Bahwa segala perairan di sekitar,
di antara yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia tanpa memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar
dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan
bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara
Republik Indonesia.
Deklarasi
Djoeanda, 1957
Dalam perspektif
historis, hukum maritim mulai dikenal semenjak laut dimanfaatkan untuk
kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti
penangkapan ikan. Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
secara khusus dan lengkap mengatur mengenai maritim.
Keberadaan
hukum maritim sangat diperlukan oleh masyarakat internasional. Alasannya,
antara lain, banyak negara memandang laut sebagai milik bersama (common property). Kenyataan ini bila
tidak segera diatur maka dapat menjadi sumber permasalahan hubungan bertetangga
antar-negara yang merasa mempunyai hak untuk memanfaatkan wilayah laut yang
sama.
Kekhawatiran
ihwal kemungkinan akan terjadinya permasalahan atau konflik di laut itu telah
mendorong bangsa-negara di dunia untuk membuat peraturan. Dari sejumlah kajian
historis-yuridis, cikal-bakal hukum laut mulai tampak dalam kehidupan
masyarakat di wilayah Mediterania sekitar 1000 sampai 600 tahun Sebelum Masehi
(SM). Pada masa itu, di Mediterania hidup seorang pelaut yang kuat dan mandiri
bernama Rhodes. Bersama para pengikutnya, Rhodes mengembangkan armada komersial
yang kuat.
Berkat
kepiawaiannya berniaga dan menaklukkan lautan, mereka lantas mampu menguasai
perniagaan di wilayah Laut Mediterania yang berada di antara Eropa, Afrika Utara
dan Asia Barat. Mereka pun mendirikan koloni perdagangan di sepanjang pantai
barat Italia, Perancis dan Spanyol. Dalam perkembangannya, pada abad 7 Masehi
(M), orang-orang Rhodes mengembangkan aturan hukum buat menangani perselisihan
pengiriman barang yang disebut kode hukum maritim (Rhodia Lex). Sayangnya, sampai sekarang, tidak ada salinan kode
hukum maritim Rhodia yang pernah ditemukan. Namun, hukum maritim Rhodia
bertahan sampai kejayaan Kekaisaran Romawi di abad pertengahan dan diadopsi
oleh bangsa-bangsa Eropa.
Sebelum
Kekaisaran Romawi berada dalam puncak kejayaan di abad pertengahan (abad 14-15
M), Rhodes dan koleganya (Phoenicia) mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan
pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran ini tidak terlalu besar
lantaran tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan atas hukum Romawi
pada abad pertengahan di mana pada saat itu tidak ada pihak lain yang menentang
kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah di masa itu bagai
danau dalam wilayah Kekaisaran Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari
gangguan bajak laut. Dengan begitu, semua orang bebas menggunakan Laut Tengah
secara aman dan sejahtera.
Pemikiran
hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut
merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res
communis omnium). Dengan demikian penggunaan laut terbuka bagi setiap
orang. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad 14 terhimpun sekumpulan peraturan
hukum laut yang dikenal dengan Consolato
del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan
dengan perdagangan (perdata).
Dunia
terus berkembang. Hukum maritim tidak hanya muncul di kawasan Laut Tengah.
Menjelang akhir abad 12, di kawasan Atlantik lahir pula himpunan peraturan
hukum maritim The Rolles of Oleron
atau dikenal pula sebagai “Hukum Olereon”. Himpunan ini berisi koleksi
penilaian yang disusun menjadi kode etik melalui suatu keputusan seorang tokoh
kemaritiman bernama Eleanor dari Aquitaine. Kemudian kode etik ini digunakan
sebagai kode maritim di seluruh wilayah Eropa. Ini merupakan sumber Hukum
Admiralty Inggris.
Sedikit
kisahnya, sekitar tahun 1160 M, Eleanor pergi ke Pulau Oleron untuk mencari
keadilan. Di sini dia juga membuat laporan hukum yang lantas dikodifikasi guna
mengatur perdagangan maritim. Boleh dikatakan ini merupakan kode maritim
pertama yang memperoleh apresiasi besar. Di akhir abad 12, himpunan peraturan The Rolles of Oleron berkembang mengatur
24 item perdagangan maritim.
Perdagangan
dunia semakin meluas. Dari Laut Tengah ke Atlantik lalu Laut Baltik di wilayah
Eropa Utara. Ceritanya, para pedagang dan penguasa kota megah Wisbuy (ibukota
kuno Gothland di sebuah pulau di Laut Baltik) menetapkan kode hukum laut yang
dinamai Sea Code of Wisby. Ketentuan
dalam Sea Code of Wisby ini persis
sama dengan yang dirumuskan dalam Hukum Oleron. Rupanya, rakyat Wisbuy sengaja
menerjemahkan Hukum Oleron ke dalam bahasa mereka.
