Saturday, January 18, 2014

JKN dan Negara Kesejahteraan


Oleh Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Keberadaan suatu bangsa didefi­nisikan oleh rakyatnya. Keberhasilannya ditentukan oleh seberapa sehat, mampu dan cerdas rakyatnya. Meski hancur dalam dua perang dunia, sejarah bertutur bahwa Jerman bangkit kembali dan menjadi salah satu negara terkuat di dunia. Jepang dapat berkembang menjadi kekuatan ekonomi global meskipun dua bom atom menghancurkan kota-kotanya. Apa pun dimungkinkan karena kedua negara itu memiliki sumber daya manusia yang sehat. Memang salah satu perhatian utama negara bangsa adalah kesejahteraan rakyatnya.

Sejak menjadi bangsa yang merdeka, Indonesia belum pernah mampu memberikan program pelayanan kesehatan yang komprehensif untuk semua warganya. Kualitas kesehatan kita terlalu sering ditentukan oleh kemampuan masyarakat untuk membayarnya. Mengingat sejumlah besar rakyat kita masih terperosok dalam kemiskinan, orang dipaksa untuk membuat pilihan. Kesehatan, seperti pendidikan, sering dipinggirkan dan kalah bersaing dengan kebutuhan untuk makan dan minum. Karenanya, pengenalan program perawatan kesehatan universal di Januari ini adalah sesuatu yang perlu kita syukuri.

Sebagai kado Tahun Baru, pemerintah telah merampungkan peraturan pelaksanaan tentang  Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari, setelah tertunda hampir 10 tahun. Di saat keraguan masih hadir karena tidak adanya peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menandatangani Program JKN sebagai payung hukum bagi penyedia jaminan sosial yang disahkan pada tahun 2004. Peraturan baru ini mencakup pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan peraturan presiden tentang asuransi kesehatan.

Secara politik boleh jadi banyak yang menganggap bahwa JKN tak lebih sebagai pencitraan Presiden SBY guna menaruh cap sebagai warisannya mendekati akhir masa jabatannya. Namun demikian, sekitar 250 juta warga pasti akan menyambut apa yang dinilai sebagai program asuransi terbesar di dunia. Sebetulnya sudah banyak warga yang mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah daerah, seperti di Jakarta. Pada 2019, cakupan jaminan sosial yang secara menyeluruh akan meliputi kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja, tunjangan hari tua dan jaminan kematian—terlepas dari cakupan program kesehatan lokal—harus sejalan dengan sistem nasional. Harian Kompas baru-baru melaporkan bahwa saat ini pemerintah daerah masih menilai kapasitas keuangan masing-masing untuk menutupi biaya tambahan premi.

Pemerintah telah menyatakan bahwa sekitar 120 juta dari kelompok paling miskin menjadi pihak paling pertama yang berhak untuk menikmati cakupan kelas tiga. Untuk saat ini, sebagian dari cakupan buat masyarakat miskin harus ditutup oleh cakupan sistem kesehatan setempat. Cakupan buat karyawan diberikan pada tahun 2015. Seperti telah diduga sebelumnya, hal ini menimbulkan banyak masalah baru. Pada bulan Mei 2013, Gubernur DKI Jakarta Joko “Jokowi” Widodo harus menghadapi protes 16 rumah sakit swasta atas melonjaknya  biaya yang mereka harus tanggung. Kematian beberapa pasien dilaporkan sebagian akibat antrean yang terlalu panjang untuk kasus-kasus da­ru­rat. Ini menunjukkan lonjakan per­min­taan ketika semua orang menuju rumah sa­k­it sebelum sistem rujukan yang tepat di­berlakukan. Masalah seru­pa dapat di­pre­diksi untuk program skala nasional me­­ngingat rendahnya kon­tribusi indivi­du dan pengusaha serta pemerintah, ku­rang dari Rp 20.000 per bulan per orang.



Terlepas dari kesimbangkan kontri­busi secara bertahap untuk biaya kese­hatan, kampanye publik perlu didorong ber­samaan dengan perbaikan di pusat-pu­sat kesehatan di banyak daerah. Mes­kipun beberapa kemajuan sig­nifikan telah dicapai di beberapa tempat di Ja­karta, stigma layanan kesehatan yang amat parah selama ini telah mem­berikan kontribusi terhadap lonjakan pada pasien ke rumah sakit. Ini menye­bab­­kan antrean panjang bahkan jam se­be­lum loket pendaftaran dibuka. Pe­ning­katan layanan di puskesmas dan ru­mah sakit juga menimbulkan masalah le­mah­nya profesionalisme dalam me­nga­tasi peningkatan permintaan. Di sinilah letak pelajaran lain dari program luar biasa pemerintah DKI Jakarta ini: fo­kus pada peningkatan kualitas dan kuan­titas para petugas kesehatan seperti dok­ter, spesialis, perawat dan para­medis.



Rakyat Indonesia kini mulai beralih ke budaya pola pikir baru - model pemi­kiran yang mengatakan rakyat tidak oto­matis bertanggung jawab atas biaya ke­sehatan keluarga, saudara dan juga orang-orang seharusnya secara tidak lang­sung menjadi beban keluarga ketika me­reka sakit. Dengan berkurangnya teka­nan tanggung jawab di luar keluarga inti (nuclear family), kita mungkin akan me­li­hat negara yang sehat secara kese­lu­ru­han, di mana para pekerja dan pro­fe­sional melakukan perencanaan dan in­vestasi yang lebih baik untuk masa depan mereka alih-alih mendapatkan uang pinjaman, terutama ketika meng­hadapi keadaan darurat keluarga.



Dengan tidak adanya jaminan sosial, rumah tangga di Indonesia telah terbiasa me­ngatasi masalah mereka sendiri. Ke­naikan pendapatan sehingga bisa di­nikmati oleh keluarga, keponakan dan sia­pa saja amat dibutuhkan. Inilah m­e­ngapa kemudian banyak ahli menga­ta­kan bahwa rumah tangga berpen­da­patan rendah di negeri ini akan meng­ha­dapi kemiskinan ketika salah satu ang­gota keluarga mengalami sakit pa­rah. Sumbangan dari para pekerja dan pe­ngusaha perlu ditingkatkan karena pe­­merintah berusaha untuk men­ci­p­takan keseimbangan dengan pe­nyedia layanan kesehatan yang diharapkan profesional dalam memikul estimasi biaya besar. Sebagian besar orang-orang muda akhirnya akan menghadapi ber­ku­rang beban untuk menbiayai pera­watan kerabat manula tanpa ditu­duh se­bagai anak-anak tidak tahu berterima ka­­sih, meskipun tradisi kita me­nanam­kan nilai-nilai dedikasi kepa­da orangtua yang ketat.



Kawula muda Indonesia menjadi se­perti elang muda dalam dongeng anak-anak yang diminta oleh ibunya ke­tika akan membawanya melintasi ju­rang: “Maukah kamu merawatku di usia tuaku nanti?” Kedua anaknya men­ja­wab “Ten­tu saja.” Lalu ia menjatuhkan me­reka di udara. Anak ketiga menjawab: “Tidak, aku akan memiliki anak-anak untuk diurus.” Apakah respons ini sebagai cer­min kejujuran atau mekanisme ber­ta­han hidup, yang pasti jutaan orang Indo­nesia sekarang dapat memilih jawa­ban kedua. (www.padangekspres.co.id)

No comments:

Post a Comment