Sunday, March 2, 2014

Pelayanan Obat BPJS Kesehatan Mulai Dibenahi ·


        Peserta bisa mendapat obat untuk 30 hari.

BPJS Kesehatan mulai melakukan pembenahan pelayanan obat kepada peserta jaminan sosial kesehatan. Dua bulan setelah BPJS berlaku, banyak kendala yang dihadapi, salah satunya penanganan layanan obat kepada peserta.

Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, menjelaskan selama ini peserta, khususnya berpenyakit kronis, mengeluhkan obat yang mereka terima hanya untuk konsumsi 3-7 hari. Padahal, dalam pelayanan askes sosial sebelumnya yang digelar PT Askes, peserta bisa memperoleh obat untuk 30 hari. Karena itu, BPJS coba melakukan pembenahan.

Fajri mengatakan masalah ini berkaitan dengan pola pembayaran BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan (faskes) rujukan seperti rumah sakit (RS) yaitu menggunakan INA-CBGs. Paket biaya yang terdapat dalam INA-CBGs belum mengakomodir penyakit kronis tertentu seperti obat kemoterapi dan hemophilia.

Guna mengatasi persoalan itu Fajri mengatakan Menkes merespon dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan No. 31 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dan SE No. 32 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan bagi Peserta BPJS Kesehatan. “Sekarang peserta sudah bisa mendapatkan obat kronis untuk 30 hari,” katanya dalam jumpa pers di kantor pusat BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (26/2).

Fajri menjelaskan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan, cakupan pelayanan obat yang diperoleh peserta meliputi banyak hal. Misalnya, pemberian obat pada rawat jalan tingkat pertama (RJTP) atau rawat inap tingkat pertama di faskes tingkat primer, dan pemberian obat rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL), atau rawat inap di faskes tingkat lanjut.

Daftar dan harga obat serta bahan medis habis pakai (BMHP) mengacu pada ketentuan yang ditetapkan Kemenkes. Untuk daftar obat dan BMHP acuannya adalah formularium nasional (Fornas) dan harganya merujuk kepada e-catalog. Namun, e-catalog tahun 2014 belum selesai disusun. Kemenkes telah menerbitkan kebijakan yang mengatur acuan harga obat dan BMHP dilakukan secara paralel yaitu melalui e-catalog 2013, daftar dan plafon harga obat (DPHO) 2013. Fajri menjelaskan sebelumnya DPHO menjadi acuan untuk PT Askes.

Dalam pola pembayaran BPJS Kesehatan, harga obat sudah termasuk dalam kapitasi dan INA-CBGs. Namun, pada masa transisi BPJS Kesehatan dan sesuai SE Menkes No. 32 Tahun 2014, Fajri mengatakan ada jenis obat yang dapat ditagihkan di luar paket INA-CBGs. Yaitu pelayanan obat kronis bagi pasien yang kondisinya belum stabli dan obat kemoterapi.

Pada kesempatan yang sama direktur Pelayanan Kefarmasian Kemenkes, Bayu Teja Muliawan, mengatakan keluhan peserta BPJS Kesehatan paling banyak berkaitan dengan penyakit kronis dan rujuk balik. Misalnya, faskes tidak menjamin obat yang dibutuhkan peserta atau jumlahnya kurang dari yang dibutuhkan. Untuk mengatasi hal tersebut Kemenkes telah menerbitkan daftar obat yang tercantum dalam fornas. Sehingga dapat digunakan sebagai acuan faskes tingkat primer dan rujukan.

Untuk penyakit kronis, Bayu menyebut Menkes telah menerbitkan SE No. 31 Tahun 2014 dan SE No. 32 Tahun 2014. Lewat regulasi itu faskes tingkat lanjut dapat memberikan obat tambahan kepada peserta di luar paket INA-CBGs. Lewat regulasi itu peserta bisa mengambil obat yang dibutuhkan selama 30 hari di instalasi farmasi RS atau apotik yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Jika kondisi kesehatan peserta sudah dinyatakan stabil oleh dokter spesialis yang menangani, maka peserta yang bersangkutan harus mengikuti program rujuk balik (PRB). Kemudian, pelayanan bakal dikembalikan ke faskes tingkat pertama seperti dokter keluarga, klinik dan Puskesmas. Peserta PRB dapat diberi obat untuk kebutuhan 30 hari. “Kami sudah sosialisasi kepada faskes tentang rujuk balik dan untuk penanganan penyakit kronis,” urainya.

Soal ketersediaan obat di faskes primer seperti Puskesmas, Bayu mengatakan Kemenkes punya sistem suplai yang baik. Pengelolaan obat di daerah diatur oleh Dinas Kesehatan lewat instalasi farmasi yang ada di kabupaten/kota. Sementara anggaran untuk penyediaan obat pelayanan dasar itu bisa diperoleh dari Dana Alokasi Khusus (DAK) atau APBD. Dengan mekanisme itu diharapkan kekosongan obat di faskes primer dapat dicegah.

Di luar Puskesmas, peserta dapat memperoleh obat di apotik. Jika tidak ada apotik, pemerintah daerah (Pemda) dapat menunjuk instalasi farmasi tertentu untuk melayani peserta BPJS Kesehatan, terutama yang mengikui program PRB. Penunjukan itu disesuaikan dengan Perda yang berlaku di setiap daerah.

Menambahkan Bayu, Fajri mengatakan di era JKN, ketersediaan obat di faskes lanjutan bergantung pada RS yang bersangkutan. Tidak tersedianya obat untuk penyakit tertentu di RS menurut Fajri dapat disebabkan oleh beberapa hal. Seperti kelangkaan obat, manajemen ketersediaan obat di RS yang tak sanggup memprediksi kebutuhan obat dan likuiditas keuangan RS. “RS itu selain harus mencari obat yang berkualitas juga harus cost effective makanya harus mengacu e-catalog,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment