Thursday, March 14, 2013

Kekuatan Hukum Negeri Maritim





Bahwa segala perairan di sekitar, di antara yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.
Deklarasi Djoeanda, 1957


Dalam perspektif historis, hukum maritim mulai dikenal semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan. Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus dan lengkap mengatur mengenai maritim.
Keberadaan hukum maritim sangat diperlukan oleh masyarakat internasional. Alasannya, antara lain, banyak negara memandang laut sebagai milik bersama (common property). Kenyataan ini bila tidak segera diatur maka dapat menjadi sumber permasalahan hubungan bertetangga antar-negara yang merasa mempunyai hak untuk memanfaatkan wilayah laut yang sama.
Kekhawatiran ihwal kemungkinan akan terjadinya permasalahan atau konflik di laut itu telah mendorong bangsa-negara di dunia untuk membuat peraturan. Dari sejumlah kajian historis-yuridis, cikal-bakal hukum laut mulai tampak dalam kehidupan masyarakat di wilayah Mediterania sekitar 1000 sampai 600 tahun Sebelum Masehi (SM). Pada masa itu, di Mediterania hidup seorang pelaut yang kuat dan mandiri bernama Rhodes. Bersama para pengikutnya, Rhodes mengembangkan armada komersial yang kuat.
Berkat kepiawaiannya berniaga dan menaklukkan lautan, mereka lantas mampu menguasai perniagaan di wilayah Laut Mediterania yang berada di antara Eropa, Afrika Utara dan Asia Barat. Mereka pun mendirikan koloni perdagangan di sepanjang pantai barat Italia, Perancis dan Spanyol. Dalam perkembangannya, pada abad 7 Masehi (M), orang-orang Rhodes mengembangkan aturan hukum buat menangani perselisihan pengiriman barang yang disebut kode hukum maritim (Rhodia Lex). Sayangnya, sampai sekarang, tidak ada salinan kode hukum maritim Rhodia yang pernah ditemukan. Namun, hukum maritim Rhodia bertahan sampai kejayaan Kekaisaran Romawi di abad pertengahan dan diadopsi oleh bangsa-bangsa Eropa.   
Sebelum Kekaisaran Romawi berada dalam puncak kejayaan di abad pertengahan (abad 14-15 M), Rhodes dan koleganya (Phoenicia) mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran ini tidak terlalu besar lantaran tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan di mana pada saat itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah di masa itu bagai danau dalam wilayah Kekaisaran Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak laut. Dengan begitu, semua orang bebas menggunakan Laut Tengah secara aman dan sejahtera.
Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res communis omnium). Dengan demikian penggunaan laut terbuka bagi setiap orang. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad 14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan (perdata).
Dunia terus berkembang. Hukum maritim tidak hanya muncul di kawasan Laut Tengah. Menjelang akhir abad 12, di kawasan Atlantik lahir pula himpunan peraturan hukum maritim The Rolles of Oleron atau dikenal pula sebagai “Hukum Olereon”. Himpunan ini berisi koleksi penilaian yang disusun menjadi kode etik melalui suatu keputusan seorang tokoh kemaritiman bernama Eleanor dari Aquitaine. Kemudian kode etik ini digunakan sebagai kode maritim di seluruh wilayah Eropa. Ini merupakan sumber Hukum Admiralty Inggris.
Sedikit kisahnya, sekitar tahun 1160 M, Eleanor pergi ke Pulau Oleron untuk mencari keadilan. Di sini dia juga membuat laporan hukum yang lantas dikodifikasi guna mengatur perdagangan maritim. Boleh dikatakan ini merupakan kode maritim pertama yang memperoleh apresiasi besar. Di akhir abad 12, himpunan peraturan The Rolles of Oleron berkembang mengatur 24 item perdagangan maritim.
Perdagangan dunia semakin meluas. Dari Laut Tengah ke Atlantik lalu Laut Baltik di wilayah Eropa Utara. Ceritanya, para pedagang dan penguasa kota megah Wisbuy (ibukota kuno Gothland di sebuah pulau di Laut Baltik) menetapkan kode hukum laut yang dinamai Sea Code of Wisby. Ketentuan dalam Sea Code of Wisby ini persis sama dengan yang dirumuskan dalam Hukum Oleron. Rupanya, rakyat Wisbuy sengaja menerjemahkan Hukum Oleron ke dalam bahasa mereka.
