Oleh Sulastomo
PEMERINTAH telah menyampaikan RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional (RUU SJSN) kepada DPR pada tanggal 26 Januari yang lalu. Pembahasan RUU SJSN, dengan demikian, diharapkan dapat berlangsung pada masa sidang DPR yang akan datang. Kelak, apabila pelaksanaan SJSN dapat berjalan baik, selain meningkatkan kesejahteraan rakyat, juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, esensi setiap sistem jaminan sosial adalah juga merupakan instrumen mobilisasi dana masyarakat, sehingga mampu membentuk tabungan nasional dan meningkatkan investasi. Disaat itu, perekonomian Indonesia akan mampu mandiri.
Meskipun demikian, bagi Indonesia, hal ini masih menjadi pertanyaan banyak kalangan. Banyak keraguan oleh "praktik buruk" yang selama ini kita alami. Selain dari itu, ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga pengelola dana (apa saja) selama ini juga telah mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan kita mengelola dana jaminan sosial. Amankah pengelolaan dana itu? Disaat korupsi sedang hangat dibicarakan, banyak yang khawatir, kalau SJSN nanti juga akan menjadi ladang korupsi. Demikian juga kondisi perekonomian kita sekarang, disaat krisis, mungkinkah kita mewujudkan sistem jaminan sosial nasional?
Mungkin bukan suatu kebetulan, justru disaat krisis, banyak negara teringat kesejahteraan rakyatnya. Banyak negara, yang memulai sistem jaminan sosialnya justru disaat kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan. Atau, disaat tingkat kesejahteraan rakyat yang masih rendah. Termasuk Amerika Serikat, yang memulai sistem jaminan sosialnya disaat dilanda depresi ekonomi di tahun 1930-an. Sebabnya, karena sistem jaminan sosial, sebagaimana dikemukakan di atas, tidak hanya merupakan cara (means) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, tetapi juga membuka peluang lapangan kerja. Indonesia, dengan demikian, juga mengikuti fenomena seperti itu. Hal ini terlepas, bahwa Indonesia sudah sangat terlambat dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial. Misalnya dibanding dengan Malaysia, yang sudah memulai sistem jaminan sosial sejak 1951 atau Singapura sejak tahun 1955.
***
SISTEM Jaminan Sosial di Malaysia, diselenggarakan oleh EPF (Employee Provident Fund) atau KWSP (Kumpulan Wang Simpanan Pekerja) yang sudah berdiri sejak tahun 1951 dan Sosco (Social Security Organization) atau Perkeso (Pertumbuhan Keselamatan Sosial) yang didirikan pada tahun 1971. EPF semula merupakan lembaga penyelenggara jaminan sosial yang memberi jaminan hari tua/pensiun, sedangkan Perkeso memberi jaminan sosial untuk kecelakaan kerja, meliputi santunan medik, santunan disaat tidak bekerja, kecacatan permanen, santunan kematian, santunan rehabilitasi dan juga santunan bagi keluarganya. Selain itu, Perkeso juga memberi santunan pensiun, apabila pekerja mengalami kecacatan permanen, berupa pensiun karena kecacatan, bantuan karena kecacatan, santunan kematian, dan santunan rehabilitasi. Perkeso bekerja berdasarkan mekanisme asuransi sosial. Tetapi, cakupan program EPF kini sudah meluas, termasuk untuk membiayai rumah sakit, pendidikan, pembelian rumah, sampai ke pinjaman untuk pembelian "personal computer." Di Singapura, penyelenggaraan jaminan sosial diselenggarakan oleh CPF (Central Provident Fund). CPF memberi jaminan untuk pensiun/jaminan hari tua, perumahan dan kesehatan (medisave), perlindungan keluarga (family protection) dan upaya peningkatan asset keluarga (asset enhancement).
Nilai dana yang dimiliki setiap anggota EPF atau CPF adalah sesuai dengan jumlah tabungan wajib ditambah hasil pengembangannya, yang selalu lebih besar dibanding kalau dana itu disimpan sebagai deposito pribadi di bank. Hasil pengembangan CPF adalah sebesar 2,5 persen pertahun, sementara bunga deposito hanya 1 persen. Dengan demikian, meskipun bersifat wajib, peserta dapat menarik manfaat yang besar dari kepesertaannya dalam CPF, oleh karena hasil pengembangan dana CPF lebih besar dari bunga deposito. Kenyatan ini dijamin dengan Undang Undang, sehingga tidak ada keraguan bagi peserta CPF. Demikian juga di Malaysia, negara menjamin hasil pengembangan dana EPF lebih besar dibanding bunga bank.
