Bulan suci Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan
keagungan dan keutamaan. Salah satunya adalah sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a. dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw
bersabda, “Ketika bulan suci Ramadhan tiba, maka saat itulah pintu-pintu surga
akan dibuka.”
Diriwayatkan pula dari Sahal r.a.
bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Di dalam surga terdapat satu pintu yang bernama
Rayyan. Kelak saat hari kiamat tiba, pintu itu akan dibuka dan hanya
dikhususkan bagi para ahli puasa, tidak untuk yang lainnya. Ketika pintu Rayyan
itu dibuka, akan ada sebuah panggilan, ‘Manakah orang-orang yang ahli puasa?’
Niscaya bagi mereka yang ahli puasa akan spontan berdiri lalu memasukinya. Ketika
semua ahli puasa telah memasukinya, pintu itu akan ditutup kembali, dan bagi
mereka yang bukan termasuk golongan ahli puasa tidak akan mendapat izin untuk
memasuki pintu Rayyan tersebut.”
Menggantikan
Puasa Bagi yang Sudah Meninggal
Dikisahkan oleh Ibnu Abbas r.a.
bahwa suatu ketika seorang pria mendatangi dan bertanya pada Rasulullah Saw, “Wahai
Rasulullah Saw, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia. Sementara ibuku masih
memiliki kewajiban puasa sebanyak satu bulan lamanya. Apakah aku perlu berpuasa
untuk menggantikan apa yang menjadi kewajiban ibuku?” Jawab Rasulullah Saw, “Ya,
ketahuilah bahwa utang kewajiban kepada Allah SWT itu jauh lebih berhak untuk
ditunaikan.”
Dalam riwayat lain, sayidah Aisyah
r.a. berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal
dunia, sementara ia masih memiliki kewajiban puasa, maka walinyalah yang harus
menggantikan puasa untuknya.”
Kapankah
Waktu yang Tepat untuk Mengqadha’ (Mengganti) Puasa?
Dalam hal ini, Ibnu Abbas r.a.
berpendapat bahwa mengqadha’ puasa dapat dilakukan kapan saja dan boleh pula
dipisah-pisah, maksudnya tidak harus selalu berturut-turut. Sebagaimana firman Allah
SWT:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu) adalah
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk
bagi manusia. Dan sebagai penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah [2]: 185).
Ramadhan dan Ucapan-ucapan Keji (Kotor, Jorok dan tidak
Sopan)
Diceritakan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji, dan bahkan mempraktikkannya
(di bulan Ramadhan), maka Allah SWT pun tidak merasa perlu memberikan berkah
dalam makanan dan minumannya (saat berbuka).”
Hukum Menyambut Bulan Ramadhan
dengan Puasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw
bersabda, “Tidak diperkenankan bagi kalian semua untuk berpuasa satu atau dua
hari sebelum bulan Ramadhan. Kecuali bagi mereka yang telah istiqamah
menjalankan puasa, maka baginya diperkenankan untuk berpuasa pada hari itu.”[1]
Tidak
Diperbolehkan Wishal[2] dalam
Puasa Ramadhan
Dikisahkan oleh Nafi’ r.a. dari Abdullah r.a. bahwa Rasulullah Saw melakukan wishal
dan para sahabat akhirnya mengikuti melakukan wishal juga. Tapi ternyata
para sababat merasa sangat terbebani, Rasulullah Saw akhirnya melarang mereka
untuk melakukannya dalam berpuasa. Mereka berkata pada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah
Saw, bukankah engkau telah melakukan wishal?” Rasulullah Saw menjawab,
“Apa yang aku lakukan tidaklah sama dengan apa yang kalian lakukan. Aku masih makan dan aku pun masih
minum.”
Berkah
dalam Sahur
Diceritakan oleh Anas bin Malik r.a.
bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Bersahurlah (makan sahurlah) kalian semua.
Ketahuilah bahwa dalam sahur terdapat keberkahan.”