Sekali lagi pelayaran dan perdagangan terus meluas ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke kawasan Asia umumnya dan terkhusus Indonesia. Di masa abad pertengahan, perdagangan di kalangan saudagar asal Bugis, Sulawesi Selatan, dengan dunia luar mulai berkembang pesat. Untuk menghindari perselisihan antar-pedagang, seorang tokoh Bugis Muhammad Ibnu Badwi yang tengah berada di Gresik (Jawa Timur) menuliskan hukum pelayaran dan perdagangan yang dihimpun ke dalam naskah hukum bertajuk Amanna Gappa. Naskah hukum ini terdiri dari 21 pasal yang mengatur antara lain sewa kapal, macam-macam kelasi, syarat menjadi nakhoda, cara berjualan di kapal, dan utang-piutang dalam perdagangan di kapal.
Memasuki abad 16 dan 17, beberapa negara di Eropa yang mengklaim diri sebagai negara maritim, terutama Portugal dan Spanyol, ingin menguasai dunia dengan membagi dua wilayah lautan: setengah menjadi milik Portugal dan setengah sisanya milik Spanyol. Keinginan Portugis dan Spanyol tentu saja tidak dapat berjalan mulus karena ditentang oleh negara-negara lain seperti Inggris dan Belanda.
Klaim negara-negara atas wilayah lautan merupakan upaya untuk memperluas kedaulatan negara ke arah laut. Pertama-tama perluasan itu sejauh 3 mil laut. Konsep perluasan kedaulatan negara di laut sejauh 3 mil pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Bynkershoek melalui buku berjudul Dominio Marts pada tahun 1702. Bahwa suatu negara dapat memperluas kedaulatan ke laut sampai ke kapal-kapal di laut sejauh tembakan meriam. Jangkauan tembakan meriam pada abad ke-18 itu rata-rata sejauh 3 mil.
Memasuki abad 20, mulai ada upaya merapikan hukum laut lewat kodifikasi. Hal ini tampak pada konferensi internasional pertama yang diadakan untuk membicarakan hukum laut. Konferensi Kodifikasi di Den Haag (Belanda) pada tanggal 13 Maret – 12 April 1930 ini mengambil fokus bahasan tentang laut teritorial. Namun dalam konferensi yang dilaksanakan di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) ini tidak tercapai kesepakatan bulat mengenai batas laut teritorial: sebanyak 20 negara setuju batas laut teritorial 3 mil, 12 negara setuju 6 mil, dan negara-negara Skandinavia setuju 4 mil.
Sebagai penjajah, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan batas laut teritorial 3 mil untuk wilayah tanah jajahan Indonesia. Hal itu diatur dalam Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939).  
Dunia terus berkembang. Hukum laut yang semakin modern pun muncul. Berawal pada saat proklamasi Presiden Amerika Serikat, Truman, pada tanggal 28 September 1945, yang mengemukakan dua hal pokok. Pertama, klaim mengenai landas kontinen; dan kedua, tentang perikanan pantai. Proklamasi Truman yang kemudian dikenal dengan Presidential Proclamation Concerning Coastal Fisheries in Certain Areas of the High Seas.
Proklamasi Truman berisikan ketentuan tentang pembentukan zona konservasi di kawasan laut lepas tertentu yang bersambung dengan pantai Amerika Serikat. Proklamasi Truman ini memberi angin segar bagi negara-negara lain untuk melakukan perlindungan terhadap laut yang berhubungan dengan wilayahnya sebagai bagian dari kepentingan ekonomi yang lebih besar.
Dalam waktu hampir bersamaan dengan proklamasi Truman, Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang pada 17 Agustus 1945. Indonesia masih mewarisi peraturan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939). Dengan mengacu ke peraturan tersebut banyak pulau-pulau di Indonesia menjadi terpisah karena dipisahkan oleh laut lepas. Hal ini jelas mempersulit pengelolaan manajemen pemerintahan dan kenegaraan.
