Thursday, March 14, 2013

KJS, "Kartu Sakti" yang Dilayani Setengah Hati...



KJS, "Kartu Sakti" yang Dilayani Setengah Hati...


Kartu Jakarta Sehat (KJS) menjadi satu lagi harapan masyarakat miskin mendapatkan akses dan layanan kesehatan. Namun, praktik di lapangan tak selalu seindah harapan. Berbagai alasan bisa dikemukakan petugas rumah sakit untuk memberikan perhatian minimum kepada pasien yang menyodorkan "kartu sakti" itu saat mendapatkan fasilitas dan layanan kesehatan.
"Coba saja pakai KJS ke rumah sakit. Waktu pendaftaran, baru dikasih surat KJS sudah kelihatan perubahan ekspresi petugasnya," ungkap Siti Nurhasanah atau Mimin (41), warga RT 02 RW 10 Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, saat ditemui Kompas.com, Senin (11/3/2013). Dia adalah seorang pengurus PKK di wilayah Rawa Gatal, Sukapura Jaya, sebutan untuk wilayah di dekat Gading Griya Lestari dan Gading Orchad itu.
Warga yang bermukim di sepanjang kali kecil yang menjadi batas wilayah Cilincing dan Kelapa Gading tersebut umumnya berstatus warga kurang mampu. Bersama Tutu Handayani, istri Ketua RT setempat, Mimin kerap dipercayakan tugas untuk membantu urusan pasien KJS di rumah sakit swasta di wilayah Sukapura.
Pengalaman berkali-kali mendampingi pasien KJS membuat wanita berdarah Sunda ini mafhum, ada sikap yang berbeda terhadap mereka yang mendatangi rumah sakit berbekal KJS. "Kata ditolak tidak pernah disampaikan langsung. Tapi, dari pelayanan dan cara penanganan suster-susternya, kami jadi tahu, kami berbeda," ujar Mimin.
Walaupun sama-sama berstatus pasien, ada sikap berbeda yang diterima pasien dengan KJS dan pasien non-KJS. "Untuk tebus obat di apotek, saya harus tunggu dari jam 11 sampai jam 3 sore. Itu pun karena saya coba tiga kali tanya ke petugasnya. Ibu tua di samping saya malah sudah tunggu sejak jam 9 pagi. Hitung saja sudah berapa lama dia di situ hanya untuk nungguin obat," tutur Mimin, mengisahkan apa yang dialaminya pekan lalu.
Dan kata-kata kasar itu...
Kata-kata kasar, ujar Mimin, bukan pula barang baru yang dia dengar dari petugas rumah sakit. Mimin pun berkisah tentang pengalamannya mendampingi tetangganya yang buta aksara. Kata-kata kasar bermakna pengusiran sempat diterima perempuan tua tersebut dari sebuah rumah sakit swasta di Jalan Tipar Cakung, Sukapura, Cilincing.
Hanya lantaran perempuan tersebut tidak bisa membaca surat perpanjangan perawatan, suaminya nyaris dipulangkan paksa. Suaminya sudah terbaring lebih dari tiga minggu di rumah sakit tersebut dam sempat akan dipulangkan paksa. "Tanda tangan aja pakai jempol, udah Bu keluar aja, masih banyak yang ngantri kok. Saya masih banyak urusan dengan pasien yang lain," kata Mimin mengutip gerutuan petugas rumah sakit.
Pengalaman terbaru Mimin adalah saat membantu perawatan medis Ana Mudrika (14), putri bungsu pasangan Endang Lukmana (48) dan Royati (38). Bersama keluarga Endang dan Tuti, istri Ketua RT setempat, ia menghabiskan waktu dua hari untuk berkeliling mencari rumah sakit yang bersedia memberikan perawatan medis kepada Ana.
Pagi hingga dini hari berikutnya dijalani mereka dengan upaya mengetuk beberapa rumah sakit di Jakarta Utara. Sementara itu, rumah sakit yang sedang menampung Ana terus mengombang-ambingkan status rawat pasien KJS itu dalam ketidakpastian.
Ana akhirnya meninggal dunia Sabtu (9/3/2013) pagi di RS Islam Jakarta Sukapura lantaran penyakit infeksi saluran pencernaan yang dideritanya terlambat ditangani. Namun, kata-kata melecehkan dari petugas medis masih terngiang di ingatan Royati. "Udah, kalau pakai KJS untuk berobat enggak usah bawel," tutur Royati mengulang kalimat seorang petugas medis.
Entah sampai kapan penanganan medis pasien KJS akan dianaktirikan. Yang pasti, rumah sakit sebenarnya tidak dirugikan dengan kehadiran pasien yang bergaransi salah satu program unggulan Provinsi DKI Jakarta itu. Rumah sakit akan tetap mendapatkan ganti dan pembayaran untuk setiap rupiah dan segala layanan yang telah dikeluarkan bagi pasien.
Perbedaannya hanya terletak pada teknis pembayaran. Pasien KJS akan dibayar pemerintah, pasien non-KJS menyediakan uang pribadi untuk layanan dan penanganan medis-nonmedis yang diterima. "Yang jadi pertanyaan saya hanya satu, apa yang ada di nurani mereka saat melayani kami," pungkas Mimin.

No comments:

Post a Comment