Sekali
lagi pelayaran dan perdagangan terus meluas ke berbagai penjuru dunia, termasuk
ke kawasan Asia umumnya dan terkhusus Indonesia. Di masa abad pertengahan, perdagangan
di kalangan saudagar asal Bugis, Sulawesi Selatan, dengan dunia luar mulai
berkembang pesat. Untuk menghindari perselisihan antar-pedagang, seorang tokoh Bugis
Muhammad Ibnu Badwi yang tengah berada di Gresik (Jawa Timur) menuliskan hukum
pelayaran dan perdagangan yang dihimpun ke dalam naskah hukum bertajuk Amanna Gappa. Naskah hukum ini terdiri
dari 21 pasal yang mengatur antara lain sewa kapal, macam-macam kelasi, syarat
menjadi nakhoda, cara berjualan di kapal, dan utang-piutang dalam perdagangan
di kapal.
Memasuki
abad 16 dan 17, beberapa negara di Eropa yang mengklaim diri sebagai negara
maritim, terutama Portugal dan Spanyol, ingin menguasai dunia dengan membagi
dua wilayah lautan: setengah menjadi milik Portugal dan setengah sisanya milik
Spanyol. Keinginan Portugis dan Spanyol tentu saja tidak dapat berjalan mulus
karena ditentang oleh negara-negara lain seperti Inggris dan Belanda.
Klaim
negara-negara atas wilayah lautan merupakan upaya untuk memperluas kedaulatan
negara ke arah laut. Pertama-tama perluasan itu sejauh 3 mil laut. Konsep
perluasan kedaulatan negara di laut sejauh 3 mil pertama kali diperkenalkan
oleh Cornelius van Bynkershoek melalui buku berjudul Dominio Marts pada tahun 1702. Bahwa suatu negara dapat memperluas
kedaulatan ke laut sampai ke kapal-kapal di laut sejauh tembakan meriam.
Jangkauan tembakan meriam pada abad ke-18 itu rata-rata sejauh 3 mil.
Memasuki
abad 20, mulai ada upaya merapikan hukum laut lewat kodifikasi. Hal ini tampak
pada konferensi internasional pertama yang diadakan untuk membicarakan hukum
laut. Konferensi Kodifikasi di Den Haag (Belanda) pada tanggal 13 Maret – 12
April 1930 ini mengambil fokus bahasan tentang laut teritorial. Namun dalam
konferensi yang dilaksanakan di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) ini
tidak tercapai kesepakatan bulat mengenai batas laut teritorial: sebanyak 20
negara setuju batas laut teritorial 3 mil, 12 negara setuju 6 mil, dan negara-negara
Skandinavia setuju 4 mil.
Sebagai
penjajah, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan batas laut teritorial 3 mil
untuk wilayah tanah jajahan Indonesia. Hal itu diatur dalam Ordonansi 1939
tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939).
Dunia
terus berkembang. Hukum laut yang semakin modern pun muncul. Berawal pada saat proklamasi
Presiden Amerika Serikat, Truman, pada tanggal 28 September 1945, yang
mengemukakan dua hal pokok. Pertama,
klaim mengenai landas kontinen; dan kedua,
tentang perikanan pantai. Proklamasi Truman yang kemudian dikenal dengan Presidential Proclamation Concerning Coastal
Fisheries in Certain Areas of the High Seas.
Proklamasi
Truman berisikan ketentuan tentang pembentukan zona konservasi di kawasan laut
lepas tertentu yang bersambung dengan pantai Amerika Serikat. Proklamasi Truman
ini memberi angin segar bagi negara-negara lain untuk melakukan perlindungan
terhadap laut yang berhubungan dengan wilayahnya sebagai bagian dari
kepentingan ekonomi yang lebih besar.
Dalam
waktu hampir bersamaan dengan proklamasi Truman, Indonesia merdeka dari
penjajahan Jepang pada 17 Agustus 1945. Indonesia masih mewarisi peraturan Ordonansi
1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939). Dengan
mengacu ke peraturan tersebut banyak pulau-pulau di Indonesia menjadi terpisah
karena dipisahkan oleh laut lepas. Hal ini jelas mempersulit pengelolaan
manajemen pemerintahan dan kenegaraan.
