Monday, January 6, 2014

Baru Tahun 2015 Pekerja Wajib Ikut BPJS


Pada tahap pertama, fasilitas kesehatan itu akan melayani 121,6 juta peserta yang digolongkan dalam penerima bantuan iuran (PBI). Perinciannya, 86,4 juta warga miskin dan rentan miskin yang dahulu dilayani Jamkesnas, dan sisanya adalah peserta jaminan kesehatan beserta keluarga yang selama ini dilayani PT Jamsostek, anggota TNI/Polri dan keluarganya, ditambah pegawai BUMN dan keluarganya. Mereka secara otomatis terdaftar di BPJS.

Pada tahap berikutnya, seluruh warga akan dilayani, termasuk pegawai swasta yang selama ini mengikuti asuransi kesehatan swasta atau ditanggung perusahaan tempat ia bekerja.

Berdasarkan UU JKN Nasional, pengusaha mewajibkan pekerjanya ke BPJS. Termasuk pula pengusaha atau pejabat tertentu dan pekerja bukan penerima upah atau pekerja informal.

Untuk menjadi peserta, mereka harus mendaftar berdasarkan kelas perawatan yang dipilih. Pada 2019, semua warga direncanakan akan terlindungi.

Tentu saja untuk kelompok PBI, iurannya ditanggung oleh pemerintah. Pemerintah menganggarkan Rp 19,93 trilyun. Mereka hanya bisa dirawat di kelas III.

Sedangkan untuk kelompok non-PBI diwajibkan membayar premi yang besarannya tergantung kelas yang dipilih. Untuk kelas I dikenai premi Rp 59,500 per bulan per orang, kelas II Rp 42,500 per orang, dan kelas III Rp 25.500.

 Ali Ghufron mengatakan bahwa manfaat JKN meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Itu termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan, misalnya, kacamata, gigi, kruk, dan penyangga leher. Yang dimaksud promotif adalah penyuluhan kesehatan.

 Sedangkan layanan preventif meliputi imunisasi dasar seperti vaksinasi BCG, DPT, hepatitis B, polio, dan kontrasepsi keluarga berencana. Semua vaksin itu disediakan pemerintah pusat melalui pemerintah daerah. Lalu, yang tergolong kuratif dan rehabilitatif adalah tindakan medis yang dilakukan dokter di klinik atau di rumah sakit.

 Namun bukan berarti semua pelayanan akan dilayani BPJS. Menurut Fachmi Idris, Direktur Utama PT Askes (yang berubah menjadi BPJS), pelayanan kesehatan yang tidak melalui prosedur yang berlaku tidak akan mendapat JKN.

 Ambil contoh, peserta yang batuk langsung berobat ke rumah sakit, tidak melalui puskesmas terlebih dahulu. Kemudian peserta yang berobat ke fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS, kecuali kasus gawat darurat. Juga pelayanan kesehatan di luar negeri atau untuk tujuan kosmetik atau estetika.

 Dana untuk JKN, sebagian diambil dari mereka yang memiliki upah. Skemanya mirip dengan program jaminan kesehatan PT Jamsostek yang selama ini berjalan. Sebagian ditanggung pengusaha, sebagian lagi karyawan.

 Pada tahap pertama pengusaha wajib menanggung 4% dari gaji karyawan, sedangkan kewajiban karyawan 0,5%. Tapi pada Juli nanti, kewajiban pekerja meningkat jadi 1%. Jadi, diperlukan penegakan hukum dan inspeksi ke perusahaan.

 Menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zaenal Abidin, JKN bisa memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau orang yang dibayari iuranna oleh negara atau penerima bantuan iuran (PBI). ''Tujuannya kan agar semua penduduk WNI mendapatkan layanan kesehatan saat sakit, kapan pun dan di mana pun, secara adil,'' ujarnya.

 Meskipun masih ada tantangan, misalnya ketersediaan dokter yang andal dan tersebar merata, Ia melihat euforia yang sangat berlebihan dari JKN sebagai layanan kesehatan gratis, yang bisa menjadi masalah bila tidak diantisipasi. Namun, ia yakin ke depannya, pemerintah akan melakukan perbaikan.

 Namun, Rieke Dyah Pitaloka pesimistis bahwa BPJS bisa berjalan dengan baik. Jangankan membahas soal infrastruktur, turunan dari aturan-aturan UU itu saja belum jelas. ''Hingga akhir tahun ini, belum ada turunannya. Apa yang mau dijalankan kalau transformasi belum selesai,'' ujarnya.