Puasa
Saat dalam Perjalanan
Dikisahkan dari sayidah Aisyah r.a.
bahwa suatu ketika Hamzah bin Amru al-Aslami r.a. bertanya pada Rasulullah Saw,
“Wahai Rasulullah Saw, apakah aku masih harus berpuasa dalam setiap
perjalananku? Karena kebanyakan waktu perjalananku bertepatan dengan masa-masa
puasa.” Jawab Rasulullah, “Jika yang engkau kehendaki adalah tetap berpuasa,
maka puasalah. Namun jika yang engkau kehendaki tidak berpuasa, maka
berbukalah. Namun gantilah puasa wajibmu itu di hari yang lain.”
Dan diriwayatkan pula oleh Anas
bin Malik r.a., “Suatu hari, kami bersama
para sahabat melakukan perjalanan bersama-sama dengan Rasulullah Saw. Dalam
perjalan itu, tidak ada di antara kami yang mencela satu sama lain. Mereka yang
berpuasa tidak diperkenankan mencela mereka yang tidak berpuasa. Begitu juga
sebaliknya, mereka yang tidak berpuasa tidak diperkenankan mencela mereka yang
berpuasa”
Muntah
Tidaklah Membatalkan Puasa
Menurut pendapat Abu Hurairah r.a.
bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa. Karena, muntah adalah aktivitas
mengeluarkan sesuatu dan bukan memasukkan sesuatu. Pendapat Abu Hurairah r.a.
ini diperkuat oleh pendapat Ibnu Abbas r.a. dan juga Ikrimah r.a. bahwa yang
membatalkan puasa adalah segala hal yang masuk ke dalam tubuh, dan bukanlah
yang keluar dari dalam tubuh.
Makan
Ketika dalam Keadaan Lupa
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa lalu lupa –jika
ia sedang puasa– dan tanpa sengaja ia
makan dan minum, maka wajib baginya untuk meneruskan puasanya. Ketahuilah bahwa
dalam lupanya tersebut, Allah SWT sedang memberikan kepadanya makan
dan minum.”
Beberapa
Perkara yang Tidak Membatalkan Puasa
Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa yang berwudhu, maka hendaklah ia menyedot air dengan lubang
hidungnya. Dan dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara yang berpuasa dan yang
lainnya.”
Al-Hasan r.a. sendiri berpendapat
bahwa menyedot air ke dalam hidung tidak apa-apa bagi yang sedang berpuasa.
Artinya, hal itu tidaklah membatalkan puasa
selama airnya tidak sampai masuk ke tenggorokannya. Begitu pun dengan memakai
celak, ia tidaklah membatalkan puasa.
Al-Atha’ r.a. juga berpendapat, jika seseorang sedang
berpuasa dan ia berkumur dalam wudhunya, kemudian mengeluarkan semua air (yang
digunakannya berkumur) dari dalam mulut, maka hal ini tidaklah mencederai
status puasanya. Hal ini tidak apa-apa selama air liurnya yang masih bercampur
dengan air yang dipakai berkumur tadi tidak tertelan. Serta tidak pula menelan
sisa-sisa air kumurannya. Tetapi bila ternyata ia menelannya secara sengaja,
maka aku tidak bisa mengatakan apa-apa kecuali orang tersebut sudah harus
berbuka puasa (batal puasanya). Kemudian seandainya ia menyedot air melalui
lubang hidung ketika berwudhu, lalu ternyata air yang ia sedot tadi masuk ke
dalam tenggorokannya, hal itu tidak pula membatalkan puasa selama ia tidak
menahannya (lalu menelannya) secara sengaja.”
Al-Hasan r.a. menambahkan, “Jika
ada seekor lalat masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu
tidaklah membatalkan puasanya dan ia pun tidak dikenai kewajiban untuk mengqadha
puasanya.”
Pun Ibnu Abbas r.a. berpandapat
bahwa mencicipi makanan secukupnya, dengan catatan tidak menelannya, maka hal
itu tidaklah membatalkan puasa.
Anas bin Malik r.a. berkata, “Aku memiliki
tempat penampungan air yang bisa digunakan untuk mandi. Pada suatu waktu, aku
mandi dan berendam di dalamnya. Sementara saat itu aku sedang berpuasa.” Ini menunjukkan
pada kita bahwa berendam tidaklah membatalkan puasa.
Mengenai penggunaan siwak saat
berpuasa, terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw tetap
menggunakan siwak untuk membersihkan giginya, meskipun beliau sedang berpuasa.
Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah
Saw senantiasa menggunakan siwak meskipun beliau sedang berpuasa, baik itu pada
awal terbitnya matahari maupun siang hari. Dengan catatan bahwa air liur yang
bercampur dengan gesekan kayu siwak tersebut tidak
tertelan.[3]
Ibnu Sirin menambahkan bahwa
bersiwak menggunakan siwak yang basah tidaklah membatalkan puasa. Meskipun
dikatakan bahwa siwak yang basah memiliki rasa, maka ia dapat membatalkan
puasa. Hal yang sebenarnya tidaklah demikian, karena air pun memiliki rasa. Dan
ketika kita berkumur saat berwudhu sementara kita sedang dalam keadaan
berpuasa, hal itu tidaklah dianggap membatalkan puasa. Dengan demikian, membersihkan
gigi menggunakan siwak yang masih basah pun tidaklah membatalkan puasa.
I’tikaf
Dikisahkan oleh sayidah Aisyah
r.a. bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw selalu beri’tikaf pada malam-malam
sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan. Dan beliau senantiasa melakukan hal
itu sampai beliau wafat. Pada akhirnya, para istri Rasulullah Saw pun
senantiasa beri’tikaf pada malam-malam itu selepas kepergian beliau.
Shalat
pada Malam Lailatul Qadar atas Dasar Iman dan Rasa Cinta
Diceritakan oleh Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang mendirikan shalat pada malam Lailatul
Qadar atas dasar iman dan rasa cinta terhadap malam yang penuh berkah ini,
niscaya segala dosa-dosanya di masa lalu akan dihapuskan dan diampuni oleh Allah
SWT. Dan barangsiapa yang berpuasa pada bulan suci Ramadhan atas dasar iman dan
rasa cinta terhadap bulan yang penuh berkah ini, maka segala dosa-dosanya di masa
silam juga akan dihapuskan dan diampuni oleh Allah SWT.”
[1]Maksudnya adalah bagi siapa saja yang tidak memiliki keistiqamahan
berpuasa, maka ia tidak diperbolehkan berpuasa sehari atau dua hari sebelum
bulan Ramadhan. Namun jika misalnya bulan Ramadhan jatuh pada hari Jum’at,
sementara ia merupakan orang yang beristiqamah dalam melaksanakan puasa sunah
semisal hari Senin dan hari Kamis, maka ia
diperbolehkan untuk berpuasa pada hari Kamis, meskipun pada hari keesokannya sudah masuk bulan Ramadhan. Penj.
[2]Wishal adalah berpuasa dua hari secara berturut-turut
(menyambung
puasa),
tetapi tidak diikuti dengan berbuka dan tidak pula sahur
pada hari pertamanya. Penj.
[3]Dari riwayat ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa
menggunakan siwak di siang hari saat berpuasa tidaklah membatalkan puasa. Jika
siwak adalah pembersih gigi pada zaman Rasulullah Saw dan para sahabat, maka
pada zaman sekarang ini sikat gigi merupakan alat yang fungsinya sama persis
dengan siwak. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa menyikat gigi di
siang hari, meskipun kita sedang dalam keadaan berpuasa, tidaklah membatalkan
puasa. Dengan catatan air liur yang masih bercampur dengan pasta gigi tidak
tertelan secara sengaja. Penj.
No comments:
Post a Comment