Ketidak-tuntasan soal batas laut teritorial ternyata membawa dampak panjang munculnya persengketaan antarnegara tentang wilayah maritim. Setelah melalui perdebatan panjang dan tidak menemukan kata sepakat di antara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka LBB yang kemudian bermetamorfose menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari 1957 menyetujui untuk diselenggarakan konferensi internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958. Sebagai langkah persiapan menyambut konferensi internasional tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Indonesia Djoeanda membuat pengumuman hukum laut Indonesia bahwa lebar laut teritorial Indonesia bukan lagi 3 mil melainkan 12 mil. Dengan pengumuman yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djoeanda itu, laut yang semula bagian laut lepas kemudian berubah menjadi laut teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Deklarasi ini pula yang selanjutnya melahirkan konsep Wawasan Nusantara.
Sesuai Resolusi Majelis Umum PBB, pada tanggal 24 Februari sampai 27 April 1958 diselenggarakan konferensi hukum laut UNCLOS I (United Nations Convention on The Law of The Sea) di Jenewa, Swis. Konferensi ini dihadiri 700 delegasi dari 86 negara, termasuk Indonesia. Delegasi Indonesia membawa misi mendorong aturan lebar wilayah laut teritorial 12 mil menjadi keputusan atau kesepakatan seluruh delegasi peserta konferensi.  
Konferensi tersebut berhasil menyetujui 4 buah konvensi, yaitu: pertama, Konvensi tentang laut teritorial dan zona tambahan (convention on territorial sea and the contiguous zone). Konvensi ini memuat kedaulatan dan hak lintas melalui laut teritorial dan penambahan zona tambahan seluas 12 mil laut dari garis pantai. Kedua, Konvensi tentang perikanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan laut lepas (convention on fishing and conservation of the living resources of the high sea). Konvensi ini memuat tentang kebebasan pelayaran, kebebasan menangkap ikan, kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan kebebasan terbang di atas laut lepas. Ketiga, Konvensi tentang hukum laut lepas (convention on the high sea). Memuat hak-hak negara pantai untuk melindungi sumber daya hayati laut serta memuat langkah-langkah untuk penyelesaian apabila terjadi sengketa. Mulai berlaku sejak tanggal 10 Juni 1966. Dan keempat, Konvensi tentang landas kontinen (convention on the continental shelf). Memuat rezim yang mengatur perairan dan wilayah udara, peletakan dan pemeliharaan kabel laut atau pipa, rezim yang mengatur navigasi, memancing, penelitian ilmiah dan kompetensi negara pantai di wilayah ini.  
Selain itu konferensi juga menyetujui 9 resolusi yang meliputi tes nuklir di laut lepas, polusi laut lepas oleh bahan-bahan radioaktif, konservasi perikanan internasional, kerjasama dalam upaya-upaya konservasi, pembunuhan oleh manusia terhadap makhluk hidup kelautan, situasi khusus tentang penangkapan ikan pantai, dan ketentuan-ketentuan tentang perairan sejarah.
Sayangnya, UNCLOS I tidak berhasil menetapkan lebar laut teritorial dan batas zona perikanan karena usulan masing-masing negara peserta tidak memperoleh dukungan mayoritas. Negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara Arab dan Blok Uni Soviet menghendaki batas laut teritorial selebar 12 mil. Sedangkan negara-negara maritim di Eropa menghendaki lebar 3 mil. Karena tidak tercapai kesepakatan, beberapa negara pantai dan kepulauan (termasuk Indonesia) kemudian menetapkan secara sepihak batas laut teritorial. Secara umum sebagian besar dari negara pantai membatasi tuntutan sampai 12 mil laut --kecuali beberapa negara seperti Chile, Equador, dan Peru yang menuntut sampai 200 mil.
