Friday, February 22, 2013

Premi BPJS Kesehatan Perlu Pertimbangkan Ketersediaan Fasilitas

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan dilaksanakan pada 1 Januari 2014, namun hingga saat ini perdebatan mengenai besaran premi untuk penerima bantuan iuran (PBI), pekerja formal, dan bahkan sektor informal masih terus berlangsung. Guru besar dan pakar ilmu kesehatan masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Ascobat Gani mengatakan, mutu pelayanan bukan hanya ditentukan premi, melainkan juga ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan.  

Menurutnya, harus seimbang antara jaminan dan akses. Sebesar apa pun premi tersebut, jika belum ada pemerataan fasilitas kesehatan di seluruh pelosok Tanah Air, tujuan utama dari pelaksanaan BPJS tidak akan tercapai. 

 “Kekhawatiran kita sekarang bukan soal premi tetapi justru belum meratanya fasilitas kesehatan. Persoalan yang kita hadapi sekarang adalah jumlah dokter, terutama spesialis belum ada di semua puskesmas, bahkan fasilitas kesehatan di puskesmas pun masih minim. Boleh saja dikasih Rp 50.000, tetapi orang di Papua atau Aceh tidak berobat, sementara pasien di kota besar meledak,” kata Ascobat kepada SP, di Jakarta, Rabu (20/2).  

Untuk PBI, yakni orang miskin dan tidak mampu yang preminya ditanggung oleh pemerintah, Menteri Keuangan (Menkeu) melalui surat kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tertanggal 6 Februari 2013 menyatakan, anggaran yang dialokasikan dalam APBN 2014 adalah sebesar Rp 16,07 triliun bagi 86,4 juta jiwa, atau sekitar Rp 15.500 per orang per bulan. Angka ini dikeluarkan dengan mempertimbangkan masih minimnya dan belum meratanya fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, intensitas sosialisasi, kesiapan sistem tata kelola yang baik, dan terakhir adalah alasan fiskal. 

 Angka yang disanggupi Menkeu ini lebih kecil dibandingkan dengan usulan tim pokja pelaksana BPJS yang terdiri dari berbagai sektor termasuk pakar asuransi serta pembiayaan kesehatan, dan telah disetujui Menko Kesra Agung Laksono, yakni Rp 22.200. 

Sejumlah kalangan menilai, kecilnya besaran premi akan berpengaruh terhadap mutu pelayanan yang akan diterima peserta.   Bahkan, Aktivis dan para buruh yang tergabung dalam berbagai organisasi, seperti Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) serta Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) mengancam akan menggelar demo massal dan mogok kerja nasional sebagai aksi protes terhadap Menkeu yang dianggapnya tidak pro rakyat miskin.  

Tetapi, dari pengalaman empiris, Ascobat mencontohkan, ada sejumlah daerah, seperti Papua, Aceh dan NTT, meskipun biaya kesehatan digratiskan, tidak semua masyarakat bisa berobat karena minimnya fasilitas dan tenaga. Demikian pula pada sistem rujukan, tidak akan ada perbaikan selama akses pelayanan belum merata. Dikhawatirkan kasus penolakan pasien di rumah sakit akan terus berulang, bukan dikarenakan kecilnya premi, tetapi minimnya tenaga dan fasilitas. Ascobat berpendapat, dengan premi yang tinggi dikhawatirkan BPJS justru akan memperkaya industri kesehatan, terutama perusahaan obat.  

Sebab, berdasarkan penelitian 40% dari seluruh biaya pengobatan (kuratif) pasien di rumah sakit terserap untuk obat. Ini terjadi karena harga obat di Indonesia sangat mahal, tidak realistis dan tanpa kendali. Di India, harga obat hanya sepersepuluh dari Indonesia.  

Menurutnya, Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara lain untuk premi jaminan kesehatan. Sebab, dari sisi sistem layanan kesehatan di negara lain sudah sangat maju dan tersedia dengan baik, sedangkan Indonesia masih amburadul, sehingga lebih baik besaran premi tidak perlu diperdebatkan, sebab angka itu tidak mutlak dan bisa dikoreksi secara bertahap.  

