati pendidikan lanjutan.

Para guru lulusan sekolah lanjutan di Miei mempunyai kewajiban untuk membekali anak-anak di pendidikan tingkat dasar dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Mereka diharuskan mempelajari kebudayaan masyarakat asli untuk memahami karakter mereka. Pendidikan harus dikombinasikan dengan budaya setempat agar mudah diterima. Sejak saat itu sampai kini Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa komunikasi dan persatuan Papua (Karubaba, JJ, 2007).

Dengan kehadiran Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu tak berarti bahasa ibu (lokal) diabaikan. Untuk menjaga kelestarian bahasa lokal, setiap sekolah memasukkan muatan lokal bahasa setempat. Saat ini bahasa suku hanya digunakan oleh antar-warga masyarakat sesama suku atau kekerabatan. Bahasa lokal sudah seharusnya tetap hidup. Jika tidak dijaga lewat pelajaran di sekolah maka perlahan tapi pasti akan ditinggalkan oleh generasi mendatang. Namun, perlu diakui bahwa menjaga kelestarian bahasa suku cukup sulit terutama dalam komunitas sosial yang lebih kompleks seperti di perkotaan.

Dari ratusan suku yang ada di Papua, masing-masing kelompok suku memiliki bahasa dan sistem adat sendiri-sendiri. Sekadar contoh suku-suku di Kaimana, Kokas, Sesenu dan Kirimala yang semuanya termasuk dalam wilayah Kabupaten Fak-Fak. Di daerah-daerah tersebut, mereka menggunakan bahasa Kokas. Itu untuk yang di wilayah pesisir. Di wilayah pedalaman lain lagi, satu suku menggunakan bahasa tersendiri. Misalnya di kawasan pegunungan yang melintang mulai dari daerah Babo (Bintuni) sampai ke Waisol terdapat Suku Mationg dan Suku Arfak yang masing-masing menggunakan bahasa Mationg dan Arfak. Di Sorong daratan, hidup suku Karoang yang menggunakan bahasa Karoang. Kemudian suku yang tinggal di daerah Amaru memiliki bahasa tersendiri, yakni bahasa Amaru. Semakin ke timur, misalkan dari Serui sampai Mamberamo, penduduk setempat menggunakan bahasa Waropen sebagai bahasa sehari-hari. Setiap bahasa berbeda satu sama lain. Kalau orang  Serui Waropen dia tidak dapat berbahasa Nabire. Pun sebaliknya.

Dari ratusan suku-suku tersebut, suku yang terbesar di Papua adalah suku Biak Numfor, sedang suku yang terkecil adalah Nalka (Jayawijaya), Pilka (Jayawijaya) dan Urundi (Merauke). Suku Biak Numfor memiliki jumlah anggota 148.104 jiwa. Suku ini hanya menggunakan satu bahasa daerah yakni bahasa Biak Numfor yang saat ini sedang diperjuangkan menjadi bahasa daerah Papua. Sedangkan jumlah anggota suku terkecil masing-masing beranggotakan  4 orang.

Kenyataan inilah kemudian yang melatar-belakangi para misionaris Belanda yang tergabung dalam Dutch Reformed Church’s Utrecht Missionary Society ketika datang pertama kali di sebuah daerah Doreri-Manokwari tahun 1858 mendirikan 4 buah stasiun bahasa Melayu. Sekitar 25 tahun berselang barulah mereka dapat memahami kondisi sosial masyarakat setempat sekaligus meraih simpati penduduk pribumi.

Pada masa Pemerintah Hindia Belanda, sektor pendidikan memperoleh anggaran cukup besar. Bahkan, tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan mencapai sekitar 11 persen dari seluruh pengeluaran tahun 1961. Sayangnya, pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja di sektor perekonomian modern. Mereka lebih mengutamakan nilai-nilai Belanda dan agama. Baru, akhir tahun 1961, pendidikan diarahkan ke usaha peningkatan keterampilan, tetapi tetap lebih mengutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa Franca (Lingua Franca), sedangkan bahasa Belanda menjadi bahasa wajib untuk diajarkan mulai dari sekolah dasar. Kemudian bahasa Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan. ***


No comments:

Post a Comment