Friday, February 8, 2013

SOLUSI DAMAI BAGI PAPUA




Saya memiliki keberanian untuk percaya bahwa orang di mana mereka berada dapat makan tiga kali sehari untuk tubuh mereka, pendidikan dan kebudayaan untuk pikiran mereka, dan martabat, kualitas, dan kebebasan untuk jiwa mereka. Saya percaya bahwa apa yang dihancurkan oleh orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dapat dibangun kembali oleh orang-orang yang memikirkan orang lain.
Martin Luther King Jr, aktivis HAM Afrika-Amerika

Konflik kepentingan dalam gerak-langkah perjalanan dan proses pembangunan Papua adalah sebuah realita-fakta yang sejatinya tak perlu terjadi. Sebab, semua itu hanya akan merugikan masyarakat Papua sendiri serta bangsa-negara Indonesia pada umumnya. Kata pepatah lama: kalah jadi abu menang jadi arang. Tak ada yang diuntungkan sama sekali. Karena itu, kini lah saatnya masyarakat Papua dilibatkan secara aktif sebagai subyek (bukan obyek) pembangunan. Mulai dari perencanaan, proses, implementasi, pengawasan, sampai menikmati hasil-hasil pembangunan. Dalam pembangunan Papua juga harus dijaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup (keadilan ekologi) serta nilai-nilai sosial-budaya, adat-istiadat dan khazanah-kearifan masyarakat setempat (lokal) yang mesti dihargai dan dihormati keberadaannya. Dan, upaya itu telah diretas melalui kebijakan pemberlakuan otonomi khusus untuk Papua.
Rakyat Papua menerima status otonomi khusus (otsus) pada tahun 2001. Tepatnya pada 21 November 2001 setelah disahkannya UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua. Kebijakan Otonomi Khusus merupakan suatu kebijakan strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan dan pemberdayaan seluruh rakyat Papua, terutama orang asli Papua (Kambuaya, 2008). Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan provinsi-provinsi lain di Tanah Air serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan. Selain itu, kebijakan ini diharapkan pula dapat menjadi solusi damai bagi bertemunya berbagai kepentingan yang ada di Tanah Papua.  
Otsus berjalan tertatih-tatih. Tampak misalkan, ‘jantung’ UU Otonomi Khusus (yaitu pembentukan Majelis Rakyat Papua/MRP) tersebut baru terwujud tiga tahun berselang, tahun 2004. Dan, baru pada November 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2005 tentang MRP. Menteri Dalam Negeri (waktu itu) M. Ma’ruf lalu melantik 42 orang anggota MRP yang tugas utamanya adalah memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masa jabatannya ditetapkan selama lima tahun.   
Solusi damai melalui kebijakan Otonomi Khusus kini telah berjalan lebih dari sembilan tahun. Dan, hasilnya, saat ini (2010) Papua mampu menempati posisi kelima tingkat tertinggi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) setelah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Riau. Papua memiliki dua sektor perekonomian yang dominan, pertambangan dan pertanian, yang menyumbangkan 76% dari total PDRB. Sayangnya, PDRB yang relatif tinggi itu tidak serta merta mencerminkan tingkat kesejahteraan warga masyarakat Papua. Sebagian besar warga Papua masih miskin dan kesulitan mengakses berbagai kebutuhan mendasar (misalnya pendidikan, kesehatan dan keperluan ekonomi masyarakat). Hal ini, sekadar contoh tercermin dari sisi kesehatan, di mana angka kematian bayi mencapai 122 per 1000 kelahiran, terdapat 3.751 balita meninggal dari 47.709 balita yang hidup, dan angka kematian balita mencapai 64 per 1.000 kelahiran hidup (Manufandu, 2010). Secara nasional, tahun 2009, angka kematian bayi cuma 35 per 1.000 kelahiran dan angka kematian balita hanya 38,9 per 1.000 kelahiran hidup.
Mengacu pada angka-angka tersebut dapat dikatakan bahwa ada persoalan dalam pembangunan kesehatan di Papua yang kemudian mengakibatkan angka kematian bayi dan balita relatif tinggi. Hal ini tak terlepas dari pengalokasian anggaran kesehatan sebagaimana tertuang dalam dokumen APBD Provinsi Papua yang setiap tahun menggambarkan ketidak-adilan dan menyalahi aturan. Katakanlah APBD Provinsi Papua tahun 2009, anggaran sektor kesehatan dialokasikan sebesar Rp295,29 miliar (5,74% dari APBD atau 11,31% dari dana otsus). Dari sisi prosentase tampak belum memenuhi amanat UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua di mana pembangunan sektor kesehatan menjadi prioritas untuk didanai dengan dana otonomi khusus (otsus). Nilai ini juga belum sesuai dengan standar WHO (World Health Organization) yang menetapkan porsi anggaran kesehatan 15% dari APBD. Dari total anggaran kesehatan 2009 tersebut dialokasikan untuk belanja tidak langsung (gaji dan tunjangan aparatur/PNS) sebesar Rp108,26 miliar (36,66%). Sedangkan untuk belanja langsung (publik) sebesar Rp187,03 miliar (63,34%).
Secara sosial-ekonomi, taraf kehidupan warga masyarakat Papua pun masih relatif tertinggal. Selain kalah bersaing dengan kaum pendatang yang mampu menguasai akses barang dan jasa, orang asli Papua yang sebagian besar tinggal di pedesaan atau daerah-daerah terpencil kesulitan menembus akses barang dan jasa kebutuhan pokok. Berdasarkan pada sensus pada tahun 2000, 30% dari keseluruhan jumlah penduduk di Papua tinggal di pusat atau kota-kota. Komposisi penduduk perkotaan ini terdiri dari 55% penduduk non-Papua dan 45% asli Papua. Kemudian komposisi penduduk pedesaan atau daerah terpencil terdiri dari 95% masyarakat asli Papua dan cuma 5% non-Papua. Ketidak-seimbangan komposisi penduduk tidak hanya terjadi di antara penduduk daerah perkotaan dan pedesaan, tetapi juga antara masyarakat asli Papua dan non-Papua di daerah transmigrasi seperti Arso: jumlah penduduk asli sekitar 1.000 orang di mana jumlah transmigran (non-Papua) sekitar 19.000 orang (Sensus 2000).
Ketidak-seimbangan demografi ini merupakan ekses negatif dari pelaksanaan program transmigrasi dan marginalisasi penduduk asli Papua yang berakar dari kesenjangan antar-kelompok masyarakat antara penduduk asli Papua dan para transmigran (non-Papua). Pertemuan secara mendadak antara penduduk asli Papua dengan kebudayaan-kebudayaan lain, alienasi penduduk asli dari tanah ulayat mereka, berkurangnya ruang gerak hidup (lebensraum) penduduk asli, juga ketegangan sosial ekonomi dan kesukuan adalah beberapa efek dari program transmigrasi. Kasus transmigrasi menunjukkan distribusi penduduk yang tidak sejalan dengan distribusi kesejahteraan sosial.
Data BPS tahun 2006 menyajikan angka 47,99% dari total 2,4 juta penduduk Papua tergolong miskin. Fakta lain, laporan pembangunan manusia Indonesia (2004) menyebutkan Papua sebagai provinsi termiskin yang tertinggi di Indonesia. Indikasinya adalah 41,8% penduduk Papua berpenghasilan kurang dari US$1 per hari. Padahal Papua termasuk provinsi dengan pendapatan per kapita tertinggi di Indonesia. Situasi rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat tersebut terasa sangat kontras dengan dana otsus yang selama delapan tahun terakhir ini telah mencapai puluhan triliunan rupiah. Sebagaimana kita ketahui, sejak tahun 2002 Provinsi Papua menerima dana otsus sekitar Rp1 triliun per tahun. Bahkan, mulai tahun 2007 dana otsus meningkat sampai Rp3,2 triliun per tahun. 
Lantaran miskin dan papa, rakyat asli Papua pun terhalangi untuk mengakses dan memakai sumber-sumber daya yang ada (baik itu alam, sosial ekonomi, politik, hukum ataupun budaya) yang adalah hak mereka pula. Sejak era Orde Baru, kesempatan masyarakat asli Papua untuk terlibat dalam sektor perekonomian boleh dikatakan sangat kurang. Masyarakat asli Papua tidak dapat memenuhi penghidupan mereka sendiri karena kebanyakan kesempatan untuk mengembangkan usaha diberikan kepada mereka yang sudah memiliki modal sendiri.
Sementara itu karakter utama dari penduduk asli Papua adalah subsisten. Jelas merepotkan, lantaran karakter ini tidak sesuai dengan kesempatan yang disediakan oleh dunia usaha, terutama sektor industri dan pertanian. Industri pertambangan padat modal menghasilkan 57% PDRB dan cuma menyerap 0,6% angkatan kerja, sedangkan sektor pertanian menghasilkan 19% PDRB dengan 75% angkatan kerja. Dalam sektor bisnis, keterlibatan penduduk asli Papua sangat rendah dan hampir semua pengusaha adalah kaum migran. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan perekonomian tidak mencerminkan keadilan distribusi termasuk akses terhadap kebutuhan dasar. Ketidak-adilan kesempatan berakar dari prasangka dan rasisme yang diakibatkan oleh penduduk asli Papua yang diposisikan sebagai inferior seperti yang terdokumentasi dalam gagasan-gagasan dasar yang menjadi latar belakang perumusan Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dalam bentuk wilayah dengan pemerintahan sendiri pada tahun 2001. Misalkan kondisi penduduk asli Papua digambarkan: 75% tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang layak, 50% tidak pernah mendapatkan pendidikan formal atau tidak lulus dari sekolah dasar, 22% hanya lulus dari sekolah dasar, 10% lulus dari sekolah menengah umum, dan cuma 2% lulus dari universitas. Dalam jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya 35% posisi Eselon II dalam pemerintahan Provinsi Papua yang ditempati oleh penduduk Asli Papua dan untuk Eselon III hanya 26%.
