Saturday, February 23, 2013

Mitos Keperawanan Candi Sukuh

 Tidak seperti Candi Borobudur di Magelang yang sudah mendunia, nama Candi Sukuh dapat dikatakan belum banyak dikenal orang. Barangkali lantaran letaknya yang relatif terpencil di lereng Gunung Lawu pada ketinggian lebih dari seribu meter di atas permukaan laut, candi populer dengan mitos ‘keperawanan’ ini tidak banyak dikunjungi wisatawan.
Memang, bagi orang yang baru kali pertama melancong ke Candi Sukuh, terasa tidak mudah jalan menuju ke sana. Bagi Anda yang naik angkutan umum antar-kota, perjalanan bisa dimulai dari Terminal Tirtonadi Solo, dengan naik bis umum jurusan Solo-Tawangmangu dan turun di Karangpandan. Perjalanan dilanjutkan dengan minibus jurusan Kemuning lalu disambung dengan ojek hingga ke kawasan candi. Bila Anda membawa kendaraan pribadi, disarankan untuk memakai mobil diesel bertenaga 2000 cc atau lebih untuk memudahkan perjalanan melewati beberapa tanjakan curam.

Tepatnya, Candi Sukuh berada di lereng kaki Gunung Lawu, Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Kota Solo.

Kompleks candi tidak begitu luas. Menempati sebidang tanah berundak, gapura utama Sukuh tidak berada tepat di tengah, melainkan di sebelah kanan depan. Sisi kanan dan kiri dihiasi dengan beberapa relief. Sebuah tangga batu yang cukup tinggi ke lorong gapura yang sehari-hari dihalangi dengan rantai. Untuk naik ke teras kedua, pelancong harus turun lagi dan berjalan memutar lewat sebelah kanan. Dari teras kedua barulah nampak secara jelas bentuk relief di sisi gapura ini. Salah satunya adalah gambar seekor burung garuda yang kaki-kakinya mencengkeram seekor naga. Melongok ke lorong gapura, sesaji bunga dan dupa berada di lantai, dekat sebuah relief lingga dan yoni dalam sebentuk lingkaran rantai.
Mendekat ke candi utama di teras ketiga, berdiri sebuah panggung batu setinggi pinggang orang dewasa di sebelah kirinya. Terdapat menara batu di bagian depan panggung, lagi-lagi berhiaskan relief-relief erotis dari sosok-sosok tanpa busana. Satu sisi menara bergambarkan relief berbentuk tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya. Oleh kebanyakan orang, relief ini dipercaya menggambarkan rahim seorang wanita dengan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Sebuah candi perwara berdiri di depan candi utama. Memutar ke arah kanan, berdiri sosok patung (arca Gupala) tanpa kepala. Gupala ini memegang "tombaknya" yang terlalu besar dibanding ukuran tubuhnya, tidak proporsional.

Satu lagi yang menarik dari Candi Sukuh adalah arsitekturnya yang berbeda dengan candi-candi lain. Bila candi pada umumnya dibangun dengan bentuk yang menyimbolkan Gunung Meru, maka Candi Sukuh memiliki tampilan yang sangat sederhana dengan bentuk trapesium. Sekilas tampak menyerupai bangunan Suku Maya di Meksiko atau Suku Inca di Peru. Candi ini juga tergolong kontroversial karena adanya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.

Situs Sukuh ditemukan kembali oleh Residen Surakarta Johnson pada masa pemerintahan Britania Raya di Tanah Jawa pada tahun 1815. Kala itu Johnson ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data guna menulis bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, yang berwarganegara Belanda melakukan penelitian. Lalu pada tahun 1928, pemugaran dimulai.

Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap (teras), di mana semakin ke belakang semakin tinggi. Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah Gapura sang raksasa memangsa manusia. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi. Di lantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina. Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab tidak mungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena suwuk.

Pada teras kedua juga terdapat gapura namun kondisinya kini telah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah Gajah pendeta menggigit ekor. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama.

Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, demikian mitos yang berkembang, dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masih sering digunakan untuk bersembahyang.

Dengan struktur bangunan seperti ini boleh dibilang Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang di tengah itulah tempat yang paling suci. Sedangkan ihwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prasejarah zaman Megalithic. Mau tak mau budaya-budaya asli Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada Candi Sukuh. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapak yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di bangunan suci prasejarah jaman Megalithic.
Di sebelah selatan jalan batu, pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu dari lima ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil ngruwat Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru gara-gara perselingkuhannya. Sadewa berhasil ngruwat Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau Sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari di kayangan dengan nama Bethari Uma. Sudamala bermakna yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil ngruwat. Adapun cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.

Pada lokasi ini  terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesaji. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta.

Secara keseluruhan, mengunjungi objek wisata Candi Sukuh memberikan pandangan baru akan bentuk candi dan relief-reliefnya yang tidak lazim sebagaimana layaknya candi-candi lain di Jawa. Hal ini merupakan bukti yang menunjukkan bertapa kaya budaya bangsa Indonesia. (dari berbagai sumber)


No comments:

Post a Comment