Oleh Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas
Keberadaan
suatu bangsa didefinisikan oleh rakyatnya. Keberhasilannya ditentukan oleh
seberapa sehat, mampu dan cerdas rakyatnya. Meski hancur dalam dua perang
dunia, sejarah bertutur bahwa Jerman bangkit kembali dan menjadi salah satu
negara terkuat di dunia. Jepang dapat berkembang menjadi kekuatan ekonomi
global meskipun dua bom atom menghancurkan kota-kotanya. Apa pun dimungkinkan
karena kedua negara itu memiliki sumber daya manusia yang sehat. Memang salah
satu perhatian utama negara bangsa adalah kesejahteraan rakyatnya.
Sejak menjadi
bangsa yang merdeka, Indonesia belum pernah mampu memberikan program pelayanan
kesehatan yang komprehensif untuk semua warganya. Kualitas kesehatan kita
terlalu sering ditentukan oleh kemampuan masyarakat untuk membayarnya. Mengingat
sejumlah besar rakyat kita masih terperosok dalam kemiskinan, orang dipaksa
untuk membuat pilihan. Kesehatan, seperti pendidikan, sering dipinggirkan dan
kalah bersaing dengan kebutuhan untuk makan dan minum. Karenanya, pengenalan
program perawatan kesehatan universal di Januari ini adalah sesuatu yang perlu
kita syukuri.
Sebagai
kado Tahun Baru, pemerintah telah merampungkan peraturan pelaksanaan
tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
pada 1 Januari, setelah tertunda hampir 10 tahun. Di saat keraguan masih hadir
karena tidak adanya peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono akhirnya menandatangani Program JKN sebagai payung hukum bagi
penyedia jaminan sosial yang disahkan pada tahun 2004. Peraturan baru ini mencakup
pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan peraturan presiden
tentang asuransi kesehatan.
Secara
politik boleh jadi banyak yang menganggap bahwa JKN tak lebih sebagai
pencitraan Presiden SBY guna menaruh cap sebagai warisannya mendekati akhir
masa jabatannya. Namun demikian, sekitar 250 juta warga pasti akan menyambut
apa yang dinilai sebagai program asuransi terbesar di dunia. Sebetulnya sudah
banyak warga yang mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah daerah, seperti
di Jakarta. Pada 2019, cakupan jaminan sosial yang secara menyeluruh akan
meliputi kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja, tunjangan hari tua dan jaminan
kematian—terlepas dari cakupan program kesehatan lokal—harus sejalan dengan sistem
nasional. Harian Kompas baru-baru melaporkan bahwa saat ini pemerintah daerah
masih menilai kapasitas keuangan masing-masing untuk menutupi biaya tambahan
premi.
Pemerintah
telah menyatakan bahwa sekitar 120 juta dari kelompok paling miskin menjadi
pihak paling pertama yang berhak untuk menikmati cakupan kelas tiga. Untuk saat
ini, sebagian dari cakupan buat masyarakat miskin harus ditutup oleh cakupan
sistem kesehatan setempat. Cakupan buat karyawan diberikan pada tahun 2015.
Seperti telah diduga sebelumnya, hal ini menimbulkan banyak masalah baru. Pada
bulan Mei 2013, Gubernur DKI Jakarta Joko “Jokowi” Widodo harus menghadapi
protes 16 rumah sakit swasta atas melonjaknya
biaya yang mereka harus tanggung. Kematian beberapa pasien dilaporkan
sebagian akibat antrean yang terlalu panjang untuk kasus-kasus darurat. Ini
menunjukkan lonjakan permintaan ketika semua orang menuju rumah sakit
sebelum sistem rujukan yang tepat diberlakukan. Masalah serupa dapat
diprediksi untuk program skala nasional mengingat rendahnya kontribusi
individu dan pengusaha serta pemerintah, kurang dari Rp 20.000 per bulan per
orang.
Terlepas
dari kesimbangkan kontribusi secara bertahap untuk biaya kesehatan, kampanye
publik perlu didorong bersamaan dengan perbaikan di pusat-pusat kesehatan di
banyak daerah. Meskipun beberapa kemajuan signifikan telah dicapai di
beberapa tempat di Jakarta, stigma layanan kesehatan yang amat parah selama
ini telah memberikan kontribusi terhadap lonjakan pada pasien ke rumah sakit.
Ini menyebabkan antrean panjang bahkan jam sebelum loket pendaftaran
dibuka. Peningkatan layanan di puskesmas dan rumah sakit juga menimbulkan
masalah lemahnya profesionalisme dalam mengatasi peningkatan permintaan. Di
sinilah letak pelajaran lain dari program luar biasa pemerintah DKI Jakarta
ini: fokus pada peningkatan kualitas dan kuantitas para petugas kesehatan
seperti dokter, spesialis, perawat dan paramedis.
Rakyat
Indonesia kini mulai beralih ke budaya pola pikir baru - model pemikiran yang
mengatakan rakyat tidak otomatis bertanggung jawab atas biaya kesehatan
keluarga, saudara dan juga orang-orang seharusnya secara tidak langsung
menjadi beban keluarga ketika mereka sakit. Dengan berkurangnya tekanan
tanggung jawab di luar keluarga inti (nuclear family), kita mungkin akan
melihat negara yang sehat secara keseluruhan, di mana para pekerja dan
profesional melakukan perencanaan dan investasi yang lebih baik untuk masa
depan mereka alih-alih mendapatkan uang pinjaman, terutama ketika menghadapi
keadaan darurat keluarga.
Dengan
tidak adanya jaminan sosial, rumah tangga di Indonesia telah terbiasa
mengatasi masalah mereka sendiri. Kenaikan pendapatan sehingga bisa
dinikmati oleh keluarga, keponakan dan siapa saja amat dibutuhkan. Inilah
mengapa kemudian banyak ahli mengatakan bahwa rumah tangga berpendapatan
rendah di negeri ini akan menghadapi kemiskinan ketika salah satu anggota
keluarga mengalami sakit parah. Sumbangan dari para pekerja dan pengusaha
perlu ditingkatkan karena pemerintah berusaha untuk menciptakan
keseimbangan dengan penyedia layanan kesehatan yang diharapkan profesional
dalam memikul estimasi biaya besar. Sebagian besar orang-orang muda akhirnya
akan menghadapi berkurang beban untuk menbiayai perawatan kerabat manula
tanpa dituduh sebagai anak-anak tidak tahu berterima kasih, meskipun
tradisi kita menanamkan nilai-nilai dedikasi kepada orangtua yang ketat.
Kawula muda
Indonesia menjadi seperti elang muda dalam dongeng anak-anak yang diminta oleh
ibunya ketika akan membawanya melintasi jurang: “Maukah kamu merawatku di
usia tuaku nanti?” Kedua anaknya menjawab “Tentu saja.” Lalu ia menjatuhkan
mereka di udara. Anak ketiga menjawab: “Tidak, aku akan memiliki anak-anak
untuk diurus.” Apakah respons ini sebagai cermin kejujuran atau mekanisme
bertahan hidup, yang pasti jutaan orang Indonesia sekarang dapat memilih
jawaban kedua. (www.padangekspres.co.id)
No comments:
Post a Comment