***
MUNCULNYA persoalan sosial (terutama kemiskinan dan keterbelakangan) di Papua selama pelaksanaan Otsus, salah satunya, dipicu oleh belum terciptanya keadilan dalam distribusi pelayanan dan pembangunan infrastruktur sosial di semua wilayah di ujung timur Indonesia ini. Kemiskinan yang muncul di Papua terjadi karena pelaksanaan Otsus belum memfokuskan pada pendistribusian, lantaran lebih fokus pada pertumbuhan secara agregat. Akibatnya, terjadilah kesenjangan antar-kelas sosial dan ekonomi di Papua; ketidak-lengkapan hubungan antara daerah kota dan desa; serta menguatnya perbedaan antar-suku, antar-umat beragama dan antar-wilayah.
Kemiskinan dan persoalan ketidak-adilan sosial sangat terkait erat dengan masalah pendistribusian dan struktur serta pola-pola sosial budaya masyarakat Papua dalam mengelola sumberdaya alam, pengetahuan dan kemampuan dari institusi lokal dalam proses pengambilan keputusan yang cenderung mengabaikan kesejahteraan masyarakat.  
Proses pembangunan di Papua setelah pelaksanaan Otsus 2001 belum mencakup tiga aspek inti: pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi barang kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan. Kedua, peningkatan standar kehidupan yang tidak sebatas berupa peningkatan pendapatan, tapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan. Semua itu tidak sekadar untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, pun sebagai penumbuhan harga diri (martabat) pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Dan ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan. Yakni, dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan cuma terhadap orang atau negara-bangsa lain, tapi juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Sejauh ini belum tercipta keberpihakan dari Pemerintah Pusat ke Papua, dan dari pemerintah provinsi ke wilayah yang lebih kecil, dalam pendistribusian kebutuhan pokok dan infrastruktur sosial. Akibatnya, pola yang berkembang adalah pembangunan non-partisipatif atau pembangunan yang cenderung datang dari atas sebagaimana berlangsung selama ini. Sehingga, keterkaitan antara kebijakan dan program –baik horizontal maupun vertikal— menjadi tidak sinkron.
Dari sisi kapasitas organisasi, Pemerintah Pusat belum menghargai keberagaman potensi dan kearifan lokal Papua. Akibatnya, pembangunan pasca Otsus 2001 belum mampu melahirkan pembangunan partisipatif, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan pasca Otsus 2001 sekadar berupaya untuk mencapai indikator numerik, belum mampu meningkatkan kualitas hidup seluruh warga Papua, serta belum memberikan ruang penyelesaian berbagai masalah sosial yang muncul semenjak dulu sampai di awal-awal pelaksanaan Otsus di Papua. Esensi Otsus sebagai upaya meningkatkan pelayanan, akselerasi pembangunan dan permberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua pun tak tercapai.   
Tak mudah, memang, melaksanakan Otsus di Papua. Karena, pada dasarnya masyarakat Papua merupakan masyarakat yang terpecah-pecah (terdiri dari berbagai kelompok etnis). Setelah berlaku Otsus, perpecahan justru bertambah parah. Wacana perpecahan antara “O” (Otsus atau Otonomi Khusus) dan “M” (Merdeka atau terpisah dari NKRI) mempengaruhi tingkat kohesi sosial di kalangan masyarakat madani. Wacana seperti itu melabelkan perbedaan antara kelompok pro-status quo dan kelompok yang merasa tertindas. Kurangnya kepercayaan masyarakat, yang mengakibatkan rendahnya tingkat keamanan manusia dan modal sosial, telah menghambat pelaksanaan Otsus di Papua. United Nation Development Programme (UNDP) telah mengidentifikasi sembilan dimensi keamanan manusia yang mencerminkan daftar penyebab ketidak-amanan manusia (human insecurity) dan agenda pembangunan manusia: 1) keamanan ekonomi, 2) keamanan keuangan, 3) keamanan pangan, 4) keamanan kesehatan, 5) keamanan lingkungan, 6) keamanan pribadi, 7) keamanan gender, 8) keamanan masyarakat, dan 9) keamanan politis. Menurut UNDP, penguatan keamanan manusia memerlukan perhatian atas setiap dimensi tadi. Di sisi lain, modal sosial secara sederhana diartikan sebagai serangkaian nilai-nilai informal yang diintisarikan dari norma-norma yang dimiliki anggota kelompok tertentu yang membuat mereka dapat bekerja sama satu dengan lainnya.
Kurang sempurnanya pelaksanaan Otsus juga disebabkan keluhan-keluhan dan keputus-asaan masyarakat asli Papua yang terus berlanjut dan tidak memperoleh perhatian yang semestinya. Keputus-asaan lokal terus berlanjut pasca tahun 2001 setelah Otsus diterapkan di Papua. Acara cerminan 6 tahun pelaksanaan Otsus di Papua yang diadakan pada bulan November 2007 oleh Pusat Demokrasi Universitas Cendrawasih, Jayapura, menyimpulkan bahwa pelaksanaan Otsus hanyalah bermakna simbolis dan kurang menyentuh bagian-bagian yang penting.
Papua mendapatkan Otsus dari Pemerintah Pusat untuk periode waktu 25 tahun. Perubahan-perubahan besar pada keadaan penghidupan orang asli Papua diharapkan dapat terlihat selama periode ini untuk mengurangi keluhan-keluhan yang sudah lama tersimpan di hati warga masyarakat Papua. Jika tidak ada perubahan besar yang membawa kemajuan dalam kesejahteraan penduduk asli yang didapatkan dari proses pembangunan, maka akumulasi keluhan-keluhan itu kemungkinan akan berubah menjadi keagresifan sosial.
Keluhan-keluhan orang asli Papua yang masih berlangsung diekspresikan melalui demonstrasi-demonstrasi damai (misalnya parade damai akbar yang diorganisir oleh DAP [Dewan Adat Papua] pada tahun 2005 yang bertujuan mengembalikan Otsus kepada Pemerintah Pusat), ekspresi budaya secara simbolis melalui bendera (contohnya pengibaran bendera bintang kejora dimasukkan dalam tarian tradisional selama pembukaan Konferensi Utama DAP di Jayapura bulan Juli 2007), lagu, tarian, tulisan, dan pakaian. Dana Otsus sebesar Rp3,29 triliun yang dianggarkan pada tahun 2007 tidak dapat serta merta meredam keputus-asaan masyarakat asli Papua. Diskursus mengenai separatisme tidak sebanding dengan upaya perbaikan situasi kesejahteraan penduduk asli Papua sebagaimana yang dicita-citakan di dalam Otsus.
Data pemerintah pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Provinsi Papua mempunyai 2.179 desa-desa dan 82,43% dikategorikan terbelakang, dengan menunjuk beberapa variabel seperti jalan utama desa, lahan kerja untuk sebagian besar penduduk, fasilitas-fasilitas pendidikan dan kesehatan, petugas-petugas kesehatan, media komunikasi dan persentase rumah tangga yang memakai listrik. Jumlah keluarga yang hidup di bawah standar kesejahteraan mencapai 271.278 unit keluarga atau hampir separuh dari total jumlah 441.987 unit keluarga di Provinsi Papua. Papua menempati tingkat kemiskinan yang tinggi. Berdasarkan data penyaluran SLT (Subsidi Langsung Tunai yang dibagikan kepada masyarakat miskin) pada bulan Maret 2006, tercatat bahwa hampir separuh atau sekitar 47,99% dari seluruh jumlah 1,8 juta penduduk Provinsi Papua tergolong miskin. Sedangkan di Provinsi Papua Barat tercatat penduduk miskin kira-kira 36,85%. Dari data kedua provinsi ini dapat diperkirakan bahwa 45,43% dari total jumlah penduduk di keseluruhan wilayah Tanah Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat akar rumput asli Papua sebagai target utama Otsus belum berhasil memperoleh manfaat maksimal dari proses pembangunan yang berjalan sekarang. Misalnya layanan-layanan umum atau pembukaan akses-akses terhadap hak-hak dasar, orang-orang lokal Papua menyatakan bahwa kualitas layanan-layanan kesehatan umum masih di bawah standar dan bahkan menurun.
Berdasarkan data Laporan Perkembangan Manusia Indonesia tahun 2004, masyarakat Papua menempati tingkat terendah pada jumlah orang dewasa yang dapat membaca dan menulis di dalam negeri, yaitu 74,4%. Otsus yang seharusnya membentuk “piramid yang sesungguhnya” di mana sumber-sumber daya lebih dapat diakses oleh akar rumput terutama masyarakat asli Papua. Untuk itu masih memerlukan perbaikan sistem pelaksanaannya guna menghindarkan pemiskinan masyarakat asli Papua.
Setiap warga Papua berhak mendapatkan keadilan dalam pelayanan sosial, yakni pelayanan yang disediakan oleh negara, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pelayanan ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas masyarakat secara keseluruhan. Melalui kegiatan pembangunan sosial, seharusnya sejak tahun 2001, lebih memusatkan pada populasi sebagai suatu kesatuan yang bersifat inklusif dan universal. Berbagai program dan kebijakan yang dilaksanakan di wilayah Tanah Papua selama ini mengabaikan orang-orang yang membutuhkan (needy individuals), dan seringkali menelantarkan penduduk asli yang telah termarjinalkan oleh proses pembangunan semenjak Papua bergabung dengan NKRI.
Munculnya korban-korban ketidak-adilan yang mengalami pendistorsian selama proses pembangunan menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah provinsi belum menyeimbangkan konsep individualisme dan kolektivisme tentang kesejahteraan. Individualisme menitik-beratkan pada individu sebagai pihak yang berhak menerima kesejahteraan dan mendapatkan perlakuan adil. Sementara kolektivisme adalah prinsip di mana negara dan lembaga-lembaga negara memiliki suatu kewajiban untuk meningkatkan dan menjamin kesejahteraan serta keadilan bagi seluruh masyarakat Papua.
