"Untuk
memeriksa setiap perusahaan dan mengklarifikasi kebenaran pengajuan
klaim."
Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar,
meminta BPJS mewaspadai segala bentuk kecurangan yang berpotensi terjadi dalam
penyelenggaraan program jaminan sosial. Pasalnya, BPJS Watch menemukan praktik
kecurangan dalam proses pencairan manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT)
Jamsostek yang dilakukan manajemen di sebuah perusahaan.
Fakta itu diketahui ketika dua hari lalu saat BPJS
Watch menginvestigasi beberapa perusahaan yang berlokasi di KBN Cakung,
Jakarta. Pihak perusahaan melakukan modus pencairan JHT ke PT Jamsostek dengan
cara menerbitkan surat pemutusan hubungan kerja (PHK) secara kolektif kepada
pekerja yang masa kerjanya minimal lima tahun.
Dengan iming-iming akan mendapat dana JHT dan
karena ketidaktahuannya para pekerja itu sepakat dengan tawaran perusahaan.
Merasa mendapat ‘lampu hijau’ dari para pekerja, perusahaan lalu mengajukan
klaim pencairan dan dikabulkan pihak Jamsostek. Setelah menerima dana JHT, para
pekerja masih bekerja seperti biasa.
Timboel mensinyalir HRD tersebut main mata dengan
pihak Jamsostek karena proses pencairan klaim itu tergolong dilakukan dengan
mudah. Mengingat pengajuan klaim itu melibatkan ratusan pekerja Timboel
berpendapat harusnya pihak Jamsostek melakukan klarifikasi dan konfirmasi.
Sehingga modus kecurangan itu dapat dicegah. Sayangnya, hal itu tak dilakukan
pihak Jamsostek. “Ada dugaan kuat terjadinya tindakan ilegal yang dilakukan
staf Jamsostek, bekerjasama dengan HRD perusahaan untuk mencairkan dana JHT,”
katanya kepada hukumonline lewat pesan singkat, Jumat (26/4).
Mengacu UU No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek jo PP
No 53 tahun 2012 tentang perubahan kedelapan atas PP Nomor 14 tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, Timboel mengatakan harusnya
pencairan dana JHT itu tak dapat dilakukan jika peserta masih bekerja. Akibat
dari pelanggaran itu Timboel menilai pekerja yang bersangkutan dirugikan karena
tidak lagi menjadi peserta JHT Jamsostek.
Kemudian, manajemen dapat mengklaim kalau pekerja
sudah di-PHK. Sekalipun tetap bekerja, masa kerjanya dihitung dari nol dan
berpengaruh terhadap besaran upah dan tunjangan yang diperoleh. Sebaliknya,
pengusaha diuntungkan karena tak perlu lagi membayar iuran JHT untuk pekerjanya
sebesar 3,7 persen tiap bulan.
Melihat adanya kerugian yang dialami pekerja,
Timboel mendesak agar direksi PT Jamsostek melakukan investigasi dugaan
keterlibatan oknum Jamsostek dalam modus pencairan JHT itu. Jika terbukti,
oknum Jamsostek yang bersangkutan dirasa layak dihukum. Untuk mendukung upaya
tersebut Timboel menyebut BPJS Watch siap berbagi informasi terkait dan
membantu PT Jamsostek.
Mengingat PT Jamsostek tak lama lagi beralih
menjadi BPJS Ketenagakerjaan, Timboel berpendapat perlu peraturan pelaksana
agar BPJS dapat mencegah terjadinya berbagai bentuk kecurangan yang berpotensi
terjadi dalam penyelenggaraan BPJS. Dari temuannya itu Timboel mengatakan
ketika memproses klaim, BPJS harus teliti, melakukan pengecekan dan selektif
sebelum mencairkan. Menurutnya, BPJS harus melakukan kunjungan rutin ke tempat
kerja peserta untuk melakukan pemeriksaan. Pasalnya, lewat kegiatan itu BPJS
bisa memeriksa perusahaan apakah semua pekerja sudah didaftarkan menjadi
peserta BPJS Ketenagakerjaan atau belum.