Ketua DSJN sekaligus Wakil Ketua Tim Pokja Pelaksana BPJS Ghazali Situmorang di sisi lain menyayangkan sikap Menkeu yang sudah menetapkan besaran premi, tetapi tidak segera diberi kekuatan hukum melalui Peraturan Presiden (Perpres).   Menurutnya, DJSN berpendapat, besaran premi yang diusulkan semula yakni Rp 22.200 berdasarkan perhitungan aktuaria telah memenuhi angka keekonomian, dan mengakomodasi kebutuhan semua pihak yang terkait dalam layanan kesehatan, seperti misalnya kapitasi di layanan primer atau puskesmas, biaya tak terduga, dan peningkatan utilisasi.   

Juga berdasarkan pengalaman dari Jamkesmas, Askes, Jamsostek dan sistem jaminan lainnya. Angka ini juga memungkinkan lebih banyak rumah sakit swasta yang ikut terlibat dalam BPJS.  

Apalagi, kata Ghazali, dari sisi kapasitas, rumah sakit swasta jauh lebih besar dan menyebar hingga ke daerah. Diperkirakan dari sekitar 2.000an rumah sakit di Indonesia, 60% di antaranya adalah swasta. Dengan semakin banyak melibatkan swasta, pemerataan layanan bisa tercapai.  

“Kalau sekarang Menkeu tetapkan Rp 15.500 berarti ada komponen yang dikurangi atau ditiadakan. Dikhawatirkan kalau dikurangi wajah pelayanan kesehatan kita tidak akan beranjak dari kondisi sekarang,” kata Ghazali.  

Dikatakan, pada tataran teknis, perhitungan mengenai besaran premi dan jumlah PBI sudah selesai. Sekarang persoalannya pada tataran politik bagaimana pemerintah memiliki kemauan politik untuk memutuskannya. Presiden, katanya, sebetulnya punya hak dan kewenangan untuk menaikkan besaran premi ini, namun di sisi lain, ia juga harus mendengarkan masukan dari bawahannya.  

Selain PBI, besaran premi untuk pekerja formal juga belum disepakati. Menurut Ghazali, sampai saat ini belum ada kesepakatan bulan di kalangan buruh soal besaran premi yang diusulkan pemerintah, yakni 5%, di mana 3% dibayarkan pemberi kerja dan 2% oleh pekerja. Besaran premi ini masih menjadi perdebatan di tingkat tripartit, yang terdiri dari pemerintah, pengusaha dan buruh.   Namun, perkembangan terakhir, kata Ghazali, sebagian kelompok buruh sudah menyetujui adanya pembagian pembayaran premi, asalkan lebih kecil atau secara bertahap. Sedangkan, sebagian lagi masih menolak untuk membayar.  

Lima Opsi
Ada lima opsi skenario yang sampai saat ini belum diputuskan, di antaranya sebagian buruh menginginkan premi yang sama dengan PNS, yakni 2% dibayarkan pemerintah, dan 2% oleh PNS. Ada juga yang menyetujui premi 5%, tetapi 4% dibayarkan pemberi pekerja, dan hanya 1% oleh pekerja.   Opsi lainnya seperti yang sudah berlaku sekarang, yakni 6% untuk pekerja yang berkeluarga, dan 3% untuk pekerja lajang, yang dibayarkan seluruhnya oleh pemberi kerja dan pemerintah.   

Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti menegaskan, besarnya jumlah penduduk dan kondisi geografis di Indonesia yang terdiri dari 17.000 lebih pulau, tidak akan menyurutkan langkah pemerintah untuk mewujudkan Universal Health Coverage (UHC), atau layanan kesehatan menyeluruh.

Meskipun, kata dia, memang memerlukan proses dan waktu. Hal tersebut disampaikan Wamenkes kepada dunia internasional, dalam kegiatan Ministerial-level Meeting on Universal Health Coverage yang bertema “Country Experiences with Health Financing Reforms for Universal Health Coverage”, yang diselenggarakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia, di Markas Besar WHO, Jenewa, Swiss, Senin (18/2/2013).  

Wamenkes menerangkan, cakupan jaminan kesehatan di Indonesia pada saat ini telah mencapai 86,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin. Ke depannya, lima buah skema asuransi kesehatan yang ada diharapkan akan dapat digabungkan pada tahun 2014 untuk mempermudah seluruh lapisan masyarakat mendapatkan manfaat dari penerapan UHC di Indonesia.


No comments:

Post a Comment