 Berdasarkan prosedur, semua peraturan harus jelas setelah 1 tahun diundangkan. UU ini disahkan pada 25 November 2011. Artinya, setahun kemudian pemerintah harus tuntas membuat peraturan turunannya, seperti dalam bentuk perpres, peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Karena itu ia menilai bahwa pemerintah tidak serius merealisasikan JKN.

 Persoalan dana juga masih belum clear. Selain dari APBN, pemerintah juga menggantungkan program ini pada dana APBD. Pemerintah Pusat masih meminta bantuan pemda untuk mengalokasikan anggaran buat jaminan kesehatan. Rieke menilai itu tidak fair, karena berdasarkan UU JKN, pengobatan warga miskin dibebankan pada APBN, bukan APBD. ''APBD yang seharusnya fokus pada tenaga kesehatan dan infrastruktur akan terkuras membayari peserta,'' katanya.

 Selain itu, yang lebih penting adalah transformasi dari PT Askes ke BPJS. Semestinya, sebelum dilebur, didahului dengan proses audit yang memisahkan antara aset peserta askes dan aset BUMN. Semua aset peserta seharusnya dikembalikan ke BPJS. ''Tapi sampai hari ini tidak ada proses audit. Disepakati di rapat sebulan lalu, tapi sampai hari ini kita belum terima,'' kata Rieke mengimbuhkan.

 Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, punya penilaian lain pada sosialisasi. Dari hasil pemantauan di 22 provinsi, 99% masyarakat belum tahu mengenai JKN. Bahkan, beberapa direksi rumah sakit dan dokter belum mengetahui soal itu secara jelas.

 ''Ada pimpinan direktur rumah sakit provinsi yang menyangka dengan JKN, rumah sakit bisa seenaknya memberikan obat kepada pasien,'' ujar Marius. Padahal, para pimpinan rumah sakit se-Indonesia pernah diberi penyuluhan soal JKN di Kuta, Bali, pada 2012. Begitu pula masalah honor untuk apoteker dan perawat.

 Seperti dugaan Marius, Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Vika Yulia, juga masih bingung terhadap program ini lantaran keminiman sosialisasi. Yang ia tahu, JKN merupakan layanan kesehatan di puskesmas tempat warga bersangkutan terdaftar.  JKN dinilai tidak lebih baik ketimbang Jamkesda, lantaran harus berobat ke RS pemerintah atau RS wasta yang bekerja sama.

 ''Dulu warga enak bisa pilih rumah sakit mana saja,'' katanya kepada Arif Koes Hernawan dari GATRA. Tapi ia mengaku pemda siap bergabung dengan JKN. Meski begitu ia menampik Jamkesda akan dilebur. Jamkesda tetap berlaku untuk meng-cover warga Yogyakarta yang belum dilayani Jamkesmas

 Hasbullah Thabrany, pengamat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, memberikan catatan kecil. Rumah sakit swasta yang selama ini kualitasnya relatif lebih baik dan memiliki fasilitas oke belum mau ikut JKN, walaupun secara medis rumah sakit itu belum tentu lebih baik. Persepsi pasien dari kalangan ekonomi mampu terhadap JKN juga belum baik. ''Peserta dengan kelas ekonomi tingkat atas masih belum happy dengan layanan JKN,'' kata Hasbullah kepada wartawan GATRA, Syahbani Takdir.

 Thabrany mengkhawatirkan, yang selama ini dinikmati para peserta Askes, Jamsostek, dan Asabri, tidak akan diperoleh pada JKN. Ia menemukan kasus pasien masih bisa menegosiasikan penggunaan obat non-generik agar tetap ter-cover oleh perusahaan tersebut.

 Namun pada JKN, harga yang dibayarkan oleh BPJS ke rumah sakit atau dokter sudah harga borongan. Pasien akan sulit mendapatkan obat yang sesuai dengan keinginan pasien. ''Nah ini akan menimbulkan persepsi obat lebih jelek, jadi lebih pada ketidakpuasan dan persepsi," Thabrany menambahkan. Bila hal itu terjadi, masyakat bisa berganggapan bahwa pelayanan JKN hanya sekelas "puskesmas".  (www.gatra.com)


No comments:

Post a Comment