Sunday, March 2, 2014

Pengasuh Rasulullah Saw


Ummu Aiman (Barkah binti Tsa'labah bin Amr) al-Habsyiyah pernah mengasuh Rasulullah Saw setelah ibunda beliau meninggal dunia. Dia dibebaskan oleh Nabi Saw ketika beliau menikahi Khadijah. Lalu dia menikah dengan Ubaid bin Zaid dari Bani al-Harits bin al-Khajraz dan melahirkan Aiman.
Ummu Aiman melakukan hijrah dalam keadaan berpuasa. Dia haus, namun tidak mendapatkan air. Rasa haus membuatnya susah, maka turunlah timba dari langit yang berisi air bening. Dia mengambil dan meminumnya sampai kenyang dan dia berkata, "Setelah meminum air itu, aku tidak pernah merasakan haus. Aku pernah sengaja mencari haus dengan berpuasa ketika hijrah, tapi aku tetap tidak merasa haus."
Peristiwa tersebut terjadi saat dia berhijrah dari Makkah menuju Madinah dengan berjalan kaki, tanpa bekal makanan dan air. Lalu Allah SWT memuliakannya dengan karomah itu. Dia berkata, "Setelah itu, aku berpuasa pada hari yang panas, lalu aku melakukan ibadah thawaf di bawah terik matahari agar aku haus, tetapi aku tidak haus juga."
Rasulullah Saw mencintai Ummu Aiman dan memuliakannya serta beliau memanggilnya, "Ibu."[1]
Rasulullah pernah mencandainya. Pada suatu hari, Ummu Aiman datang menemuinya dan berkata, "Wahai Rasulullah, bawalah aku." Rasulullah menjawab, "Aku akan membawamu di atas anak unta." Kata Ummu Aiman, "Anak unta tidak akan kuat membawaku dan aku juga tidak mau." Rasulullah Saw berujar, "Aku tidak akan membawamu kecuali di atas anak unta itu."[2]
Dalam sebuah riwayat dari Anas r.a. bahwa Rasulullah Saw mengunjungi Ummu Aiman. Dia menyajikan minuman kepada Rasulullah Saw, namun beliau menolaknya. Lalu Ummu Aiman menghampiri Rasulullah Saw sambil marah-marah. Dia ingin menunjukkan pada Rasulullah Saw, kalau dia adalah pengasuhnya.[3]
Dari Anas r.a. pula, dia berkisah, "Rasulullah Saw pergi mengunjungi Ummu Aiman dan aku pergi bersama beliau. Lalu Ummu Aiman menyuguhkan minuman kepada beliau. Mungkin karena beliau sedang berpuasa atau beliau tidak menyukai minuman itu, beliau menolaknya. Maka Ummu Aiman menghampiri Rasulullah Saw sambil berteriak karena penolakan itu. Setelah Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar mengajak Umar, Mari kita berangkat mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Rasulullah Saw mengunjunginya. Ketika mereka sampai, Ummu Aiman menangis. Lalu Abu Bakar bertanya, Kenapa kau menangis? Apa yang ada di sisi Allah lebih baik untuk Rasulullah Saw. Dia menjawab, Demi Allah, aku tidak menangis, karena aku tahu apa yang ada di sisi Allah lebih baik untuk Rasul-Nya, tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit. Dia membuat Abu Bakar dan Umar sedih dan menangis.

