Saturday, January 11, 2014

Salman al-Farisi Menjelang Ajal

Dari Habib bin Hasan dan Hamid bin Mauriq al-‘Ajli, mereka mengisahkan bahwa Salman menangis saat dalam keadaan sakaratul maut. Lalu ada seseorang yang bertanya padanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Salman?”
Ia menjawab, “Rasulullah Saw pernah memperingati kami dengan bersabda,  ‘Hendaklah penghasilan kalian selama hidup di dunia ini (sebagai bekal di akhirat) seperti seorang pengembara yang betul-betul mempersiapkan bekalnya’.”[1]
Habib bercerita lagi, “Dan saat Salman wafat, umat Islam melihat isi  rumahnya. Mereka tidak mendapati apa-apa dalam rumah beliau kecuali hanya pelana kuda dan pijakannya, serta beberapa barang yang diperkirakan seharga 20 dirham.”[2]
Riwayat lainnya dari Amir bin Abdullah, ia menceritakan bahwa ketika Salman dalam keadaan sakaratul maut terlihat sedikit kesedihannya. Secara spontan mereka yang berada di sekitarnya menanyakan padanya perihal yang terjadi, “Apa yang membuatmu sedih wahai Abu Abdillah? Bukankah engkau telah banyak berbuat kebajikan. Engkau juga telah banyak menyaksikan perang secara baik dan pembebasan-pembebasan besar bersama Rasulullah?”
Salman lalu berkata, “Aku bersedih karena kekasih kita Rasulullah Saw pernah memperingatkan kami perihal bagaimana keadaan kematian itu. Beliau bersabda, ‘Seyogianya seorang mukmin (kalau meninggal) seperti seorang pengembara yang betul-betul mempersiapkan bekalnya.’ Hadits inilah yang membuatku sedih.”
Amir melanjutkan ceritanya, “Mereka kemudian mengumpulkan harta Salman yang hanya berjumlah sekitar 15 dinar.” Adapun perawi lainnya mengatakan bahwa harta Salman dihitung dengan hitungan dirham.[3]
Abu Sufyan meriwayatkan dari leluhurnya dengan mengisahkan, “Saat itu Sa’ad bin Abi Waqas datang menjenguk Salman. Setelah melihatnya, Salman tiba-tiba menangis. Lalu Sa’ad langsung bertanya padanya, Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Abdillah? Bukankah Rasulullah telah ridha padamu saat beliau wafat? Engkau juga telah membuatkan parit saat perang bagi beliau. Salman menjawab, Sungguh aku tidak bersedih karena akan datang padaku kematian atau meninggalkan keduniaan. Akan tetapi yang membuatku bersedih adalah bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda pada kami, Hendaklah penghasilan kalian selama hidup di dunia (sebagai bekal di akhirat) seperti seorang pengembara yang betul-betul mempersiapkan bekalnya.[4] Di saat yang sama, aku juga  melihat barang-barang milik beliau. Beliau hanya memiliki dua baskom. Yang satu untuk mencuci pakaian dan yang lainnya untuk bersuci. Ada lagi di sampingnya mangkok besar. Lantas Sa’ad berkata pada Salman, Wahai Abu Abdillah, berwasiatlah kepada kami supaya kami bisa melaksanakannya setelah engkau meninggal. Salman berkata, Wahai Sa’ad, ingatlah Allah saat engkau merasa gelisah, saat engkau dihukum, serta saat engkau berinfaq di mana engkau telah bersumpah untuk melaksanakannya.[5]
Sya’bi juga memiliki riwayat tentang detik-detik kematian Salman. Dia bertutur, “Pada hari pembebasan kota Jalaula’ – salah satu nama kota di negeri Romawi –  Salman mendapatkan kemasan minyak wangi. Beliau lalu menitipkan kemasan tersebut kepada istrinya. Sesaat setelah itu, beliau mengalami sakaratul maut. Beliau berkata pada istrinya, Berilah aku minyak wangi lalu larutkanlah ke dalam air. Beliau berkata lagi, Setelah itu, sebarkanlah air campuran minyak tadi di sekitarku, karena akan datang padaku sekelompok pengunjung yang bukan dari golongan manusia maupun jin. Istri beliau kemudian melaksanakan apa yang dimintanya. Sesudah kejadian itu, Salman tidak bertahan lama dan akhirnya wafat.
Dalam riwayat lain, Sya’bi mengatakan, “Mereka (sekelompok pengunjung) mencium bau wewangian, akan tetapi mereka tidak melihat tamu-tamu itu memakan makanan yang telah dihidangkan.”[6]
Sa’id bin Sauqah mengatakan, “Kami pernah datang menemui Salman untuk menjenguknya. Saat itu beliau sedang sakit perut. Ia lalu bertanya pada istrinya, Apa yang telah kamu lakukan pada minyak wangi yang telah kita beli dari kota Balanjar? Ia menjawab,  Ini minyaknya masih ada di tanganku. Salman lalu berkata padanya, Taruhlah minyak itu ke dalam air, lalu aduklah. Kemudian siramkanlah di sekitar tempat tidurku. Karena sekarang ini akan datang sekelompok golongan yang bukan dari golongan manusia maupun jin. Istrinya lalu langsung mengerjakan apa yang dimintanya. Setelah itu, kami keluar sebentar. Dan kami datang untuk mengecek kondisinya sekali lagi. Akan tetapi kami mendapati beliau dalam keadaan sudah tak bernyawa.”[7]
Sya’bi mengatakan, Jazal berkata padaku dari Baqirah istri Salman, “Ketika Salman dalam keadaan sakaratul maut, ia memanggilku. Saat itu beliau berada di loteng rumah yang memiliki empat pintu. Setelah memanggilku, beliau berkata padaku, Bukalah pintu-pintu itu wahai Baqirah! Hari ini aku kedatangan banyak tamu. Dan aku tidak tahu dari pintu mana mereka datang menemuiku. Kemudian beliau meminta minyak wangi itu dan berkata lagi padanya, Campurkanlah minyak ini ke dalam air. Maka istrinya pun melaksanakan apa yang diminta Salman. Beliau berkata lagi, Sebarkanlah campuran air dengan minyak wangi itu ke sekeliling tempat tidurku. Lalu turunlah dan berdiamlah sebentar di sana. Dan setelah itu naiklah dan lihatlah aku di tempat tidur. Setelah turun sejenak, ia naik. Dan saat setelah sampai di loteng, ia mendapati ruh Salman telah terlepas dari jasadnya. Dan menakjubkannya, posisi beliau saat meninggal sangat persis dengan posisi beliau saat tidur di atas tempat tidurnya.[8]
Al-Dzahabi dalam kitabnya, Siyar A’lâmi al-Nubalâ, mengatakan  bahwa Salman termasuk sahabat Nabi yang berumur panjang. Beliau meninggal di kota Madain di masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Tapi ada yang mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 32 Hijriah.

Mereka yang paham dengan kitab Al-Dzahabi mengatakan, “Salman termasuk orang yang berumur panjang. Aku berani berkata demikian karena aku tahu betapa lamanya wahyu Nabi Isa bin Maryam diturunkan. Beliau berumur hingga usianya menginjak 250 tahun.” Dalam riwayat lain lebih dari itu. Salman meninggal di kota Madain di masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Ada juga yang mengatakan bahwa Salman wafat dalam usia 230 tahun.

Al-Dzahabi mengatakan, “Hal-hal yang berkenaan dengan diri beliau telah memberitahukan kepada kita mulai dari kepribadiannya, keadaan dan peperangan yang diikutinya, serta keinginan dan perjuangannya, bahwa beliau tidak hidup dengan umur panjang. Beliau juga tidak mengalami masa tua. Beliau juga telah meninggalkan kampung halamannya semenjak terjadi bencana. Ketika beliau pergi ke Hijaz, beliau baru berusia 40 tahun atau malah kurang. Beliau juga tidak terlibat saat nabi Muhamad diutus dan hijrah ke Madinah. Dengan bukti itu semua, beliau hanya hidup sekitar 70-an tahun. Aku tidak sedikitpun memiliki pandangan bahwa beliau hidup hingga usia 100 tahun.”
Terdapat juga riwayat lain yang dinukil dari Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi dan lainnya mengenai umur Salman ketika wafat. Al-Dzahabi mengomentari riwayat ini dengan mengatakan, “Aku tidak tahu persis perihal apa yang disandarkan pada Salman. Aku telah menyebut dalam kitab ‘Târîkh Kabîr’-ku bahwa beliau hidup hingga menginjak usia 100 tahun. Namun dalam hitungan waktu, aku tidak begitu setuju dengan ketetapan itu dan aku juga tidak membenarkannya.”[9]
Suatu hari, Istri Salman pernah berkata padanya saat ia dalam keadaan sakaratul maut, “Kami bersedih karena akan kehilanganmu.” Lalu Salman menasehatinya dengan berkata, “Janganlah engkau bimbang wahai istriku, nanti kita akan bertemu dengan mereka yang mencintai Rasulullah dan golongannya.”[10]
Semoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya di tempat yang tinggi. Aamiin.



[1]Hadits shahih, HR  Imam Ibn Majah no. 4104, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubrâ’, Juz I,  bab 4, hlm. 65-66, Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahmad’, Juz V, hlm. 438, Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 195-196 dan Imam Thabrani dalam ‘al-Mu’jam al-Kabîr’, hlm. 6160 & 6069, Ibn Hibban dalam ‘Sunan Ibn Hibban’  no. 2480, Imam Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz IV, hlm. 417. Hadits ini juga telah ditashih dan disebutkan oleh Imam al-Dzahabi dari banyak jalur dengan lafadz yang tidak berbeda jauh.    
[2]HR Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’, Juz I, hlm. 552.  
[3]Ibid, hlm. 553.
[4]Ibid.
[5]Ibid, hlm. 554.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9] Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz I, hlm. 556
[10] HR. Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 196-197 dan disebutkan juga oleh Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz I, hlm. 556

No comments:

Post a Comment