Thursday, March 14, 2013

Jamkesmas, Jamkesda, dan Surga Orang Miskin


Oleh Usman Kusmana

Seorang tetangga saya di kampung, sebut saja “Mang Adul” namanya. Pekerjaannya bertani, sekali-kali menjadi buruh bangunan, jika ada tetangga yang sedang membangun atau merenovasi rumah.  Suatu hari saya terkaget mendengar mang Adul terserang sakit, lalu saya pun sebagai tetangga menengoknya.

Benar saja, dia terbaring lemah di atas kasur lusuh yang diletakkan di tengah rumah sederhananya, ada beberapa orang tetangga lainnya yang juga sedang menengok Mang Adul. Dan daling berbisik bicara dengan sesamanya atau dengan istri Mang Adul, Ceu Irah seputar penyakit yang diderita dan upaya berobat yang sudah dijalaninya.

Saat pulang, sambil menyusuri gang menuju pulang ke rumah, seorang tetangga bercerita pada saya, ” Mang Adul mah tara kersaeun di candak ka rumah sakit teh, alimeun ku jamkesmas. Sok Jamotrot nu nguruskeunana jaba Butut cenah ubarna..”. Kurang lebih begini maksudnya “ Mang Adul itu tidak pernah mau dibawa ke rumah sakit, gak mau pake Jamkesmas, petugasnya judes, juga jelek obatnya” katanya. Saya cukup dibuat senyum kecut mendengarnya.

Dulu, sekitar tahun 2003-2006, Saya terus terang punya banyak pengalaman langsung mengurus orang miskin yang sakit ke RSU, bahkan hingga ke RSHS Bandung. Dengan fasilitas Jamkesmas atau kalau dulu saya mengandalkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Desa. Setelah periode itu, karena kesibukan pekerjaan saya mendelegasikan pada orang yang saya anggap bisa berkomunikasi, memahami karakter birokrasi rumah sakit, prosedure pengurusan pasien dan punya sedikit keberanian membentur tembok kerigidan pelayanan publik di lembaga jasa pemerintah seperti layanan RSU ini.

Pernyataan Mang Adul dan pengalaman yang saya alami memang ada benarnya, itulah kenyataan faktual grade kemampuan pemerintah melayani masyarakat miskinnya dalam urusan kesehatan. Kesan ribet, data penerima jamkesmas, jamkesda yang tidak faktual, pelayanan petugasnya yang kaku dan kusam (jamotrot), fasilitas dan obat yang kualitasnya generik.

Tapi kita tetap harus objektif, secara itikad baik pemerintah sudah ada, hanya dalam tataran implementatif masih harus terus dilakukan perbaikan, dan para pegawainya terutama yang fresh sudah mulai berubah, sementara yang sudah terlalu lama dalam budaya pelayanan birokrasi out of date tetap saja kaku, rigid dan menyebalkan. Budaya birokrasi yang berfikir selama bisa dipersulit ngapain harus dipermudah.

Untuk itulah, terus terang beberapa kali saya berurusan dengan rumah sakit, saat 2 kali istri saya melahirkan secara cesar, 2 kali anak saya di rawat, dan 1 kali istri saya di operasi vistel, semuanya saya rawat tidak di RSU. Saya membayangkan crowded nya pelayanan, sarana ruangan yang masih terkesan kumuh, perawat yang judes, dan dokter yang datang memeriksa seenaknya, belum lagi kalau beli obat harus keluar.

Sementara kalau di Rumah Sakit Swasta lebih simple dan praktis, masuk UGD, Di Inpus, masuk ruang rawat inap, sudah. Obat tak perlu pusing nyari keluar, penunggu pasen juga nyaman, dan lingkungan juga lebih terlihat bersih dan terawat, pelayanannya juga lebih ramah. Dan sama sekali bukan karena saya merasa kaya dan banyak uang, hanya memaksakan diri saja, toh jika saat mau membayar ke kasir RS, saya biasa pinjam kakak atau adik. Tapi hati dan pikiran tenang serta puas.

Saya membayangkan untuk diri saya saja dan keluarga begitu menakutkan jika seandainya sakit harus di rawat di RSU, bagaimana jika warga masyarakat yang miskin, yang menggunakan fasilitas Jamkesmas, Jamkesda. Pasti merasakan bagaiamana “dialungboyongkeun” kalau istilah Sunda, dipermainkan, harus kesana, kemari, kurang ini kurang itu secara administrasi. Sementara masyarakat penerima Jamkesmas atau Jamkesda rata-rata orang desa yang sama sekali tak mengerti mekanisme dan prosedur birokrasi berobat dengan dua fasilitas itu.

Tapi jujur saya berharap, kedepan, pemerintah benar-benar memperhatikan pelayanan kesehatan rakyatnya. Fasilitas kesehatan, Gedung RSU, baik ruang rawat inap, laboratorium, ruang UGD dan rekruitmen pegawainya benar-benar mencerminkan total quality manajemen, pelayanan prima, baik untuk pasien umum maupun pasien miskin. Karena masyarakat yang menggunakan Jamkesmas, Jamkesda juga hakikatnya bukan gratis, tapi dibayarkan dari uang rakyat melalui anggaran pemerintah. Dan harusnya, untuk mereka para penerima Jamkesmas dan Jamkesda itu sudah dengan memegang kartu sehat gratis saja, saat mau berobat kasihkan itu kartu dan selesai, nggak perlu ribet itu ini.

Di Bulan Ramadhan ini, semoga ummat Islam dan masyarakat Indonesia senantiasa diberikan kesehatan, para petugas yang berkecimpung dalam urusan kesehatan juga semoga diberikan kelembutan hati, pancaran rahman rahim Ilahi, sehingga mereka mampu melayani dengan hati dan niat membantu karena Allah, terutama bagi mereka para pasien miskin. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW sangat mencintai orang-orang miskin, dan akan bersama-sama di surga dengan orang miskin. Dan bagi orang kaya, akan bersama sang baginda, jika kekayaan yang dia miliki mampu memberikan manfaat seluas-luasnya bagi perjuangan agama dan orang-orang miskin.

No comments:

Post a Comment