Mulai dari menaikkan batas usia pensiun hingga menghadapi ancaman perubahan iklim.
Elvyn mencontohkan, terjadi perubahan demografi penduduk dunia yaitu usia hidup menjadi semakin panjang. Di negara Eropa misalnya, dimana peluang untuk hidup masyarakatnya saat ini meningkat menjadi 90-100 tahun ketimbang sebelumnya hanya 80 tahun. Sementara untuk Indonesia ia memperkirakan sekitar 60-70 tahun.
Melihat perkembangan itu pemerintah dalam menyusun regulasi terkait Jaminan Pensiun (JP) yang bakal digelar BPJS Ketenagakerjaan perlu mengacu tren peningkatan peluang hidup tersebut. Mengingat saat ini usia pensiun di Indonesia berada di usia 55 tahun, maka perlu ditingkatkan lagi menjadi 60 atau 70 tahun. “Sekarang trennya begitu, tingkat peluang hidup manusia semakin tinggi,” katanya dalam diskusi yang digelar PT Jamsostek di Jakarta, Senin (13/5/2013).
Selain itu Elvyn menyoroti pekerja wanita jumlahnya cenderung meningkat. Untuk itu BPJS perlu merancang program yang secara khusus menyasar kaum perempuan. Dari pantauannya dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial (Jamsos) di negara lain, Elvyn melihat badan penyelenggaranya menggelar program khusus tersebut.
Masih merujuk praktik Jamsos di negara lain seperti di negara Eropa, China dan Filipina, perlu juga dirancang bagaimana BPJS mampu menghadapi fenomena perubahan iklim. Pasalnya, perubahan kondisi alam itu berpotensi besar menimbulkan bencana.
Elvyn mencontohkan di China, Jamsos yang ada disesuaikan agar mampu menghadapi jumlah klaim akibat terjadinya bencana angin topan. Sementara perubahan iklim di negara-negara Eropa membuat produksi SDA berkurang dan menjadi langka sehingga berdampak pada penurunan GDP. Kemudian pemerintah Eropa menyesuaikan penyelenggaraan Jamsos dengan perubahan tersebut.
Tak kalah penting Elvyn menggarisbawahi iuran dalam rangka kesuksesan pelaksanaan BPJS. Walau iuran sangat krusial, tapi Elvyn mengingatkan agar besarannya terjangkau untuk masyarakat, namun jangan terlalu kecil supaya manfaat yang diperoleh peserta dapat maksimal. Tapi, jika nanti nominal iurannya kecil maka perlu diupayakan untuk mencakup sebanyak mungkin masyarakat yang menjadi peserta BPJS sehingga proses pembayaran klaim tak terhambat.
Sayangnya, sampai saat ini pemerintah dirasa belum fokus memperhatikan berbagai tren global tersebut. Apalagi menyangkut iuran, Elvyn merasa hal itu menjadi landasan utama agar BPJS mampu berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Untuk menghadapi bermacam perubahan yang ada, Elvyn menyebut PT Jamsostek sudah melakukan sejumlah langkah. Seperti merancang peta jalan menuju BPJS berkelas dunia. Kemudian, melakukan perbaikan internal, seperti data. Serta memajukan kegiatan yang selama ini dilaksanakan seperti teknologi informasi dan menjaring peserta seluasnya.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita PT Jamsostek menjadi BPJS berkelas dunia, Elvyn mengatakan regulasi yang diterbitkan pemerintah sangat penting untuk transformasi BPJS. Ia berharap agar pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana yang dibutuhkan. Misalnya, berapa besaran iuran, pengelolaan dana dan lain sebagainya. “Lebih cepat regulasi itu terbit, maka mempersiapkan BPJS berkelas dunia bakal lebih baik,” tukasnya.
Pada kesempatan yang sama Menkokesra, Agung Laksono, mengatakan pemerintah saat ini masih berupaya menyiapkan pelaksanaan BPJS khususnya Kesehatan yang beroperasi tahun depan. Baik itu terkait regulasi sampai fasilitas kesehatan. Namun, salah satu hal penting yang perlu diputuskan sekarang adalah berapa besaran iuran untuk peserta BPJS non Penerima Bantuan Iuran (PBI). Menurutnya, hal itu masih dalam pembicaraan di tingkat LKS Tripnas yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja.
