Dari
Habib bin Hasan dan Hamid bin Mauriq al-‘Ajli, mereka mengisahkan bahwa Salman menangis saat dalam keadaan sakaratul maut. Lalu ada
seseorang yang bertanya padanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Salman?”
Ia menjawab, “Rasulullah Saw pernah memperingati kami dengan bersabda, ‘Hendaklah penghasilan kalian selama hidup di
dunia ini (sebagai bekal di akhirat) seperti seorang pengembara yang
betul-betul mempersiapkan bekalnya’.”[1]
Habib bercerita lagi, “Dan saat Salman wafat, umat Islam melihat isi rumahnya. Mereka tidak mendapati apa-apa
dalam rumah beliau kecuali hanya pelana kuda dan pijakannya, serta beberapa
barang yang diperkirakan seharga 20 dirham.”[2]
Riwayat lainnya dari Amir bin Abdullah, ia menceritakan bahwa ketika Salman
dalam keadaan sakaratul maut terlihat sedikit kesedihannya. Secara spontan mereka
yang berada di sekitarnya menanyakan padanya perihal yang terjadi, “Apa yang
membuatmu sedih wahai Abu Abdillah? Bukankah engkau telah banyak berbuat kebajikan.
Engkau juga telah banyak menyaksikan perang secara baik dan
pembebasan-pembebasan besar bersama Rasulullah?”
Salman lalu berkata, “Aku bersedih karena kekasih kita Rasulullah Saw
pernah memperingatkan kami perihal bagaimana keadaan kematian itu. Beliau bersabda,
‘Seyogianya seorang mukmin (kalau meninggal) seperti seorang pengembara yang
betul-betul mempersiapkan bekalnya.’ Hadits inilah yang membuatku sedih.”
Amir melanjutkan ceritanya, “Mereka kemudian mengumpulkan harta Salman yang
hanya berjumlah sekitar 15 dinar.” Adapun perawi lainnya mengatakan bahwa
harta Salman dihitung dengan hitungan dirham.[3]
Abu
Sufyan meriwayatkan dari leluhurnya dengan mengisahkan,
“Saat itu Sa’ad bin Abi Waqas datang menjenguk Salman. Setelah melihatnya,
Salman tiba-tiba menangis. Lalu Sa’ad langsung bertanya padanya, ‘Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Abdillah? Bukankah Rasulullah
telah ridha padamu saat beliau wafat? Engkau juga telah membuatkan parit saat
perang bagi beliau.’ Salman menjawab, ‘Sungguh aku tidak bersedih karena akan datang padaku kematian atau meninggalkan
keduniaan. Akan tetapi yang membuatku bersedih adalah bahwa Rasulullah Saw
pernah bersabda pada kami, ‘Hendaklah penghasilan kalian selama
hidup di dunia (sebagai bekal di akhirat) seperti seorang pengembara yang
betul-betul mempersiapkan bekalnya.’[4] Di
saat yang sama, aku juga melihat barang-barang
milik beliau. Beliau hanya memiliki dua baskom. Yang satu untuk mencuci pakaian dan yang
lainnya untuk bersuci. Ada lagi di sampingnya mangkok besar. Lantas Sa’ad
berkata pada Salman, ‘Wahai Abu Abdillah, berwasiatlah
kepada kami supaya kami bisa melaksanakannya setelah engkau meninggal.’ Salman berkata, ‘Wahai Sa’ad, ingatlah Allah saat
engkau merasa gelisah, saat engkau dihukum, serta saat engkau berinfaq di mana engkau telah bersumpah untuk melaksanakannya’.”[5]
Sya’bi
juga memiliki riwayat tentang detik-detik kematian Salman. Dia bertutur, “Pada hari pembebasan kota Jalaula’ – salah satu nama kota di negeri
Romawi – Salman mendapatkan kemasan
minyak wangi. Beliau lalu menitipkan kemasan tersebut kepada istrinya. Sesaat
setelah itu, beliau mengalami sakaratul maut. Beliau berkata pada istrinya, ‘Berilah aku minyak wangi lalu larutkanlah ke dalam air.’ Beliau berkata lagi, ‘Setelah itu, sebarkanlah air
campuran minyak tadi di sekitarku, karena akan datang padaku sekelompok
pengunjung yang bukan dari golongan manusia maupun jin.’ Istri beliau kemudian melaksanakan apa yang dimintanya. Sesudah
kejadian itu, Salman tidak bertahan lama dan akhirnya wafat.”
Dalam riwayat lain, Sya’bi mengatakan, “Mereka (sekelompok pengunjung) mencium
bau wewangian, akan tetapi mereka tidak melihat tamu-tamu itu memakan makanan
yang telah dihidangkan.”[6]
Sa’id
bin Sauqah mengatakan, “Kami pernah datang menemui Salman untuk menjenguknya.
