Pada tahap pertama, fasilitas kesehatan itu akan melayani 121,6 juta peserta yang digolongkan dalam penerima bantuan iuran (PBI). Perinciannya, 86,4 juta warga miskin dan rentan miskin yang dahulu dilayani Jamkesnas, dan sisanya adalah peserta jaminan kesehatan beserta keluarga yang selama ini dilayani PT Jamsostek, anggota TNI/Polri dan keluarganya, ditambah pegawai BUMN dan keluarganya. Mereka secara otomatis terdaftar di BPJS.
Pada tahap
berikutnya, seluruh warga akan dilayani, termasuk pegawai swasta yang selama
ini mengikuti asuransi kesehatan swasta atau ditanggung perusahaan tempat ia
bekerja.
Berdasarkan
UU JKN Nasional, pengusaha mewajibkan pekerjanya ke BPJS. Termasuk pula
pengusaha atau pejabat tertentu dan pekerja bukan penerima upah atau pekerja
informal.
Untuk
menjadi peserta, mereka harus mendaftar berdasarkan kelas perawatan yang dipilih.
Pada 2019, semua warga direncanakan akan terlindungi.
Tentu saja
untuk kelompok PBI, iurannya ditanggung oleh pemerintah. Pemerintah
menganggarkan Rp 19,93 trilyun. Mereka hanya bisa dirawat di kelas III.
Sedangkan
untuk kelompok non-PBI diwajibkan membayar premi yang besarannya tergantung
kelas yang dipilih. Untuk kelas I dikenai premi Rp 59,500 per bulan per orang,
kelas II Rp 42,500 per orang, dan kelas III Rp 25.500.
Ali Ghufron mengatakan bahwa manfaat JKN
meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Itu
termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan,
misalnya, kacamata, gigi, kruk, dan penyangga leher. Yang dimaksud promotif
adalah penyuluhan kesehatan.
Sedangkan layanan preventif meliputi imunisasi
dasar seperti vaksinasi BCG, DPT, hepatitis B, polio, dan kontrasepsi keluarga
berencana. Semua vaksin itu disediakan pemerintah pusat melalui pemerintah
daerah. Lalu, yang tergolong kuratif dan rehabilitatif adalah tindakan medis
yang dilakukan dokter di klinik atau di rumah sakit.
Namun bukan berarti semua pelayanan akan
dilayani BPJS. Menurut Fachmi Idris, Direktur Utama PT Askes (yang berubah
menjadi BPJS), pelayanan kesehatan yang tidak melalui prosedur yang berlaku
tidak akan mendapat JKN.
Ambil contoh, peserta yang batuk langsung
berobat ke rumah sakit, tidak melalui puskesmas terlebih dahulu. Kemudian
peserta yang berobat ke fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan
BPJS, kecuali kasus gawat darurat. Juga pelayanan kesehatan di luar negeri atau
untuk tujuan kosmetik atau estetika.
Dana untuk JKN, sebagian diambil dari mereka
yang memiliki upah. Skemanya mirip dengan program jaminan kesehatan PT
Jamsostek yang selama ini berjalan. Sebagian ditanggung pengusaha, sebagian
lagi karyawan.
Pada tahap pertama pengusaha wajib menanggung
4% dari gaji karyawan, sedangkan kewajiban karyawan 0,5%. Tapi pada Juli nanti,
kewajiban pekerja meningkat jadi 1%. Jadi, diperlukan penegakan hukum dan
inspeksi ke perusahaan.
Menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
Zaenal Abidin, JKN bisa memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang
layak kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau orang yang dibayari
iuranna oleh negara atau penerima bantuan iuran (PBI). ''Tujuannya kan agar
semua penduduk WNI mendapatkan layanan kesehatan saat sakit, kapan pun dan di
mana pun, secara adil,'' ujarnya.
Meskipun masih ada tantangan, misalnya
ketersediaan dokter yang andal dan tersebar merata, Ia melihat euforia yang
sangat berlebihan dari JKN sebagai layanan kesehatan gratis, yang bisa menjadi
masalah bila tidak diantisipasi. Namun, ia yakin ke depannya, pemerintah akan
melakukan perbaikan.
Namun, Rieke Dyah Pitaloka pesimistis bahwa
BPJS bisa berjalan dengan baik. Jangankan membahas soal infrastruktur, turunan
dari aturan-aturan UU itu saja belum jelas. ''Hingga akhir tahun ini, belum ada
turunannya. Apa yang mau dijalankan kalau transformasi belum selesai,''
ujarnya.
