Tidak seperti Candi Borobudur di Magelang yang
sudah mendunia, nama Candi Sukuh dapat dikatakan belum banyak dikenal orang. Barangkali
lantaran letaknya yang relatif terpencil di lereng Gunung Lawu pada ketinggian
lebih dari seribu meter di atas permukaan laut, candi populer dengan mitos
‘keperawanan’ ini tidak banyak dikunjungi wisatawan.
Memang, bagi orang yang baru kali pertama melancong
ke Candi Sukuh, terasa tidak mudah jalan menuju ke sana. Bagi Anda yang naik
angkutan umum antar-kota, perjalanan bisa dimulai dari Terminal Tirtonadi Solo,
dengan naik bis umum jurusan Solo-Tawangmangu dan turun di Karangpandan. Perjalanan
dilanjutkan dengan minibus jurusan Kemuning lalu disambung dengan ojek hingga
ke kawasan candi. Bila Anda membawa kendaraan pribadi, disarankan untuk memakai
mobil diesel bertenaga 2000 cc atau lebih untuk memudahkan perjalanan melewati
beberapa tanjakan curam.
Tepatnya, Candi Sukuh berada di lereng kaki
Gunung Lawu, Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari
kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Kota Solo.
Kompleks candi tidak begitu luas. Menempati
sebidang tanah berundak, gapura utama Sukuh tidak berada tepat di tengah,
melainkan di sebelah kanan depan. Sisi kanan dan kiri dihiasi dengan beberapa
relief. Sebuah tangga batu yang cukup tinggi ke lorong gapura yang sehari-hari
dihalangi dengan rantai. Untuk naik ke teras kedua, pelancong harus turun lagi
dan berjalan memutar lewat sebelah kanan. Dari teras kedua barulah nampak secara
jelas bentuk relief di sisi gapura ini. Salah satunya adalah gambar seekor
burung garuda yang kaki-kakinya mencengkeram seekor naga. Melongok ke lorong
gapura, sesaji bunga dan dupa berada di lantai, dekat sebuah relief lingga dan
yoni dalam sebentuk lingkaran rantai.
Mendekat ke candi utama di teras ketiga,
berdiri sebuah panggung batu setinggi pinggang orang dewasa di sebelah kirinya.
Terdapat menara batu di bagian depan panggung, lagi-lagi berhiaskan
relief-relief erotis dari sosok-sosok tanpa busana. Satu sisi menara
bergambarkan relief berbentuk tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya.
Oleh kebanyakan orang, relief ini dipercaya menggambarkan rahim seorang wanita
dengan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan
melambangkan kebajikan. Sebuah candi perwara berdiri di depan candi utama.
Memutar ke arah kanan, berdiri sosok patung (arca Gupala) tanpa kepala. Gupala
ini memegang "tombaknya" yang terlalu besar dibanding ukuran tubuhnya,
tidak proporsional.
Satu lagi yang menarik dari Candi Sukuh adalah
arsitekturnya yang berbeda dengan candi-candi lain. Bila candi pada umumnya dibangun
dengan bentuk yang menyimbolkan Gunung Meru, maka Candi Sukuh memiliki tampilan
yang sangat sederhana dengan bentuk trapesium. Sekilas tampak menyerupai
bangunan Suku Maya di Meksiko atau Suku Inca di Peru. Candi ini juga tergolong
kontroversial karena adanya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan
seksualitas.
Situs Sukuh ditemukan kembali oleh Residen
Surakarta Johnson pada masa pemerintahan Britania Raya di Tanah Jawa pada tahun
1815. Kala itu Johnson ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan
data guna menulis bukunya The History of
Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun
1842, Van der Vlis, yang berwarganegara Belanda melakukan penelitian. Lalu pada
tahun 1928, pemugaran dimulai.
Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap
(teras), di mana semakin ke belakang semakin tinggi. Pada teras pertama
terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala dalam bahasa
Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong.
Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang
raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna
9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437
Masehi. Di lantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina.
Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab
tidak mungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat
lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief
ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan
istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut
sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang
melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna
sebab sudah terkena “suwuk”.
Pada teras kedua juga terdapat gapura namun
kondisinya kini telah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat
patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak
dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras
ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah
candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut.
Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta
menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3,
dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.
Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan
gapura di teras pertama.
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar
dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di
sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini,
maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak
sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur
ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina
ini, demikian mitos yang berkembang, dibuat untuk mengetes keperawanan para
gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka
selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi,
maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan
terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah
terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh
sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar,
sehingga terlihat masih sering digunakan untuk bersembahyang.
Dengan struktur bangunan seperti ini boleh
dibilang Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu
Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candi harus bujur sangkar
dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang di tengah itulah tempat yang
paling suci. Sedangkan ihwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan
itu. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh
dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, sehingga kebudayaan asli Indonesia
terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prasejarah zaman Megalithic. Mau
tak mau budaya-budaya asli Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri
pada Candi Sukuh. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila
ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap
ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapak yang terbuat dari batu. Jalan
batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya.
Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.
Di sebelah selatan jalan batu, pada pelataran
terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah
satu dari lima ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut
Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru gara-gara
perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama
Durga atau Sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang
bidadari di kayangan dengan nama Bethari Uma. Sudamala bermakna yang telah
berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”. Adapun cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.
Pada lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang
merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta
Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa,
kitab pertama Mahabharata. Pada
bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Sebagai bagian dari kisah
pencarian Tirta Amerta (air
kehidupan) di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan
bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada
kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesaji. Sebuah piramida yang
puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya
untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta
Amerta.
Secara keseluruhan, mengunjungi objek wisata
Candi Sukuh memberikan pandangan baru akan bentuk candi dan relief-reliefnya
yang tidak lazim sebagaimana layaknya candi-candi lain di Jawa. Hal ini
merupakan bukti yang menunjukkan bertapa kaya budaya bangsa Indonesia. (dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment