Nusantara
merupakan bangsa besar yang terdiri dari beragam etnis dan suku bangsa.
Di samping suku bangsa asli, seperti Aceh, Batak, Minang, Melayu,
Sunda, Jawa, Bali, Dayak, Bugis, Mandar, Ambon, hingga Asmat, di negara
kita juga terdapat warga negara keturunan pendatang dari negara lain,
semisal Cina, India, dan Arab. Setelah sekian abad saling berinteraksi
dan bergaul, maka diantara mereka terjadi pembauran dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Semua adalah
putra bangsa tumpah darah Indonesia, sama tegak sebagai sesama warga
negara, dan dipersaudarakan oleh ikatan bangsa Indonesia.
Etnis Cina
termasuk etnis keturunan asing yang terbesar di negara kita. Hampir di
setiap kota, terutama yang merupakan pusat perdagangan dan perniagaan
barang jasa, dapat dijumpai adanya kawasan Pecinan. Pecinan merupakan
simbol eksistensi mereka dengan segala atribut seni, bahasa, dan budaya
yang mereka warisi dari nenek moyang dan masih terus dipertahankan atau
dilestarikan hingga masa kini. Bahkan semenjak pemerintahan Presiden Gus
Dur, eksistensi warga Tionghoa semakin diakui secara luas dan lebih
leluasa dalam mengekspresikan keunikannya.
Salah satu
adat atau tradisi yang sangat berbeda untuk masyarakat Tionghoa adalah
dalam hal pemakaman terhadap warga yang meninggal. Jika pada umumnya,
sebagai penganut suatu agama atau kepercayaan, manusia yang telah
meninggal biasa dikuburkan atau dibakar (untuk ummat Hindu), maka warga
Tionghoa yang meninggal di-kremasi. Maka muncullah fasilitas krematorium.
Di masa kecil dahulu, saya sudah pasti tidak paham dengan apa itu kremasi dan krematorium.
Memang di sebelah Kali Lamat, masih di ruas Jalan Pemuda Muntilan,
terdapat sebuah rumah model Tiongkok yang di depannya memiliki plang
bertuliskan “krematorium” yang dikelola oleh sebuah yayasan. Secara nalar awam, krematorium pastinya mengacu kepada istilah suatu tempat yang dipergunakan untuk melakukan kremasi. Tetapi apa itu kremasi? Nek kramasi, sudah pasti anak-anak dusunpun paham! Beberapa tahun kemudian baru sedikit bisa paham bahwa kremasi ternyata cara pengurusan jenazah, terkhusus untuk warga keturunan Tionghoa yang banyak terdapat di Muntilan.
Nah, setelah mayat dikremasi kemudian dikemanakan? Kalau soal itu, semenjak usia anak-anak, para bocah di sekitar Muntilan sudah sangat paham. Ya pastinya wong Cino yang meninggal ya dikubur di kuburan Cino yang berjejer di perbukitan Gremeng sebelah dusun Semen itu. Inilah yang ingin saya ceritakan lebih lanjut.
Jika sampeyan mengunjungi atau sekedar melewati Magelang dari arah Jogjakarta, setelah melintas di perbatasan Kali Krasak sekitar 3 km, sampeyan
akan disuguhi sebuah pemandangan pada suatu perbukitan yang menampilkan
bangunan khas nan klasik, serta mungil berderetan mempesona terlihat
dari kejauhan. Orang biasa mengenal tempat khusus tersebut sebagai kuburan Cino.
Memang kawasan perbukitan Gremeng yang menyatu dengan kawasan gunung
Wukir dan Gendol sudah sejak puluhan tahun menjadi pusat pemakaman wong keturunan Cino.
Kompleks kuburan Cino di perbukitan Gremeng ini memang nampak sangat menonjol. Luasan lereng perbukitan yang diwarnai deretan bangunan cungkup
makam, lengkap dengan bentuk-bentuk nisan uniknya, sangat mengundang
decak kagum pengunjung yang baru pertama kali melihatnya. Panjang kuburan Cino mungkin mencapai rentang lebih dari 500 meter, dengan ketinggian bukit mencapai 20-an meter. Bisa jadi kompleks kuburan Cino ini merupakan kuburan Cino
terluas di Indonesia. Ini tentu saja menurut versi mata kecil saya
semenjak saya masih bocah dulu. Namun memang jika saya bandingkan dengan
kuburan Cino yang ada di tempat lain, seperti di Soropadan,
Semarang, dulu di kawasan Bulak Sumur UGM, bahkan kawasan Tanah Kusir di
Jakarta, hingga saat ini saya masih mengatakan bahwa kuburan Cino di Gremeng masih yang terbesar di tanah air.
Mengenai keberadaan kuburan Cino ini, saya sendiri memang tidak tahu kapan persisnya mulai dibangun. Namun menurut dongengan dari para simbah, kuburan
tersebut ada sudah sejak lama di jaman pendudukan Belanda. Bentuk,
corak, serta warna bangunan yang unik sangat menarik meskipun hanya
sekedar dilihat dari kejauhan di tepian jalanan jalur utama Jogja –
Magelang. Saking menariknya, hampir setiap bus pariwisata yang
membawa turis asing yang akan berkunjung ke candi Borobudur pasti
menyempatkan diri berhenti dan mengabadikan kuburan Cino ini dengan
kamera mereka. Di samping mendapatkan panorama kecantikan kuburan Cino,
di tepian jalan tersebut turis juga akan dimanjakan keindahan puncak
Merapi yang menjulang perkasa di sisi “utara” jalan.
Tidak hanya sekedar menikmati dari jauh, sampeyanpun
tidak dilarang jika ingin mendekat atau mungkin mendaki perbukitan
Gremeng. Melihat lebih cermat, berjalan diantara batu nisan dan bangunan
cungkup khas negeri Tirai Bambu, akan sangat mengasyikkan dan bisa
membawa imajinasi seolah pengunjung berada di Kota Terlarang Beijing.
Dibandingkan kuburan wong Jowo yang sering dipagari dengan pohon kamboja ataupun beringin tua, seolah tidak ada kesan wingit dan angker
di kuburan ini. Bahkan anak-anak lebih sering menyamakan kuburan ini
seperti taman bermain yang sama sekali tidak menimbulkan kesan
menakutkan.
Jika di kuburan masyarakat lokal seringkali beredar gugon tuhon mengenai hantu penunggu, baik berwujud pocung, genderuwo, kuntilanak, peri ataupun sundel bolong, saya sendiri tidak tahu apakah di kuburan Cino
juga terdapat “hantu-hantuan” semisal vampir yang berjalan
melompat-lompat dan berhenti tatkala ditempelkan kertas mantra di
jidatnya itu. Sayapun nggak yakin apakah jika kita nyepi ke kuburan Cino juga harus menyiapkan pedang kayu agar tidak diganggung hantu vampir, dan apakah di sana juga dimungkinkan mendapatkan wangsit atau bisikan gaib, sekedar mengenai kode buntut ataupun ramalan jangka jaman edan. Yang jelas kesan saya pribadi mengenai kuburan Cino sama sekali tidak angker dan nggondo wingit. Entahlah kalau menurut sampeyan semua.
www.regional.kompas.com
No comments:
Post a Comment