Berdasarkan prosedur, semua peraturan harus
jelas setelah 1 tahun diundangkan. UU ini disahkan pada 25 November 2011.
Artinya, setahun kemudian pemerintah harus tuntas membuat peraturan turunannya,
seperti dalam bentuk perpres, peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Karena itu ia menilai bahwa pemerintah tidak serius merealisasikan JKN.
Persoalan dana juga masih belum clear. Selain
dari APBN, pemerintah juga menggantungkan program ini pada dana APBD.
Pemerintah Pusat masih meminta bantuan pemda untuk mengalokasikan anggaran buat
jaminan kesehatan. Rieke menilai itu tidak fair, karena berdasarkan UU JKN,
pengobatan warga miskin dibebankan pada APBN, bukan APBD. ''APBD yang
seharusnya fokus pada tenaga kesehatan dan infrastruktur akan terkuras
membayari peserta,'' katanya.
Selain itu, yang lebih penting adalah
transformasi dari PT Askes ke BPJS. Semestinya, sebelum dilebur, didahului
dengan proses audit yang memisahkan antara aset peserta askes dan aset BUMN.
Semua aset peserta seharusnya dikembalikan ke BPJS. ''Tapi sampai hari ini
tidak ada proses audit. Disepakati di rapat sebulan lalu, tapi sampai hari ini
kita belum terima,'' kata Rieke mengimbuhkan.
Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan
Konsumen Kesehatan Indonesia, punya penilaian lain pada sosialisasi. Dari hasil
pemantauan di 22 provinsi, 99% masyarakat belum tahu mengenai JKN. Bahkan,
beberapa direksi rumah sakit dan dokter belum mengetahui soal itu secara jelas.
''Ada pimpinan direktur rumah sakit provinsi
yang menyangka dengan JKN, rumah sakit bisa seenaknya memberikan obat kepada
pasien,'' ujar Marius. Padahal, para pimpinan rumah sakit se-Indonesia pernah
diberi penyuluhan soal JKN di Kuta, Bali, pada 2012. Begitu pula masalah honor
untuk apoteker dan perawat.
Seperti dugaan Marius, Kepala Dinas Kesehatan
Kota Yogyakarta, Vika Yulia, juga masih bingung terhadap program ini lantaran
keminiman sosialisasi. Yang ia tahu, JKN merupakan layanan kesehatan di
puskesmas tempat warga bersangkutan terdaftar.
JKN dinilai tidak lebih baik ketimbang Jamkesda, lantaran harus berobat
ke RS pemerintah atau RS wasta yang bekerja sama.
''Dulu warga enak bisa pilih rumah sakit mana
saja,'' katanya kepada Arif Koes Hernawan dari GATRA. Tapi ia mengaku pemda
siap bergabung dengan JKN. Meski begitu ia menampik Jamkesda akan dilebur.
Jamkesda tetap berlaku untuk meng-cover warga Yogyakarta yang belum dilayani
Jamkesmas
Hasbullah Thabrany, pengamat dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, memberikan catatan kecil. Rumah
sakit swasta yang selama ini kualitasnya relatif lebih baik dan memiliki
fasilitas oke belum mau ikut JKN, walaupun secara medis rumah sakit itu belum
tentu lebih baik. Persepsi pasien dari kalangan ekonomi mampu terhadap JKN juga
belum baik. ''Peserta dengan kelas ekonomi tingkat atas masih belum happy
dengan layanan JKN,'' kata Hasbullah kepada wartawan GATRA, Syahbani Takdir.
Thabrany mengkhawatirkan, yang selama ini
dinikmati para peserta Askes, Jamsostek, dan Asabri, tidak akan diperoleh pada
JKN. Ia menemukan kasus pasien masih bisa menegosiasikan penggunaan obat
non-generik agar tetap ter-cover oleh perusahaan tersebut.
Namun pada JKN, harga yang dibayarkan oleh
BPJS ke rumah sakit atau dokter sudah harga borongan. Pasien akan sulit
mendapatkan obat yang sesuai dengan keinginan pasien. ''Nah ini akan
menimbulkan persepsi obat lebih jelek, jadi lebih pada ketidakpuasan dan
persepsi," Thabrany menambahkan. Bila hal itu terjadi, masyakat bisa
berganggapan bahwa pelayanan JKN hanya sekelas "puskesmas". (www.gatra.com)
No comments:
Post a Comment