Monday, May 12, 2014

Pertaubatan Artis Hana’ Tsarwat



Hana' Tsarwat adalah seorang aktris terkenal. Dia hidup dalam "kerusakan seni" pada satu masa, tapi setelah itu dia mengenal jalan Allah SWT. Dia menempuhnya dan mulai menangis atas masa silamnya yang menyakitkan. Dia menceritakan kisahnya sebagai berikut, “Hari itu, pada waktu ashar, aku telah menyelesaikam pekerjaan rumahku. Setelah itu, aku memperhatikan anakku yang sedang mengulangi pelajaran mereka, sembari aku duduk di ruang tengah. Aku ingin membaca sebuah majalah Islam yang aku sukai, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatianku. Telingaku mendengar suara yang muncul dari salah satu kamar anakku, tepatnya kamar anak perempuan besarku. Suara itu kadang bernada tinggi dan kadang menghilang. Aku bangkit ingin memastikannya, kemudian aku balik ke tempatku sambil tersenyum ketika aku melihat anak perempuanku memegang sebuah buku yang elegan. Dia berputar-putar sambil memegang buku itu dan dia melagukan apa yang dia baca. Pengurus sekolah memberi dia hadiah kumpulan syair Ahmad Syauqi berkat prestasinya dalam belajar. Dalam logat kekanak-kanakan dia mengulang:   
Mereka  menipu dia dengan kata-kata mereka yang indah
Para penyanyi telah tertipu dengan pujian
Aku tidak tahu kenapa anak perempuanku mengulang-ngulang bait-bait ini, mungkin dia mengaguminya. Lalu aku ikut mengulang-ngulang bait itu bersamanya dan air mataku tumpah. Jari-jariku yang lembut menekan butiran air mata yang tumpah dengan tisu agar tidak merusak lembaran-lembaran diariku. Dan suara anakku terus-menerus mengulang bait itu, "Ya." Penipuan memang telah dilakukan terhadapku dari berbagai arah.
Tragedi itu kembali ke beberapa tahun di saat aku masih kecil dengan kedua orangtuaku yang beragama Islam. Seharusnya mereka memiliki rasa tanggung jawab kepada apa yang dititipkan Allah kepada mereka yaitu aku, dengan mendidik, mengarahkan dan mengasuh dengan baik agar aku menjadi seorang Muslimah yang diinginkan, namun aku memohon kepada Allah SWT agar Dia memaafkan mereka.
Keduanya menyimpang, masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Ayahku selalu berada di luar rumah. Dia terus-menerus meninggalkan beban keluarga kepada ibuku yang dengan peranannya dia membagi perhatian antara pekerjaannya di luar rumah dan di dalam rumah, di samping keperluannya yang pribadi. Tentunya aku tidak mendapatkan pemeliharaan dan perhatian yang semestinya sehingga aku dititipkan di tempat penitipan anak ketika aku berusia 3 tahun.
Aku hidup dalam kegalauan, kebingungan dan ketakutan dari segala sesuatu. Hal itu terpancar dalam tingkah laku yang suka mengacau dan memberontak pada masa SD sebagai usaha menarik perhatian orang kepada diriku yang terbuang. Meskipun ada sesuatu yang mulai dilihat orang dengan cara yang berlebihan. Ya, Allah telah menganugerahiku kecantikan, keanggunan dan suara yang merdu. Guru musikku mulai mendekatiku secara intensif dan memberiku peran dalam operet –menari dan pentas– yang aku saksikan di televisi sehingga aku menjadi yang terbaik dalam pentas sekolah. Aku masih ingat dengan kejadian pada hari aku diberi kehormatan berkat prestasiku dalam bernyanyi, menari dan sandiwara tingkat SD di negeriku. Madam Lilian, kepala sekolahku yang memiliki darah asing, mengasuhku dan menghujaniku dengan ciuman, dia berkata kepada temannya, "Kita telah berhasil dalam misi kita, dia –sembari menunjuk kepadaku– adalah hasilnya. Kita akan tahu bagaimana kita menjaganya agar misi kita sempurna! " 
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman." (QS Ali Imran [3]: 100).
Saat itu khayalanku yang sederhana menggambarkan padaku bahwa aku akan terus bersama guruku itu. Aku merasa senang karena mendapatkan kasih sayang yang hilang. Kendati aku memperhatikan bahwa kasih sayangnya sesuatu yang aneh dan setelah itu topengnya terbuka, lalu aku menyadari hakikat perhatian yang ditutupinya.