Pembahasan iuran itu menurut Agung tergolong alot, namun sudah ditelurkan sedikitnya tiga opsi. Pertama, jumlah iuran sebesar 5 persen dari upah pekerja dan ditanggung pemberi kerja 4 persen serta sisanya pekerja. Lslu, tahun 2015 dan seterusnya pemberi kerja mengiur 3 persen dan pekerja 2 persen. Opsi kedua, untuk pekerja lajang, dari besaran iuran 5 persen pemberi kerja mengiur 4 persen dan pekerja 1 persen. Atau semuanya diiur pemberi kerja seperti yang berlaku pada program JPK Jamsostek sekarang.
Sedangkan untuk pekerja yang berkeluarga, total iuran 6 persen, pemberi kerja menanggung 4 persen dan pekerja 2 persen atau sebanyak 6 persen ditanggung pemberi kerja. Alternatif ketiga, jumlah iuran 4 persen, pemberi kerja mengiur 3 persen dan pekerja 1 persen selama kurun 2014–2015. Setelah itu antara pemberi kerja dan pekerja masing-masing menanggung 2 persen.
Merujuk tiga alternatif yang dihasilkan dalam rapat di LKS Tripnas itu Agung berpendapat opsi yang berpotensi besar diambil adalah pilihan ketiga pasalnya antara pemberi kerja dan pekerja mengiur besaran yang sama. Ia berjanji pemerintah akan segera menyelesaikan pembahasan iuran itu karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan peraturan pelaksana BPJS lainnya. “Kita minta Kemenakertrans segera selesaikan pembahasan iuran itu,” tuturnya.
Sementara Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, Chazali Husni Situmorang, mengingatkan untuk membentuk BPJS berkelas dunia, banyak hal yang perlu diperhatikan, tapi kuncinya berada pada pengembangan organisasi. Misalnya, meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM, penambahan jumlah institusi sampai ke tingkat kabupaten/kota dan menjaring sebanyak mungkin peserta baik pekerja formal ataupun informal. Serta manajemen resiko dan investasi harus dilakukan secara ketat merujuk prinsip kehati-hatian.
Chazali melihat Indonesia berpotensi besar meraih kesuksesan dalam menggelar BPJS. Namun, dibutuhkan kemauan politik dari penyelenggara negara, baik itu dari segi regulasi sampai implementasi. Untuk DJSN, Chazali mengaku sudah melayangkan semua rancangan peraturan pelaksana yang terkait dengan BPJS ke berbagai Kementerian. Ironisnya, sampai saat ini hanya dua regulasi yang sudah terbit yaitu PP PBI dan Perpres Jamkes. Chazali berharap pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana lain karena dalam waktu dekat BPJS Kesehatan mulai beroperasi. “Untuk mendorong agar political will itu kuat, butuh dorongan dari serikat pekerja,” ujarnya.
Menanggapi hal itu Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, Timboel Siregar, mengatakan pemerintah punya kemauan politik yang lemah dalam mendorong pelaksanaan BPJS. Padahal, DJSN sudah memberikan rancangan peraturan pelaksana yang dibutuhkan dan pemerintah seolah sibuk mengutak-atik rancangan tersebut sehingga berlarut.
Timboel berpendapat selama ini serikat pekerja terus mengawal dan mendorong transformasi BPJS. Tapi Timboel mengaggap pemerintah tak mengindahkan tuntutan itu. Misalnya, Perpres Jamkes dan PP PBI yang perlu direvisi, sampai saat ini Timboel mengaku tak mengetahui sejauh mana tindakan yang dilakukan pemerintah. Apakah sudah direvisi atau belum. Hal serupa juga terjadi menyangkut iuran untuk PBI yang terkesan mengutamakan kepentingan fiskal ketimbang kebutuhan masyarakat miskin untuk menerima pelayanan fasilitas kesehatan yang ditanggung negara.
Atas dasar itu Timboel mengatakan serikat pekerja akan terus memantau dan melakukan gerakan untuk mendorong agar transformasi BPJS sesuai harapan. Tentu dorongan itu tak hanya dilakukan kepada pemerintah tapi juga DPR. Pasalnya, DPR kurang maksimal dalam mengawasi pemerintah dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan BPJS. Padahal, Timboel melihat DPR sudah membentuk Panja BPJS. Oleh karenanya, Timboel menyebut pada 16 Agustus nanti serikat pekerja bakal melakukan demonstrasi ke DPR. “Panja (BPJS,-red) Komisi IX DPR harus lebih pro aktif melakukan monitoring terhadap proses transformasi menuju BPJS,” tegasnya.
www.hukumonline.com
No comments:
Post a Comment