Ketidak-tuntasan
soal batas laut teritorial ternyata membawa dampak panjang munculnya
persengketaan antarnegara tentang wilayah maritim. Setelah melalui perdebatan
panjang dan tidak menemukan kata sepakat di antara negara-negara yang
bersengketa tentang wilayah maritim, maka LBB yang kemudian bermetamorfose
menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi Majelis Umum PBB
tanggal 21 Februari 1957 menyetujui untuk diselenggarakan konferensi
internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958. Sebagai langkah
persiapan menyambut konferensi internasional tersebut, pada tanggal 13 Desember
1957 Perdana Menteri Indonesia Djoeanda membuat pengumuman hukum laut Indonesia
bahwa lebar laut teritorial Indonesia bukan lagi 3 mil melainkan 12 mil. Dengan
pengumuman yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djoeanda itu, laut yang
semula bagian laut lepas kemudian berubah menjadi laut teritorial Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Deklarasi ini pula yang selanjutnya
melahirkan konsep Wawasan Nusantara.
Sesuai
Resolusi Majelis Umum PBB, pada tanggal 24 Februari sampai 27 April 1958
diselenggarakan konferensi hukum laut UNCLOS I (United Nations Convention on The Law of The Sea) di Jenewa, Swis.
Konferensi ini dihadiri 700 delegasi dari 86 negara, termasuk Indonesia. Delegasi
Indonesia membawa misi mendorong aturan lebar wilayah laut teritorial 12 mil
menjadi keputusan atau kesepakatan seluruh delegasi peserta konferensi.
Konferensi
tersebut berhasil menyetujui 4 buah konvensi, yaitu: pertama, Konvensi tentang laut teritorial dan zona tambahan (convention on territorial sea and the contiguous
zone). Konvensi ini memuat kedaulatan dan hak lintas melalui laut
teritorial dan penambahan zona tambahan seluas 12 mil laut dari garis pantai. Kedua, Konvensi tentang perikanan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan laut lepas (convention on fishing and conservation of the living resources of the
high sea). Konvensi ini memuat tentang kebebasan pelayaran, kebebasan
menangkap ikan, kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan kebebasan terbang
di atas laut lepas. Ketiga, Konvensi
tentang hukum laut lepas (convention on
the high sea). Memuat hak-hak negara pantai untuk melindungi sumber daya
hayati laut serta memuat langkah-langkah untuk penyelesaian apabila terjadi
sengketa. Mulai berlaku sejak tanggal 10 Juni 1966. Dan keempat, Konvensi tentang landas kontinen (convention on the continental shelf). Memuat rezim yang mengatur
perairan dan wilayah udara, peletakan dan pemeliharaan kabel laut atau pipa,
rezim yang mengatur navigasi, memancing, penelitian ilmiah dan kompetensi
negara pantai di wilayah ini.
Selain
itu konferensi juga menyetujui 9 resolusi yang meliputi tes nuklir di laut
lepas, polusi laut lepas oleh bahan-bahan radioaktif, konservasi perikanan
internasional, kerjasama dalam upaya-upaya konservasi, pembunuhan oleh manusia
terhadap makhluk hidup kelautan, situasi khusus tentang penangkapan ikan pantai,
dan ketentuan-ketentuan tentang perairan sejarah.
Sayangnya,
UNCLOS I tidak berhasil menetapkan lebar laut teritorial dan batas zona
perikanan karena usulan masing-masing negara peserta tidak memperoleh dukungan
mayoritas. Negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara Arab dan
Blok Uni Soviet menghendaki batas laut teritorial selebar 12 mil. Sedangkan
negara-negara maritim di Eropa menghendaki lebar 3 mil. Karena tidak tercapai
kesepakatan, beberapa negara pantai dan kepulauan (termasuk Indonesia) kemudian
menetapkan secara sepihak batas laut teritorial. Secara umum sebagian besar
dari negara pantai membatasi tuntutan sampai 12 mil laut --kecuali beberapa
negara seperti Chile, Equador, dan Peru yang menuntut sampai 200 mil.
Menghadapi
kegagalan UNCLOS I menetapkan lebar laut teritorial tersebut, Pemerintah Republik
Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
Nomor 4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia. Dengan Perpu ini, luas wilayah
Indonesia berubah menjadi 5.193.250 kilometer persegi dari yang sebelumnya
hanya 2.027.087 kilometer persegi. Dengan kata lain terjadi penambahan luas
wilayah Indonesia seluas 3.166.163 kilometer persegi. Penerbitan Perpu ini
merupakan langkah besar Pemerintah Indonesia dalam upaya melindungi laut
sekaligus sebagai persiapan menghadapi UNCLOS II yang direncanakan berlangsung
tahun 1960.