Kebaikan Nabi Muhamad Saw kepada Istri Pamannya
Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay al-Hasyimiyyah adalah ibu Ali bin Abi Thalib dan dia pernah mengasuh Nabi Saw setelah ibunya meninggal dunia. Anas bin Malik r.a. meriwayatkan, "Ketika Fathimah binti Asad bin Hasyim, Ibu Ali r.a., meninggal dunia, Rasulullah Saw datang lalu duduk di dekat kepalanya dan berkata, Semoga Allah  merahmatimu, Ibu. Kau adalah ibuku juga, kau lapar dan kenyang, tidak memiliki pakaian dan, kau tahan dirimu memakan makanan lezat dan kau memakannya. Kau melakukan semua itu karena Allah SWT dan akhirat."
Kemudian Rasulullah Saw menyuruh agar Fathimah binti Asad dimandikan tiga kali. Ketika air kafur tiba, Rasulullah Saw menciduk dengan tangannya, kemudian beliau melepas jubahnya dan memakaikannya pada tubuh jenazah, lalu mengkafaninya dengan pakaian atasnya. Kemudian beliau memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kubur. Mereka pun menggalinya. Ketika mereka sampai liang lahat, Rasulullah Saw menggali dengan tangannya, mengeluarkan tanah dengan tangannya. Setelah selesai, Rasulullah Saw masuk dan berbaring di liang lahat, lalu berkata, "Allah yang menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak mati. Ampunilah Ibuku, Fathimah binti Asad, terimalah hujjahnya, luaskanlah jalan masuknya karena Engkau sebaik-baik pemberi rahmat." Lalu beliau bertakbir empat kali, kemudian al-Abbas dan Abu Bakar al-Shiddiq memasukkannya ke liang lahat.[4]
Dari Ibnu Abbas, dia bercerita, ketika Fathimah binti Asad, Ibu Ali bin Abi Thalib, meninggal, Rasulullah Saw melepas jubahnya lalu memakaikannya pada jenazah Fathimah, kemudian beliau berbaring di liang lahatnya. Saat tanah telah diratakan, para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, kami melihat Engkau melakukan satu perbuatan yang belum pernah Engkau lakukan pada orang lain."
Beliau menjawab, "Aku memakaikan jubahku padanya agar dia memakai pakaian surga. Aku berbaring di liang lahatnya untuk meringankannya dari tekanan kubur karena dia adalah orang yang paling berjasa padaku setelah Abu Thalib."[5]

Wanita yang Menyusui Rasulullah Saw
Buku-buku sejarah Islam meriwayatkan bahwa Halimah al-Sa'diyah datang ke Makkah bersama beberapa orang kaumnya untuk memilih anak-anak bayi yang akan mereka susui sebagaimana kebiasaan penduduk Makkah. Halimah al-Sa'diyah mengatakan, "Kami datang ke Makkah untuk mencari anak-anak yang akan kami susui. Semua wanita telah ditawari anak Aminah (Rasulullah Saw), tetapi mereka menolaknya dan berkata kepada Aminah, ‘Dia itu anak yatim, begitu juga aku. Kami mengharap kebaikan dari ayah si anak. Kami mengatakan yatim tanpa kami menghiraukan siapa ibu dan kakeknya!’
Ketika kami semua akan pulang, aku berkata kepada teman suamiku, ‘Demi Allah, aku tidak suka kembali tanpa anak yang akan aku susui. Demi Allah, aku akan ke tempat anak yatim itu dan mengambilnya.’ Suaminya berkata, ‘Kau tidak perlu melakukan itu, semoga Allah menjadikannya keberkahan untuk kita’.”
Lebih lanjut Halimah bercerita, "Ketika aku mengambilnya, aku membawanya bersama rombonganku. Ketika aku meletakkannya di pangkuanku, kedua payudaraku mulai mengeluarkan air susu yang begitu banyak, lalu dia meminumnya sampai kenyang dan saudaranya juga meminumnya sampai kenyang. Suamiku berkata, ‘Wahai Halimah, demi Allah, aku melihat kau telah mengambil anak yang penuh berkah’.”


[1]Al-Mustadrak (4/63, 64), Ibn Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubra (8/224), Siyar A’lam al-Nubalâ’ (3/488).
[2]Ibn Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubra (8/224).
[3]HR Muslim (2454), Baihaqi, Dalâil al-Nubuwah (7/266).
[4]Majma’ al-Zawâid (9/256, 257).
[5]Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’ (3/424, 425).

No comments:

Post a Comment