Perlindungan sosial baru diterapkan secara parsial di Indonesia. Pasalnya, ada kelompok besar masyarakat di Tanah Air belum memiliki proteksi sosial.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Smeru Research Institute Asep Suharyadi dalam seminar "Sustaining Human Progress: Reducing Risks and Vulnerabilities in Indonesia" diselenggarakan oleh United Nation Development Programme (UNDP), Jakarta, Selasa (7/10).
Asep menjelaskan, Indonesia adalah negara yang rentan terpapar risiko ekonomi, sosial, bencana alam. Dia menyebut risiko ekonomi antara lain terpengaruh krisis finansial asia 1997-1998, krisis harga minyak dunia 2005-2006, dan krisis keuangan global 2008-2009.
"Adapun guncangan sosial diantaranya konflik Muslim-Kristen di Maluku dan Dayak-Madura di Kalimantan."
Menurut Asep, pemerintah sudah mengambil pelajaran penting dari semua risiko pernah dialami Indonesia. Diantaranya, pelaksanaan program jaring pengaman sosial untuk menekan dampak krisis keuangan Asia di masyarakat pada 1998. Kemudian, penyaluran Bantuan langsung Tunai (BLT) untuk meminimalisir dampak dari penaikan BBM subsidi pada 2005.
"Saya kira jawabannya benar bahwa pemerintah sudah belajar dari risiko pernah dialami. Namun, itu masih parsial."
Dia beralasan, hingga saat ini, sistem perlindungan sosial hanya mengena pada masyarakat golongan bawah dan atas. Masyarakat miskin memiliki program perlindungan sosial yang dijalankan pemerintah. Sementara 20 persen penduduk kaya mampu mengusahakan program perlindungan sosial sendiri.
"Tapi di tengah yang dihuni 60 persen populasi kebanyakan pekerja informal tak punya proteksi sosial sama sekali."
Atas dasar itu, Asep mengusulkan dua terobosan untuk menutup lubang proteksi sosial di golongan masyarakat menengah. Pertama, pelembagaan sistem bantuan sosial berdasarkan risiko dan kerentanan dalam setiap siklus hidup. Kedua, penguatan dukungan pengembangan sistem jaminan sosial nasional (SJSN).
Terobosan pertama terdiri dari sistem bantuan sosial reguler untuk menyokong kehidupan anak, lansia, penyandang cacat, dan penyaluran BLT. Lalu sistem bantuan sosial temporer untuk menyokong penduduk korban krisis ekonomi, sosial, dan bencana alam.
"Di setiap siklus kehidupan, mulai dari masa kehamilan dan awal kelahiran, usia sekolah, remaja, pekerja, dan lansia, memiliki potensi risiko masing-masing."
Adapun terobosan kedua membutuhkan kejelasan dari peran pemerintah daerah. Kemudian koordinasi pemerintah pusat dan daerah serta berbagai lembaga. "Lalu, kepastian keberlanjutan dukungan fiskal terhadap sistem." (www.merdeka.com)
No comments:
Post a Comment