* SATU
“Seseorang
datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai
Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab,
‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi
menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’
Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa
lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’”
(HR Bukhari dan Muslim)
TARAKAN,
dalam lintasan waktu. Sekadar kilas sejarah Kota Tarakan.
Alkisah, ketenangan masyarakat Tarakan sedikit terganggu ketika pada tahun 1896
Masehi, sebuah perusahaan perminyakan Belanda, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij), menemukan sumber minyak di pulau
ini. Banyak tenaga kerja didatangkan --terutama dari Jawa—seiring dengan
meningkatnya kegiatan pengeboran minyak. Mengingat fungsi dan perkembangan
wilayah ini, pada tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu menempatkan
seorang Asisten Residen di pulau ini yang membawahi lima wilayah, yakni Tanjung
Selor, Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan Berau. Pada masa pasca kemerdekaan,
Pemerintah RI merasa perlu mengubah status Kawedanan Tarakan menjadi Kecamatan
Tarakan sesuai dengan Keppres RI Nomor 22 Tahun 1963.
Memasuki era pendudukan
Jepang, Tarakan memiliki arti penting bagi kaum penjajah dari Negeri Matahari
Terbit tersebut. Tercatat, bahwa pada saat pendaratan Sekutu, angkatan Jepang
di Tarakan berjumlah 2.200 orang yang didatangkan dari Angkatan Darat
Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Satuan terbesar adalah
Batalion Infantri Independen ke-455 yang berkekuatan 740 orang yang dikomandoi
oleh Mayor Tadai Tokoi. Sebanyak 150 pasukan pendukung AD juga ada di Tarakan.
Sumbangan AL kepada garnisun Tarakan tersusun atas 980 pelaut yang dikomandoi
oleh Komandan Kaoru Kaharu. Satuan laut utama adalah Angkatan Garnisun Laut
ke-2 yang berkekuatan 600 orang. Satuan laut ini dilatih bertempur sebagai
infantri dan mengoperasikan beberapa senapan pertahanan pesisir. Sekitar 350 orang
pekerja minyak sipil Jepang juga diharapkan mampu bertempur pada saat serangan
Sekutu datang. Angkatan Jepang termasuk sekitar 50 orang Indonesia yang
berdinas di satuan pengawal pusat. Mayor Tokoi mengarahkan keseluruhan
pertahanan Tarakan, meskipun sedang terjadi hubungan buruk antara AL dan AD.
Angkatan Jepang
dipusatkan di sekitar Lingkas, pelabuhan utama Tarakan dan tempat satu-satunya
pantai yang cocok untuk pendaratan pasukan. Pembelaan itu telah menghabiskan
waktu beberapa bulan sebelum serangan yang menyusun posisi bertahan dan menanam
ranjau. Pertahanan yang diatur itu banyak dipakai selama pertempuran, dengan
taktik Jepang yang difokuskan pada posisi bertahan pra-persiapan yang kuat.
Jepang tak melakukan kontra-serangan besar apapun, dan kebanyakan gerakan
menyerang terbatas pada beberapa pihak penyerang yang mencoba menyelusup garis
Australia.
Mendapatkan ladang minyak
Tarakan adalah satu tujuan awal Jepang selama Perang Pasifik. Jepang menyerang
Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942 dan mengalahkan garnisun Belanda yang
kecil dalam pertempuran yang berlangsung selama dua hari di mana separuh
pasukan Belanda gugur. Saat ladang minyak Tarakan berhasil disabotase oleh
Belanda sebelum penyerahannya, Jepang mampu secara cepat memperbaikinya agar
bisa menghasilkan lagi dan 350 ribu barel diproduksi tiap bulan dari awal tahun
1944.
Menyusul penyerahan
Belanda, sekitar 5.000 penduduk Tarakan amat menderita gara-gara kebijakan
pendudukan Jepang. Banyaknya pasukan Jepang yang ditempatkan di pulau ini
mengakibatkan penyunatan bahan makanan dan sebagai akibatnya banyak orang
Tarakan yang kurang gizi. Selama masa pendudukan itu, Jepang membawa sekitar
600 buruh dari Jawa ke Tarakan. Jepang juga memaksa sekitar 300 wanita Jawa
untuk bekerja sebagai jugun ianfu
(wanita penghibur) di Tarakan setelah membujuk mereka dengan janji palsu
mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis atau membuat pakaian.
Arti penting Tarakan bagi
Jepang semakin menguap dengan gerak maju cepat angkatan Sekutu ke daerah itu.
Tanker minyak Jepang yang terakhir meninggalkan Tarakan pada bulan Juli 1944,
dan serangan udara Sekutu yang hebat pada tahun-tahun itu menghancurkan
produksi minyak dan fasilitas penyimpanan di pulau itu. Serangan ini juga
membunuh beberapa ratus penduduk sipil Indonesia. Sejalan dengan kepentingannya
yang makin terdesak, garnisun Jepang di Tarakan berkurang pada awal 1945 saat
salah satu dari dua batalion infantri yang ditempatkan di pulau itu (Batalion
Infantri Independen ke-454) ditarik ke Balikpapan. Batalion ini dihancurkan
oleh Divisi ke-7 Australia pada bulan Juli selama Pertempuran Balikpapan.
Dalam versi yang lain,
pada pertempuran sengit Jepang versus Australia tersebut tercatat 235 tentara Australia
tewas. Hal ini dapat dirunut dari masih terdapat banyak tugu peringatan tentara
Australia di lokasi yang sekarang menjadi sebuah kompleks militer. Tugu
peringatan ini dibangun untuk mengenang tentara Australia yang tewas dalam
upaya membebaskan Tarakan dari pendudukan Jepang. Di lokasi lainnya terdapat
kuburan tentara Jepang yang berada di bekas bunker Jepang di kawasan
perbukitan.
Tanggal 17 Agustus 1945,
Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Dan, Tarakan
yang ketika itu menjadi bagian Kalimantan termasuk ke dalam wilayah Republik Indonesia
yang baru saja lahir. Selama sekitar lima tahun pasca proklamasi, perjuangan
mempertahankan kemerdekaan terus berlangsung di berbagai kota di Republik. Dan
puncak heroik terlihat pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa
Timur.
Rakyat Tarakan pun tidak
tinggal diam. Memasuki tahun 1952, mereka membangun Tugu Pahlawan di Kota
Tarakan. Tugu ini sebagai wujud rasa nasionalisme dan keterkaitan emosional
mengukuhkn persatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas Pulau
Tarakan. Jelas bahwa dari awal kemerdekaan Tarakan adalah bagian dari Republik
Indonesia.
A.
Budiman
Arifin Lahir dan Dibesarkan Bagai Anak Pertama
Di tengah suasana heroik
dan nasionalisme yang kuat Republik yang belum lama merdeka, tinggallah pasangan
suami-isteri Abdussamad dan Hajjah Lana di Kota Tarakan. Selaku kepala rumah
tangga yang berkewajiban menafkahi keluarga, Abdussamad yang asli dari Tanah
Merah (Tanah Lia, sekarang Kabupaten Tana Tidung) ketika itu mengadu nasib di
Kota Tarakan bekerja sebagai guru (pendidik). Sedangkan isterinya cukup menjadi
ibu rumah tangga yang fokus mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Memasuki bulan Juni 1952,
pasangan Abdussamad dan Lana tengah berbahagia menunggu kelahiran anaknya yang
kedua. Sementara anaknya yang pertama Burhanudin Arifin belum beranjak besar,
belum terlalu bisa ditinggalkan, masih membutuhkan perhatian yang cukup. Dan
tepat tanggal 26 Juni 1952, Lana melahirkan jabang bayi laki-laki yang kemudian
diberi nama Budiman Arifin.
