Saturday, October 5, 2013

Pasien Jamkesmas Terpaksa Jual Tanah dan Rumah



Frangky Wurara, menantu Femmy Kaligis, pasien pengguna jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) di RSUP Prof RD Kandou Manado, akhirnya mencurahkan kesusahan keluarganya di rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPRD Sulut, Senin (30/9/2013).

Hanya mengenakan celana pendek, ia bersaksi buruknya layanan RSUP Kandou hingga operasi mertuanya terkatung-katung. Meski terdaftar sebagai pasien jamkesmas, belakangan ia dimintai uang Rp 20 juta oleh dokter bedah di RSUP Kandou.

"Kami sampai jual tanah dan rumah, laku Rp 10 juta. Tapi masih mau penuhi Rp 10 juta. Tanah- rumah sudah jual, tapi karena masih ada utang kiri kanan, terpaksa yang tersisa tinggal Rp 4 juta," ujarnya.

Cerita lirih Franky membuat suasana ruang sidang yang dihadiri anggota DPRD dan beberapa pejabat RSUP Kandou terasa muram. Wajah para peserta sidang tampak sedih mendengar susahnya orang miskin mendapat pelayanan kesehatan yang pantas.

Kesedihan peserta berubah sedikit emosional ketika mendengar cerita Franky selanjutnya. Ia mengatakan, dirinya sampai menangis ketika mendengar jawaban Dokter Adrian Tangkilisan yang akan menangani operasi bedah orangtuanya.

"Saya menangis ketika dokter sampaikan satu kalimat. Dokter mengatakan, dokter punya jiwa sosial tinggi, tapi dokter tidak mau miskin," katanya.

Kata dia, ia berbicara di forum tersebut bukan untuk menghakimi ataupun menyalahkan siapapun; ia hanya ingin membeber kenyataan yang dialami keluarga agar ke depan tak ada lagi orang misikin yang senasib dengan keluarganya, terombang-ambing dalam pelayanan kesehatan.

Benny Ramdhani, anggota Komisi IV, mengatakan, pengakuan Franky kembali menguak pelayanan buruk RSUP Kandou. Meski begitu, katanya, kasus tersebut tak bisa digenaralisasi untuk pelayanan secara keseluruhan. Seusai mendengar cerita tersebut, Komisi IV pun merekomendasikan empat hal menyelesaikan kasus tersebut.

Kata Ramdhani, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) harus melakukan investigasi terhadap dokter-dokter yang terkuak terlibat dalam dugaan kasus tersebut.

"Harus diambil tindakan sesuai UU berlaku, diatur dalam profesi yang diatur IDI," katanya.

Yang paling penting, kata Ramdhani, RSUP Kandou harus mengambil tindakan medik kepada pasien bersangkutan sesuai prosedur jamkesmas.

"Pihak manajemen RS juga harus meningkatkan pelayanan, tak ada pungutan, untuk jamkesmas sesuai dengan aturan," katanya.

Rekomendasi terakhir, diharapkan kepada Dokter Adrian dengan hati lapang menyampaikan maaf terhadap keluarga pasien.

Adrian yang hadir dalam rapat tersebut pun dengan lapang menyampaikan maaf kepada keluarga Frangky. Begitu juga atas penyampaian kata-katanya yang kurang pantas. Ia mengaku tak bermaksud meminta uang Rp 20 juta untuk keuntungan pribadinya. Uang itu memang akan digunakan untuk alat-alat operasi.

"Silakan cek di distributor, harganya memang sesuai seperti itu. Ibaratnya, bagaimana mau perang kalau tanpa peluru, tanpa senjata. Itu dibeli atas nama faktur, kalaupun dibayar oleh rumah sakit," kata dia.

Ia mengungkapkan, hanya menjalankan profesi sebagai dokter dengan baik. Soal investigasi IDI nantinya, Adrian menyerahkan sepenuhnya karena memang sudah kewenangan IDI. "Bidang saya menjalankan profesi, saya siap diinvestigasi," ungkapnya.

Direktur RSUP Kandou Djolly Rumopa mengakui dalam pelayanan RSUP Kandou masih ada oknum dokter nakal. Bahkan, kata dia, Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Utara Maxi Rondonuwu menyebut para oknum dokter ini dengan sebutan 'target operasi' (TO).
Namun, ia tak membiarkan hal tersebut.

"Beberapa waktu lalu sudah kami panggil, dan tentu kami ada prosedur, ada kedisiplinan untuk regulasinya. Tetapi selalu ada perubahan, muncul lagi baru. Tetapi itulah, dalam perjalanan kerja satu kasus yang terjadi dari sekian banyak kondisi pelayanan yang mereka jalankan," katanya. (www.tribunnews.com)

No comments:

Post a Comment