Menghadapi kegagalan UNCLOS I menetapkan lebar laut teritorial tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia. Dengan Perpu ini, luas wilayah Indonesia berubah menjadi 5.193.250 kilometer persegi dari yang sebelumnya hanya 2.027.087 kilometer persegi. Dengan kata lain terjadi penambahan luas wilayah Indonesia seluas 3.166.163 kilometer persegi. Penerbitan Perpu ini merupakan langkah besar Pemerintah Indonesia dalam upaya melindungi laut sekaligus sebagai persiapan menghadapi UNCLOS II yang direncanakan berlangsung tahun 1960.
Sesuai kesepakatan pada UNCLOS I, maka tanggal 17 Maret sampai 26 April 1960 diselenggarakan UNCLOS II di Jenewa, Swiss. UNCLOS II ini membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan. Namun masih menghadapi kegagalan untuk mencapai kata sepakat sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
Dalam konteks kepentingan Indonesia, untuk mengamankan kepentingan rakyat Indonesia dalam landas kontinen yang berbatasan dengan wilayah negaranya, pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu pengumuman tentang landas kontinen yang berisi asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan Pemerintah tentang landas kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah ini selanjutnya dikukuhkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.
UU Nomor 1 Tahun 1973 tersebut menetapkan bahwa Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Prp Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Lebih lanjut UU ini juga menetapkan bahwa penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia serta pemilikannya ada pada negara. UU ini mengatur pula hal-ihwal landas kontinen, antara lain depresi-depresi yang terdapat di Landas Kontinen Indonesia, perbatasan dengan negara lain, dan penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain yang dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan.
Selanjutnya, eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam di landas Kontinen Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di bidang masing-masing. Dengan telah diratifikasinya UNCLOS III oleh Republik Indonesia melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982, maka beberapa bagian dari ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1973 perlu disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut, khususnya tentang batas terluar Landas Kontinen Indonesia.
Sebelum lebih lanjut membahas penyesuaian perundangan-undangan Indonesia terhadap Konvensi Hukum Laut PBB 1982, sedikit kilas balik ke tahun 1973 saat dimulainya UNCLOS III di Malta. UNCLOS kali ini tidak sekali waktu langsung memunculkan kesepakatan. UNCLOS III dapat dikatakan berjalan teramat panjang sampai puncaknya baru berlangsung pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut yang ditanda-tangani oleh 119 negara. Konvensi yang dihasilkan mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, satu tahun setelah negara ke-60, Guyana, meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 1985 dengan menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea.
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 itu berisi 320 artikel dan 9 lampiran yang memuat sejumlah ketentuan seperti penetapan batas, navigasi, status kepulauan dan rezim transit, zona ekonomi eksklusif, yurisdiksi landas kontinen, penambangan dasar laut dalam, rezim eksploitasi, perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah dan penyelesaian sengketa. Ini mensintesis dan dibuat berdasarkan perjanjian yang telah dikembangkan di UNCLOS I dan UNCLOS II.
Poin penting dari konvensi ini, satu di antaranya, adalah ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). ZEE adalah suatu daerah di luar dan berbatasan dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus, di mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan negara-negara lain ditetapkan oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dalam konvensi. ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut diukur dari garis pangkal di mana lebar laut teritorial mulai diukur. Terdapat 15 negara yang kemudian dikatagorikan memiliki ZEE besar, yakni Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Meksiko, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik Malagasi.
Ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 juga memberikan kewenangan kepada suatu negara untuk menegakkan kedaulatan di laut. Kendati demikian, negara tersebut tetap perlu memperhatikan kepentingan negara lain yang memanfaatkan laut buat kepentingan pelayaran.
Pengaturan hukum internasional tentang zona ekonomi eksklusif yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional melalui UNCLOS III dan praktik negara-negara dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara pantai dan bahaya dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh kegiatan-kegiatan perikanan berdasarkan rezimlaut bebas. Untuk melindungi kepentingan nasional khususnys guna memenuhi kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumber daya alam non-hayati, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan, pada tanggal 21 Maret 1980 Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Pengumuman Pemerintah tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang kemudian dikukuhkan dengan pengundangan UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dalam UU ini, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diartikan sebagai, “jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.”