Sekaligus menguji kebenaran apakah iuran yang
selama ini disetor pengusaha sudah sesuai dengan upah pekerja. Pasalnya, kerap
terjadi kecurangan yang dilakukan manajemen dalam membayar iuran Jamsostek.
Misalnya, upah pokok pekerja Rp1,5 juta dan tunjangan tetap Rp500 ribu, tapi
yang diiur manajemen hanya berdasarkan upah pokok saja. Padahal, merujuk
peraturan Jamsostek, yang diiur itu harusnya persentase yang diambil dari upah
pokok ditambah tunjangan tetap. Yaitu 3,7 persen ditanggung pemberi kerja dan 2
persen pekerja. Bahkan, ada pula yang melakukan manipulasi sehingga besaran yang
diiur jumlahnya kecil.
Atas dasar itu, untuk mengatasi potensi kecurangan
yang muncul dalam penyelenggaraan BPJS, Timboel mengatakan peraturan pelaksana
perlu diperkuat. Seperti mengatur agar BPJS melakukan kunjungan rutin,
klarifikasi dan pengecekan langsung ke tempat kerja peserta. Ketentuan itu,
Timboel melanjutkan, dapat dimasukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) di
tiap program BPJS Ketenagakerjaan. Seperti PP Pensiun, JHT, Kematian dan
Kecelakaan Kerja.
Terpisah, Direktur Kepesertaan PT Jamsostek,
Junaedi, mengakui bahwa JHT dapat dicairkan oleh peserta yang masa kerjanya
minimal 5 tahun. Dalam pengajuan pencairan itu salah satu syarat yang harus
dipenuhi adalah adanya surat PHK resmi dari perusahaan. Namun, ia menegaskan
yang mengajukan pencairan itu harus peserta yang bersangkutan dan tidak boleh
diwakilkan.
Menanggapi adanya temuan BPJS Watch atas modus
pencairan JHT, Junaedi mengatakan pihaknya dapat melakukan dua langkah.
Pertama, secara internal memeriksa staf PT Jamsostek yang mengurusi wilayah
dimana modus itu terjadi. Kedua, melaporkan modus tersebut ke pengawas
ketenagakerjaan di Disnakertrans setempat. “Nanti saya akan investigasi juga
kalau ada indikasi itu, apalagi kalau ada keterlibatan orang PT Jamsostek,
pasti saya akan benar-benar investigasi,” tegasnya kepada hukumonline lewat
telepon, Jumat (26/4).
Namun, ketika PT Jamsostek beralih menjadi BPJS
Ketenagakerjaan Junaedi berpendapat tindakan langsung dapat dilakukan jika
ditemukan kecurangan. Pasalnya, dalam peraturan perundang-undangan terkait
BPJS, ada kewenangan BPJS untuk bertindak. Tapi untuk saat ini, PT Jamsostek
tak punya kewenangan untuk turun langsung melakukan pemeriksaan ke perusahaan.
Oleh karenanya butuh kerjasama dengan pengawas Disnakertrans.
Sementara Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional,
Chazali Husni Situmorang, mengatakan ada celah dalam pelaksanaan program JHT
Jamsostek sehingga pekerja dapat mengambil seluruh uang JHT sebelum masuk masa
pensiun. Padahal, pada prinsipnya JHT ditujukan sebagai bekal peserta dalam
menghadapi masa tua agar punya dana untuk berwirausaha. Celah itu diperparah
dengan minimnya kewenangan PT Jamsostek untuk melakukan penindakan ataupun
pemeriksaan secara langsung ke perusahaan.
Dalam rangka menutup kelemahan tersebut, Chazali
mengatakan ada pembenahan saat program JHT diselenggarakan oleh BPJS
Ketenagakerjaan. Yaitu peserta hanya boleh mengambil seluruh dana JHT ketika
mendekati masa pensiun. Walau begitu peserta boleh mengambil sebagian uangnnya
setelah masa kerjanya lima tahun, namun dana itu dihitung sebagai pinjaman.
Sehingga tak semua dana JHT peserta dapat diambil. “JHT baru dapat diambil
seluruhnya menjelang masa pensiun,” ucapnya.
No comments:
Post a Comment