Adapun sumber pembiayaan sistem jaminan sosial adalah dari iuran peserta dan pemberi kerja yang ditetapkan berdasar persentase upah/gaji. Di Malaysia, iuran EPF ditetapkan sebesar 21 persen, sebesar 12 persen dibayar oleh Pemberi Kerja; sedangkan untuk Perkeso, iuran adalah 2,3 persen, sebesar 1,7 persen dibayar oleh Pemberi Kerja. Di Singapura, besarnya tabungan wajib adalah sebesar 33 persen gaji/upah, 13 persen merupakan kewajiban Pemberi Kerja. Sisanya, dibayar dari potongan upah/gaji pekerja, yang kemudian disetor ke Sosco, EPF ataupun CPF. Sangat menarik, bahwa besaran iuran berkembang sesuai dengan kemampuan perusahaan/pemberi kerja dan pekerja. Di Singapura (misalnya), tahun yang lalu terjadi perubahan besaran iuran CPF dari 36 persen menjadi 33 persen, untuk memberi peluang ekonomi Singapura lebih kompetitif. Demikian juga di Malaysia, besaran iuran dilakukan sesuai dengan kemampuan perkembangan/perekonomian negara, dari sekitar 10 persen pada awal pendiriannya sampai ke-21 persen bagi peserta EPF sekarang. Meskipun demikian, prinsip-prinsip dasar sistem jaminan sosial telah diletakkan sejak awal. Selain dari itu, di Singapura ada batas maksimum upah/gaji untuk penetapan iuran, yang dipatok maksimum gaji 5.500 dolar Singapura, sementara di Malaysia tidak ada batas maksimum.
Adapun akumulasi dana yang berhasil dikumpulkan, telah mencapai ratusan miliar ringgit Malaysia/dolar Singapura. Akumulasi dana EPF dan Sosco telah mencapai lebih 230 miliar ringgit, sementara akumulasi dana CPF telah melampaui 100 miliar dolar Singapura. Dana inilah yang ikut mendorong investasi di kedua negara itu, di berbagai proyek, dari lapangan terbang, jalan tol, perumahan, industri, bursa saham sampai ke obligasi pemerintah. Begitu besar peran dana jaminan sosial dalam pembangunan, di Malaysia sistem jaminan sosial dianggap sebagai "engine of development." Demikian juga disaat krisis ekonomi tahun 1997, Malaysia telah tertolong dari krisis, antara lain dari besarnya dana jaminan sosial yang dimiliki.
Namun, semua itu tidak berarti tanpa tantangan. Di seluruh dunia, usia manusia semakin lanjut. Selain akan mengganggu dana pensiun juga jaminan kesehatan, yang tentunya akan memerlukan biaya yang sangat besar. Juga tuntutan peningkatan pelayanan, agar lebih cepat dan lebih baik, sehingga kebutuhan teknologi informasi canggih juga tidak terhindarkan. Kesemuanya itu, sudah tentu akan meningkatkan biaya operasi badan penyelenggara jaminan sosial. Sistem Jaminan Sosial memang selalu menjadi isu yang dinamis, oleh karena disanalah tumpuan kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya diletakkan.
***
INDONESIA, sebenarnya juga sudah memulai program jaminan sosialnya. Ada program Askes, yang dimulai pada tahun 1968 bagi pegawai negeri dan penerima pensiun. Bagi masyarakat umum, tersedia JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat), yang terbentuk berdasar UU No 23/1992. Selain itu juga ada Taspen dan Asabri, yang memberi jaminan pensiun dan hari tua kepada PNS dan anggota TNI. Kemudian ada PT Jamsostek, yang memberi jaminan kesehatan bagi pekerja, hari tua, kematian, dan kecelakaan kerja. Berbeda dengan PNS dan anggota TNI, pekerja swasta yang menjadi peserta Jamsostek, jaminan pensiun, dan jaminan kesehatan purna tugas, belum dapat diberikan. Hal ini, sudah tentu dapat menjadi masalah sosial yang besar, oleh karena jumlah manula yang meningkat drastis. Selain itu, sesuai dengan UU 11/1992, juga ada jaminan pensiun berdasar UU Dana Pensiun, yang diselenggarakan oleh Pemberi Kerja berdasar kepesertaan sukarela. Demikian juga tersedia berbagai asuransi jiwa dan kesehatan komesial, baik PMDN maupun PMA, berdasar UU No 2/1992 bagi masyarakat yang mampu.