Lebih jauh UU ini juga menetapkan bahwa di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan:
  • Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non-hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut seperti pembangkitan tenaga listrik dari air, arus dan angin.
  • Yurisdiksi yang berhubungan dengan: pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya; penelitian ilmiah mengenai kelautan; dan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
  • Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku.
Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1983 ini menetapkan bahwa apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antar Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.
Kembali ke Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982). Konvensi ini telah pula melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut, yaitu:
* Perairan Pedalaman (Internal waters),
* Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuki ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
* Laut Teritorial (Teritorial waters),
* Zona tambahan (Contiguous zone),
* Zona ekonomi eksklusif (Exclusive economic zone),
* Landas Kontinen (Continental shelf),
* Laut lepas (High seas),
* Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia, memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalkan hak memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun. Kemudian, kawasan dasar laut internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.
Konvensi Hukum Laut 1982 pun mengatur soal alur laut kepulauan (sea lane). Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing untuk melakukan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk transit yang dilaksanakan secara terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang, melalui atau di atas perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan atau suatu bagian laut lepas atau ZEE lain. Penentuan alur laut kepulauan merupakan keputusan yang diterima oleh masyarakat laut dunia internasional sebagai aktualisasi tata guna laut dalam hal lalu lintas alat transportasi sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982.
Konvensi Hukum Laut 1982 mengenal 3 jenis hak lintas bagi kapal-kapal asing jika sedang melalui ataupun berada di bawah yurisdiksi suatu negara atau pada laut teritorial yang memanfaatkan selat untuk pelayaran internasional, yaitu: Hak lintas damai (innocent passage), Hak lintas transit (transit passage), dan Hak lintas alur laut kepulauan (archipelagic sea lanes passage).
Selain itu, ketentuan tentang alur-alur laut kepulauan menjamin pula hal-hal sebagai berikut: pertama, hak lintas alur laut kepulauan diperuntukkan bagi kapal dan pesawat udara jenis apa pun (all ships and aircraft). Kedua, rute penerbangan hanya akan ada di atas (there above) alur-alur laut kepulauan. Dan ketiga, alur-alur kepulauan harus cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat asing yang berlangsung secara terus-menerus.
Menindak-lanjuti konvensi tentang alur laut itu, Pemerintah Republik Indonesia lalu menetapkan alur-alur laut kepulauan Nusantara melalui Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) di Cisarua, Jawa Barat, pada tanggal 17-19 Januari 1995. Lewat Rakernas itu ditetapkan 4 buah ALKI Utara-Selatan yang terdiri dari:
* ALKI I: Selat Malaka — Laut Singapura — Laut Natuna — Laut Cina Selatan.
* ALKI II: Selat Sunda — Selat Karimata — Laut Natuna -- Laut Cina Selatan/Laut Singapura.
* ALKI III: Selat Lombok — Selat Makasar — Laut Sulawesi.
* ALKI IV: Laut Maluku – Laut Seram – Laut Banda – Selat Ombai — Laut Sawu/Laut Timor/Laut Arafura.
Kemudian di laut teritorial, negara pantai mempunyai kedaulatan penuh untuk mengatur, termasuk dasar laut dan udara di atas wilayah tersebut, disertai dengan kewajiban untuk menjamin hak lintas damai bagi kapal-kapal asing. Kedaulatan ini berarti juga hak untuk menguasai sepenuhnya seluruh sumber daya alam hayati dan non-hayati yang ada di wilayah laut teritorial tersebut.
Indonesia yang memiliki batas 12 mil laut teritorial mempunyai kedaulatan penuh untuk melindungi sumber-sumber ekonomi yang dihasilkan oleh laut tersebut. Penguasaan ini merupakan suatu penambahan sumber ekonomi dari laut yang berasal dari wilayah laut teritorial.
UNCLOS III yang mencapai puncaknya di tahun 1982 memiliki arti penting bagi Indonesia. Karena, melalui UNCLOS III ini Indonesia berhasil memperjuangkan statusnya sebagai negara kepulauan melalui konsep Wawasan Nusantara sehingga diakui secara internasional. Dengan konsep ini wilayah Indonesia dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara darat, laut, dan udara.
Konvensi Hukum Laut 1982 berisi pengaturan yang didasarkan pada status hukum dari bagian-bagian laut (zona-zona maritim) yang berbeda. Terkait dengan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan, secara garis besar dapat dikelompokkan kepada bagian-bagian laut sebagai berikut:
  • Wilayah Indonesia di laut yang berada di bawah kedaulatan penuh negara (sovereignty), masing-masing: pertama, Perairan Pedalaman, yakni perairan yang terletak pada perairan kepulauan, di mana Indonesia memiliki kedaulatan penuh tanpa harus memberikan hak lintas kepada kapal-kapal asing. Kedua, Perairan Kepulauan, adalah perairan yang berada di sebelah dalam dari garis-garis pangkal lurus kepulauan. Kedaulatan Indonesia meliputi juga ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, baik hayati dan nir-hayati. Di bagian laut ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengakui hak lintas damai dan hak lintas alur-alur kepulauan bagi kapal-kapal asing. Dan ketiga, Laut Teritorial, yaitu jalur laut dengan lebar 12 mil yang terletak di sebelah luar dari garis-garis pangkal lurus kepulauan. Kedaulatan Indonesia di laut teritorial meliputi juga ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Di laut teritorial, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengakui hak lintas damai bagi kapal-kapal asing.
  • Bagian laut di mana Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumberdaya alamnya (sovereign rights) serta memiliki kewenangan-kewenangan khusus. Termasuk di sini: pertama, Zona Tambahan, yakni jalur laut yang terletak di sebelah luar dari batas terluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 24 mil diukur dari garis-garis pangkal lurus kepulauan, di mana Indonesia dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan (saniter), serta penegakan hukum di wilayahnya. Kedua, Zona Ekonomi Eksklusif, merupakan bagian laut yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang lebarnya 200 mil diukur dari garis pangkal lurus kepulauan di mana Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin. Dan ketiga, Landas Kontinen, dasarlaut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorial dengan batas terluar minimal 200 mil diukur dari garis pangkal lurus kepulauan atau maksimal sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982, di mana Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral dan non-hayati lainnya yang terkandung di dalamnya, termasuk organisme hidup yang tergolong sedenter.
  • Bagian laut di mana Indonesia tidak mempunyai kedaulatan kewilayahan, kewenangan dan hak-hak berdaulat namun memiliki kepentingan. Termasuk di sini Laut Lepas, semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial, perairan pedalaman atau perairan kepulauan yang tunduk pada prinsip kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas). Termasuk pula di sini, Kawasan Dasar Laut Internasional, dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar landas kontinen yang dinyatakan sebagai milik bersama umat manusia (common heritage of mankind).
  • Bagian laut dengan pengaturan khusus. Termasuk klasifikasi ini, pertama, selat yang digunakan untuk pelayaran internasional yang terletak antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya, misalnkan Selat Malaka dan Selat Singapura. Dan kedua, Laut Tertutup atau Setengah Tertutup, yang berupa suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif dua atau lebih negara pantai, contohnya Laut China Selatan, Laut Sulawesi, Laut Arafura, dan Teluk Benggala.
Berlakunya ketentuan mengenai asas negara kepulauan dan UNCLOS III mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi negara kepulauan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan diakuinya garis-garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis-garis pangkal biasa dan garis-garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis-garis pangkal kepulauan Indonesia.
Dengan berkembangnya berbagai kepentingan dan kegiatan perairan Indonesia, maka kepentingan nasional dan internasional di perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan dikembangkan secara terarah dan bijaksana sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Selain dari itu, kepentingan pertahanan-keamanan, persatuan-kesatuan, dan ekonomi, juga perlindungan lingkungan dari bahaya pencemaran dan pelestariannya serta kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan perairan Indonesia, dirasakan semakin mendesak. Berdasarkan pertimbangan tadi, UU Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia perlu dicabut dan diganti dengan undang-undang yang baru, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982.