Sesuai
kesepakatan pada UNCLOS I, maka tanggal 17 Maret sampai 26 April 1960
diselenggarakan UNCLOS II di Jenewa, Swiss. UNCLOS II ini membicarakan tentang
lebar laut teritorial dan zona tambahan. Namun masih menghadapi kegagalan untuk
mencapai kata sepakat sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
Dalam
konteks kepentingan Indonesia, untuk mengamankan kepentingan rakyat Indonesia
dalam landas kontinen yang berbatasan dengan wilayah negaranya, pada tanggal 17
Februari 1969 Pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu pengumuman tentang landas
kontinen yang berisi asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan Pemerintah
tentang landas kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah ini selanjutnya
dikukuhkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.
UU
Nomor 1 Tahun 1973 tersebut menetapkan bahwa Landas Kontinen Indonesia adalah
dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Prp Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter
atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan
alam. Lebih lanjut UU ini juga menetapkan bahwa penguasaan penuh dan hak
eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia serta pemilikannya
ada pada negara. UU ini mengatur pula hal-ihwal landas kontinen, antara lain
depresi-depresi yang terdapat di Landas Kontinen Indonesia, perbatasan dengan
negara lain, dan penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain yang
dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu
persetujuan.
Selanjutnya,
eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam di landas Kontinen
Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di bidang
masing-masing. Dengan telah diratifikasinya UNCLOS III oleh Republik Indonesia
melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982, maka
beberapa bagian dari ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1973 perlu disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut, khususnya tentang batas terluar Landas
Kontinen Indonesia.
Sebelum
lebih lanjut membahas penyesuaian perundangan-undangan Indonesia terhadap
Konvensi Hukum Laut PBB 1982, sedikit kilas balik ke tahun 1973 saat dimulainya
UNCLOS III di Malta. UNCLOS kali ini tidak sekali waktu langsung memunculkan
kesepakatan. UNCLOS III dapat dikatakan berjalan teramat panjang sampai
puncaknya baru berlangsung pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Konvensi
Hukum Laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut yang
ditanda-tangani oleh 119 negara. Konvensi yang dihasilkan mulai berlaku pada
tanggal 16 November 1994, satu tahun setelah negara ke-60, Guyana, meratifikasi
perjanjian internasional tersebut. Indonesia sendiri telah meratifikasi
konvensi ini pada tahun 1985 dengan menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on
the Law of the Sea.
Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 itu berisi 320 artikel dan 9 lampiran yang memuat sejumlah
ketentuan seperti penetapan batas, navigasi, status kepulauan dan rezim
transit, zona ekonomi eksklusif, yurisdiksi landas kontinen, penambangan dasar
laut dalam, rezim eksploitasi, perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah
dan penyelesaian sengketa. Ini mensintesis dan dibuat berdasarkan perjanjian
yang telah dikembangkan di UNCLOS I dan UNCLOS II.
Poin
penting dari konvensi ini, satu di antaranya, adalah ketentuan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE). ZEE adalah suatu daerah di luar dan berbatasan dengan laut
teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus, di mana hak-hak dan yurisdiksi
negara pantai dan hak-hak serta kebebasan negara-negara lain ditetapkan oleh
ketentuan-ketentuan yang relevan dalam konvensi. ZEE tidak boleh melebihi 200
mil laut diukur dari garis pangkal di mana lebar laut teritorial mulai diukur.
Terdapat 15 negara yang kemudian dikatagorikan memiliki ZEE besar, yakni
Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Kanada, Uni Soviet, Jepang,
Brazil, Meksiko, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik
Malagasi.
Ketentuan-ketentuan
Konvensi Hukum Laut 1982 juga memberikan kewenangan kepada suatu negara untuk
menegakkan kedaulatan di laut. Kendati demikian, negara tersebut tetap perlu
memperhatikan kepentingan negara lain yang memanfaatkan laut buat kepentingan
pelayaran.
Pengaturan
hukum internasional tentang zona ekonomi eksklusif yang telah dikembangkan oleh
masyarakat internasional melalui UNCLOS III dan praktik negara-negara
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara pantai dan bahaya dihabiskannya
sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh kegiatan-kegiatan perikanan
berdasarkan rezimlaut bebas. Untuk melindungi kepentingan nasional khususnys
guna memenuhi kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia serta kepentingan
nasional di bidang pemanfaatan sumber daya alam non-hayati, perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan, pada tanggal 21 Maret 1980
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Pengumuman Pemerintah tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang kemudian dikukuhkan dengan pengundangan UU
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dalam UU ini, Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia diartikan sebagai, “jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang
yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut
diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.”
Lebih
jauh UU ini juga menetapkan bahwa di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik
Indonesia mempunyai dan melaksanakan:
- Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan
non-hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona
tersebut seperti pembangkitan tenaga listrik dari air, arus dan angin.