Tak seberapa berselang,
dari rahim isteri Abdussamad lahir adik-adiknya Budiman Arifin dengan jarak
kelahiran yang relatif tidak terlalu lama. Bila dirunut dari anak pertama,
sampai lahir 14 jabang bayi namun hanya 10 anak yang hidup sampai dewasa. Tercatat
adik-adik Budiman Arifin antara lain Ruslan Arifin (sekarang Kepala Dinas
Kominfo Kota Tarakan), Abidinsyah Arifin (kini Kepala Dinas Perikanan dan
Kelautan Kota Tarakan), Idham Chalid (sekarang pejabat di lingkungan Kantor
Catatan Sipil Kota Tarakan), Lis Indriyani (bekerja di Sekretariat Dewan DPRD
Kota Tarakan), Achmad Abdul Kadir Safri (guru di SMP di Kota Tarakan), Sri
Rahayu (staf kelurahan di wilayah Kota Tarakan), dan Maulidin (staf di
Kelurahan Sebengkok, Kota Tarakan).
Lantaran keterbatasan
Abdussamad dan isterinya, anak pertamanya Burhanudin Arifin kemudian dititipkan
kepada orangtua Abdussamad di lain daerah. Dengan demikian, dalam pengasuhan
sehari-hari, Budiman Arifin diperlakukan seperti anak pertama, anak yang
diharapkan mampu membimbing dan menjadi panutan adik-adiknya.
“Di masa kecil, kami
hidup sederhana. Penghasilan orangtua kami pas-pasan. Dan karena itu, kakak
tertua kami ditipkan ke kakek. Jadinya Pak Budiman kami anggap sebagai kakak
tertua. Bahkan, orangtua kami pun memperlakukan Pak Budiman selayaknya anak
sulung,” tutur Ruslan Arifin saat dijumpai di Kota Tarakan pada suatu kesempatan.
Ya, Budiman Arifin mesti
ngemong adik-adiknya. Sehari-hari dia ikhlas membantu ibunya yang terkadang
kedodoran menghadapi anak-anaknya yang relatif cukup banyak. Sampai dewasa,
bahkan sampai saat menjadi Bupati, dia tetap menjadi panutan dan penengah
bilamana keluarganya mengalami persoalan yang pelik.
Sikap ngemong penuh
tanggung jawab Budiman Arifin tersebut terbawa terus sampai dewasa. Bahkan
sampai berumah tangga. Chairiah, perempuan yang dinikahi Budiman Arifin tahun
1982, bertutur, “Beliau sangat ngemong dan dewasa dalam membina rumah tangga
selama ini. Beliau senantiasa bisa mengerem bilamana kami sampai berbeda
pendapat.”
Kendati kadang disibukkan
menjaga adik-adiknya, Budiman tidak serta-merta meninggalkan pendidikan formal
yang harus dilewatinya. Ayahnya, Abdussamad, sangat disiplin dalam mendorong
anak-anaknya untuk bersekolah. Tidak hanya sekolah formal, tapi juga pendidikan
non-formal terutama dalam belajar agama.
Memasuki usia enam, tahun
1958, Budiman Arifin mendaftar dan mulai masuk di bangku SD Negeri di Kota Tarakan.
Dan, tanpa sampai tinggal kelas, tahun 1964 dia lulus dari bangku sekolah
dasar.
Lalu, dia melanjutkan ke
bangku sekolah lanjutan pertama. Kali ini dia tetap memilih sekolah negeri,
yakni SMP Negeri Tarakan dan lulus serta berhak mengantongi ijazah pada tahun
1967. Tidak terlalu rumit dan sulit dia melewatkan tiga tahun di bangku SMP
mengingat prestasi akademiknya lumayan mengkilap.
Tanpa aral lintang, dengan
berbekal ijazah SMP, Budiman melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri Tarakan. Tahun
1970, Budiman remaja berhasil menamatkan pendidikannya di SMA Negeri terbaik di
Kota Tarakan tersebut. Prestasinya tetap bagus dan sangat layak melanjutkan ke
perguruan tinggi. Namun, di awal 1970-an itu, sayangnya Kota Tarakan belum
memiliki perguruan tinggi yang representatif. Budiman berpikir bahwa dirinya
harus merantau untuk memenuhi gelegak haus ilmu yang ada dalam benaknya. Dia
tidak ingin hanya berhenti di bangku SMA. Mesti ada tambahan bekal keilmuan
agar mampu tampil menjadi manusia yang lebih berkualitas. Haruskah mencari ilmu sampai negeri Cina?
B.
Dari
Tarakan ke Samarinda
Pilihan terdekat ketika
itu adalah Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Di sana ada
Universitas Mulawarman, perguruan tinggi kebanggaan masyarakat Kalimantan Timur
dan sekitarnya. Tapi, Budiman belum tahu hendak belajar di fakultas apa dalam
perjalanan pemburuan ilmu di Universitas Mulawarman. Dia pun mencarai-cari tahu
seluk-beluk perjalanan Universitas Mulawarman sampai di awal 1970-an tersebut.
Universitas Mulawarman, yang
biasa disingkat Unmul, merupakan perguruan tinggi negeri tertua di kawasan Kalimantan
Timur yang berdiri pada tanggal 27 September 1962. Nama Mulawarman diambil dari
nama Raja Mulawarman Nala Dewa dari Kerajaan Kutai di abad ke-4 Masehi,
kerajaan pertama di Indonesia yang tercatat dalam sejarah, yang berlokasi di
Kalimantan Timur. Saat ini jumlah mahasiswanya mencapai sekitar 37.000 orang.
Kampus utamanya terletak di kawasan Gunung Kelua, sedangkan kampus lainnya
terdapat di Jalan Pahlawan, Jalan Banggeris dan Jalan Flores.
Muasal berdirinya Unmul
berangkat dari upaya memenuhi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) Kalimantan
yang relatif terbatas kala itu. Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1960-an
masih merupakan daerah yang sedikit penduduk dan penyebarannya pun tidak
merata, bahkan banyak daerah yang masih terisolir. Dari kota Balikpapan ke kota
Samarinda saja harus ditempuh dalam waktu satu hari melalui jalan darat dan
sungai. Banyak putra daerah Kalimantan Timur yang melanjutkan pendidikan tinggi
harus menuju Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Makassar (Sulawesi Selatan) atau
kota-kota di pulau Jawa.
Karena itulah, atas
keinginan dan aspirasi masyarakat Kalimantan Timur, direncanakanlah pendirian
perguruan tinggi di Samarinda. Gubernur (waktu itu) Abdoel Moeis Hasan kemudian
meminta Bupati Soebrata Yoeda mengadakan pertemuan dengan pemuka masyarakat di
Samarinda. Lalu berdasarkan keputusan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur pada
tanggal 7 Juni 1962 dibentuklah Perguruan Tinggi Mulawarman di Samarinda.
Demi menopang kebutuhan
dana, fasilitas, dan peralatan Perguruan Tinggi Mulawarman, ditetapkan pula
Yayasan Perguruan Tinggi Mulawarman yang dipimpin oleh Abdul Aziz Samad,
didampingi Sekretaris E. Abdul Samad dan Bendahara Dorinawati Samalo (Ny. Lo
Beng Long). Selanjutnya pada tanggal 28 Juni 1962 ditetapkan pula Presidium
untuk menyelenggarakan Perguruan Tinggi Mulawarman dengan Sekretaris Drs.
Achmad Dahlan yang dibantu Husein Achutanair dan Syahidin, BA sebagai
penyelenggara administrasi yang berkoordinasi dengan Menteri Perguruan Tinggi
dan Ilmu Pengetahuan (MPTIP) di Jakarta.
Sedikit perubahan, Perguruan
Tinggi Mulawarman kemudian ditetapkan sebagai Universitas Kalimantan Timur
berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (saat itu)
Thoyib Hadiwidjaja pada tanggal 28 September 1962. Namun nama ini dikembalikan
menjadi Universitas Mulawarman dan dikukuhkan secara resmi oleh Presiden Republik
Indonesia (kala itu) Soekarno pada tanggal 23 April 1963. Dan tanggal 27
September 1962 kemudian ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Universitas
Mulawarman.
