Al-Ashmu'i mengisahkan,[1] seorang wanita Arab ditimpa musibah dengan kematian anaknya saat dia sedang melakukan ibadah haji. Ketika dia menguburkannya, dia berdiri di atas kuburannya dan berkata, "Anakku, aku telah memberimu makan saat kau menyusu dan aku begitu cepat kehilanganmu seakan-akan antara keduanya hanya ada sedikit waktu untuk aku nikmati bersamamu. Setelah kemewahan, kenikmatan dan keindahan hidup serta memakai segala wewangian, sekarang kau berada di bawah tanah menjadi tubuh yang beku, hancur dan menjadi debu yang binasa. Anakku, ekor-ekor kebinasaan telah menarikmu dari dunia dan menempatkanmu di rumah yang usang, lalu melemparmu dengan musibah yang membinasakan. Anakku, pagi yang telah hilang gelapnya sudah menyinari wajah dunia untukku."
Lalu dia berkeluh-kesah, "Tuhanku, keadilan dari-Mu, di antara
makhluk-Mu ada yang tidak adil. Kau telah menganugerahkan dia untukku sebagai
penyejuk mata dan Kau tidak memberiku banyak kenikmatan dengannya, tetapi Kau
merampasnya dariku begitu cepat. Kemudian Kau menyuruhku untuk bersabar dan
menjanjikanku dengan kesabaran itu pahala yang besar. Aku percaya pada janji-Mu
dan aku ridha pada keputusan-Mu. Semoga Allah SWT merahmati orang yang mengucapkan
rahimallah atas orang yang diurug
tanah, berbantal tanah. Ya Allah, rahmatilah kesendiriannya, temanilah
kesepiannya, tutupilah auratnya pada hari kehinaan dan keburukan akan
diungkap."
Ketika
ingin pulang, dia bertutur, "Anakku, aku telah menyiapkan
bekal untuk perjalananku. Apakah bekalmu untuk perjalananmu yang jauh dan hari
akhiratmu? Ya Allah, aku memohon keridhaan-Mu untuknya dengan keridhaanku padanya."
Kemudian dia berujar, "Aku titipkan kau pada Dia yang telah
menitipkanmu sewaktu masih janin dalam perutku. Ibu-ibu yang anaknya mati, alangkah
sakit hati mereka, risau malam mereka, singkat siang mereka, sedikit
kegembiraan mereka, sangat kesepian mereka, amat jauh dari kegembiraan dan amat
dekat dengan kesedihan!"
Al-Ashmu'i berkata, "Dia terus mengucapkan itu sampai membuat setiap
orang yang mendengarnya menangis. Lalu dia memuji Allah SWT dengan mengucapkan Innâ
Lillâhi wa innâ Ilaihi râji'ûn dan dia pulang."
Yang Mendapat Taufiq dan Tidak
Dari Muhamad bin Sulaiman al-Qurasyi, dia bercerita, "Ketika aku
melintasi jalan di daerah Yaman, aku melihat seorang pemuda berdiri di jalan. Kedua
telinganya memakai anting. Pada setiap anting, ada permata yang menyinari
wajahnya dengan kilaunya. Dia sedang memuji Tuhannya lewat bait-bait syair. Aku
mendengarnya dia berkata:
Aku
bangga pada Raja di langit
Yang
Maha Agung dan tidak ada yang tersembunyi dari-Nya
Aku
mendekatinya dan memberi salam kepadanya.”
Lalu pemuda itu menanggapi, "Aku tidak mau menjawab salammu sampai kau
menunaikan hakku yang wajib atas dirimu."
Muhamad bertanya, "Apa hakmu?"
Pemuda itu menjawab, "Aku seorang pemuda yang mengamalkan ajaran
Ibrahim al-Khalil 'alaihissalaam. Aku tidak makan siang dan tidak makan
malam sebelum aku berjalan satu-dua mil untuk mencari tamu."
