Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan akan dilaksanakan pada 1 Januari 2014, namun hingga saat ini
perdebatan mengenai besaran premi untuk penerima bantuan iuran (PBI), pekerja
formal, dan bahkan sektor informal masih terus berlangsung. Guru besar dan
pakar ilmu kesehatan masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia Prof Ascobat Gani mengatakan, mutu pelayanan bukan hanya ditentukan
premi, melainkan juga ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan.
Menurutnya, harus seimbang antara jaminan dan
akses. Sebesar apa pun premi tersebut, jika belum ada pemerataan fasilitas
kesehatan di seluruh pelosok Tanah Air, tujuan utama dari pelaksanaan BPJS
tidak akan tercapai.
“Kekhawatiran kita sekarang bukan soal premi
tetapi justru belum meratanya fasilitas kesehatan. Persoalan yang kita hadapi
sekarang adalah jumlah dokter, terutama spesialis belum ada di semua puskesmas,
bahkan fasilitas kesehatan di puskesmas pun masih minim. Boleh saja dikasih Rp
50.000, tetapi orang di Papua atau Aceh tidak berobat, sementara pasien di kota
besar meledak,” kata Ascobat kepada SP, di Jakarta, Rabu (20/2).
Untuk PBI, yakni orang miskin dan tidak mampu yang
preminya ditanggung oleh pemerintah, Menteri Keuangan (Menkeu) melalui surat
kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tertanggal 6 Februari 2013
menyatakan, anggaran yang dialokasikan dalam APBN 2014 adalah sebesar Rp 16,07
triliun bagi 86,4 juta jiwa, atau sekitar Rp 15.500 per orang per bulan. Angka
ini dikeluarkan dengan mempertimbangkan masih minimnya dan belum meratanya
fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, intensitas sosialisasi, kesiapan sistem
tata kelola yang baik, dan terakhir adalah alasan fiskal.
Angka yang
disanggupi Menkeu ini lebih kecil dibandingkan dengan usulan tim pokja
pelaksana BPJS yang terdiri dari berbagai sektor termasuk pakar asuransi serta
pembiayaan kesehatan, dan telah disetujui Menko Kesra Agung Laksono, yakni Rp
22.200.
Sejumlah kalangan menilai, kecilnya besaran premi
akan berpengaruh terhadap mutu pelayanan yang akan diterima peserta. Bahkan, Aktivis dan para buruh yang
tergabung dalam berbagai organisasi, seperti Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS)
serta Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) mengancam akan menggelar demo
massal dan mogok kerja nasional sebagai aksi protes terhadap Menkeu yang
dianggapnya tidak pro rakyat miskin.
Tetapi, dari pengalaman empiris, Ascobat
mencontohkan, ada sejumlah daerah, seperti Papua, Aceh dan NTT, meskipun biaya
kesehatan digratiskan, tidak semua masyarakat bisa berobat karena minimnya
fasilitas dan tenaga. Demikian pula pada sistem rujukan, tidak akan ada
perbaikan selama akses pelayanan belum merata. Dikhawatirkan kasus penolakan
pasien di rumah sakit akan terus berulang, bukan dikarenakan kecilnya premi,
tetapi minimnya tenaga dan fasilitas. Ascobat berpendapat, dengan premi yang
tinggi dikhawatirkan BPJS justru akan memperkaya industri kesehatan, terutama
perusahaan obat.
Sebab, berdasarkan penelitian 40% dari seluruh
biaya pengobatan (kuratif) pasien di rumah sakit terserap untuk obat. Ini
terjadi karena harga obat di Indonesia sangat mahal, tidak realistis dan tanpa
kendali. Di India, harga obat hanya sepersepuluh dari Indonesia.
Menurutnya, Indonesia tidak bisa dibandingkan
dengan negara lain untuk premi jaminan kesehatan. Sebab, dari sisi sistem
layanan kesehatan di negara lain sudah sangat maju dan tersedia dengan baik,
sedangkan Indonesia masih amburadul, sehingga lebih baik besaran premi tidak
perlu diperdebatkan, sebab angka itu tidak mutlak dan bisa dikoreksi secara
bertahap.
Ketua DSJN sekaligus Wakil Ketua Tim Pokja
Pelaksana BPJS Ghazali Situmorang di sisi lain menyayangkan sikap Menkeu yang
sudah menetapkan besaran premi, tetapi tidak segera diberi kekuatan hukum
melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Menurutnya, DJSN berpendapat, besaran premi yang diusulkan semula yakni
Rp 22.200 berdasarkan perhitungan aktuaria telah memenuhi angka keekonomian,
dan mengakomodasi kebutuhan semua pihak yang terkait dalam layanan kesehatan, seperti
misalnya kapitasi di layanan primer atau puskesmas, biaya tak terduga, dan
peningkatan utilisasi.
Juga berdasarkan pengalaman dari Jamkesmas, Askes,
Jamsostek dan sistem jaminan lainnya. Angka ini juga memungkinkan lebih banyak
rumah sakit swasta yang ikut terlibat dalam BPJS.
Apalagi, kata Ghazali, dari sisi kapasitas, rumah
sakit swasta jauh lebih besar dan menyebar hingga ke daerah. Diperkirakan dari
sekitar 2.000an rumah sakit di Indonesia, 60% di antaranya adalah swasta.
Dengan semakin banyak melibatkan swasta, pemerataan layanan bisa tercapai.
“Kalau sekarang Menkeu tetapkan Rp 15.500 berarti
ada komponen yang dikurangi atau ditiadakan. Dikhawatirkan kalau dikurangi
wajah pelayanan kesehatan kita tidak akan beranjak dari kondisi sekarang,” kata
Ghazali.
Dikatakan, pada tataran teknis, perhitungan
mengenai besaran premi dan jumlah PBI sudah selesai. Sekarang persoalannya pada
tataran politik bagaimana pemerintah memiliki kemauan politik untuk
memutuskannya. Presiden, katanya, sebetulnya punya hak dan kewenangan untuk
menaikkan besaran premi ini, namun di sisi lain, ia juga harus mendengarkan
masukan dari bawahannya.
Selain PBI, besaran premi untuk pekerja formal
juga belum disepakati. Menurut Ghazali, sampai saat ini belum ada kesepakatan
bulan di kalangan buruh soal besaran premi yang diusulkan pemerintah, yakni 5%,
di mana 3% dibayarkan pemberi kerja dan 2% oleh pekerja. Besaran premi ini
masih menjadi perdebatan di tingkat tripartit, yang terdiri dari pemerintah,
pengusaha dan buruh. Namun, perkembangan
terakhir, kata Ghazali, sebagian kelompok buruh sudah menyetujui adanya
pembagian pembayaran premi, asalkan lebih kecil atau secara bertahap.
Sedangkan, sebagian lagi masih menolak untuk membayar.
Lima
Opsi
Ada lima opsi skenario yang sampai saat ini belum
diputuskan, di antaranya sebagian buruh menginginkan premi yang sama dengan
PNS, yakni 2% dibayarkan pemerintah, dan 2% oleh PNS. Ada juga yang menyetujui
premi 5%, tetapi 4% dibayarkan pemberi pekerja, dan hanya 1% oleh pekerja. Opsi lainnya seperti yang sudah berlaku
sekarang, yakni 6% untuk pekerja yang berkeluarga, dan 3% untuk pekerja lajang,
yang dibayarkan seluruhnya oleh pemberi kerja dan pemerintah.
Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron
Mukti menegaskan, besarnya jumlah penduduk dan kondisi geografis di Indonesia
yang terdiri dari 17.000 lebih pulau, tidak akan menyurutkan langkah pemerintah
untuk mewujudkan Universal Health Coverage (UHC), atau layanan kesehatan
menyeluruh.
Meskipun, kata dia, memang memerlukan proses dan
waktu. Hal tersebut disampaikan Wamenkes kepada dunia internasional, dalam
kegiatan Ministerial-level Meeting on Universal Health Coverage yang bertema
“Country Experiences with Health Financing Reforms for Universal Health
Coverage”, yang diselenggarakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank
Dunia, di Markas Besar WHO, Jenewa, Swiss, Senin (18/2/2013).
Wamenkes menerangkan, cakupan jaminan kesehatan di
Indonesia pada saat ini telah mencapai 86,4 juta penduduk miskin dan hampir
miskin. Ke depannya, lima buah skema asuransi kesehatan yang ada diharapkan
akan dapat digabungkan pada tahun 2014 untuk mempermudah seluruh lapisan
masyarakat mendapatkan manfaat dari penerapan UHC di Indonesia.
No comments:
Post a Comment