Kebijakan sosial di Papua semestinya diarahkan untuk meringankan kebutuhan yang mendesak serta penderitaan yang dialami oleh warga selama ini. Berbagai kebijakan dan program sosial yang dilaksanakan di Papua secara substansi harus berdasarkan pada tekanan terhadap berbagai ketidak-adilan yang diterima oleh warga Papua. Pemerintah belum optimal dalam mengatur distribusi sumberdaya yang ada untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah belum memberikan jaminan keadilan dalam aspek kebutuhan fisik dan sosial masyarakat. Akibatnya, ketika muncul suara-suara yang tidak puas, lalu diselesaikan menggunakan pendekatan represif atau militeristik, dengan tujuan supaya tidak berkembang menjadi konflik yang lebih besar. Padahal, ketidak-adilan dapat direduksi bila pemerintah lebih intens dalam memperluas pelayanan sosial kepada seluruh lapisan masyarakat di Papua.  
Kekurang-sempurnaan pelaksanaan Otsus disebabkan pula oleh keterlambatan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Paragraf 5 UU Nomor 21/2001 Pasal 2 menyatakan “Dalam rangka melaksanakan Otsus di Provinsi Papua, MRP (Majelis Rakyat Papua) dibentuk sebagai perwakilan budaya masyarakat asli Papua yang memegang kewenangan tertentu untuk melindungi hak-hak masyarakat asli Papua, berdasarkan penghormatan terhadap adat dan kebudayaan, pendaya-gunaan perempuan dan memperkuat keharmonisan antar-umat beragama.” MRP memegang peranan penting untuk mengaplikasikan tindakan nyata dan tegas (affirmative action) guna melindungi hak-hak masyarakat asli Papua sebagai jantung dari Otsus. Tindakan nyata dan tegas diwujudkan dalam bentuk perlakuan kompensasi istimewa yang ditujukan guna mempromosikan keikut-sertaan dan memfasilitasi kesempatan yang setara bagi kelompok-kelompok yang menderita diskriminasi termasuk suku minoritas dan para perempuan. Meskipun UU No 21/2001 mengamanatkan bahwa MRP harus dibentuk dalam waktu paling lambat satu tahun sesudah Otsus diberlakukan, dan Pemerintah Provinsi Papua telah memasukkan rancangan PP (Peraturan Pemerintah) mengenai MRP pada tahun 2002, namun ternyata MRP baru dapat dibentuk pada bulan November 2005. Keterlambatan ini sebagian besar lantaran keterlambatan Pemerintah Pusat menerbitkan PP Nomor 54/2004 mengenai Pembentukan MRP yang baru dilakukan pada Desember 2004.
Karena kemajuan besar pada kehidupan masyarakat asli Papua sangat tergantung pada MRP, maka garis kewenangan sebagai badan yang mewakili masyarakat asli Papua harus ditetapkan secara jelas. Dalam perkembangan lebih lanjut, PP Nomor 54/2004 mengenai MRP tidak menampung seluruh kewenangan MRP di dalam masyarakat atau ruang publik. Keadaan ini jelas menghambat MRP dalam melaksanakan mandatnya guna melindungi hak-hak masyarakat asli Papua di dalam proses pembangunan. Beberapa rekomendasi yang diberikan oleh MRP --misalnya menyangkut pertimbangan kebijakan melindungi hak-hak masyarakat asli Papua dalam pemekaran dan masalah pertambangan (kasus Freeport)— kurang memperoleh tanggapan yang berarti. MRP mengemban fungsi untuk menampung dan memberikan fasilitas. Tapi, MRP tidak memegang kewenangan untuk mengatur proses pembangunan agar masyarakat asli Papua dapat menikmati keadilan dan kesejahteraan yang merata dengan cara yang bermartabat. Sebagai badan yang memegang posisi jantung Otsus, MRP berhak memperoleh perhatian agar mereka dapat melaksanakan tindakan nyata dan tegas dalam memberikan fasilitas kesempatan yang setara dan melindungi hak-hak masyarakat asli Papua. Keberhasilan untuk memperkuat kapasitas MRP akan meningkatkan kepercayaan dari banyak masyarakat asli Papua terhadap pemberian Otsus untuk Papua.
Kemudian pasal 64 UU Nomor 21/2001 mengamanatkan Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban mengelola dan memanfaatkan lingkungan penghidupan dengan cara terpadu sesuai dengan karakteristik-karakteristik yang tersebar, perlindungan sumberdaya alam biologis, sumberdaya alam non-biologis, sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam biologis dan ekosistem, pelestarian budaya, dan keaneka-ragaman biologis dan perubahan cuaca. Pengelolaan dan pemanfaat semua itu harus memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan buat kesejahteraan rakyat. Singkat kata, Pemerintah Provinsi Papua harus menggerakkan masyarakat sebagai modal sosial pembangunan.
Masyarakat asli (adat) Papua sebagai target utama Otsus sejauh ini belum diberikan ruang semestinya supaya dapat terlibat aktif dalam pembangunan baik sebagai pihak yang memperoleh manfaat maupun sebagai pelaku. Sebaliknya, kecurigaan dan prasangka berlabel separatis kerap ditujukan kepada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hak-hak adat. Kelompok yang mencanangkan perlawanan acap dicap sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kurangnya ruang untuk perdamaian ikut andil dalam menciptakan rendahnya tingkat keamanan manusia Papua. Konferensi utama Dewan Adat Papua yang dilaksanakan pada bulan Juli 2007 diwarnai dengan pengawasan keamanan yang dikendalikan. Kendati dihadiri oleh perwakilan resmi pemerintah provinsi, namun tidak ada perwakilan MRP yang hadir. Terlebih lagi, konferensi ini dilaksanakan secara swadaya karena tidak didukung secara keuangan oleh Pemerintah yang hanya mengakui keberadaan LMA (Lembaga Musyawarah Adat). Anggota LMA dipilih dan ditunjuk oleh Pemerintah. Sedangkan Dewan Adat Papua dibentuk berdasarkan struktur tradisional masyarakat adat Papua.
Oleh karena itu, masyarakat Papua mendambakan perbaikan pelaksanaan Otsus yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup penduduk asli Papua. Salah satunya adalah melalui pemberdayaan masyarakat Papua. Pemberdayaan masyarakat (empowerment) merupakan upaya mensejahterakan dan mewujudkan kemandirian masyarakat dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Di sini  masyarakat menjadi aktor utama dalam proses pemberdayaan dengan membangkitkan potensi masyarakat dan sumber daya yang ada dalam komunitas.
Pemberdayaan dilakukan secara individual dan kolektif terhadap penduduk. Pemberdayaan akan menempatkan manusia Papua sebagai bagian dari proses pembangunan. Pemberdayaan juga sebagai perwujudan eksistensi dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab yang terwujud di berbagai bidang kehidupan: politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan. Dan pemberdayaan pada dasarnya adalah upaya menciptakan keadilan menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat maupun kewilayahan dalam berbagai aspek.
***
SEBELUM  sampai pada upaya perbaikan pelaksanaan otonomi khusus di Papua, ada baiknya kita perhatikan sepintas satu strategi pembangunan yang mengiringi pelaksanaan otonomi khusus tadi. Yaitu, strategi pembangunan melalui pemekaran pemerintahan yang marak setelah tahun 1998. Sebelum reformasi, wilayah Tanah Papua hanya terdiri dari satu provinsi dan 19 kabupaten/kota. Saat ini Papua telah terbagi menjadi dua provinsi (Papua dan Papua Barat) dan 39 kabupaten/kota. Wilayah Papua telah mengalami pemekaran pemerintahan.
Pemekaran tidak hanya di tingkat pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, namun juga terjadi di tingkat pemerintahan distrik (setingkat kecamatan) dan pemerintahan kampung (setingkat desa/kelurahan). Sebagian kalangan sangat mempercayai bahwa pemekaran merupakan strategi utama dalam meningkatkan pembangunan di Papua. Bahkan, kebijakan gubernur untuk memberikan dana ke setiap kampung sebesar Rp100 juta telah menjadi faktor utama munculnya aspirasi pemekaran kampung. Salah satu perkembangan yang paling menarik diperhatikan adalah wilayah Kabupaten Yahukimo yang sebelumnya memiliki 50 kampung sekarang sudah mempunyai 200 kampung. Dengan demikian salah satu wajah Papua pasca pelaksanaan otonomi khusus adalah peningkatan jumlah kabupaten/kota, distrik dan kampung. Sejauh mana pembangunan melalui strategi pemekaran mengiringi otonomi khusus dapat mencapai tujuan utama dalam mensejahterakan Papua sebagai bagian dari wilayah NKRI?
Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, UNDP, Kemitraan dan lembaga-lembaga lain menunjukkan bahwa masih ada persoalan yang cukup kompleks dalam implementasi otonomi khusus di wilayah Tanah Papua. Agenda untuk memperbaiki penerapan otonomi khusus masih terkendala ketidak-jelasan kebijakan pelaksanaan baik pusat maupun daerah, terutama dalam bentuk peraturan daerah (provinsi, kabupaten/kota dan khusus). Semua regulasi dan kebijakan implementasi tersebut seharusnya jelas dan tegas berisi strategi implementasi kebijakan yang diarahkan dalam upaya meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Papua. Ditambah lagi persoalan pemekaran yang nyaris tak terkendali.
Kekacauan tata kelola pemerintahan akibat pemekaran yang tidak terbendung akan membawa dampak proses pemiskinan di Papua. Harus ada keberanian Pemerintah mengutamakan pendekatan yang lebih memfokuskan pada pendekatan kesejahteraan sosial dan memperhatikan perspektif gender (memasukkan secara spesifik sebagai vocal points maupun pengarus-utamaan gender di setiap kebijakan politik yang diambil). Harus berani pula meninggalkan pendekatan yang menitik-beratkan kepada politik dan keamanan.  
Artinya, diperlukan secara rinci dan mendetail perumusan kebijakan yang mampu mempercepat proses pembangunan di wilayah Tanah Papua. Minimal strategi kebijakan tersebut memuat pokok-pokok pikiran, antara lain, strategi percepatan pembangunan dari perspektif kesejahteraan sosial, strategi pembangunan melalui pemekaran, tata kelola pemerintahan yang baik, revitalisasi dana otonomi khusus, penyelarasan UU otonomi khusus dengan peraturan terkait, penyelesaian kasus HAM di masa silam, dan pelibatan secara aktif masyarakat sipil dalam proses pembangunan. Dalam konteks politik, otonomi khusus di Tanah Papua adalah konsolidasi sumberdaya untuk percepatan proses pembangunan. Selain itu perubahan pendekatan harus dilakukan dari pendekatan politik-keamanan ke pendekatan kesejahteraan sosial. Penguatan kapasitas lokal untuk melaksanakan kegiatan pembangunan mesti pula menjadi pritoritas utama.
Dari perspektif kesejahteraan sosial dalam upaya percepatan proses pembangunan, perumusan strategi pembangunan di semua departemen haruslah melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara luas. Strategi pembangunan semacam ini tidak boleh tidak memperhatikan dan meningkatkan kemampuan lembaga pemerintahan di tingkat daerah (dari provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung). Dengan begitu rencana pembangunan ini harus diimplementasikan secara kongkrit karena telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dari sejumlah diskusi kalangan terbatas (akademisi dan praktisi pemerintahan) di Jakarta terungkap bahwa sejauh ini belum ada program yang jelas dalam kerangka percepatan pembangunan di wilayah Tanah Papua dan tidak ada koordinasi program yang direncanakan antar-departemen terkait. Sebab itu, ke depan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dapat mengkoordinasikan rencana pembangunan di Papua yang mengikat semua departemen terkait. Setiap departemen pada giliran selanjutnya mesti memiliki strategi kerangka kerja pembangunan di Tanah Papua di semua tingkatan pemerintahan. Departemen-departemen yang harus leading dalam percepatan pembangunan di Papua adalah Pendidikan, Kesehatan, Kehutanan, Pertanian, Perdagangan, Energi dan Sumberdaya Mineral, Sosial, UKM/Koperasi, Pekerjaan Umum, dan Pemberdayaan Perempuan.
Untuk dapat melaksanakan program-program tersebut dibutuhkan koordinasi dan pemberdayaan/penguatan kapasitas lembaga pemerintahan daerah. Dalam konteks ini harus diperkuat koordinasi lembaga eksekutif dengan kepemimpinan kepala daerah. Sementara itu lembaga DPRP dan DPRK harus meningkatkan kapasitasnya sebagai lembaga kontrol terhadap kinerja eksekutif (gubernur dan bupati/walikota). Di samping itu harus dilatih pula tenaga-tenaga terampil (terutama putera-putera daerah) melalui program cepat. Kemudian, mereka dijadikan sebagai pelaksana inti implementasi rencana program pembangunan di Tanah Papua secara cepat dan tepat. Dengan demikian Tanah Papua dapat melaksanakan program-program pembangunan yang bertumpu pada kemampuan warga atau masyarakat lokal.
Lalu menyangkut aspirasi pemekaran yang cenderung diyakini sebagai model pembangunan yang tepat bagi Papua. Argumen hipotetis yang kerap dikemukakan bahwa pemekaran mendekatkan pemerintah kepada warga. Artinya, dengan memecah kabupaten/kota maka pembangunan akan dapat dinikmati oleh warga. Persoalan yang muncul kemudian adalah sejauh mana pemekaran telah memberikan kesejahteraan kepada warga Papua? Sejauh ini belum ada data yang mampu meyakinan bahwa pemekaran dapat memperbaiki secara baik tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan rakyat di wilayah Tanah Papua. Justru kekacauan pemerintahan di tingkat kabupaten/kota (baik dalam kerangka pembangunan maupun tata administrasi) menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Pemekaran cuma memberikan keuntungan kepada segelintir elit lokal dan elit nasional.
Kecenderungan menggunakan strategi pemekaran ini antara lain disebabkan alasan dominasi suku atau etnis tertentu dalam pemerintahan. Namun, pada kenyataan praktik, sebagian besar pemekaran disebabkan oleh ketidak-puasan politik atau juga lantaran political greedy (sekadar contoh: seorang bupati yang pernah dua kali menjabat namun masih ingin kembali menjadi bupati, maka satu-satunya jalan adalah berjuang memekarkan wilayah yang dikuasainya).    
Strategi pemekaran harus dievaluasi. Misalkan pemekaran di tingkat pemerintahan provinsi masih dapat dikembangkan lagi. Sedangkan pemekaran di tingkat kabupaten/kota, distrik dan kampung harus secara bijaksana memperhatikan indikator yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, harus pula memperhatikan kapasitas pemerintahan (sumberdaya manusia dan kemampuan kelembagaan pemerintah), kemampuan sumberdaya ekonomi (baik SDA maupun kemampuan warga untuk meningkatkan sumberdaya ekonominya), masalah sosial dan budaya wilayah setempat.
Proses pemekaran haruslah melalui tahapan persiapan untuk jangka waktu tertentu sebelum sebuah wilayah pemekaran secara penuh memisahkan diri menjadi daerah otonom. Wilayah pemerintahan baru hasil pemekaran harus mengadopsi proses pembangunan di wilayah Tanah Papua yang telah disepakati dan dituangkan dalam Rencana Strategis Percepatan Pembangunan di Tanah Papua.
Studi yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Belanda tentang wilayah budaya harus dievaluasi dengan membuat penelitian kembali terhadap kondisi saat ini. Penelitian secara lengkap dilakukan untuk memberikan gambaran yang utuh terhadap berbagai persoalan di Papua. Karena itu, anggapan bahwa pemerintah pusat sengaja membuat kekacauan di Tanah Papua tidak dapat dibuktikan dengan adanya visi dan misi pemerintah pusat untuk membangun di Tanah Papua sebagai bagian penting dari wilayah NKRI. Studi dapat dilakukan dengan mengajak komponen masyarakat, akademisi, politisi dan birokrasi (pemerintah daerah dan pusat) serta departemen terkait lainnya. Dengan begitu hasil studi yang komprehensif tersebut dapat dijadikan dasar untuk proses pembangunan di Tanah Papua di masa depan.
Kemudian soal tata kelola pemerintahan. Pemerintahan di daerah Papua masih dianggap buruk lantaran beberapa hal: aturan yang masih lemah, korupsi dan penyalah-gunaan kekuasaan marak di semua tingkat pemerintahan. Kondisi kemiskinan rakyat Papua, baik masalah pendidikan, kesehatan maupun peluang untuk mendapatkan pekerjaan terutama penduduk asli, tidak didukung oleh program pemerintah yang mampu menyelesaikan persoalan di Bumi Cenderawasih.
Institusi politik masih sangat lemah baik eksekutif (pemerintah daerah), partai politik maupun sistem pertanggung-jawaban dari kekuasaan. Pemilu kepala daerah sebagaimana juga terjadi di daerah-daerah lain di luar Papua menjadi panggung politik untuk perebutan kekuasaan dan belum sampai pada tataran untuk melakukan dan mengimplementasikan kebijakan buat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Papua.
Konflik di Papua yang berkepanjangan sejak tahun 1963 menyebabkan para aktor di Tanah Papua lebih berkonsentrasi kepada konflik politik dibandingkan dengan proses implementasi kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Dibutuhkan model penilaian kinerja dengan indikator yang jelas dalam program percepatan pembangunan di Tanah Papua. Hal ini untuk meningkatkan dan mengoptimalkan pelaksanaan otonomi khusus di wilayah Papua.
Selanjutnya tentang revitalisasi dana otonomi khusus. Dalam diskusi di tiga tempat (Jayapura, Manokwari dan Jakarta) telah dibahas tuntutan agar Anggaran Otsus harus digunakan dalam kerangka percepatan pembangunan di Tanah Papua, bukan untuk belanja rutin. Salah satu pandangan yang cukup banyak diperdebatkan dalam diskusi terbatas tersebut adalah apakah ada kemungkinan dibentuknya lembaga seperti model penanganan pasca tsunami di Aceh, yaitu model BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi). Namun dibutuhkan sosialisasi dan kajian yang lebih mendalam lagi tentang persepsi tersebut. Dengan demikian dapat mengoptimalkan pembangunan program unggulan dari wilayan Papua. Untuk itu diperlukan model pengucuran anggaran otonomi khusus dengan program dan pertanggung-jawaban yang tegas dan jelas.
Berikutnya adalah penyelarasan UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua dengan peraturan terkait lainnya. Penataan daerah otonom membawa dampak kepada penyelarasan peraturan perundang-undangan di wilayah Tanah Papua. Terutama di berbagai sektor atau bidang seperti kehutanan, perikanan, pertambangan umum, energi dan gas. Persoalan utama adalah bagaimana otonomi khusus dapat dijalankan dengan peraturan yang selaras baik secara horizontal hubungan antar-pemerintah daerah di wilayah Papua maupun dalam kerangka hubungan pusat-daerah. Dengan begitu peraturan baik pusat maupun daerah dibuat untuk memberikan perlindungan bagi pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua. Termasuk pula secara khusus peraturan yang mengatur partisipasi sektor swasta dalam pembangunan di wilayah Papua.
Pembangunan di wilayah Tanah Papua harus pula memperhatikan penyelesaian kasus-kasus HAM pada masa silam untuk memberikan keadilan bagi rakyat Papua. Dalam hal ini lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan harus dilibatkan sebagai upaya penyelesaian berbagai kasus HAM masa lampau. Adanya kemauan politik (political will) pemerintah pusat untuk membahas dan menyelesaikan masalah kekerasan negara terhadap rakyat Papua menjadi langkah penting untuk membangun wilayah Papua kini dan masa depan. Penggunaan kekerasan negara terhadap rakyat jangan dijadikan warisan kepada pemerintahan berikutnya. Sebab itu, perlu menempatkan program pengungkapan kebenaran dalam proses pembangunan di wilayah Papua. Hal ini diperlukan dalam kerangka untuk dapat membangun kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah pusat. Dan, dalam hal ini pemerintah pusat harus berinisiatif mengambil tanggung jawab.
Harus pula secara simpatik berani mengambil keputusan penyelesaian segera kasus-kasus seperti yang menimpa masyarakat Wasior/Wamena, Mapenduma dan Abepura. Salah satu hal yang dapat dikemukakan di sini adalah segera melakukan pemenuhan hak korban seperti rehabilitasi, kompensasi, restitusi sekolah/rumah yang dibakar, akses ke pekerjaan, menghilangkan label OPM dalam KTP, dan memorialisasi (tanggal, tempat, kegiatan).