- Yurisdiksi yang berhubungan dengan: pembuatan
dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan
bangunan-bangunan lainnya; penelitian ilmiah mengenai kelautan; dan
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
- Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya
berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku.
Pasal
3 UU Nomor 5 Tahun 1983 ini menetapkan bahwa apabila Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang
pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona
ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan
persetujuan antar Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.
Kembali
ke Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982). Konvensi ini telah pula melahirkan
delapan zonasi pegaturan (regime)
hukum laut, yaitu:
*
Perairan Pedalaman (Internal waters),
*
Perairan kepulauan (Archiplegic waters)
termasuki ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
*
Laut Teritorial (Teritorial waters),
*
Zona tambahan (Contiguous zone),
*
Zona ekonomi eksklusif (Exclusive
economic zone),
*
Landas Kontinen (Continental shelf),
*
Laut lepas (High seas),
*
Kawasan dasar laut internasional (International
sea-bed area).
Konvensi
Hukum Laut 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari
kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan
laut, termasuk Indonesia, memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan
pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan untuk zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak
eksklusif, misalkan hak memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di zona tersebut.
Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara
manapun. Kemudian, kawasan dasar laut internasioal dijadikan sebagai bagian
warisan umat manusia.
Konvensi
Hukum Laut 1982 pun mengatur soal alur laut kepulauan (sea lane). Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh
kapal atau pesawat udara asing untuk melakukan pelayaran dan penerbangan dengan
cara normal semata-mata untuk transit yang dilaksanakan secara terus-menerus,
langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang, melalui atau di atas
perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan atau suatu bagian laut
lepas atau ZEE lain. Penentuan alur laut kepulauan merupakan keputusan yang
diterima oleh masyarakat laut dunia internasional sebagai aktualisasi tata guna
laut dalam hal lalu lintas alat transportasi sesuai dengan Konvensi Hukum Laut
1982.
Konvensi
Hukum Laut 1982 mengenal 3 jenis hak lintas bagi kapal-kapal asing jika sedang
melalui ataupun berada di bawah yurisdiksi suatu negara atau pada laut
teritorial yang memanfaatkan selat untuk pelayaran internasional, yaitu: Hak
lintas damai (innocent passage), Hak
lintas transit (transit passage), dan
Hak lintas alur laut kepulauan (archipelagic
sea lanes passage).
Selain
itu, ketentuan tentang alur-alur laut kepulauan menjamin pula hal-hal sebagai
berikut: pertama, hak lintas alur
laut kepulauan diperuntukkan bagi kapal dan pesawat udara jenis apa pun (all ships and aircraft). Kedua, rute penerbangan hanya akan ada
di atas (there above) alur-alur laut
kepulauan. Dan ketiga, alur-alur
kepulauan harus cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat asing yang berlangsung
secara terus-menerus.
Menindak-lanjuti
konvensi tentang alur laut itu, Pemerintah Republik Indonesia lalu menetapkan
alur-alur laut kepulauan Nusantara melalui Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tentang
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) di Cisarua, Jawa Barat, pada tanggal 17-19
Januari 1995. Lewat Rakernas itu ditetapkan 4 buah ALKI Utara-Selatan yang
terdiri dari:
*
ALKI I: Selat Malaka — Laut Singapura — Laut Natuna — Laut Cina Selatan.
*
ALKI II: Selat Sunda — Selat Karimata — Laut Natuna -- Laut Cina Selatan/Laut
Singapura.
*
ALKI III: Selat Lombok — Selat Makasar — Laut Sulawesi.
*
ALKI IV: Laut Maluku – Laut Seram – Laut Banda – Selat Ombai — Laut Sawu/Laut
Timor/Laut Arafura.
Kemudian
di laut teritorial, negara pantai mempunyai kedaulatan penuh untuk mengatur,
termasuk dasar laut dan udara di atas wilayah tersebut, disertai dengan
kewajiban untuk menjamin hak lintas damai bagi kapal-kapal asing. Kedaulatan
ini berarti juga hak untuk menguasai sepenuhnya seluruh sumber daya alam hayati
dan non-hayati yang ada di wilayah laut teritorial tersebut.
Indonesia
yang memiliki batas 12 mil laut teritorial mempunyai kedaulatan penuh untuk
melindungi sumber-sumber ekonomi yang dihasilkan oleh laut tersebut. Penguasaan
ini merupakan suatu penambahan sumber ekonomi dari laut yang berasal dari wilayah
laut teritorial.
UNCLOS
III yang mencapai puncaknya di tahun 1982 memiliki arti penting bagi Indonesia.
Karena, melalui UNCLOS III ini Indonesia berhasil memperjuangkan statusnya
sebagai negara kepulauan melalui konsep Wawasan Nusantara sehingga diakui
secara internasional. Dengan konsep ini wilayah Indonesia dipandang sebagai
satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara darat, laut, dan udara.
