Suatu
hari, Ibn Abbas pernah berkata pada Husein, “Aku kira engkau akan terbunuh di
tengah-tengah istri dan anak perempuanmu seperti ketika khalifah Utsman
terbunuh. Dan sungguh aku tidak takut bila engkau meninggal seperti beliau.
Karena sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali pada-Nya.”
Husein lalu menjawab, “Wahai Ibn Abbas, sungguh engkau ini sudah tua.”
Ibn Abbas menjawab, “Jikalau aku dan engkau tidak diremehkan, maka aku akan
melekatkan tanganku ini ke atas kepalamu.”
Husein langsung menangis dan berkata, “Lihatlah wahai Ibn Abbas engkau telah
membuat mata Ibnu Zubair menatap kita.”
Kemudian Husein berkata pada Ibn Zubair, “Telah datang kepadamu orang yang
kamu cintai, Abu Abdullah. Ia akan pergi menuju Iraq dan akan meninggalkanmu di
kota Hijaz.”
Setelah itu, di waktu Husein baru sampai di kota Karbala-Iraq, ia tewas
terbunuh. Tragedi keji itu terjadi pada hari Ahad tanggal 10 Muharram – atau
biasa kita sebut dengan istilah hari Asyura– tahun 61 Hijriah. Ia
tewas bersama beberapa keluarga besarnya. Semoga Allah memberikan keridhaan
kepada mereka semua.
Ibn
Hanafiah berkata, “Mereka yang tewas ada 17 orang. Semuanya dari keturunan Fatimah
r.a.”[1]
Salah
satu doa Husein adalah, “Ya Allah, Engkau adalah sumber keyakinanku dalam
setiap masalah dan harapanku dalam setiap kesusahan. Engkau jugalah pemilik
setiap kenikmatan dan kebaikan.”
Sebelum
diserang, Husein berkata pada Umar bin Sa’ad dan prajuritnya, “Janganlah kalian
terburu-buru! Sungguh tidak akan datang bukti pada kalian sebelum ia datang
padaku. Karena sunah Nabi telah ditinggalkan, kemunafikan telah menyebar dan hukuman
telah ditiadakan. Maka sini majulah kalian! Semoga Allah memperbaiki kerusakan
yang terjadi dalam tubuh umat.”
Husein
berucap lagi, “Aku akan datang melawan kalian. Jika kalian membenci hal
tersebut, maka aku akan pulang. Dan juga pulang lah kalian kepada keluarga kalian. Apakah ada kemaslahatan jika aku
halalkan darahku untuk kalian?”
Husein
menambahkan, “Bukankah aku ini anak dari putri
Nabi kalian? Dan putra dari putra pamannya? Bukankah Hamzah, Abbas dan Ja’far
itu paman-pamanku? Bukankah juga telah sampai pada kalian sabda Rasulullah
untukku dan untuk saudaraku (Hasan). Kedua cucuku ini (Hasan dan Hesein) akan menjadi pemimpin
pemuda di Surga.”
Umar bin Sa’ad berjawab, “Sungguh Husein telah menyembah Allah di atas
huruf-huruf (hadits Nabi) jika ia paham apa yang ia katakan.” Ibn Sa’ad juga berkata,
“Jikalau perkataanmu ini untukku, maka pasti aku jawab.”
Husein membalas, “Wahai Umar, sungguh engkau akan saksikan hari-hari yang akan
menyusahkanmu.” Husein lalu berdoa, “Ya Allah, sungguh warga Iraq telah
memperdayai dan menipuku. Mereka juga yang mencelakakan saudaraku. Ya Allah,
cerai-beraikanlah mereka dan kurangi jumlah mereka.”
Orang yang pertama kali menusuk Husein adalah seorang budak milik Ubaidillah
bin Ziyad. Ketika diserang, Husein sedang duduk dengan memakai jubah sutera
hitam. Dan setelah itu, disusul anak panah yang dikeluarkan dari para pengkhianat. Sehingga seluruh tubuhnya dihiasi dengan anak panah. Bahkan,
sebagian anak panah itu mengenai seorang bocah berumur tiga tahun. Para pengkhianat itu akan membunuh siapa saja
yang ada di sekitar Husein, hingga mereka terbunuh semua.
Dikisahkan,
sebelum terjadi pembantaian itu, Husein merasa haus. Tiba-tiba datanglah
seseorang dengan membawa sebotol air minuman. Ia lalu memberikannya pada
Husein. Saat ia meminum air tersebut, Hasin bin Tamim dengan cermat mengincar Husein
dengan anak panah. Husein akhirnya terkena anak panah yang diarahkan padanya.
Ia lalu memegangi bagian tubuhnya yang mengalir darah akibat panah itu. Ia
kemudian memuji Allah seraya memandangi bendungan dari Sungai Eufrat. Bendungan itu menghalangi pandangan antara beliau dan
air laut. Sudah terluka seperti itu, ada seseorang lagi yang mengarahkan anak
panah kepadanya dan mengenai rahang bawahnya. Setelah itu, ia terluka parah dan
hanya mampu bertahan hidup satu hari.
Setelah
insiden itu, tidak ada seorang pun yang menemui beliau selain orang yang dekat
dengannya. Husein adalah seorang pahlawan Islam yang pemberani. Dalam situasi seperti ini, beliau tetap memberi semangat juang yang membara
kepada kerabatnya. Seperti semangatnya singa dalam memburu mangsa saat kelaparan.