Dalam diskusi terbatas di Jakarta muncul saran pemikiran bahwa peran keamanan negara harus lebih dititik-beratkan di wilayah perbatasan. Kendati dalam kenyataannya masalah perbatasan bukan masalah politik penting bagi persoalan di Papua. Dengan demikian harus ada reformasi peran keamanan di wilayah Tanah Papua.
Perkembangan proses demokratisasi pun membawa dampak dalam kehidupan politik masyarakat. Peran masyarakat sipil (civil society) dalam proses kehidupan politik tak dapat diabaikan. Hal itu tidak hanya terbatas kepada masyarakat domestik namun juga komunitas internasional baik melalui lembaga PBB (seperti UNESCO, UNDP, WHO dan ILO) maupun dari kelompok warga (LSM internasional). Dalam konteks ini harus secara bijaksana dilihat dari sisi kepentingan rakyat Papua dan kepentingan nasional.
Penguatan peran civil society juga sangat dibutuhkan. Hal itu sehubungan dengan praktik pelaksanaan otonomi khusus yang sejauh ini hanya memberikan manfaat kepada elit politik dan dominasi dari lembaga-lembaga adat atau tradisional di wilayah Papua. Sebab itu, perlu diperkuat lembaga masyarakat yang mampu memberikan kontrol terhadap proses pembangunan di wilayah Papua.
Pada akhirnya, pembangunan di Tanah Papua harus dilaksanakan oleh semua institusi pemerintahan di setiap tingkatan. Demokrasi memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk memperbaiki relasi politik dengan pemerintah daerah di wilayah Tanah Papua dan juga dengan rakyat Papua. Sejak tahun 1999 terdapat berbagai kejadian yang berkelanjutan dalam bentuk Musyawarah Besar (Mubes) sebagai forum pertemuan para pemimpin di Papua. Keputusan-keputusan telah diambil sejak Mubes di Sentani pada Februari 2000 sampai pertemuan pada Juli 2010. Pada konteks ini pemerintah pusat harus secara bijak menyikapi persoalan tuntutan masyarakat dengan pendekatan kesejahteraan tanpa kekerasan. Karena itu seri dialog antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi hal penting untuk dilakukan. Hal itu terkhusus pada wilayah Papua yang sangat penting posisinya bagi bangsa Indonesia. Tidak hanya di dalam negeri, bahkan sebagai bagian penting diplomasi Indonesia, terutama di Amerika Serikat dan di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).   
Berangkat dari pokok-pokok pikiran tadi, dalam konteks perbaikan pelaksanaan otonomi khusus dan pemekaran pemerintahan, ke depan haruslah diprioritaskan sebuah grand strategy atau blue print (cetak biru)  pembangunan kesejahteraan sosial di wilayah Tanah Papua. Sebuah cetak biru yang dapat diimplementasikan ke dalam rancangan pembangunan jangka pendek (tahunan), menengah (lima tahunan) dan jangka panjang (20-25 tahun) sehingga pembangunan dapat berjalan berkesinambungan. Sebuah cetak biru yang berisi visi dan misi, strategi, kebijakan dan program beserta tolok ukur keberhasilan yang jelas dan transparan bagi kebaikan masyarakat Papua. Sebuah cetak biru yang berangkat dari paradigma daerah membangun, bukan pembangunan daerah yang datang dari atas (pemerintah pusat) sebagaimana selama ini terjadi. Sebagai sebuah masukan, barangkali, visi yang tepat dalam membangun Papua adalah: Mewujudkan masyarakat Papua yang cerdas, mandiri, berkualitas, maju dan religius, yang dijiwai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai sosial-budaya, adat-istiadat dan khazanah-kearifan masyarakat setempat (lokal) lainnya melalui pembangunan berbasis SDM dan SDA Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk menggapai visi tadi,  langkah-langkah yang dapat ditempuh, di antaranya, sebagai berikut:
Pertama, Perlunya pengaturan ulang (redesign) kebijakan sosial (kesejahteraan sosial), yaitu dengan mengedepankan dan mempertimbangkan aspek kultural dan lokal setempat. Masyarakat tidak lagi dilihat semata-mata sebagai obyek, namun diposisikan sebagai subyek dengan mengembangkan konsep pembangunan sosial yang berorientasi pada manusia (people centered development).
Poin utama dari konsep ini adalah (a) Harus tercipta suatu proses perubahan yang lebih berorientasi pada upaya peningkatan kapasitas perorangan dan institusional. Kapasitas perorangan yang dimaksud ialah kapasitas/kemampuan diri manusia. Sedangkan institusional bukanlah organisasi atau lembaga, tapi adanya pranata-pranata, nilai-nilai dan norma-norma budaya yang tahan lama dan menata sikap, perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam suatu masyarakat atau komunitas (Nikonor Auri, 2004). Dan (b) Pembangunan jangan hanya bertumpu pada penambahan sarana dan infrastruktur, namun perlu memberdayakan masyarakat supaya dapat memaksimalkan pemanfaatan dari infrastruktur tersebut. Dengan pengembangan metode partisipatif diharapkan warga masyarakat tidak lagi mengalami kegagapan budaya dan keterbelakangan sosial, karena masyarakatlah yang menjadi aktor dalam proses pembangunan sosial di Papua. Penguatan partisipasi publik menjadi kebutuhan mendasar dalam penguatan kapasitas pembangunan di Papua (UNPD, 2005). Salah satu kelemahan utama pemerintahan di Papua adalah perencanaan pemerintah daerah, terutama perencanaan dengan partisipasi aktif masyarakat dan sektor swasta.
Kedua, Pemerintah pusat dan provinsi serta kabupaten/kota di Papua perlu mengubah cara pandang terhadap pembangunan yang selama ini berlangsung di wilayah Papua. Pembangunan yang akan dilaksanakan adalah pembangunan untuk Papua (development for Papua), bukan lagi pembangunan di Papua (development at Papua).
Untuk itu dibutuhkan beberapa hal. Antara lain: Kemurnian motif untuk melakukan pembangunan di wilayah Papua, sehingga ketika terjadi kemandekan dan ketidak-berhasilan, pemerintah pusat tidak lagi menyalahkan Papua. Pemfokusan kepada persoalan sosio-kultural adalah salah satu kunci pendukung keberhasilan pelaksanaan pembangunan untuk Papua dan untuk rakyat Papua. Seluruh pihak yang berkepentingan dalam pembangunan Papua perlu memahami dan menghargai beragam norma budaya, sosial, keagamaan serta struktur kehidupan masyarakat di berbagai wilayah Papua. Karena, hal-hal tersebut menentukan hubungan internal pada suatu kelompok ataupun dengan pihak luar. Kebudayaanlah yang harus menjadi dasar untuk membangun kerjasama dan kedamaian di antara kelompok-kelompok masyarakat di wilayah Papua. Dalam kata lain, semua kebijakan, program dan kegiatan harus berangkat dari pengertian akan adat/budaya setempat bila ingin berhasil.
Terutama dalam perkembangan terkini di mana pemerintah telah mengajukan rencana untuk menggerakkan sejumlah proyek berskala besar atau diistilahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ‘megaproyek’ (Harian Republika, 22 November 2010). Presiden SBY meminta rencana pembangunan  megaproyek di Provinsi Papua dan Papua Barat sudah bisa diselesaikan konsepnya dan dapat dipresentasikan kepada pemerintah pusat pada awal Januari 2011. Rencana pembangunan megaproyek di Papua meliputi kawasan agribisnis terpadu di Merauke serta pembangunan kawasan ekonomi hijau di Embrano dan Jayapura yang rendah emisi gas karbondioksida. Sedangkan rencana pembangunan megaproyek di Papua Barat meliputi kawasan industri ternak, pabrik semen, serta pembangkit tenaga listrik di Manokwari, Fak-Fak dan Sorong.
Selain itu, di saat bersamaan pemerintah juga tengah mematangkan realisasi program pengembangan pertanian dan perkebunan berskala luas dalam Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dicanangkan tahun 2006. Realisasi proyek berskala besar sangat berisiko memukul kohesi sosial-budaya yang telah dibangun selama ratusan tahun. Papua bisa saja menjadi sumber konflik baru,  tatkala pembangunan dihadapkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan hak milik ulayat atau adat, atau pengabaian terhadap nilai-nilai kultural masyarakat asli. Sebelum konsep megaproyek Papua dan Papua Barat itu betul-betul dipresentasikan di hadapan Presiden SBY pada 2011, selayaknya dilihat lagi seluruh peraturan yang berkaitan dengan Papua. Jangan sampai Papua hanya menjadi satu tempat persinggahan pusat-pusat pertumbuhan, sementara masyarakat asli setempat semakin terpinggirkan (Indra J. Piliang, Koran Tempo 25 November 2010). Kita tentu tidak ingin mengulangi lagi banyak model kegagalan pembangunan di Papua, ketika penduduk asli dilanda kelaparan, sampai melihat roda-roda pembangunan menggilas hak-hak mereka.
Ketiga, Persoalan kesejahteraan sosial di Papua tidak dapat sekadar dilihat dari satu aspek dan kepentingan, namun juga perlu diperhatikan masalah komunikasi dalam proses pembangunan sosial. Komunikasi yang dialogis dibutuhkan untuk menumbuhkan kepercayaan antara pemerintah pusat dan Papua, pun sebaliknya. Jadi penduduk Papua akan diposisikan sebagai local ownership dari kegiatan pembangunan sosial di Papua, karena mereka lebih memahami apa yang menjadi kebutuhan riil serta kompleksitas permasalahan yang ada semenjak dulu sampai sekarang. Mekanisme pelibatan elemen-elemen dalam masyarakat terkait dengan berbagai pilihan dan kebutuhan, serta dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya. Dialog inklusif dibutuhkan dengan tujuan lebih jauh untuk meningkatkan kapasitas dari elemen-elemen lokal tersebut, sehingga ada jaminan keberlanjutan dari sebuah kebijakan yang diformulasikan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Isu keberlanjutan kebijakan atau program pembangunan memang menjadi persoalan tersendiri di tingkat birokrasi lokal. Pemikiran yang terfokus pada penyelenggaraan ‘proyek’ jangka pendek dan terbatas jangka waktunya mendominasi pemikiran dan kegiatan pegawai negeri di semua tingkat pemerintahan di Papua (UNDP, 2005). Hal ini bertentangan dengan pemikiran jangka panjang dan menyeluruh tentang apa artinya pembangunan atau bagaimana pembangunan harus diukur. Demikian pula penyediaan layanan, dan isu-isu yang berhubungan dengan konsistensi dan kualitas atau pemenuhan kebutuhan dan hak-hak umum tidak menerima perhatian yang sepatutnya dalam pembangunan lokal dan yang ‘diproyekkan’.
Keempat, Kebijakan dan program sosial yang akan diimplementasikan adalah kebijakan yang bersifat non inkremental. Artinya, jangan ada lagi program sosial yang bersifat tambal sulam atau cuma merevisi dan mengembangkan sebagian kebijakan (partial policy development). Persoalan di Papua adalah persoalan yang kompleks, mulai dari tahap pre-formulasi sampai dengan evaluasi haruslah dilakukan dalam kerangka dan konteks yang komprehensif, untuk menghasilkan solusi yang konstruktif bagi masyarakat Papua. Masalah utama lainnya terletak pada belum adanya perencanaan yang terpadu dan sesuai dengan kondisi geografis dan persebaran penduduk Papua, nilai-nilai kultural (cultural values) masyarakat Papua, serta transparansi anggaran. Bila problem itu belum dapat diatasi, maka dana sebesar apapun tidak akan banyak memberi arti bagi masyarakat asli Papua. Permasalahan ini sebenarnya diakibatkan karena birokrat yang duduk di pemerintahan lokal tidak memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menjalankan roda-roda birokrasi. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota belum berhasil mengelola dana otonomi khusus secara baik dan bertanggung-jawab. Hal ini menjadikan dana otonomi khusus tidak tepat sasaran dan yang mungkin terjadi adalah praktik korupsi dana otonomi khusus oleh elit-elit lokal di Papua (Muridan S. Widjojo, et al. 2008). Pengembangan kebijakan dapat dilakukan dengan metode manajemen kewilayahan, sehingga ada penajaman fokus terhadap kebijakan yang akan diformulasikan pada setiap wilayah di Papua. Hal ini sangat dibutuhkan dalam program pengentasan kemiskinan di tingkat lokal (distrik). Selama ini penentuan daerah miskin pada umumnya tidak dilakukan secara terfokus dan sering terdapat program untuk distrik dengan keadaan yang lebih baik, atau yang lebih disenangi secara politik, sementara distrik yang lebih banyak dihuni penduduk miskin justru tidak menjadi target program (UNDP, 2006). Untuk mencapai tujuan pengentasan kemiskinan di Papua maka setiap sektor harus menentukan dan memfokuskan pada distrik yang akan menjadi target/sasaran program. Penentuan distrik sasaran berdasarkan kriteria dari sektor kunci --termasuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan ekonomi masyarakat. Ditetapkannya distrik tertentu sebagai prioritas berarti bahwa anggaran dan upaya pendampingan, pengertian terhadap kebudayaan, strategi komunikasi dan sebagainya harus difokuskan secara maksimal pada distrik tersebut.
Kelima, Untuk konteks pemberdayaan masyarakat Papua, dapat dilakukan improvement approach. Dalam pendekatan ini, proses pengambilan keputusan pada tingkat lokal tetap dilakukan oleh pemerintah serta pemerintah tetap responsif terhadap kepentingan komunitas lokal. Pada tataran lebih tinggi, proses pengambilan keputusan oleh pemerintah pusat, namun tetap memberikan peluang kepada pemerintah lokal untuk mengajukan pilihan-pilihannya yang lebih mengakar. Dengan begitu, dalam pemberdayaan komunitas yang konservatif terdapat demokrasi di kalangan komunitas bawah (grassroot), yang ditandai dengan tumbuhnya kesadaran, pengetahuan serta kemampuan memecah masalah dari komunitas lokal, dengan memanfaatkan modal sosial dan kearifan lokal. Komunitas yang lebih besar dapat dibentuk oleh kelompok-kelompok dinamis di wilayahnya, yang merasa perlu mengorganisir dan mengelola masyarakat yang lebih luas itu untuk memperkuat diri, bekerja lebih efisien dan memperoleh hasil kerja yang lebih besar. Dengan metode musyawarah antar-kelompok atau antar-individu, iklim demokrasi pada tingkat bawah di semua bidang, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya, dapat dipelihara dan dikembangkan. Dengan begitu kemampuan mengambil keputusan serta partisipasi aktif pada berbagai kegiatan produktif menjadi lebih besar. Dan arti lebih jauh, tingkat keswadayaan, kepercayaan diri, dan keswabinaan pun lebih besar. Dalam tataran praktik, improvement  approach ini secara nyata harus dikedepankan dalam program pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Bila otonomi khusus dipakai untuk “menghilangkan” kemiskinan di Papua, maka kebutuhan masyarakat di daerah pedesaan (kampung) yang dikategorikan miskin harus dikenal secara baik. Maknanya, kalau dikenal maka harus dikejar metode (cara) membangun, pelaku pembangunan dan juga alat-alat yang dapat membantu menggerakkan metode (cara) tersebut. Untuk itu kebijakan dan implementasi kebijakan harus sampai wilayah distrik. Dengan pengertian setelah ada kebutuhan yang jelas dari masyarakat maka ditentukan lembaga dan metode partisipasi yang sesuai dan mampu memberi solusi guna pemecahan masalah/kebutuhan.
Keenam, Harus ada reorientasi otonomi khusus dari orientasi politik-administratif menjadi berorientasi pada pembangunan sosial-ekonomi Papua sesuai dengan pendekatan inward looking ke outward looking (Thandika Mkandawire, 2004). Kuncinya adalah dengan menemukan kembali (reinventing) roh pembangunan Papua, yang lebih menekankan pada pembangunan multidimensi berbasis kewilayahan untuk mempercepat restrukturisasi sosial dan ekonomi daerah, daripada memfokuskan kepada proses pemekaran wilayah. Pembentukan daerah otonom baru (kabupaten) yang kebijakannya ada di dalam UU Otonomi Khusus Papua selama ini masih berorientasi pada pembentukan kelembagaan di tingkat kabupaten. Padahal, pemekaran kabupaten adalah sebuah upaya pembangunan yang utuh untuk mengelola kemandirian daerah yang terdiri dari kampung, distrik dan kabupaten (UNDP, 2006). Masih banyaknya masyarakat miskin dan adanya ketimpangan sosial di Papua mengindikasikan bahwa tidak ada kecenderungan ke arah konvergensi, karena akses dan sumberdaya modal masih dikuasai oleh pihak tertentu, dan belum ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua secara optimal. Sumberdaya alam Papua yang melimpah masih dikuasai oleh sejumlah perusahaan multinasional yang menghasilkan pendapatan triliunan rupiah per tahun (VIVAnews, 23 November 2010).
Di wilayah Papua terdapat salah satu raksasa bisnis Amerika di Indonesia, yakni Freeport McMoran Copper & Gold. Melalui PT Freeport Indonesia, perusahaan emas kelas dunia itu menjadi salah satu penambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia. Freeport beroperasi di daerah dataran tinggi Mimika. Kompleks tambang di Grasberg itu merupakan salah stu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia. Wilayah ini juga mengandung cadangan emas dan tembaga terbesar sejagat. Tahun 2009, Freeport menghasilkan sekitar 86 ton emas. Berdasarkan data Frreport-McMoran per akhir 2009, Freeport Indonesia merupakan penyumbang pendapatan terbesar bagi induk perusahaan tambang emas yang berpusat di Phoenix, Arizona, itu. Freeport Indonesia membukukan pendapatanUS$5,9 miliar, jauh melampaui perusahaan Freeport yang beroperasi di Amerika Utara dengan pendapatan US$4,8 miliar. Namun, tidak bisa dipungkiri Freeport juga membayarkan manfaat langsung bagi Indonesia. Selama periode April-Juni 2010, Freeport Indonesia telah pula melakukan kewajiban pembayaran kepada pemerintah Indonesia sebesar US$634 juta atau sekitar Rp5,7 triliun.   
Di sisi lain, mayoritas penduduk asli Papua masih berada pada ekonomi subsisten atau mendekati subsisten. Mereka menunggu pada sisi garis batas pembangunan sambil menonton. Petani subsisten merupakan penduduk etnik Papua yang tidak berkembang, menunggu di pinggiran untuk memahami bagaimana dapat terlibat dan menyumbang serta memainkan peran mereka dalam proses pembangunan Papua. Untuk mencapai pembangunan berkesinambungan dan pengentasan kemiskinan di Papua, pertumbuhan ekonomi tinggi saja tidak cukup, kecuali pertumbuhan ekonomi tersebut berpengaruh langsung terhadap penciptaan kesempatan kerja yang memadai yang akan menjadi langkah sangat penting untuk keluar dari jurang kemiskinan. Harus diperjelas bahwa yang dikejar bukanlah model pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi Papua yang ditargetkan melalui angka-angka statistik. Yang diutamakan adalah pengembangan kualitas hidup penduduk asli Papua. Sementara pembangunan pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi kerakyatan merupakan fokus dari Rencana Umum Pembangunan Papua, maka pembangunan sumberdaya manusia dan lapangan kerja harus menjadi tujuan pintas dari program dan perencanaan pembangunan provinsi, terkhusus dalam usaha mengentaskan kemiskinan. Jika program pembangunan tidak diarahkan buat menciptakan kesempatan kerja baru yang sesuai dengan karakteristik mayoritas penduduk asli Papua, maka kita akan mengulangi kesalahan lama yang sama dalam upaya pembangunan untuk pengentasan kemiskinan di masa depan.
Arti kata, ke depan, kita harus menjauhkan masyarakat Papua dari orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Dan untuk itu, meminjam ungkapan aktivis HAM Afrika-Amerika Martin Luther King, kita mesti percaya bahwa apa yang dihancurkan oleh orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dapat dibangun kembali oleh orang-orang yang bersedia memikirkan orang lain. Kita harus menempatkan orang-orang yang senantiasa mau memikirkan orang lain di wilayah Tanah Papua. Orang-orang yang berkomitmen, berdedikasi dan berintegritas tinggi buat mengawal perbaikan pelaksanaan otonomi khusus untuk Papua. ***

Boks:
Good Governance dan Clean Government,                                                  Faktor Penentu Keberhasilan Pembangunan Papua
Untuk menggapai visi dan misi serta membangun Papua dengan langkah-langkah sistematis dan strategis, selain dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat, juga harus ada dukungan penuh dari aparatur birokasi yang solid dan profesional. Sesuai dengan tuntutan arus reformasi dan otonomi khusus Papua, (aparatur) birokrasi tidak bisa lagi cuma ongkang-ongkang kaki laiknya seorang bos (boss style). Paradigma birokrasi telah berubah. Dari dilayani menjadi melayani. Sebab itu, aparatur birokrasi harus bekerja keras sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya. Dalam pengelolaan pemerintahan, prinsip-prinsip yang harus diterapkan, antara lain, adalah good governance dan clean government. Para aparatur birokrasi pun harus memiliki spirit entrepreneurship (entrepreneurial government).
Harus dibangun karakter birokrasi modern yang senafas dengan prinsip-prinsip tadi. Bukan birokrasi yang penuh warna kleptomaniak. Unsur profesionalitas dikedepankan. Misalkan perekrutan, pergantian dan pengangkatan aparatur birokrasi didasarkan pada kemampuan (capability) seseorang. Pejabat daerah  didorong pula untuk meningkatkan disiplin dan etos kerja, peningkatan kualitas sumberdaya aparatur pemerintah serta pemanfaatan teknologi informasi (TI) sesuai dengan kaidah transparansi pemerintahan serta sebagai upaya pelibatan partisipasi aktif warga masyarakat.
Mengapa birokrasi modern harus dibangun di Papua? Mesti diakui, selain ketimpangan ekonomi dan ketidak-adilan sosial, merosotnya semangat kebangsaan dan meningkatnya fanatisme kesukuan yang sempit, salah satu di antara sumber konflik di Papua adalah juga karena beberapa kebijakan yang bias dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada masa lalu. Diduga bahwa beberapa kali pengangkatan dan pergantian sejumlah pejabat di Papua tidak didasarkan pada merit system, namun ada nuansa kolusi dan nepotisme. Ada kenyataan di mana dalam lingkungan pemerintahan beberapa oknum aparatur birokrasi tidak menjalankan pekerjaannya secara profesional.
Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka kurang peduli pada pelayanan publik. Banyak pejabat daerah Papua yang lebih gampang ditemui di Jakarta daripada di Jayapura. Sedangkan di Jayapura sendiri kerap dijumpai pejabat kabupaten dalam jumlah banyak. Keadaan ini jelas membawa akibat penurunan kualitas pelayanan kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Hal ini terjadi karena pada waktu proses pemekaran wilayah pemerintahan, banyak pejabat kabupaten setempat yang diambil dari dalam struktur birokrasi di ibukota provinsi. Lantaran keterikatan dengan kepentingan keluarga misalkan, sang pejabat tidak bisa selalu berada di tempat tugasnya yang lokasinya sangat jauh dari Jayapura.
Sedangkan mengenai pejabat provinsi yang seringkali berada di Jakarta daripada di kantornya, terkait dengan adanya manfaat ekonomis dari biaya perjalanan dinas yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan oleh sang pejabat. Pada satu segi jelas hal ini sudah merupakan bentuk penyalah-gunaan jabatan dan wewenang. Pada segi yang lain hal ini menghambur-hamburkan anggaran bukan untuk kepentingan rakyat Papua.
Dalam konteks di mana masyarakat berafiliasi kuat dengan hal-hal tertentu (baik tradisi, kesukuan maupun agama), maka langkah-langkah strategis harus diambil guna melibatkan rakyat di tingkat akar rumput dalam rangka membangun pemerintahan yang baik dari segi transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Pemerintahan yang baik memainkan peran penting dalam meraih perdamaian positif. Jika tidak, maka demokrasi akan menjadi tidak efektif dan bahkan kalah dari primordialisme. Pemilihan langsung kepala daerah dalam masyarakat Papua yang tidak diikuti dengan pandangan ke luar (outward looking), pembangunan kepercayaan terhadap orang lain serta pendidikan politik yang benar hanya akan membuka jalur bagi Papuanisasi yang berdasarkan kesetiaan kesukuan yang memicu konflik horizontal. Hal tersebut akan memperkuat bagi-bagi kekuasaan berdasarkan garis etnis. Persaingan antara para elit suku memperebutkan kekuasaan politik seringkali membuat mereka saling bermusuhan bukannya menyatukan mereka untuk menjadi sumberdaya manusia lokal yang mumpuni. Kelompok-kelompok yang terpolarisasi menurut garis-garis etnis itu juga mempengaruhi pola kepemimpinan lokal dan koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah (contohnya eksekutif melawan legislatif).
Gaya kepemimpinan tradisional yang menempatkan kepentingan etnis seseorang di atas masyarakat umum diikuti oleh kurangnya kapasitas profesional dalam mengelola pemerintahan yang sarat dengan hal-hal yang lebih berorientasi proyek daripada yang bermanfaat bagi publik. Ruang untuk membelokkan dana publik berkaitan erat dengan tata cara penyampaian dana Otsus yang menentukan kualitas pengawasan dan transparansi. Selama ini, dana Otsus telah dikirimkan melalui rekening bank dana umum yang menjadikan tantangan dalam mengawasi penggunaannya. Koordinasi, baik manajerial maupun program, antara provinsi, kabupaten sampai tingkat pedesaan perlu dibangun dan dipelihara untuk menghindarkan adanya program yang saling tumpang tindih dan mendukung efek penyebaran manfaat publik (trickle down effect) dalam proses pembangunan birokrasi yang baik dan bersih.
Melihat pengalaman di masa silam, ke depan, pemerintahan di wilayah Papua harus mampu mereduksi konflik, memperbaiki lembaga birokrasi yang ada, mengisi kursi-kursi birokrasi dengan ornag-orang yang kapabel (yang tidak cuma memikirkan diri sendiri), dan mensterilkan birokrasi dari kepentingan-kepentingan sempit. Birokrasi Papua harus mampu tampil sebagai lembaga yang netral sehingga dapat memberikan pelayanan tanpa pandang bulu. Unsur-unsur subyektif harus dikesampingkan. Aparatur pemerintah ditugaskan untuk melayani publik secara profesional, tanpa membeda-bedakan latar belakang warga masyarakat.
Ke depan, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota sampai distrik) harus mampu menempatkan birokrasi pada posisi yang netral. Lembaga pemerintahan (birokrasi) dijadikan “Indonesia Mini” sehingga tercermin keaneka-ragaman sosial-budaya, suku, ras dan agama.
Birokrasi di lingkungan pemerintahan daerah di wilayah Papua dituntut untuk bekerja dan menerapkan prinsip-prinsip clean government dan good governance (partisipatif, adil, efisien, efektif, akuntabel, transparan, law  enforcement, responsif, konsensus dan strategi visi). Secara sederhana prinsip-prinsip clean government dan good governance tersebut dapat diartikan bahwa apapun kebijakan pemerintah harus selalu berpatokan pada konsensus, hasil-hasil pembangunan yang dicapai dan penggunaan anggaran disampaikan kepada masyarakat secara transparan. Termasuk, tuntutan dan kebutuhan masyarakat harus selalu direspon secara baik, serta penggunaan sumberdaya yang efisien dan efektif. Keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah harus senantiasa mencerminkan keadilan, tugas-tugas yang dijalankan selalu dipertanggung-jawabkan dan pelanggaran-pelanggaran langsung ditangani dengan penegakan hukum (law enforcement).
Secara lebih terperinci, substansi good governance sebagai faktor dominan pendukung keberhasilan pemerintahan dan otonomi khusus, ada enam kriteria. Pertama, competence. Bahwa setiap pejabat yang dipilih dan ditunjuk untuk menduduki jabatan pemerintahan adalah orang yang benar-benar memiliki kompetensi dari segala aspek penilaian. Mulai dari pendidikan, pengalaman, moralitas, dedikasi sampai integritas. Kedua, transparancy. Bahwa setiap aspek dan fungsi pemerintahan harus menerapkan prinsip keterbukaan atau transparansi. Ketiga, accountability. Bahwa keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik maupun hukum. Keempat, participation. Bahwa aparatur pemerintah harus turut aktif dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat. Kelima, rule of law. Bahwa kepastian dan penegakan hukum merupakan salah satu prasyarat keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Keenam, social justice. Bahwa prinsip kesetaraan dan keadilan bagi setiap anggota masyarakat harus betul-betul diimplementasikan dalam setiap tahap dan proses pembangunan.
Dalam paradigma good governance, pembangunan di daerah paling tidak harus memiliki tujuan, antara lain, mengembangkan kemampuan ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Juga, meningkatkan kondisi kesehatan, pendidikan, perumahan dan kesempatan kerja bagi masyarakat. Termasuk mendorong penegakan hak-hak azazi manusia. Tujuan utama pembangunan yang berorientasi good governance sendiri adalah mendorong tegaknya hak-hak azazi manusia, kebebasan politik dan demokrasi, mengembangkan peradaban, serta meningkatkan kesadaran akan betapa pentingnya pembangunan berkelanjutan.
Untuk menggapai birokrasi yang memenuhi prinsip-prinsip good governance, haruslah dilakukan penataan enam aspek manajemen birokrasi, yakni aspek kelembagaan, kepegawaian, ketata-laksanaan, pengawasan dan akuntabilitas, pelayanan publik dan perubahan paradigma aparatur. Pendek kata, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di wilayah Papua mesti melakukan reformasi birokrasi. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan adalah penciutan dan perampingan struktur pemerintahan di tingkat atas; penempatan the right man/woman on the right place; penguatan tata pemerintahan di tingkat distrik dan kampung; dan perang terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tatanan birokrasi lama boleh dikatakan telah meninggalkan borok-borok korupsi, kolusi dan nepotisme.