Terus terang, aku tidak dapat mengingkari betapa inginnya aku pada tahun-tahun yang hilang itu. Aku beranjak dari satu tingkat ke tingkat lainnya, khususnya setelah salah seorang produser film menjadikanku seorang artis di tengah perhatian media yang besar terhadapku.
Ibuku juga bangga dengan anaknya yang berbakat dan dia nyaris melompat kegirangan saat dia melihat gambarku ada di layar televeisi.
Bubuk-bubuk (obat-obat terlarang) yang memabukkan telah menguasaiku. Aku berlenggok dengan pakaian mewah dan perhiasan yang mahal serta mobil yang mewah. Peluk cium, komentar pers, posterku yang menghiasi majalah, dan spanduk membuatku senang sampai sponsor menggunakan namaku untuk mengangkat produknya.
Secara umum, hidupku adalah tempat kekaguman dan panutan di tengah remaja dan orang dewasa yang dibayar dengan iri, dengki dan kecemburuan yang ada dalam jiwa teman-teman satu profesi, khususnya di antara mereka yang telah termakan usia dan sampai pada masa redup. Operasi kecantikan gagal mengembalikan kemudaan mereka, lalu mereka mulai mengkonsumsi obat terlarang. Yang tersisa dari dunia mereka hanyalah ketergantungan terhadap udara yang pengap ini. Mereka diucapkan seperti sisa tulang yang mati di jalan menuju kemusnahan.
Anak perempuanku bertanya, "Apakah kau benar-benar bahagia, ibu?" Anakku tercinta tidak tahu aku sengsara dan sakit. Aku telah mengetahui dan merasakan semua yang ada dalam kamus keputus-asaan dan kesusahan dengan segala maknanya.
Hanya satu orang yang merasakan kesedihanku, dia mengasihani kesulitanku dalam perjalanan yang sulit. Meskipun dia saudara kandung ibuku, namun dia berbeda dalam segala hal dengannya. Dia adalah wanita yang baik, istri yang beriman dan ibu yang salehah.
Dari waktu ke waktu aku berlindung kepadanya. Aku dengar nasehatnya dan aku tunduk pada peringatannya. Aku menerima pesan-pesannya untuk meluruskan kebengkokanku. Dia berusaha membuka gembok hatiku dan relung jiwaku dengan kata-katanya yang kuat dan perasaannya yang penuh kasih. Tetapi syaitanku menguasai sisi yang baik dalam diriku karena sedikitnya imanku, lemahnya keinginanku dan ketergantunganku pada yang dzahir. Meskipun tidak ada yang dapat membungkam suara hatiku yang muncul dari lubuk hatiku.
Aku menjadi boneka yang dipermainkan oleh pemilik aliran-aliran pemikiran untuk mencapai tujuan dan keinginan mereka lewat orang-orang sepertiku. Orang-orang yang tertipu dan mengganti kami dengan orang yang lebih ikhlas atau jika kau mau sebagai pekerja. Di tengah bahaya, yang bertanggung-jawab mengarahkan pikiran orang.
Aku mendapati diriku sedikit demi sedikit jatuh dalam keterasingan jiwa. Kesendirianku semakin bertambah dari bagian seni yang ditawarkan pada teman-teman mereka dan pesta-pesta berisik yang berisi remeh-temeh dan kebodohan dengan nama seni dan pertemanan!
Aku tidak bisa berhubungan dengan akalku. Selama beberapa jam aku berpikir sendiri. Aku mencoba mencari sebab kekosongan dan kesengsaraanku. Apakah pendidikan keluarga yang salah, arahan sekolah yang menyimpang atau kejahatan media atau semuanya?
Dia menyambung hari-harinya dengan merancang dan bertekad kuat yang membuat anak-anakku jauh. Cukuplah aku yang menjadi korban kesia-siaan, konspirasi dan syahwat atau seperti yang dikatakan bibiku, "Agama syaitan.”
Tiba-tiba kami bertemu tanpa perjanjian terlebih dulu. Dia seperti aku, gejolak masa muda mendorongnya ke dunia ini untuk menjadi seorang bintang! Dia lebih suka peran yang serius walaupun hanya sebagai figuran, untuk menolak peran bergaul dengan wanita.
