Sesuai Pasal 28H ayat (3) UUD 1945
jaminan sosial adalah hak warga negara, bukan kewajiban warga negara, sehingga
negaralah yang berkewajiban memenuhinya.
Mahkamah
Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian sejumlah
pasal dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Uji materi ini dimohonkan oleh 12 pengurus serikat pekerja.
Mereka
memohon pengujian Pasal 1 angka 5, Pasal 14 ayat (2), Pasal 17 ayat (1), (2),
(4), (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 30, Pasal 36, Pasal 40,
Pasal 44 UU SJSN.
Dalam
sidang yang diketuai Hakim konstitusi Arief Hidayat di ruang sidang MK, Rabu
(11/12), melalui Tim Advokasinya, pemohon menilai UU SJSN menimbulkan
pergeseran paradigma sistem jaminan sosial yang hakikatnya sesuai konstitusi
sebagai “hak” menjadi “kewajiban” warga negara, bukan kewajiban negara.
“Sesuai
Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 jaminan sosial adalah hak warga negara, bukan
kewajiban warga negara, sehingga negaralah yang berkewajiban memenuhinya,” ujar
salah satu tim kuasa hukum pemohon, Rd Yudi Anton Rikmadani.
Menurut
Yudi, Pasal 17 UU SJSN telah mewajibkan setiap peserta Jamsos untuk membayar
iuran yang ditetapkan pihak lain (swasta/pemerintah), bukan oleh peserta jamsos
itu sendiri. Hal ini jelas paradigma wajib dalam pasal itu telah menggeser
kewajiban negara dalam tugas menghormati hak sosial rakyat.
Pergeseran
paradigma hak warga negara menjadi kewajiban warga negara dalam iuran wajib yang
ditentukan pihak lain dengan sistem dividen/pembagian keuntungan jelas-jelas
mengurangi hak warga negara atas jamsos yang dijamin konstitusi.
“Seharusnya
kepesertaan asuransi bersifat sukarela, bukan diwajibkan oleh UU SJSN,”
tegasnya.
Pasal 17 UU
SJSN menyebutkan, “(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
(2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan
iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS
secara berkala. (4) Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang
yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah.”
Menurut
dia, jaminan sosial juga telah direduksi menjadi komoditas bisnis asuransi yang
memposisikan rakyat menjadi obyek komoditas bisnis. Negara seolah menitipkan
nasib rakyat pekerja kepada pihak ketiga sebagai kekuatan pasar bisnis
asuransi.
“Selama ini,
pemerintah sudah mewajibkan buruh, PNS, dan TNI/Polri. Makanya, Pasal 17 UU
SJSN bukan jamsos, tetapi pasal asuransi,” tudingnya.
Selain itu,
tambah dia, UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPSJ)
akan menjadi badan yang superbody yang memiliki kewenangan luar biasa untuk
mengendalikan dana rakyat dengan dalih asuransi sosial.
“Apalagi
sasaran BPJS tidak hanya para buruh, tetapi seluruh rakyat Indonesia,”
tegasnya.
Atas dasar
itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dan dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun 12
pemohon yang tercatat sebagai pemohon yaitu Mukhyir Hasan Hasibuan, Untung
Riyadi, Muhammad Ichsan, Lukman Hakim, Bambang Wirahyoso, Sunarti, Rudi Hartono
B Daman, Syarief Hidayatullah, Bambang Eka, Willem Lucas Warow, Wahida
Baharuddin Upa dan Maliki. (skalanews.com)
No comments:
Post a Comment