Konvensi
Hukum Laut 1982 berisi pengaturan yang didasarkan pada status hukum dari
bagian-bagian laut (zona-zona maritim) yang berbeda. Terkait dengan Indonesia
sebagai suatu negara kepulauan, secara garis besar dapat dikelompokkan kepada
bagian-bagian laut sebagai berikut:
- Wilayah Indonesia di laut yang berada di
bawah kedaulatan penuh negara (sovereignty),
masing-masing: pertama, Perairan
Pedalaman, yakni perairan yang terletak pada perairan kepulauan, di mana
Indonesia memiliki kedaulatan penuh tanpa harus memberikan hak lintas
kepada kapal-kapal asing. Kedua,
Perairan Kepulauan, adalah perairan yang berada di sebelah dalam dari
garis-garis pangkal lurus kepulauan. Kedaulatan Indonesia meliputi juga
ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber
daya alam yang terkandung di dalamnya, baik hayati dan nir-hayati. Di
bagian laut ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengakui hak lintas
damai dan hak lintas alur-alur kepulauan bagi kapal-kapal asing. Dan ketiga, Laut Teritorial, yaitu
jalur laut dengan lebar 12 mil yang terletak di sebelah luar dari
garis-garis pangkal lurus kepulauan. Kedaulatan Indonesia di laut
teritorial meliputi juga ruang udara di atas laut teritorial serta dasar
laut dan tanah di bawahnya. Di laut teritorial, Indonesia memiliki
kewajiban untuk mengakui hak lintas damai bagi kapal-kapal asing.
- Bagian laut di mana Indonesia memiliki
hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumberdaya alamnya (sovereign rights) serta memiliki
kewenangan-kewenangan khusus. Termasuk di sini: pertama, Zona Tambahan, yakni jalur laut yang terletak di
sebelah luar dari batas terluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh
melebihi 24 mil diukur dari garis-garis pangkal lurus kepulauan, di mana
Indonesia dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah
pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan
(saniter), serta penegakan hukum di wilayahnya. Kedua, Zona Ekonomi Eksklusif, merupakan bagian laut yang
terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang lebarnya 200
mil diukur dari garis pangkal lurus kepulauan di mana Indonesia memiliki
hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi
dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari
perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan
berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi
ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin.
Dan ketiga, Landas Kontinen,
dasarlaut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorial
dengan batas terluar minimal 200 mil diukur dari garis pangkal lurus
kepulauan atau maksimal sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut
1982, di mana Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi
dan eksploitasi sumberdaya mineral dan non-hayati lainnya yang terkandung
di dalamnya, termasuk organisme hidup yang tergolong sedenter.
- Bagian laut di mana Indonesia tidak mempunyai
kedaulatan kewilayahan, kewenangan dan hak-hak berdaulat namun memiliki
kepentingan. Termasuk di sini Laut Lepas, semua bagian dari laut yang
tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial, perairan
pedalaman atau perairan kepulauan yang tunduk pada prinsip kebebasan di laut
lepas (freedom of the high seas).
Termasuk pula di sini, Kawasan Dasar Laut Internasional, dasar laut dan
tanah di bawahnya yang terletak di luar landas kontinen yang dinyatakan
sebagai milik bersama umat manusia (common
heritage of mankind).
- Bagian laut dengan pengaturan khusus. Termasuk
klasifikasi ini, pertama, selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional yang terletak antara satu
bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau
zona ekonomi eksklusif lainnya, misalnkan Selat Malaka dan Selat
Singapura. Dan kedua, Laut
Tertutup atau Setengah Tertutup, yang berupa suatu teluk, lembah laut
(basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan
dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit
atau yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona
ekonomi eksklusif dua atau lebih negara pantai, contohnya Laut China
Selatan, Laut Sulawesi, Laut Arafura, dan Teluk Benggala.
Berlakunya ketentuan
mengenai asas negara kepulauan dan UNCLOS III mengandung berbagai pengembangan
dari konsepsi negara kepulauan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Prp tahun
1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan
diakuinya garis-garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis-garis pangkal
biasa dan garis-garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis-garis pangkal
kepulauan Indonesia.
Dengan berkembangnya
berbagai kepentingan dan kegiatan perairan Indonesia, maka kepentingan nasional
dan internasional di perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan
dikembangkan secara terarah dan bijaksana sesuai dengan tujuan pembangunan
nasional. Selain dari itu, kepentingan pertahanan-keamanan, persatuan-kesatuan,
dan ekonomi, juga perlindungan lingkungan dari bahaya pencemaran dan
pelestariannya serta kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan perairan
Indonesia, dirasakan semakin mendesak. Berdasarkan pertimbangan tadi, UU Nomor
4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia perlu dicabut dan diganti dengan
undang-undang yang baru, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982.