Lalu Muhamad memenuhi ajakannya dan dia menyambut Muhamad. Lalu Muhamad
berjalan bersamanya sampai ke dekat sebuah kemah dari bulu. Ketika mendekati
kemah tersebut, pemuda itu berteriak, "Wahai saudariku."
Seorang gadis dari dalam kemah menjawabnya, "Ya." Lantas pemuda
itu berkata, "Siapkan makanan untuk tamu kita." Gadis itu mengucap,
"Biarlah aku bersyukur dulu pada Allah SWT yang telah membuat tamu ini
datang pada kita." Lalu dia bangkit dan shalat dua rakaat untuk bersyukur
kepada Allah SWT.
Pemuda itu menyuruh Muhamad masuk dan duduk di dalam kemahnya. Pemuda
itu kemudian mengambil alas makan dan menyembelih beberapa ekor hewan sembelihan. Ketika Muhamad duduk di dalam
kemah, dia melihat wajah yang sangat cantik. Muhamad
mencuri pandang darinya dan dia merasakan pandangan Muhamad dan mengingatkan, "Hei,
tidakkah kau tahu apa yang dinukil dari al-Ma'shum Saw bahwa zinanya mata
adalah memandang? Aku tidak ingin mempermalukanmu dengan itu, tetapi aku ingin
mengajarkanmu agar kau tidak mengulanginya lagi."
Saat
tidur, Muhamad dan pemuda itu tidur di luar kemah dan gadis itu di dalam. Muhamad mendengar lantunan ayat-ayat al-Quran sepanjang malam dengan suara
yang merdu dan lembut. Pagi harinya, Muhamad bertanya
kepada pemuda itu, "Suara siapa semalam?"
Pemuda itu menjawab, "Itu saudariku. Dia
menghidupkan seluruh malam sampai pagi."
Muhamad mengingatkan, "Wahai pemuda, kau lebih pantas melakukan itu
daripada saudarimu, kau laki-laki dan dia wanita." Pemuda itu tersenyum
dan berkata, "Celaka kau, apakah kau tidak tahu bahwa ada orang yang
mendapat taufiq dan ada yang tidak mendapatkannya?"
Hati dan Nafsuku
Malik bin Dinar mengisahkan bahwa ketika dia melakukan thawaf di Ka'bah, dia
melihat seorang wanita bersuara keras di Hijr Ismail. Wanita itu berdoa, "Aku
datang kepada-Mu dari negeri yang jauh untuk mengharap kebaikan-Mu, maka
berilah aku kebaikan-Mu yang membuatku tidak memerlukan kebaikan selain-Mu, wahai
Yang Maha Baik dengan kebaikan-Nya."
Wanita itu mengenal Ayub al-Sakhtiyani, lalu Malik bertanya tentang
rumahnya, kemudian mereka menuju ke rumah Ayub. Mereka memberi salam padanya
dan Ayub berpesan pada wanita itu, "Katakanlah yang baik, semoga Allah merahmatimu."
Wanita
itu menjawab, "Apa yang aku katakan? Aku mengadu pada Allah tentang hati
dan nafsuku karena keduanya membuatku susah dan membuatku sibuk dari beribadah
kepada Tuhanku. Bangunlah kalian, aku harus segera mengisi catatanku."
Ayub
berujar, "Aku belum pernah berbicara dengan wanita sebelumnya."
Lalu Malik menukas, "Kalau saja
kau menikah dengan seorang yang akan membantumu dengan keadaanmu
sekarang!"
Ayub menjawab, "Walaupun orang itu Malik bin Dinar atau Ayub al-Sakhtiyani,
aku tidak mau."
Malik mengucap,
"Aku Malik bin Dinar dan ini Ayub al-Sakhtiyani." Lanjut Malik,
"Oh, aku menyangka dzikir kepada Allah telah menyibukkan kalian dari
berbicara dengan wanita." Lalu Ayub memulai shalatnya. Malik bertanya
tentang wanita itu dan Ayub menjawab, "Itu Malikah binti
al-Munkadir."
No comments:
Post a Comment