Di masa lalu, birokrasi sipil dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya alam wilayah Papua cenderung menjadi pelayan pengusaha besar dan mengabdi pada kepentingan dirinya sendiri dan pejabat-pejabatnya. Tanah-tanah hak ulayat diambil-alih secara sewenang-wenang oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas nama pembangunan. Pada 1980-an pengkaplingan hutan-hutan Papua dilakukan oleh pengusaha, kroni-kroni, dan penguasa Jakarta.
Selama Orde Baru pula korupsi, kolusi, dan nepotisme berurat akar di dalam birokrasi pemerintah daerah. Di dalam praktiknya, setiap pejabat menggunakan kekuasaannya untuk korupsi dan memberikan fasilitas pada kerabat atau kenalan yang berasal dari kelompok etnik yang sama. Pada satu sisi hal ini membuat orang Papua melihat persoalan birokrasi sebagai bagian dari diskriminasi oleh kelompok-kelompok etnik pendatang (Jawa, Manado, Batak, Bugis, Buton, dan Makasar) terhadap kelompok-kelompok etnik Papua. Pada sisi lain kemakmuran yang kasat mata melekat pada pejabat birokrasi melahirkan kecemburuan di pihak aparatur birokrasi yang asli putera Papua.
Kini di era reformasi dan otonomi khusus, muncul tekad untuk mereformasi tatanan birokrasi pemerintahan di Papua. Komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi pemerintahan secara berkelanjutan boleh dikatakan telah terlihat pada langkah-langkah Gubernur Papua (2006-2011) Barnabas Suebu. Sayangnya, masih kerap dihambat oleh berbagai kondisi dinamika politik lokal. Langkah awal yang menarik dilakukan Gubernur Barnabas adalah menerbitkan buku berjudul Kami Menanam, Kami Menyiram, Tuhanlah yang Menumbuhkan. Buku yang berisi visi, misi dan program kerja Barnabas Suebu (Gubernur) dan Alex Hesegem (Wakil Gubernur) ini merupakan upaya untuk menularkan pemahaman yang sama bagi langkah kerja birokrasi pemerintahan. Hal lain yang dilakukan Barnabas dan Alex adalah mengintensifkan kegiatan “turun ke kampung” (Turkam). Begitu aktifnya Gubernur melakukan Turkam sehingga dia lebih banyak berada di kampung daripada di kota. Ini merupakan satu bentuk teladan kepada para bawahannya untuk lebih dekat pada rakyat di kampung dan merupakan perwujudan visi pembangunan yang berakar dari kampung.
Dalam bukunya itu, Gubernur Barnabas mengungkapkan alasannya mengapa (waktu itu) dia memutuskan kembali ke dalam dunia politik Papua sesudah menjadi duta besar di luar negeri. Barnabas menuturkan, “Saat itu, saya melihat ada dua dunia di Papua. Pertama, dunia birokrasi yang pesta pora dengan uang Otonomi Khusus. Kedua, dunia rakyat kecil di kampung-kampung. Dunia yang terus berteriak, menjerit, menangis, miskin dan papa. Mereka hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Bahkan ada yang sampai mati karena lapar. Dua dunia ini tidak pernah bertemu. Ketika saya melihat situasi demikian, situasi di mana keadaan yang sangat tidak kita harapkan itu terjadi, tentu sebagai orang Papua, sebagai orang yang pernah memimpin Papua (waktu itu Irian Jaya), saya sangat sedih dan prihatin. Apa yang harus saya lakukan untuk menolong dan memperbaiki keadaan ini?”
Ketika terpilih pada tahun 2006, Barnabas Suebu pun langsung merentang tiga program penataan pemerintahan yang meliputi reformasi birokrasi, reformasi anggaran, dan reformasi sistem pengadaan barang dan jasa. Untuk reformasi birokrasi, Barnabas melakukan penciutan dan perampingan struktur pemerintahan di tingkat atas, penempatan aparatur atas dasar prinsip the right man/woman on the right place, penguatan tata pemerintahan di tingkat distrik dan kampung, serta perang terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kemudian untuk reformasi anggaran, Barnabas menempuh pendekatan: Anggaran yang piramidal, pengeluaran terbesar ada di tingkat kampung; dan penataan administrasi keuangan, melalui penerapan sistem informasi manajemen keuangan daerah dan pengembangan Matriks Konsistensi Perencanaan dan Penganggaran (MKPP). Proses ini dilakukan dengan dukungan tim ahli dari tim World Bank (Bank Dunia). Sedangkan analisis mengenai kesesuaian perencanaan dengan aturan anti-korupsi dilakukan oleh tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Bank Dunia. Masih dalam kaitan dengan reformasi pemerintahan, Barnabas juga melakukan reformasi sistem pengadaan barang dan jasa. Hal ini harus dilakukan karena Barnabas mengidentifikasi adanya empat kelemahan dalam sistem yang lama, yaitu korupsi yang terjadi selama proses pelelangan (bidding process); rendahnya kapasitas aparatur pemerintah yang mengelola proses pengadaan barang dan jasa; rendahnya kapasitas pemasok/kontraktor yang menyediakan barang dan jasa; dan harga barang dan jasa yang dipasok telah di-mark-up sedemikian rupa sehingga jauh di atas harga yang wajar.
Salah satu hakikat Otonomi Khusus di wilayah Papua (pemerintah provinsi dan kabupaten/kota) memang terletak para praktik sistem pemerintahan yang harus semakin baik. Aparatur dituntut untuk semakin profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya. Hasil akhir yang diharapkan adalah terciptanya pemerintahan yang bersih (clean government) dan pelayanan publik yang semakin baik (good public service). Bila semua ini terwujud maka konflik kepentingan yang selama ini melanda dan menghambat kelangsungan otonomi khusus di wilayah Papua –perlahan namun pasti— akan menurun dan bahkan sirna.
Pemahaman good governance sendiri merujuk kepada tiga pilar utama. Pertama, economic governance, yaitu kebijakan dan lembaga ekonomi yang diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang efisien, merata, adil, produktif dan berkelanjutan. Kedua, political governance, yakni proses dan lembaga perumusan kebijakan secara partisipatif dan demokratis yang mampu menciptakan keterlibatan umum serta persatuan bangsa dan negara. Ketiga, administrative governance, yaitu lembaga, kebijakan, mekanisme dan proses implementasi kebijakan yang mampu mendukung pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Penyelenggaraan ketiganya akan menjadi lebih baik dan amanah bila ada jaringan kerjasama dan kemitraan yang saling mendukung antara tiga lembaga/aktor good governance. Pertama, negara atau pemerintah yang menjalankan fungsi penegakan hukum, ketertiban dan keamanan, kebijakan publik seperti melakukan regulasi dan pengaturan struktur insentif dan investasi serta pemungutan dan pendistribusian penerimaan pajak. Kedua, masyarakat madani yang menjalankan fungsi-fungsi representasi kolektif dari rakyat. Kemudian penyaluran layanan publik serta layanan tanggung jawab terhadap masyarakat lainnya. Ketiga, sektor usaha, yang tugasnya adalah memproduksi barang dan jasa guna menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kekayaan.
Dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus, organisasi publik (birokrasi) harus mampu membangun sistem kebijakan publik yang berorientasi pada masa depan, visioner, taktis, sistematis, kreatif dan inovatif. Sebab itu, nilai-nilai yang relevan untuk dikembangkan adalah, pertama, berorientasi pada bisnis masa depan (future business oriented). Dalam hal ini, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus berupaya membuka peluang bisnis yang berorientasi masa depan.
Kedua, memiliki ketajaman dalam menentukan fokus yang harus dilakukan dan dicapai di masa depan. Ketiga, mampu dalam menentukan ketepatan perencanaan tindakan sesuai dengan situasi senyatanya di lapangan. Keempat, menyusun berbagai sistem informasi manajemen ke dalam standar pelayanan publik yang transparan, kongkret, aktual dan terukur. Untuk itu, organisasi perlu kemampuan menguasai teknologi informasi (TI). Dalam upaya memberikan transparansi melalui TI kepada masyarakat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di wilayah Papua harus selalu menginformasikan segala kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan melalui internet yang dapat diakses kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja.
Kelima, responsif dan proaktif terhadap harapan semua pihak (khususnya masyarakat lokal) dan stakeholders yang lebih luas. Dalam hal ini, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di wilayah Papua harus membuka lebar-lebar bagi masyarakat untuk mengeluarkan unek-uneknya melalui lembaga seperti DPRD. Kemudian, aspirasi mereka didiskusikan dengan pemerintah daerah untuk dibuat suatu kebijakan yang berorientasi pada kepentingan bersama. Keenam, merajut sistem jaringan kerjasama antar-wilayah dan antar-daerah dengan konsep kemitraan dan kesetaraan kepentingan.
Pada dasarnya, sebelum diberlakukannya UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua, hubungan antar-pemerintahan dilakukan dalam bentuk hirarki. Tapi, pada era Otonomi Khusus yang demokratis, hubungan itu berada dalam bentuk networking atau kerjasama yang saling menguntungkan. Pemerintahan daerah melakukan kerjasama dengan pemerintahan daerah lainnya atau dengan pihak lain guna memanfaatkan nilai komparatif dan nilai kompetitif yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Dengan begitu akan terbentuk suatu kerjasama dan saling ketergantungan antar-daerah yang bersifat positif dan kuat.
Jadi memang dapat dibayangkan bila semua daerah telah mampu mencapai “keunggulan komparatif dan kompetitif” masing-masing demi kesejahteraan masyarakatnya. Kemudian saling menjalin kerjasama antardaerah, tentu akan  tercipta kondisi yang ideal (minimal mendekati ideal), yakni: kemandirian dan kemajuan, sebagaimana tujuan yang hendak digapai dalam pelaksanaan Otonomi Khusus. Barangkali begitulah yang selama ini didengung-dengungkan oleh banyak kalangan di Tanah Papua: Membangun Papua, Oleh Papua dan Untuk Papua. ***

No comments:

Post a Comment