Melalui UU Nomor 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, untuk pertama kalinya Indonesia
menyatakan sebagai negara kepulauan. Dengan adanya pengakuan atas asas negara
kepulauan secara hukum dan politik berarti ada pengakuan internasional atas
penambahan wilayah kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia dari 1,65 juta kilometer
persegi menjadi 5,8 juta kilometer persegi yang terdiri dari 3,1 juta kilometer
persegi wilayah laut teritorial dan perairan kepulauan serta 2,7 juta kilometer
persegi ZEE. Hal ini berimplikasi terhadap bidang pertahanan dan keamanan,
khususnya dalam menghadapi ancaman dan ganggunan terhadap kedaulatan negara,
keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah sangat terkait dengan bentang dan
posisi geografis yang sangat strategis dan sumber daya alam yang melimpah.
Tentu bukanlah hal
mudah mengelola wilayah laut dengan luas jutaan kilometer persegi. Dibutuhkan
peraturan perundangan yang tepat agar potensi yang ada di dalamnya tidak hilang
begitu saja. Untuk mengoptimalkan potensi yang ada di wilayah laut, Pemerintah
Indonesia telah mengundangkan sejumlah undang-undang, antara lain:
- UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
- UU Nomor 21 Tahun 1992 yang telah diganti
dengan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
- UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
- UU Nomor 31 Tahun 2004 yang telah diperbarui
dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
- UU Nomor 9 Tahun 1990 yang telah diganti
dengan UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
- UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang telah diperbarui dengan UU
Nomor UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
- UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi.
- UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
- UU Nomor 24 Tahun 1992 yang telah diperbarui
dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
- UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
- UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya.
- UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
- UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
yang telah diganti dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
- UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.
- UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang telah diperbarui dengan UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
- UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu dan Teknologi.
- UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
- UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Pembangunan Nasional.
- UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah yang telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
- UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
- UU Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the
Provisions of the United NationsConvention on the Law of the Sea of
December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling
Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995.
- UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dengan
meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan telah diundangkannya sejumlah
undang-undang tersebut, Pemerintah Indonesia berusaha memperkuat status sebagai
negara kepulauan dan negara maritim. Sudah saatnya memang, Indonesia mengubah
paradigma kehidupan negara menuju negara maritim. Menurut pakar hukum laut Etty
R. Agoes, terdapat tiga alasan mengapa Indonesia perlu mengubah paradigma
menjadi negara maritim. Pertama,
kewilayahan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, karena dua
per tiga wilayahnya berupa laut. Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan panjang
garis pantai terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada), yaitu 81.290
kilometer.
Kedua,
sumberdaya alam laut menyimpan potensi sumberdaya alam baik hayati maupun
non-hayati serta energi gelombang laut yang sangat besar. Dan ketiga, sejarah. Indonesia pernah
mengalami kejayaan di laut pada masa Majapahit, Sriwijaya, Ternate dan Tidore.
Hal ini tercermin dari kekuatan laut (sea
power) dalam bentuk angkutan laut dan pelayaran niaga yang kuat, dengan
budaya yang lebih kosmopolit, terbuka, terintegrasi dan outward looking karena
budaya pelaut yang tidak terbatas dengan wilayah daratan yang sempit.
Paradigma
negara maritim ini juga harus dipahami di tataran pemerintah daerah: provinsi,
kabupaten dan kota. Selama ini, provinsi, kabupaten dan kota hanya berbasis
daratan. Padahal, bila diperhatikan, terdapat beberapa provinsi dan kabupaten
yang wilayahnya didominasi lautan. Dengan kata lain provinsi dan kabupaten itu
merupakan provinsi dan kabupaten yang berbasis maritim. Untuk provinsi berbasis
maritim antara lain lain Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau Kepulauan, dan Bangka Belitung. Penanganan
tata ruang provinsi, kabupaten dan kota berbasis maritim tentu tidak boleh sama
dengan yang berbasis daratan. Di daerah yang berbasis maritim, sumberdaya
maritim harus menjadi tumpuan untuk membangun wilayah tersebut.