Dimulai pada tanggal 7
Juni 1962, berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan
Timur Nomor: 15/PPK/KDH/1962 didirikanlah sebuah perguruan tinggi yang
berkedudukan di Samarinda dengan nama Perguruan Tinggi Mulawarman, namun nama
perguruan tinggi Mulawarman tidak lama dipakai. Pada saat permintaan pengesahan
ke Menteri PTIP nama itu berubah menjadi Universitas Kalimantan Timur (Unikat).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Nomor: 130
tahun 1962 tertanggal 28 September, ditetapkan tanggal 27 September 1962
sebagai tanggal berdirinya Universitas Mulawarman. Setahun berselang,
berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 65 tanggal 23
April 1963, berubah nama menjadi Universitas Mulawarman (Unmul) sampai
sekarang.
Pada awal berdiri,
Universitas Mulawarman hanya memiliki empat fakultas, masing-masing Fakultas
Ketatanegaraan dan Ketataniagaan, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan dan
Fakultas Pertambangan. Dalam proses penyelenggaraan keempat fakultas tersebut
masih dijumpai berbagai hambatan, sehingga pada saat itu hanya pendidikan di
Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan yang dapat diselenggarakan di kampus Jalan
Barito dan kampus Jalan Flores, dan baru pada tahun 1964 disusul
penyelenggaraan proses belajar-mengajar di Fakultas Pertanian dan Fakultas
Kehutanan di kampus Sidomulyo (Jalan Biawan).
Dalam perkembangannya, pada
tahun 1966 Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan dipecah menjadi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Fakultas Ekonomi.
Tepatnya tanggal 14 Mei
1966, Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda didirikan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 12 Tahun 1966. Dalam perjalanannya Fakultas
Ekonomi Unmul membuka beberapa program. Tahun 1974 dibuka Fakultas Ekonomi
kelas Balikpapan dan Kelas Ekstensi yang kemudian ditutup bersama-sama pada
tahun 1982. Tahun 1982 dibuka program Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan
(PAAP) yang diganti namanya menjadi program Diploma III Akuntansi pada tahun
1985.
Pada tahun 1977 dibuka
Jurusan Akuntansi diikuti dengan pembukaan program Alih Jenjang Akuntansi yang
menampung lulusan Diploma III Akuntansi untuk menuju ke jenjang sarjana.
Lalu pada tahun 1988
pembukaan kembali kelas ekstensi yang mengelola program studi S1 Manajemen dan
S1 Ekonomi Pembangunan serta program penyelesaian sarjana bagi sarjana muda dan
diploma III.
Untuk memenuhi kebutuhan
sumber daya manusia yang lebih mumpuni di bidang ekonomi, dibuka pula program
Magister Manajemen melalui pembinaan dan kerjasama dengan Universitas Airlangga.
Dan membuka program Magister Sains Ilmu Ekonomi melalui kerjasama dengan
program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin pada bulan Maret 2000.
Kini Fakultas Ekonomi
Unmul memiliki program-program: S1 dan D3 Akuntansi; S1 Ekonomi Pembangunan; S1
Manajemen; S1 Manajemen Keuangan dan Pemasaran; S1 Perencanaan Pembangunan dan
Keuangan Daerah; dan Pendidikan Profesi Akuntansi
Sedikit kilas ke
perjalanan Unmul, atas keinginan pejabat dan pemuka masyarakat yang tinggal di
Balikpapan, kemudian didirikan Fakultas Teknik dan Jurusan Sosiatri Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada tanggal 10 Nopember 1967 di Balikpapan. Namun
setelah berjalan dua tahun Fakultas Teknik yang sempat dibina Institut
Teknologi Sepuluh Nopember ditutup karena kesulitan dana dan tenaga.
