Peserta bisa mendapat obat untuk 30 hari.
BPJS
Kesehatan mulai melakukan pembenahan pelayanan obat kepada peserta jaminan
sosial kesehatan. Dua bulan setelah BPJS berlaku, banyak kendala yang dihadapi,
salah satunya penanganan layanan obat kepada peserta.
Direktur
Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, menjelaskan selama ini peserta,
khususnya berpenyakit kronis, mengeluhkan obat yang mereka terima hanya untuk
konsumsi 3-7 hari. Padahal, dalam pelayanan askes sosial sebelumnya yang
digelar PT Askes, peserta bisa memperoleh obat untuk 30 hari. Karena itu, BPJS
coba melakukan pembenahan.
Fajri
mengatakan masalah ini berkaitan dengan pola pembayaran BPJS Kesehatan ke
fasilitas kesehatan (faskes) rujukan seperti rumah sakit (RS) yaitu menggunakan
INA-CBGs. Paket biaya yang terdapat dalam INA-CBGs belum mengakomodir penyakit
kronis tertentu seperti obat kemoterapi dan hemophilia.
Guna
mengatasi persoalan itu Fajri mengatakan Menkes merespon dengan menerbitkan
Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan No. 31 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dan SE No. 32 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Pelayanan Kesehatan bagi Peserta BPJS Kesehatan. “Sekarang peserta sudah bisa
mendapatkan obat kronis untuk 30 hari,” katanya dalam jumpa pers di kantor
pusat BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (26/2).
Fajri
menjelaskan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS
Kesehatan, cakupan pelayanan obat yang diperoleh peserta meliputi banyak hal.
Misalnya, pemberian obat pada rawat jalan tingkat pertama (RJTP) atau rawat
inap tingkat pertama di faskes tingkat primer, dan pemberian obat rawat jalan
tingkat lanjutan (RJTL), atau rawat inap di faskes tingkat lanjut.
Daftar
dan harga obat serta bahan medis habis pakai (BMHP) mengacu pada ketentuan yang
ditetapkan Kemenkes. Untuk daftar obat dan BMHP acuannya adalah formularium
nasional (Fornas) dan harganya merujuk kepada e-catalog. Namun, e-catalog tahun
2014 belum selesai disusun. Kemenkes telah menerbitkan kebijakan yang mengatur
acuan harga obat dan BMHP dilakukan secara paralel yaitu melalui e-catalog
2013, daftar dan plafon harga obat (DPHO) 2013. Fajri menjelaskan sebelumnya
DPHO menjadi acuan untuk PT Askes.
Dalam
pola pembayaran BPJS Kesehatan, harga obat sudah termasuk dalam kapitasi dan
INA-CBGs. Namun, pada masa transisi BPJS Kesehatan dan sesuai SE Menkes No. 32
Tahun 2014, Fajri mengatakan ada jenis obat yang dapat ditagihkan di luar paket
INA-CBGs. Yaitu pelayanan obat kronis bagi pasien yang kondisinya belum stabli
dan obat kemoterapi.
Pada
kesempatan yang sama direktur Pelayanan Kefarmasian Kemenkes, Bayu Teja
Muliawan, mengatakan keluhan peserta BPJS Kesehatan paling banyak berkaitan
dengan penyakit kronis dan rujuk balik. Misalnya, faskes tidak menjamin obat
yang dibutuhkan peserta atau jumlahnya kurang dari yang dibutuhkan. Untuk
mengatasi hal tersebut Kemenkes telah menerbitkan daftar obat yang tercantum
dalam fornas. Sehingga dapat digunakan sebagai acuan faskes tingkat primer dan
rujukan.
Untuk
penyakit kronis, Bayu menyebut Menkes telah menerbitkan SE No. 31 Tahun 2014
dan SE No. 32 Tahun 2014. Lewat regulasi itu faskes tingkat lanjut dapat
memberikan obat tambahan kepada peserta di luar paket INA-CBGs. Lewat regulasi
itu peserta bisa mengambil obat yang dibutuhkan selama 30 hari di instalasi
farmasi RS atau apotik yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Jika
kondisi kesehatan peserta sudah dinyatakan stabil oleh dokter spesialis yang
menangani, maka peserta yang bersangkutan harus mengikuti program rujuk balik
(PRB). Kemudian, pelayanan bakal dikembalikan ke faskes tingkat pertama seperti
dokter keluarga, klinik dan Puskesmas. Peserta PRB dapat diberi obat untuk
kebutuhan 30 hari. “Kami sudah sosialisasi kepada faskes tentang rujuk balik
dan untuk penanganan penyakit kronis,” urainya.
Soal
ketersediaan obat di faskes primer seperti Puskesmas, Bayu mengatakan Kemenkes
punya sistem suplai yang baik. Pengelolaan obat di daerah diatur oleh Dinas
Kesehatan lewat instalasi farmasi yang ada di kabupaten/kota. Sementara
anggaran untuk penyediaan obat pelayanan dasar itu bisa diperoleh dari Dana
Alokasi Khusus (DAK) atau APBD. Dengan mekanisme itu diharapkan kekosongan obat
di faskes primer dapat dicegah.
Di
luar Puskesmas, peserta dapat memperoleh obat di apotik. Jika tidak ada apotik,
pemerintah daerah (Pemda) dapat menunjuk instalasi farmasi tertentu untuk
melayani peserta BPJS Kesehatan, terutama yang mengikui program PRB. Penunjukan
itu disesuaikan dengan Perda yang berlaku di setiap daerah.
Menambahkan
Bayu, Fajri mengatakan di era JKN, ketersediaan obat di faskes lanjutan
bergantung pada RS yang bersangkutan. Tidak tersedianya obat untuk penyakit
tertentu di RS menurut Fajri dapat disebabkan oleh beberapa hal. Seperti
kelangkaan obat, manajemen ketersediaan obat di RS yang tak sanggup memprediksi
kebutuhan obat dan likuiditas keuangan RS. “RS itu selain harus mencari obat
yang berkualitas juga harus cost effective makanya harus mengacu e-catalog,”
pungkasnya. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment