Tuesday, December 17, 2013

Bansos Belum Menjawab Masalah Pengentasan Kemiskinan



Dana bantuan sosial sejatinya digelontorkan pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Namun demikian setelah berjalan bertahun-tahun, nyatanya dana bansos belum menjawab masalah pengentasan kemiskinan dan penurunan angka kemiskinan hanya mencapai satu persen. Padahal, anggaran untuk bansos telah ditingkatkan menjadi tujuh kali lipat.

Kenyataan itu tentu saja memunculkan pertanyaan besar, di mana letak kesalahannya? Dalam diskusi soal konsep dan implementasi bantuan sosial yang diselenggarakan oleh Institut KAPAL Perempuan, Jakarta, Senin (16/12), lemahnya pengawasan dana bansos diyakini menjadi penyebab utama kebocoran program pemerintah tersebut. Selain itu, sejak awal desain program bantuan sosial memang tidak dibuat untuk kinerja yang terukur. Maka bukanlah hal yang mengejutkan jika dana bansos malah menjadi ladang korupsi.

Yenny Sucipto Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), berpendapat bahwa oligarki anggaran masih terjadi baik dalam bantuan sosial yang dikelola pemerintah dari APBN maupun pemerintah melalui APBD.

"Ada skema politik anggaran di mana dalam penyusunan APBN dan APBD, pemerintah dan DPR/DPRD dipengaruhi oleh partai politik dan kroni bisnis," cetusnya saat berbicara di Kantor Institut KAPAL Perempuan, Jl. Kalibata Timur Raya, Jakarta Selatan.

Dengan politik anggaran yang terjadi, kebutuhan masyarakat masih menjadi nomor kesekian, setelah kepentingan parpol atau mitra bisnis. Yenny menekankan bahwa dalam UU sudah jelas menyatakan bahwa bantuan sosial sifatnya tidak harus diberikan tiap tahun. Lebih lanjut, jumlah alokasi bansos juga semestinya menurun tiap tahun. "Ini malah sebaliknya, justru terjadi peningkatan dan seringkali di daerah peningkatan terjadi jelang pemilihan," kritiknya.

Menyoroti penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan salah satunya, Kementrian Kesehatan mengalokasikan anggaran sebesar Rp19,9 triliun untuk 86,4 juta penduduk. Bahkan jumlah peserta PBI yang 86,4 juta itu pun mengundang pertanyaan lantaran tidak jelas dasar perhitungannya. Andai mendasarinya pada data rumah tangga miskin (RTM) menurut Badan Pusat Statistik, jumlahnya mencapai 19,1 juta. Dengan asumsi satu keluarga empat orang, maka jumlah penduduk miskin sekitar 76,4 juta. Itu angka yang berbeda dengan data Kemenkes. Kalaupun menggunakan asumsi data BPS terakhir 2011, jumlahnya 25,2 juta RTM atau 100,8 juta jiwa. "Pertanyaannya kan berarti siapa yang dihilangkan atau ditambahkan pada data peserta PBI yang dikeluarkan Kemenkes," lanjutnya.

Belum berbicara soal peruntukan yang tidak jelas kepada siapa, cara penetapan target bansos juga patut dipertanyakan. Edi Saidi Koordinator Urban Poor Consortium (UPC) mengungkap, ada kalanya target pemberian bansos di daerah didasari oleh konstituen partai politik.

"Bantuan sosial itu disebar ke penduduk berdasarkan dapil (daerah pemilihan) misalnya," jelas Edi. Momentum pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum selayaknya diwaspadai karena bisa terjadi transaksi politik untuk menentukan besaran bansos dan kepada siapa saja bantuan itu dialokasikan.

Selanjutnya, ada juga cara pandang yang salah soal kinerja. Selama ini, tidak ada evaluasi efektivitas penyaluran bansos. Keberhasilan program tersebut justru diukur berdasarkan tingkat penyerapan anggaran. Asal anggaran habis dan kegiatan terlaksana 100 persen, maka bansos dinilai sukses. "Itu indikator kesuksesan yang salah," tekan Edi.

Baginya, kalau desain bansos masih seperti itu, maka monitoring dengan cara apapun sia-sia saja dan hanya menghabiskan energi. Hasil yang berbeda menurutnya akan terlihat jika program yang digulirkan diubah, misalnya di desa dengan bantuan infrastuktur dan subsidi pupuk. Lalu di perkotaan yang warga miskin tidak memiliki tempat tinggal, dana bisa dialokasikan langsung untuk pembebasan lahan. "Baru dengan cara itu pengentasan kemiskinan bisa terukur," usulnya.(metrotvnews.com)

No comments:

Post a Comment