Kembali pada perjalanan
kehidupan seorang Budiman Arifin. Tamat dari SMA di Kota Tarakan, dia langsung
berangkat ke Kota Samarinda dengan tujuan mendaftarkan diri ke Universitas
Mulawarman. Berangkat dari tekad memberikan kontribusi terbaik demi kemajuan
kampung halamannya, dia memilih mendaftarkan diri ke Fakultas Ekonomi. Dia
ingin mendalami ilmu atau studi pembangunan.
Tanpa banyak mengalami
hambatan, Budiman Arifin diterima sebagai mahasiswa baru Fakultas Ekonomi Unmul
pada tahun 1970. Dalam balutan kehidupan yang amat sederhana, dia menjalani
kuliah di Kota Samarinda. Bahkan, dia sampai bergantian sepatu dengan kakaknya
yang sudah lebih dulu kuliah di Universitas Mulawarman.
Mengingat keterbatasan biaya
dari orang tua, tahun 1974 Budiman memilih berhenti sejenak dari perkuliahan
setelah mengantongi ijazah sarjana muda. Dengan bekal tersebut, dia mencoba
mengadu nasib di Kabupaten Bulungan yang ketika itu sedang membutuhkan sumber
daya manusia berkualitas. Mulai tahun itu dia langsung magang di Kantor
Pemerintah Kabupaten Bulungan yang berada di Tanjung Selor. Tiga tahun
berselang, dia menggapai status Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Di sela-sela membangun
karir di titian PNS, tahun 1980 Budiman Arifin berniat menuntaskan
pendidikannya sampai jenjang sarjana. Dan, berkat izin dari atasannya dan bunda
tercinta Hajjah Lana, tahun 1980, dia mendapat tugas belajar pada jurusan Studi
Pembangunan Ekonomi (S1) di Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Mulawarman. Tahun 1982, dia berhasil menamatkan studinya
dan berhak menyandang gelar Doktorandus (Drs).
C.
Kasih
Ibu Sepanjang Karir
Satu hal yang tidak
pernah bisa lepas dari perjalanan kehidupan seorang Budiman Arifin adalah kebiasaannya
meminta izin dan nasihat setiap kali hendak mendaki pada jalan hidup yang
“menanjak”. Dia selalu datang ke bunda tercinta di Kota Tarakan setiap kali ada
perintah penting dari atasannya.
Sekadar contoh ketika dia
mendapat tugas belajar ke Universitas Mulawarman pada tahun 1980 untuk
menuntaskan jenjang sarjana di Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi. Dia
langsung bersimpuh di lutut ibunda tercinta meminta nasihat dan izin hendak berangkat
tugas belajar. “Kakak saya Budiman Arifin selalu minta izin ibu di Tarakan
setiap kali ada perkembangan penting dalam perjalanan hidupnya. Termasuk saat
mendapat tugas belajar tahun 1980. Sampai-sampai atasannya baru memberikan izin
bilamana sudah ada restu dari ibu. Waktu itu dia langsung pulang ke Tarakan
bersimpuh pada ibu. Dan setelah memperoleh restu, dia kembali ke atasannya.
Barulah dia berangkat tugas belajar,” tutur Ruslan Arifin, adik kandung Budiman
Arifin, yang kini menjadi Kepala Dinas Kominfo Pemerintah Kota Tarakan.
Pada kesempatan
perbincangan, Budiman memang kerap menuturkan betapa dirinya amat dekat dengan
ibunda yang di mata orang awam hanya ibu rumah. Justru lantaran posisi ibu
rumah semata itulah yang membuat sang ibu demikian fokus membesarkan dan
mendidik anak-anaknya, termasuk seorang Budiman Arifin.
Budiman sangat memahami
benar hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bahwa “Seseorang
datang kepada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus
berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali
bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut
bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang
tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian
ayahmu.’”
Ibunda tercinta menjadi
suluh yang tak pernah padam bagi ruang batin seorang Budiman Arifin. Ikatan
batin yang ada di antara Budiman dan Ibunda tercinta begitu indah terjalin dan
menjadi sumber kebaikan yang tak akan habis bagi keduanya. Selain itu, Sang Ibunda
telah mengajarkan sebuah filosofi hidup yang tak akan pernah dia lupakan. Sang
Ibu mengajarkan kepadanya, “Ingatlah bahwa kita selalu hidup di antara dua waktu
shalat. Allah memberi keleluasaan kepada kita untuk melakukan segala aktivitas:
kita bekerja, berusaha, menuntut ilmu, beristirahat dan segala hal yang dapat
kita lakukan, tapi ketika waktu shalat telah tiba, tinggalkan semua itu untuk
menghadap kepada-Nya dengan tulus dan ikhlas.”
Di mata Budiman Arifin, ibu
adalah seorang wanita yang sangat luar biasa. Ibu adalah wanita yang lebih dari
apapun, seorang wanita yang diciptakan oleh Allah SWT yang sangat sempurna.
Keikhlasannya diciptakan sebagai wanita seutuhnya untuk mampu mengandung
anaknya selama sembilan bulan sepuluh hari dengan tidak merasa sedih, takut atau
apapun itu. Justru hal itu membuatnya menjadi seorang wanita seutuhnya.
Cinta ibunda kepada Budiman
tidak ada kurang apapun, karena seorang ibu selalu menjaga anaknya baik itu
dalam kondisi baik ataupun buruk. Seorang ibu selalu menjaga anaknya sejak seorang
ibu dinyatakan memiliki sebuah nyawa di dalam rahimnya. Sejak saat itu pula
seorang ibu senantiasa menjaga baik-baik anak yang berada dalam kandungannya tersebut.
Kasih sayang seorang ibu
tidak sebatas hanya selama ia menjaga, melindungi, memelihara dan mengandung
anaknya dalam waktu sembilan bulan sepuluh hari. Ibunda pun harus mempertaruhkan
nyawanya hanya untuk anak yang belum tentu dia bisa mengerti seperti apa
anaknya kelak, tapi ibu selalu berpikir positif. Setelah anak dalam kandungan
tersebut dilahirkan bukan hanya ibu yang senang bahwa ada nyawa yang dilahirkan
tapi juga orang-orang terdekat dari sang ibu tersebut.
Ibunda akan senantiasa
menjaga baik-baik anaknya dalam kondisi dia terpuruk atau apapun keadaannya itu.
Ibu merupakan manusia yang sangat sempurna dicipakan oleh Allah SWT. Dia
diperintahkan oleh Sang Maha Kuasa untuk melahirkan, melindungi, dan menjaga
anak yang dititipkan oleh sang maha kuasa tersebut. Tidak ada seorang ibu pun
yang menginginkan anaknya terpuruk dalam satu kehidupan. Ibu adalah orang yang
sangat dekat anaknya, dalam keadaan buruk, feeling
seorang ibu akan berjalan, dia pun akan merasa tidak nyaman apabila anaknya
dalam keadaan buruk.
Seburuk apapun seorang
anak, ibu akan selalu menganggap, “Dia adalah anak saya.“ Kata itu pasti akan
keluar dari mulut seorang ibu yang akan selalu menyayangi anaknya. Ibu
merupakan orang yang paling dibutuhkan pada saat seorang anak merasa sendiri,
ibu lah yang akan senantiasa menemani kesendirian tersebut.
Kata pepatah, kasih ibu
sepanjang masa. Bahkan, di mata Budiman Arifin, kasih ibu itu sepanjang karir
dan perjalanan hidupnya. Kata-kata itu memang tidak salah dilayangkan kepada Ibunda
tercinta Hajjah Lana. Karena terbukti sudah, kasih ibunda sungguh tidak bisa
dibandingkan dengan berapa tahun bumi ini sudah dipijak oleh anak manusia, dan
tidak bisa dibandingkan berapa tahun Indonesia dijajah oleh para penjajah. Cinta
seorang ibu kepada anaknya akan selalu ada dalam hatinya baik mulai dari hidup
sesampainya kelak ibu kita tiada. (*)
No comments:
Post a Comment