Dana bantuan
sosial sejatinya digelontorkan pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan
taraf kesejahteraan masyarakat. Namun demikian setelah berjalan bertahun-tahun,
nyatanya dana bansos belum menjawab masalah pengentasan kemiskinan dan
penurunan angka kemiskinan hanya mencapai satu persen. Padahal, anggaran untuk
bansos telah ditingkatkan menjadi tujuh kali lipat.
Kenyataan
itu tentu saja memunculkan pertanyaan besar, di mana letak kesalahannya? Dalam
diskusi soal konsep dan implementasi bantuan sosial yang diselenggarakan oleh
Institut KAPAL Perempuan, Jakarta, Senin (16/12), lemahnya pengawasan dana
bansos diyakini menjadi penyebab utama kebocoran program pemerintah tersebut.
Selain itu, sejak awal desain program bantuan sosial memang tidak dibuat untuk kinerja
yang terukur. Maka bukanlah hal yang mengejutkan jika dana bansos malah menjadi
ladang korupsi.
Yenny
Sucipto Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(FITRA), berpendapat bahwa oligarki anggaran masih terjadi baik dalam bantuan
sosial yang dikelola pemerintah dari APBN maupun pemerintah melalui APBD.
"Ada
skema politik anggaran di mana dalam penyusunan APBN dan APBD, pemerintah dan
DPR/DPRD dipengaruhi oleh partai politik dan kroni bisnis," cetusnya saat
berbicara di Kantor Institut KAPAL Perempuan, Jl. Kalibata Timur Raya, Jakarta
Selatan.
Dengan
politik anggaran yang terjadi, kebutuhan masyarakat masih menjadi nomor
kesekian, setelah kepentingan parpol atau mitra bisnis. Yenny menekankan bahwa
dalam UU sudah jelas menyatakan bahwa bantuan sosial sifatnya tidak harus
diberikan tiap tahun. Lebih lanjut, jumlah alokasi bansos juga semestinya
menurun tiap tahun. "Ini malah sebaliknya, justru terjadi peningkatan dan
seringkali di daerah peningkatan terjadi jelang pemilihan," kritiknya.
Menyoroti
penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan salah satunya, Kementrian
Kesehatan mengalokasikan anggaran sebesar Rp19,9 triliun untuk 86,4 juta
penduduk. Bahkan jumlah peserta PBI yang 86,4 juta itu pun mengundang
pertanyaan lantaran tidak jelas dasar perhitungannya. Andai mendasarinya pada
data rumah tangga miskin (RTM) menurut Badan Pusat Statistik, jumlahnya
mencapai 19,1 juta. Dengan asumsi satu keluarga empat orang, maka jumlah
penduduk miskin sekitar 76,4 juta. Itu angka yang berbeda dengan data Kemenkes.
Kalaupun menggunakan asumsi data BPS terakhir 2011, jumlahnya 25,2 juta RTM atau
100,8 juta jiwa. "Pertanyaannya kan berarti siapa yang dihilangkan atau
ditambahkan pada data peserta PBI yang dikeluarkan Kemenkes," lanjutnya.
Belum
berbicara soal peruntukan yang tidak jelas kepada siapa, cara penetapan target
bansos juga patut dipertanyakan. Edi Saidi Koordinator Urban Poor Consortium
(UPC) mengungkap, ada kalanya target pemberian bansos di daerah didasari oleh
konstituen partai politik.
"Bantuan
sosial itu disebar ke penduduk berdasarkan dapil (daerah pemilihan)
misalnya," jelas Edi. Momentum pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum
selayaknya diwaspadai karena bisa terjadi transaksi politik untuk menentukan
besaran bansos dan kepada siapa saja bantuan itu dialokasikan.
Selanjutnya,
ada juga cara pandang yang salah soal kinerja. Selama ini, tidak ada evaluasi
efektivitas penyaluran bansos. Keberhasilan program tersebut justru diukur
berdasarkan tingkat penyerapan anggaran. Asal anggaran habis dan kegiatan
terlaksana 100 persen, maka bansos dinilai sukses. "Itu indikator kesuksesan
yang salah," tekan Edi.
Baginya,
kalau desain bansos masih seperti itu, maka monitoring dengan cara apapun
sia-sia saja dan hanya menghabiskan energi. Hasil yang berbeda menurutnya akan
terlihat jika program yang digulirkan diubah, misalnya di desa dengan bantuan
infrastuktur dan subsidi pupuk. Lalu di perkotaan yang warga miskin tidak
memiliki tempat tinggal, dana bisa dialokasikan langsung untuk pembebasan
lahan. "Baru dengan cara itu pengentasan kemiskinan bisa terukur,"
usulnya.(metrotvnews.com)
No comments:
Post a Comment