Mendengar kabar itu, Umar al-Tamimi berteriak, “Wahai prajurit! Sungguh
kalian telah memberati ibu kalian. Apa lagi yang kalian tunggu (untuk membunuh
Husein)?”
Maka
habislah kesabaran Umar al-Tamimi. Ia langsung mendatangi Husein dan memukul bahunya.
Sebaliknya, Husein juga memukul bahu Umar al-Tamimi dan kemudian membantingnya.
Perkelahian pun terjadi. Akan tetapi, Umar menemukan anak panah. Ia langsung
menikamkannya ke selangkangan dan dada Husein. Terkena
tusukan anak panah itu, Husein langsung jatuh pingsan. Umar dan Khuli al-Asbahi
lalu mendekati tubuh Husein yang telah tergeletak tak berdaya. Umar lantas memenggal kepala Husein dengan bantuan Khuli. Abu Ubaidillah bin
Ziyad yang ingin turut serta membantu perbuatan keji ini tidak mendapatkan
jatahnya karena pembantaian terhadap Husein itu telah usai.
Ada
yang mengatakan, “Dalam tubuh Husein ditemukan 33 luka. Namun beliau mampu
membunuh prajurit Umar bin Sa’ad sebanyak 88 orang.”
Tidak
ada satupun dari keluarga Husein yang terbebas dari pembantaian keji ini
kecuali Ali kecil, salah satu keturunan Husein. Saat itu ia sedang sakit.
Para
pengkhianat ini juga menjarah barang-barang Sayidina Husein. Ada salah seorang yang ingin mengambil perhiasan
milik Fatimah binti Husein tapi tiba-tiba dia menangis. “Mengapa engkau
menangis?” tanya Umar bin Sa’ad. Ia menjawab, “Bukankah kalau kita mengambil barang-barang ini
berarti kita telah merampas harta milik putri Rasulullah? Bagaimana aku tidak
menangis bila aku melakukan hal itu?” Umar bin Sa’ad menjawab, “Tinggalkan saja
kalau begitu.” Ia menjawab, “Tapi aku
takut ada orang yang akan mengambilnya selain aku.” Umar kemudian mengambil
barang itu dan berkata, “Tidak akan ada seorang pun yang akan kembali ke
keluarganya. Aku telah mentaati apa kata Ibn Ziyad. Dan aku telah berbuat
maksiat kepada Allah serta memutus tali silaturrahim.”[2]
Mereka
yang terbunuh bersama Sayidina Husein adalah Ja’far, Atiq, Muhamad,
Abbas al-Akbar, Ali (anak sulung Husein) dan putra Ali yang bernama Abdullah.
Sedangkan anaknya yang bernama Ali Zainal Abidin selamat karena saat itu sedang
sakit.
Selain
itu, mereka yang ikut terbunuh bersama beliau dari pihak keluarganya adalah Qasim
(putra Hasan), Abdullah dan Abdurrahman yang merupakan putra Muslim bin Aqil
bin Abi Thalib, serta Muhamad dan Aoun yang merupakan putra dari Abdullah bin
Ja’far bin Abi Thalib.
Seuntai
Kata Mutiara Terakhir Husein
Saat
musuh-musuh Husein menghadangnya, ia yakin bahwa mereka akan membunuhnya. Beliau
kemudian berdiri di tengah keluarganya dengan bersiap menyampaikan pidato pada
mereka. Ia mengawali pidatonya dengan memuji Allah lalu berkata, “Benar-benar akan
terjadi peristiwa seperti yang kalian lihat saat ini. Dunia saat ini telah
berubah dan terlihat samar. Ia telah membelakangi hal yang lumrah. Ia juga
berjalan terlalu cepat sampai tidak tersisa sedikit pun kecuali hanya kehinaan
hidup seperti tempat gembala yang tidak ditumbuhi rumput.”
Ia melanjutkan, “Bukankah kalian telah menyaksikan bahwa kebenaran tidak
lagi ditegakkan? Kebatilan tidak lagi dilarang? Sampaikanlah kepada orang-orang yang
beriman supaya mereka bersuka-ceria jika berjumpa dengan Allah. Dan sungguh aku
tidak melihat kematian melainkan di dalamnya hanya terdapat kebahagiaan. Karena
hidup bersama orang-orang dhalim hanya akan menambah dosa.”[3]
[1]HR Imam Thabari dalam ‘Târîkh
al-Thabari’, Juz V, hlm. 384, Ibn al-Atsir dalam ‘Asad al-Ghâbah’, Juz IV, hlm. 39, Imam Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz III, hlm.
297. Disebutkan juga oleh Ibn Katsir
dalam ‘al-Bidâyah wa al-Nihâyah’, Juz
VIII, hlm. 160, dan Ibn Badran dalam ‘Tahdzîb Târikh Ibn Asâkir’, Juz IV, hlm.
334.
[2]HR Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru
A’lâmi al-Nubalâ’, Juz III, hlm. 303 yang dinukil dari Ibn Sa’ad.
[3]HR
Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz II, hlm. 39 dengan sanad yang
terputus.
No comments:
Post a Comment