Boks:
Asas Cabotage di Perairan
Indonesia
Setelah
meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB 1982 pada tahun 1985, Republik Indonesia
memiliki kedaulatan penuh di wilayah Laut Pedalaman, Laut Kepulauan dan Laut
Teritorial. Di wilayah Laut Pedalaman ini, Indonesia memiliki kedaulatan penuh
tanpa harus memberikan hak lintas kepada kapal-kapal asing. Sedangkan di Laut
Kepulauan, kedaulatan Indonesia meliputi ruang udara di atasnya, dasar laut dan
tanah di bawahnya, serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, baik
hayati dan non-hayati. Dan di bagian laut ini, Indonesia memiliki kewajiban
untuk mengakui hak lintas damai dan hak lintas alur-alur kepulauan bagi
kapal-kapal asing.
Dalam
kerangka kedaulatan penuh tanpa memberikan hak lintas kapal-kapal asing,
Indonesia kemudian menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 8
UU ini mengamanatkan penerapan asas cabotage. Bahwa kegiatan angkutan laut
dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan nasional dengan menggunakan kapal
berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarga-negaraan
Indonesia. Cabotage merupakan asas pemberian hak untuk beroperasi secara
komersial di dalam suatu negara hanya kepada perusahaan angkutan domestik
negara itu sendiri secara eksklusif. Banyak negara telah menerapkan asas
cabotage untuk melindungi industri pelayaran dalam negeri masing-masing.
Selain
dengan kekuatan landasan hukum UU Nomor 17 Tahun 2008, sebelumnya ditandai
dengan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Pemberlakuan asas cabotage dalam
pelayaran Indonesia secara resmi mulai 1 Januari 2011 yang kemudian diubah lagi
menjadi mulai Mei 2011 itu telah mampu menggairahkan pelayaran niaga secara
nasional.
Sejak
ketentuan asas cabotage dilaksanakan tahun 2005 melalui Inpres Nomor 5 Tahun
2005, terjadi peningkatan jumlah armada kapal niaga nasional yang cukup
berarti. Tahun 2005, jumlah kapal niaga nasional baru 6.014 unit dengan
kapasitas muatan 6 juta GT (Gross Tonnage)
ton dan kini menjadi 9.945 unit dengan kapasitas muatan 14,4 juta GT.
Penerapan
asas cabotage ini juga mampu menurunkan jumlah kapal lepas pantai berbendera
asing. Bila tahun 2009 masih terdapat 56 kapal lepas pantai hulu migas
berbendera asing maka tahun 2010 tinggal 24 kapal. Sebanyak enam Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS) mitra Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi sudah memerah-putihkan armadanya. Keenam KKKS yang mengoperasikan 44
kapal itu adalah Camar Resources Canada INC, Exxon Mobil Pase, Job
Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi, Kondur Petroleum, Petrochina
International (Bermuda) Ltd, dan PT Chevron Pacific Indonesia. Selain keenam
KKKS tersebut masih ada PT Wintermas Offshore Marine Tbk bersemangat menyambut
pemberlakuan asas cabotage. Perseroan ini bergerak cepat membeli 18 unit kapal
penunjang eksplorasi hulu migas pada tahun 2010-2011. Memang bukan hal mudah
untuk menjadikan semua kapal lepas pantai berbendera Indonesia karena
kapal-kapal penunjang operasi migas jenis tertentu (seperti jackup rig, submersible rig, drill ship cable-pipe laying ship dan kapal seismik)
belum tersedia di Indonesia.
Saat
ini, kata Deputi Pengendalian Keuangan BP Migas Wibowo Suseno Wirjawan,
kontraktor drilling rig yang umumnya
perusahaan asing belum siap menerapkan asas cabotage. “Seharusnya ketentuan ini
tidak perlu diberlakukan bagi kontraktor yang hanya melakukan drilling rig karena jangka waktu mereka
relatif pendek, sekitar empat bulan. Jika mereka disuruh berbendera Indonesia
maka akan kesulitan untuk ke negara lain,” ujar Wibowo sembari menambahkan
pemberlakuan asas cabotage seharusnya bisa diperpanjang sekitar dua sampai tiga
tahun.
Terlepas
dari kapal-kapal lepas pantai jenis tertentu yang belum bisa sepenuhnya
memenuhi asas cabotage, perkembangan menarik sekarang adalah kesediaan kalangan
perbankan mengucurkan pinjaman pembiayaan perkapalan. Bank Mandiri, Bank CIMB
Niaga, Bank Internasional Indonesia dan Bank BNI dua tahun belakangan aktif
terjun ke pembiayaan industri perkapalan dalam negeri. Bank BNI misalkan, awal
2011 telah menandatangani nota kesepahaman dengan Indonesian National
Shipowners Association (INSA). Selama ini pengusaha perkapalan sering
mengeluhkan minimnya dukungan perbankan dalam pembelian kapal baru. Bahkan,
bunga yang ditawarkan cukup tinggi karena persepsi risiko atas prospek usaha
pelayaran. ***
No comments:
Post a Comment