Oleh Usman Kusmana
Seorang tetangga saya di kampung, sebut saja “Mang
Adul” namanya. Pekerjaannya bertani, sekali-kali menjadi buruh bangunan, jika
ada tetangga yang sedang membangun atau merenovasi rumah. Suatu hari saya terkaget mendengar mang Adul
terserang sakit, lalu saya pun sebagai tetangga menengoknya.
Benar saja, dia terbaring lemah di atas kasur lusuh
yang diletakkan di tengah rumah sederhananya, ada beberapa orang tetangga
lainnya yang juga sedang menengok Mang Adul. Dan daling berbisik bicara dengan
sesamanya atau dengan istri Mang Adul, Ceu Irah seputar penyakit yang diderita
dan upaya berobat yang sudah dijalaninya.
Saat pulang, sambil menyusuri gang menuju pulang ke
rumah, seorang tetangga bercerita pada saya, ” Mang Adul mah tara kersaeun di
candak ka rumah sakit teh, alimeun ku jamkesmas. Sok Jamotrot nu nguruskeunana
jaba Butut cenah ubarna..”. Kurang lebih begini maksudnya “ Mang Adul itu tidak
pernah mau dibawa ke rumah sakit, gak mau pake Jamkesmas, petugasnya judes,
juga jelek obatnya” katanya. Saya cukup dibuat senyum kecut mendengarnya.
Dulu, sekitar tahun 2003-2006, Saya terus terang
punya banyak pengalaman langsung mengurus orang miskin yang sakit ke RSU,
bahkan hingga ke RSHS Bandung. Dengan fasilitas Jamkesmas atau kalau dulu saya
mengandalkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Desa. Setelah periode
itu, karena kesibukan pekerjaan saya mendelegasikan pada orang yang saya anggap
bisa berkomunikasi, memahami karakter birokrasi rumah sakit, prosedure
pengurusan pasien dan punya sedikit keberanian membentur tembok kerigidan
pelayanan publik di lembaga jasa pemerintah seperti layanan RSU ini.
Pernyataan Mang Adul dan pengalaman yang saya alami
memang ada benarnya, itulah kenyataan faktual grade kemampuan pemerintah
melayani masyarakat miskinnya dalam urusan kesehatan. Kesan ribet, data
penerima jamkesmas, jamkesda yang tidak faktual, pelayanan petugasnya yang kaku
dan kusam (jamotrot), fasilitas dan obat yang kualitasnya generik.
Tapi kita tetap harus objektif, secara itikad baik
pemerintah sudah ada, hanya dalam tataran implementatif masih harus terus
dilakukan perbaikan, dan para pegawainya terutama yang fresh sudah mulai
berubah, sementara yang sudah terlalu lama dalam budaya pelayanan birokrasi out
of date tetap saja kaku, rigid dan menyebalkan. Budaya birokrasi yang berfikir
selama bisa dipersulit ngapain harus dipermudah.
Untuk itulah, terus terang beberapa kali saya
berurusan dengan rumah sakit, saat 2 kali istri saya melahirkan secara cesar, 2
kali anak saya di rawat, dan 1 kali istri saya di operasi vistel, semuanya saya
rawat tidak di RSU. Saya membayangkan crowded nya pelayanan, sarana ruangan
yang masih terkesan kumuh, perawat yang judes, dan dokter yang datang memeriksa
seenaknya, belum lagi kalau beli obat harus keluar.
Sementara kalau di Rumah Sakit Swasta lebih simple
dan praktis, masuk UGD, Di Inpus, masuk ruang rawat inap, sudah. Obat tak perlu
pusing nyari keluar, penunggu pasen juga nyaman, dan lingkungan juga lebih
terlihat bersih dan terawat, pelayanannya juga lebih ramah. Dan sama sekali
bukan karena saya merasa kaya dan banyak uang, hanya memaksakan diri saja, toh
jika saat mau membayar ke kasir RS, saya biasa pinjam kakak atau adik. Tapi
hati dan pikiran tenang serta puas.
Saya membayangkan untuk diri saya saja dan keluarga
begitu menakutkan jika seandainya sakit harus di rawat di RSU, bagaimana jika
warga masyarakat yang miskin, yang menggunakan fasilitas Jamkesmas, Jamkesda.
Pasti merasakan bagaiamana “dialungboyongkeun” kalau istilah Sunda,
dipermainkan, harus kesana, kemari, kurang ini kurang itu secara administrasi.
Sementara masyarakat penerima Jamkesmas atau Jamkesda rata-rata orang desa yang
sama sekali tak mengerti mekanisme dan prosedur birokrasi berobat dengan dua
fasilitas itu.
Tapi jujur saya berharap, kedepan, pemerintah
benar-benar memperhatikan pelayanan kesehatan rakyatnya. Fasilitas kesehatan,
Gedung RSU, baik ruang rawat inap, laboratorium, ruang UGD dan rekruitmen
pegawainya benar-benar mencerminkan total quality manajemen, pelayanan prima,
baik untuk pasien umum maupun pasien miskin. Karena masyarakat yang menggunakan
Jamkesmas, Jamkesda juga hakikatnya bukan gratis, tapi dibayarkan dari uang
rakyat melalui anggaran pemerintah. Dan harusnya, untuk mereka para penerima
Jamkesmas dan Jamkesda itu sudah dengan memegang kartu sehat gratis saja, saat
mau berobat kasihkan itu kartu dan selesai, nggak perlu ribet itu ini.
Di Bulan Ramadhan ini, semoga ummat Islam dan
masyarakat Indonesia senantiasa diberikan kesehatan, para petugas yang
berkecimpung dalam urusan kesehatan juga semoga diberikan kelembutan hati,
pancaran rahman rahim Ilahi, sehingga mereka mampu melayani dengan hati dan
niat membantu karena Allah, terutama bagi mereka para pasien miskin. Karena
sesungguhnya Rasulullah SAW sangat mencintai orang-orang miskin, dan akan
bersama-sama di surga dengan orang miskin. Dan bagi orang kaya, akan bersama
sang baginda, jika kekayaan yang dia miliki mampu memberikan manfaat
seluas-luasnya bagi perjuangan agama dan orang-orang miskin.
No comments:
Post a Comment