Satu waktu, media cetak dan televisi mengunjungi salah satu bintang mereka dan hari-harinya dipaksa untuk berbasa-basi. Aku mengambil kesempatan untuk bertukar peran dan aku mengambil tempat yang sepi untuk sekadar menarik nafas. Aku melihatnya sedang duduk tidak jauh dari tempatku. Diamnya menarik diriku buat bergabung dengan kesendiriannya.
Aku langsung  bertanya kepadanya tentang pendapatnya mengenai wanita agar aku tahu bagaimana aku memulai pembicaraan dengannya. Dia menjawab secara langsung bahwa laki-laki adalah laki-laki dan wanita adalah wanita. Masing-masing memiliki tempat yang khusus sesuai dengan sifat dia diciptakan. Aku terus berbicara dengannya dan aku kaget dengan adanya seorang manusia yang cerdas di sini! Aku mengerti dari ucapannya bahwa dia akan mengorbankan kekayaan dan ketenaran yang telah diraihnya dari dunia akting dan dia akan mencari pekerjaan yang mulia dan bermanfaat buat mengembalikan kehormatannya. Aku memperhatikan kata-katanya dan muncul pertanyaan dalam benakku yang aku tanyakan padanya dan dia amat malu. 
Dia tidak ingin membuatku susah dengan hari-harinya, tapi yang aku pegang dari omongannya, "Jika aku menikah, istriku akan menjadi ibu dan istri dengan sepenuh arti, mengerti tanggung jawab dan kewajibannya. Dia menjadi pesan kami untuk anak-anak kami agar mereka tumbuh di atas kemuliaan dan istiqamah, seperti perintah Allah, jauh dari penyimpangan dan ketergelinciran dan dia tahu pahitnya kejatuhan dan berpengalaman mendaki jalan."
Dia berbicara lebih banyak lagi, "Dia membangunkan dengan suara yang jernih, mengajakku Mikraj dari kegersangan menuju cahaya kebenaran yang subur. Aku merasa di depan seorang yang layak menjadi ayah untuk anak-anakku, berbeda dengan orang yang aku temui dan aku tolak lamaran mereka.
Selanjutnya, kami menikah. Seperti biasa, pernikahan kami adalah kisah yang diliput berbagai media, di mana kami terbiasa hidup dengan berita seperti itu.
Tetapi kejutan yang membuat bingung semua orang adalah dengan pengumuman kami. Setelah kami menziarahi tanah-tanah suci, bahwa kami berpisah dengan kehidupan yang kosong, hampa dan buruk. Aku taat mengenakan hijab dan semua perilaku Islami yang diinginkan amat aku perhatikan dalam kerajaanku yang suci –rumahku- untuk merawat suami, anak-anakku dan tentu untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya.
Suamiku telah dimuliakan Allah dengan pemahamannya yang bagus dalam agamanya dan dia mengajari orang di masjid.
Anak-anakku yang aku cintai tidak tahu setelah ayah mereka memakai imamahnya dan ibu mereka memakai jilbabnya. Keduanya sesat, lalu Allah  memberinya hidayah dan merasakan manisnya taubat dan iman.
Air mata bibiku tumpah karena gembira. Dia melihat buah perhatiannya padaku pada hari-hari yang silam, sampai sekarang dia tetap mengasuhku seperti aku masih kecil. Dia memohon kepada Allah agar aku diberi kesabaran dan kekuatan di depan parade kemasyhuran yang bertujuan memancing kemarahanku dengan memutar film-filmku yang aku buat pada masa jahiliyahku. Agar aku kembali menggali lumpur dosa dan Allah telah menyelamatkanku darinya.
Lucunya, seorang produser menawarkan pada suamiku agar aku berperan dalam beberapa film, menyanyikan syair yang mereka beri label "agamis"! Mereka tidak tahu bahwa ke-Islam-anku akan melindungiku dari usaha yang akan merobek kehormatanku dan mengingkari akidahku.
Ya, hijrahku karena Allah, menuju Allah dan ketika keimananku bertambah besar, insyaallah mereka akan menemukan kenapa dan bagaimana aku dulu?
Putriku masuk ke kamarku setelah meminta izin. Lalu aku lihat dia menaruh kumpulan puisi itu di tanganku. Dia bertanya kepadaku dengan logat yang penuh percaya diri agar aku mengikuti apa yang telah dia hafal dari Qasidah itu. Sebelum mataku terfokus pada halaman yang diinginkan, dia melafalkan:
Mereka  menipu dia dengan kata-kata mereka yang indah
Para penyanyi telah tertipu dengan pujian[1]


[1]Al-'Aidûn Ila Allah (2/27-38).

No comments:

Post a Comment