Melalui UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, untuk pertama kalinya Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan. Dengan adanya pengakuan atas asas negara kepulauan secara hukum dan politik berarti ada pengakuan internasional atas penambahan wilayah kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia dari 1,65 juta kilometer persegi menjadi 5,8 juta kilometer persegi yang terdiri dari 3,1 juta kilometer persegi wilayah laut teritorial dan perairan kepulauan serta 2,7 juta kilometer persegi ZEE. Hal ini berimplikasi terhadap bidang pertahanan dan keamanan, khususnya dalam menghadapi ancaman dan ganggunan terhadap kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah sangat terkait dengan bentang dan posisi geografis yang sangat strategis dan sumber daya alam yang melimpah.
Tentu bukanlah hal mudah mengelola wilayah laut dengan luas jutaan kilometer persegi. Dibutuhkan peraturan perundangan yang tepat agar potensi yang ada di dalamnya tidak hilang begitu saja. Untuk mengoptimalkan potensi yang ada di wilayah laut, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan sejumlah undang-undang, antara lain:
  • UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
  • UU Nomor 21 Tahun 1992 yang telah diganti dengan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
  • UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
  • UU Nomor 31 Tahun 2004 yang telah diperbarui dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
  • UU Nomor 9 Tahun 1990 yang telah diganti dengan UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
  • UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang telah diperbarui dengan UU Nomor UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
  • UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
  • UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
  • UU Nomor 24 Tahun 1992 yang telah diperbarui dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
  • UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
  • UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
  • UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
  • UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diganti dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
  • UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
  • UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diperbarui dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  • UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
  • UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu dan Teknologi.
  • UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  • UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional.
  • UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
  • UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
  • UU Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United NationsConvention on the Law of the Sea of December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995.
  • UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dengan meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan telah diundangkannya sejumlah undang-undang tersebut, Pemerintah Indonesia berusaha memperkuat status sebagai negara kepulauan dan negara maritim. Sudah saatnya memang, Indonesia mengubah paradigma kehidupan negara menuju negara maritim. Menurut pakar hukum laut Etty R. Agoes, terdapat tiga alasan mengapa Indonesia perlu mengubah paradigma menjadi negara maritim. Pertama, kewilayahan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, karena dua per tiga wilayahnya berupa laut. Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada), yaitu 81.290 kilometer.
Kedua, sumberdaya alam laut menyimpan potensi sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati serta energi gelombang laut yang sangat besar. Dan ketiga, sejarah. Indonesia pernah mengalami kejayaan di laut pada masa Majapahit, Sriwijaya, Ternate dan Tidore. Hal ini tercermin dari kekuatan laut (sea power) dalam bentuk angkutan laut dan pelayaran niaga yang kuat, dengan budaya yang lebih kosmopolit, terbuka, terintegrasi dan outward looking karena budaya pelaut yang tidak terbatas dengan wilayah daratan yang sempit.
Paradigma negara maritim ini juga harus dipahami di tataran pemerintah daerah: provinsi, kabupaten dan kota. Selama ini, provinsi, kabupaten dan kota hanya berbasis daratan. Padahal, bila diperhatikan, terdapat beberapa provinsi dan kabupaten yang wilayahnya didominasi lautan. Dengan kata lain provinsi dan kabupaten itu merupakan provinsi dan kabupaten yang berbasis maritim. Untuk provinsi berbasis maritim antara lain lain Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau Kepulauan, dan Bangka Belitung. Penanganan tata ruang provinsi, kabupaten dan kota berbasis maritim tentu tidak boleh sama dengan yang berbasis daratan. Di daerah yang berbasis maritim, sumberdaya maritim harus menjadi tumpuan untuk membangun wilayah tersebut.

Boks:
Asas Cabotage di Perairan Indonesia

Setelah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB 1982 pada tahun 1985, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh di wilayah Laut Pedalaman, Laut Kepulauan dan Laut Teritorial. Di wilayah Laut Pedalaman ini, Indonesia memiliki kedaulatan penuh tanpa harus memberikan hak lintas kepada kapal-kapal asing. Sedangkan di Laut Kepulauan, kedaulatan Indonesia meliputi ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, baik hayati dan non-hayati. Dan di bagian laut ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengakui hak lintas damai dan hak lintas alur-alur kepulauan bagi kapal-kapal asing.
Dalam kerangka kedaulatan penuh tanpa memberikan hak lintas kapal-kapal asing, Indonesia kemudian menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 8 UU ini mengamanatkan penerapan asas cabotage. Bahwa kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarga-negaraan Indonesia. Cabotage merupakan asas pemberian hak untuk beroperasi secara komersial di dalam suatu negara hanya kepada perusahaan angkutan domestik negara itu sendiri secara eksklusif. Banyak negara telah menerapkan asas cabotage untuk melindungi industri pelayaran dalam negeri masing-masing.
Selain dengan kekuatan landasan hukum UU Nomor 17 Tahun 2008, sebelumnya ditandai dengan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Pemberlakuan asas cabotage dalam pelayaran Indonesia secara resmi mulai 1 Januari 2011 yang kemudian diubah lagi menjadi mulai Mei 2011 itu telah mampu menggairahkan pelayaran niaga secara nasional.
Sejak ketentuan asas cabotage dilaksanakan tahun 2005 melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2005, terjadi peningkatan jumlah armada kapal niaga nasional yang cukup berarti. Tahun 2005, jumlah kapal niaga nasional baru 6.014 unit dengan kapasitas muatan 6 juta GT (Gross Tonnage) ton dan kini menjadi 9.945 unit dengan kapasitas muatan 14,4 juta GT.
Penerapan asas cabotage ini juga mampu menurunkan jumlah kapal lepas pantai berbendera asing. Bila tahun 2009 masih terdapat 56 kapal lepas pantai hulu migas berbendera asing maka tahun 2010 tinggal 24 kapal. Sebanyak enam Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mitra Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sudah memerah-putihkan armadanya. Keenam KKKS yang mengoperasikan 44 kapal itu adalah Camar Resources Canada INC, Exxon Mobil Pase, Job Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi, Kondur Petroleum, Petrochina International (Bermuda) Ltd, dan PT Chevron Pacific Indonesia. Selain keenam KKKS tersebut masih ada PT Wintermas Offshore Marine Tbk bersemangat menyambut pemberlakuan asas cabotage. Perseroan ini bergerak cepat membeli 18 unit kapal penunjang eksplorasi hulu migas pada tahun 2010-2011. Memang bukan hal mudah untuk menjadikan semua kapal lepas pantai berbendera Indonesia karena kapal-kapal penunjang operasi migas jenis tertentu (seperti jackup rig, submersible rig, drill ship  cable-pipe laying ship dan kapal seismik) belum tersedia di Indonesia.
Saat ini, kata Deputi Pengendalian Keuangan BP Migas Wibowo Suseno Wirjawan, kontraktor drilling rig yang umumnya perusahaan asing belum siap menerapkan asas cabotage. “Seharusnya ketentuan ini tidak perlu diberlakukan bagi kontraktor yang hanya melakukan drilling rig karena jangka waktu mereka relatif pendek, sekitar empat bulan. Jika mereka disuruh berbendera Indonesia maka akan kesulitan untuk ke negara lain,” ujar Wibowo sembari menambahkan pemberlakuan asas cabotage seharusnya bisa diperpanjang sekitar dua sampai tiga tahun.
Terlepas dari kapal-kapal lepas pantai jenis tertentu yang belum bisa sepenuhnya memenuhi asas cabotage, perkembangan menarik sekarang adalah kesediaan kalangan perbankan mengucurkan pinjaman pembiayaan perkapalan. Bank Mandiri, Bank CIMB Niaga, Bank Internasional Indonesia dan Bank BNI dua tahun belakangan aktif terjun ke pembiayaan industri perkapalan dalam negeri. Bank BNI misalkan, awal 2011 telah menandatangani nota kesepahaman dengan Indonesian National Shipowners Association (INSA). Selama ini pengusaha perkapalan sering mengeluhkan minimnya dukungan perbankan dalam pembelian kapal baru. Bahkan, bunga yang ditawarkan cukup tinggi karena persepsi risiko atas prospek usaha pelayaran. ***      


No comments:

Post a Comment