Saat itu beliau sedang sakit perut. Ia lalu bertanya pada istrinya, ‘Apa yang telah kamu lakukan pada minyak wangi yang telah kita beli
dari kota Balanjar?’ Ia menjawab, ‘Ini minyaknya masih ada di tanganku.’ Salman lalu berkata padanya, ‘Taruhlah
minyak itu ke dalam air, lalu aduklah. Kemudian siramkanlah di sekitar tempat
tidurku. Karena sekarang ini akan datang sekelompok golongan yang bukan dari
golongan manusia maupun jin.’ Istrinya lalu langsung mengerjakan apa yang
dimintanya. Setelah itu, kami keluar sebentar. Dan kami datang untuk mengecek
kondisinya sekali lagi. Akan tetapi kami mendapati beliau dalam keadaan sudah
tak bernyawa.”[7]
Sya’bi
mengatakan, Jazal berkata padaku dari Baqirah istri Salman, “Ketika Salman dalam keadaan sakaratul maut, ia memanggilku. Saat
itu beliau berada di loteng rumah yang memiliki empat
pintu. Setelah memanggilku, beliau berkata padaku, ‘Bukalah pintu-pintu itu wahai Baqirah! Hari ini aku kedatangan
banyak tamu. Dan aku tidak tahu dari pintu mana mereka datang menemuiku.’ Kemudian beliau meminta minyak wangi itu dan berkata lagi padanya, ‘Campurkanlah minyak ini ke dalam air.’ Maka istrinya pun melaksanakan apa yang diminta Salman. Beliau
berkata lagi, ‘Sebarkanlah campuran air dengan
minyak wangi itu ke sekeliling tempat tidurku. Lalu turunlah dan berdiamlah sebentar
di sana. Dan setelah itu naiklah dan lihatlah aku di tempat tidur.’ Setelah turun sejenak, ia naik. Dan saat setelah sampai di loteng, ia
mendapati ruh Salman telah terlepas dari jasadnya. Dan menakjubkannya, posisi beliau saat meninggal sangat persis dengan posisi
beliau saat tidur di atas tempat tidurnya.”[8]
Al-Dzahabi dalam kitabnya, Siyar A’lâmi
al-Nubalâ,
mengatakan bahwa Salman termasuk sahabat
Nabi yang berumur panjang. Beliau meninggal di kota Madain di masa pemerintahan
khalifah Utsman bin Affan. Tapi ada yang mengatakan bahwa ia wafat pada tahun
32 Hijriah.
Mereka yang paham dengan kitab Al-Dzahabi mengatakan, “Salman
termasuk orang yang berumur panjang. Aku berani berkata demikian karena aku tahu
betapa lamanya wahyu Nabi Isa bin Maryam diturunkan. Beliau berumur hingga usianya
menginjak 250 tahun.” Dalam riwayat lain lebih dari itu. Salman meninggal di
kota Madain di masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Ada juga yang
mengatakan bahwa Salman wafat dalam usia 230 tahun.
Al-Dzahabi
mengatakan, “Hal-hal yang berkenaan dengan diri beliau telah memberitahukan
kepada kita mulai dari kepribadiannya, keadaan dan peperangan yang diikutinya, serta
keinginan dan perjuangannya, bahwa beliau tidak hidup dengan umur panjang. Beliau
juga tidak mengalami masa tua. Beliau juga telah meninggalkan kampung
halamannya semenjak terjadi bencana. Ketika beliau
pergi ke Hijaz, beliau baru berusia 40 tahun atau malah kurang. Beliau
juga tidak terlibat saat nabi Muhamad diutus dan hijrah ke Madinah. Dengan
bukti itu semua, beliau hanya hidup sekitar 70-an
tahun. Aku tidak sedikitpun memiliki pandangan bahwa beliau hidup hingga usia
100 tahun.”
Terdapat
juga riwayat lain yang dinukil dari Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi dan lainnya mengenai
umur Salman ketika wafat. Al-Dzahabi mengomentari riwayat ini dengan mengatakan,
“Aku tidak tahu persis perihal apa yang disandarkan pada Salman. Aku telah
menyebut dalam kitab ‘Târîkh Kabîr’-ku bahwa beliau hidup hingga
menginjak usia 100 tahun. Namun dalam hitungan waktu, aku tidak begitu setuju
dengan ketetapan itu dan aku juga tidak membenarkannya.”[9]
Suatu
hari, Istri Salman pernah berkata padanya saat ia dalam keadaan sakaratul maut,
“Kami bersedih karena akan kehilanganmu.” Lalu Salman menasehatinya dengan
berkata, “Janganlah engkau bimbang wahai istriku, nanti kita akan bertemu
dengan mereka yang mencintai Rasulullah dan golongannya.”[10]
Semoga
Allah meridhai Salman dan menempatkannya di tempat yang tinggi. Aamiin.
[1]Hadits shahih, HR Imam Ibn Majah no.
4104, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubrâ’,
Juz I, bab 4, hlm. 65-66, Imam Ahmad
dalam ‘Musnad Ahmad’, Juz V, hlm.
438, Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’,
Juz I, hlm. 195-196 dan Imam Thabrani dalam ‘al-Mu’jam
al-Kabîr’, hlm. 6160 & 6069, Ibn Hibban dalam ‘Sunan Ibn Hibban’ no. 2480, Imam Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz IV,
hlm. 417. Hadits ini juga telah ditashih dan disebutkan oleh Imam al-Dzahabi
dari banyak jalur dengan lafadz yang tidak berbeda jauh.
[4]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9] Imam
al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz I, hlm. 556
[10] HR.
Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz
I, hlm. 196-197 dan disebutkan juga oleh Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz I, hlm.
556
No comments:
Post a Comment