Dari kenyataan yang ada, jumlah peserta program jaminan sosial masih sangat terbatas, masih dibawah 20 persen penduduk. Kualitas jaminan juga masih sangat terbatas, mengingat rendahnya iuran, baik dari persentase upah maupun angka nominal. Iuran Jamsostek maupun Askes/Taspen, hanya sekitar 10 persen upah, dari upah yang jauh lebih rendah dari upah di Malaysia/Singapura. Angka 10 persen itupun sering tidak riil, mengingat pelaporan yang tidak tepat. Penyelenggaraannya, juga masih sangat "fragmented", sehingga tidak sesuai dengan hukum "the law of large numbers." Dapat dipahami, selain belum terpenuhinya tingkat kesejahteraan yang diharapkan, sistem jaminan sosial di Indonesia juga belum mampu berperan sebagai instrumen mobilisasi dana untuk membentuk tabungan nasional secara bermakna. SJSN, merupakan upaya pembaruan sistem yang ada, yang harus dilaksanakan secara bertahap, sehingga tidak membebani pemberi kerja dan pekerja diluar kemampuannya.
Berapa besar peran SJSN dalam perekonomian Indonesia? Hatari (alm), seorang aktuaris dan pakar jaminan sosial, pada tahun 1999 memprediksi, bahwa dengan 80 juta peserta program pensiun dan perumahan (hari tua), yang dapat dicapai dalam kurun waktu 10 tahun, akumulasi dana dan pengembangannya dapat mencapai lebih Rp1.000 triliun. Sementara Sulastomo dkk, dalam kurun waktu yang sama, apabila jaminan kesehatan dapat mencakup 175 juta peserta, akumulasi dana pertahun dapat mencapai Rp50 triliun. Dengan dana jaminan kesehatan dan peserta sebesar itu, akan membuka peluang kesempatan kerja bagi 788.864 tenaga profesional, yang terdiri dari 35.000 dokter umum, 5.469 dokter spesialis, 7.608 apoteker, 521.111 paramedik, 30.432 asisten apoteker dan lebih 170.000 tenaga administrasi serta puluhan ribu tenaga non-profesional lainnya. Tenaga kerja itu diperlukan untuk melayani perluasan sarana kesehatan yang harus dibangun serta penyelenggaraan administrasi sistem jaminan sosial kesehatan. Dampak ekonomi itu, belum diperhitungkan dari hasil investasi yang terbuka dari dana jaminan pensiun dan hari tua. Dapat disimpulkan, bahwa pertumbuhan ekonomi akan mendorong tumbuhnya sistem jaminan sosial, sementara sistem jaminan sosial akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, lebih berkeadilan sosial.
***
DEMIKIANLAH, meskipun SJSN harus dilaksanakan secara bertahap, baik dari aspek kepesertaan maupun jenis jaminan sosialnya, sistem jaminan sosial selalu dimulai dari kelompok formal dan yang sudah mampu membayar iuran. Namun, sesuai UUD 1945, negara berkewajiban mengalokasikan sejumlah dana bagi masyarakat yang tidak mampu untuk membayar iuran jaminan sosialnya, sehingga SJSN dapat diberlakukan secara serentak. Kapan SJSN akan terwujud sepenuhnya? Dari pengalaman negara lain, kalau kita dapat mewujudkannya dalam kurun waktu 25 tahun mendatang, itupun sudah bagus. Namun, selayaknya dimulai secepatnya. Siapa tahu, Indonesia dapat lebih cepat mengejar ketertinggalannya?(Sulastomo, Ketua Tim SJSN) |
Tuesday, July 1, 2014
JSN dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Belajar dari Malaysia dan Singapura
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment