(Terpilih Menjadi Bupati
Poso)
* EMPAT
Subordinasi
(bawahan) lebih menyukai pemimpin yang autokrasi, bahkan ingin meniru dan
memuji pemimpin yang bersifat autokrasi serta ingin menerapkan pola-pola
autokratis bilamana mereka kelak menjadi pemimpin.
Dr. Hendry Tosi, pakar
ilmu politik dari Michigan State University
POSO,
memasuki 2005. Kendati pada 20 Desember 2001 Kelompok Islam dan Kristen yang
bertikai di Poso telah menanda-tangani Deklarasi Malino, Sulawesi Tengah,
sepakat untuk berdamai dan menghentikan konflik, namun sampai memasuki kalender
2005 riak-riak konflik masih saja muncul.
Tercatat misalkan pada 3
Januari 2005 terjadi ledakan bom di dekat Asrama Brimob yang hanya menimbulkan
kerusakan bangunan. Lalu pada 28 April 2005, terjadi ledakan dua bom, pertama
di Kantor Pusat Rekonsiliasi Konflik dan Perdamaian Poso sekitar pukul 20.00
Wita. Dan bom kedua meledak di Kantor Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil pukul
22.00 Wita. Tidak ada korban jiwa.
Kemudian tanggal 28 Mei
2005, muncul ledakan bom pada pukul 08.15 Wita di Pasar Tentena dan pukul 08.30
Wita di samping Kantor BRI Unit Tentena, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso.
Kejadian kali itu menewaskan sedikitnya 22 orang dan melukai 70 orang lainnya.
Bom rakitan berdaya ledak tinggi itu berisikan potongan paku, menggunakan timer
sebagai pemicu, dan batu baterai 1,5 volt yang berfungsi sebagai arus listrik.
Di rentang waktu
2004-2005, meskipun telah dapat dikurangi, pertikaian dan konflik antargolongan
dan kelompok memang masih mewarnai perpolitikan Tanah Air. Ini merupakan
pertanda rendahnya saling percaya dan tiadanya harmoni di dalam masyarakat.
Beberapa konflik sosial yang berdimensi kekerasan politik dan menimbulkan
korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit telah terjadi di beberapa
daerah, di antaranya Mamasa pada bulan Oktober 2004, di Poso pada akhir tahun
2004, dan beberapa kali pada tahun 2005 sebagaimana terpapar di awal bab ini.
Upaya-upaya untuk menghentikan
konflik telah dilakukan sejak konflik di Poso dimulai pada tahun 1998. Namun,
situasi konflik hanya dapat dihentikan sementara waktu karena kemudian muncul
lagi konflik susulan dengan eskalasi konflik yang makin meningkat dan lebih
meluas. Pertemuan Malino tahun 2001 serta operasi pemulihan keamanan Sintuwo
Maroso merupakan beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi dan
menuntaskan persoalan konflik di Poso. Munculnya kembali konflik tersebut pada
tahun 2004-2005 mencerminkan bahwa pemicu konflik tampaknya belum sepenuhnya
dapat dikendalikan.
Untuk mewujudkan dan
mempertahankan situasi aman dan damai di Poso, secara terus-menerus, dilakukan
upaya membangkitkan semangat Sintuwu Maroso atau “Bersatu Kita Kuat”. Upaya
lainnya adalah dengan melibatkan warga masyarakat dalam melakukan rekonsiliasi
dan pengamanan lingkungan desa dan kelurahan sehingga dapat terwujud serta
tercipta rasa saling percaya di antara komunitas yang bertikai.
Saat konflik masih
fluktuatif tersebut, Piet Inkiriwang –yang ketika itu sudah bersiap mencalonkan
diri mengikuti Pilkada Kabupaten Minahasa Selatan—seperti didesak oleh perasaan
sendiri bahwasanya dia harus datang ke Poso. Padahal, sejumlah tokoh agama dan
keluarganya melarang. Mereka merasa khawatir kedatangannya ke Poso akan sekadar
“menyetor” nyawa. Dan, sebenarnya, Piet tidak memiliki rencana untuk
mencalonkan diri pada Pilkada Poso 2005.
Namun jalan Tuhan berkata
lain. Suatu hari dia dijemput teman semasa sekolah di Poso untuk datang ke
wilayah yang masih dilanda pertikaian tersebut. Katanya sedikit mengenang:
“Sejarahnya, dari
Minahasa, saya dijemput seorang teman masa sekolah di Poso dulu. Saya terkejut.
Saya turun di Palu kemudian dijemput oleh seorang tokoh agama Kristen. Rupanya
banyak orang sudah menunggu di sana. Malam-malam nunggu saya, begitu saya
datang mereka langsung berucap ‘selamat datang pak bupati’. Saya lebih kaget
lagi. Karena waktu itu mereka kehilangan figur. Mereka mencari figur yang mampu
menyatukan, kira-kira begitu.
Saya katakan bahwa saya
bukan bupati. Saya baru datang, mau cek apakah saya bisa diterima atau tidak.
Sambutan ternyata luar biasa, dari sana saya diterima luar biasa. Kemudian saya
ke wilayah yang berbatasan dengan Sulawesi Selatan, di sana sudah jam tiga
pagi, menjelang subuh, juga sudah banyak orang menunggu di sana. Padahal saya
tidak bawa apa-apa. Orang lain mungkin ke sana kasih duit dulu, ajak minum atau
apa. Saya meneteskan air mata. Itulah gerakan jalan Tuhan itu. Tuhan sudah
bekerja di sini. Itulah awal saya masuk kembali ke Poso yang sebenarnya sudah
saya tinggalkan sejak tahun 1972. Jadi saat pertama datang itu yang membuat
saya terkejut orang mengatakan saya bupati. Wah, ini panggilan Tuhan.”
Dari situlah Piet merasa
terpanggil untuk memimpin rakyat-masyarakat Kabupaten Poso. Selain sambutan
warga yang membuatnya terkejut, dia juga tahu persis persoalan di Poso karena dia
pernah bertugas di wilayah dilanda konflik relatif panjang tersebut.
A.
Pilkada
di Tengah Upaya Turunkan Eskalasi Konflik
Di tengah upaya-upaya mewujudkan
situasi aman dan damai di Poso, pada pertengahan 2005 rakyat-masyarakat
Kabupaten Poso berpesta demokrasi memilih secara langsung kepala daerah yang
diharapkan mampu menurunkan, bahkan menghilangkan, eskalasi konflik yang telah
berlangsung sejak 1998. Sebagaimana diagendakan oleh Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD) Kabupaten Poso, pemilihan kepala daerah digelar pada 30 Juni
2005.
Setelah melalui berbagai
proses dan kampanye, KPUD Kabupaten Poso mengukuhkan lima pasangan bakal calon kepala daerah –
calon wakil kepala daerah Kabupaten Poso yang siap bertarung pada pemilihan
langsung di tangan rakyat tersebut. Kelima Pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati
Poso itu masing-masing, berdasarkan Penetapan Nomor Urut, sebagai berikut:
1) Pasangan: DEDE K.
ATMAWIJAYA dan Dra. LIES SIGILIPU SAINO, M.Si.;
2) Pasangan: Drs. PIET
INKIRIWANG, M.M; dan A. MUTHALIB RIMI, S.H.,M.H.;
3) Pasangan: Drs. H. A.
MUIN PUSADAN dan Drs. OSBERT YUSRAN WALENTA;
4) Pasangan: FRANS W. L.
SOWOLINO,S.E.,M.Si. dan Ir. ABD. KAHAR LATJARE, M.Si.;
5) Pasangan: Drs. F. E.
BUNGKUNDAPU,M.Si. dan AWAD ALAMRI, S.H.
Sayangnya kesiapan para
calon kepala daerah dan rakyat Poso tersebut masih saja diganggu oleh
letupan-letupan konflik. Setelah insiden ledakan bom 28 Mei 2005 yang memakan
korban tewas puluhan orang, menjelang hari pencoblosan masyarakat Poso pun
belum lepas dari peristiwa konflik bernuansa ledakan bom. Dua hari menjelang
hari pencoblosan, warga Poso dikagetkan ledakan bom. Tepatnya Selasa (28 Juni
2005) malam, sebuah bom meledak di kantor sekretariat tim sukses pasangan calon
bupati – calon wakil bupati Piet Ingkiriwang - Abdul Muthalib Rimi.
Meski demikian, tahapan
pemilukada terus berjalan sesuai jadwal. Ketua KPUD Kabupaten Poso (saat itu) Yasin
Mangun mengatakan bahwa ledakan bom di kantor sekretariat tim sukses pasangan calon
yang diusung Partai Damai Sejahtera (PDS ) itu bukan alasan yang kuat untuk menunda
pelaksanaan pemungutan suara Pilkada. "Tidak ada penundaan, pemungutan
suara dilaksanakan hari Kamis (30 Juni 2005)," terangnya.
Menurut Mangun, persiapan
teknis pelaksanaan pemungutan suara Pemilukada di Kabupaten Poso tetap berjalan
sesuai agenda dan seratus persen telah siap."Persiapan teknis pemungutan
suara telah rampung," katanya.
Bom berkekuatan "low explosive" tersebut meledak di
sekretariat tim sukses pasangan Piet Ingkiriwang - Abdul Muthalib Rimi di Jalan
Yos Sudarso Kelurahan Kasintuvu, Poso. Peristiwa itu tidak sampai menelan
korban jiwa dan korban luka. Hanya terjadi kerusakan cukup berat sebab seluruh
kaca pada bagian depan bangunan pecah, plafon dan beberapa pintu terbongkar.
Sebelum ledakan terjadi,
seorang anggota tim sukses Piet-Thalib bernama Naser alias Aci (26) melihat
sebuah kotak terbungkus kantong plastik hitam teronggok di teras rumah.
Keberadaan barang mencurigakan
itu langsung dilaporkan ke pos polisi terdekat yang berselang beberapa saat
telah berada di lokasi kejadian. Namun, bom meledak lebih awal di saat anggota
polisi dari satuan penjinak bahan peledak mempersiapkan proses penjinakan.
Tanpa terpengaruh kasus
ledakan bom di sekretariat tim sukses pasangan Piet Ingkiriwang - Abdul Muthalib
Rimi, KPUD Kabupaten Poso tetap menggelar pemungutan suara sesuai jadwal, yakni
tanggal 30 Juni 2005. Setelah selesai rekapitulasi hasil penghitungan suara di
tingkat KPU Kabupaten Poso tanggal 9 Juli 2005, lalu pada tanggal 12 Juli 2005
bertempat di Kantor KPUD Kabupaten Poso diadakan Rapat Pleno KPUD Kabupaten
Poso untuk menetapkan perolehan suara sah setiap pasangan calon dan penetapan
pasangan calon terpilih Pilkada Kabupaten Poso tahun 2005.
Berdasarkan data
peringkat perolehan suara, pasangan calon yang memenuhi syarat terpilih sebagai
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Poso, Pilkada tahun 2005,
sesuai ketentuan Pasal 107 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dan Pasal 95 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 adalah
pasangan calon nomor urut 2 atas nama: Drs. PIET INKIRIWANG, M.M. sebagai
Kepala Daerah; dan A. MUTHALIB RIMI,
S.H.,M.H. sebagai Wakil Kepala Daerah.
Pasangan Piet – Thalib
memperoleh suara terbanyak sejumlah 42.718 suara (42,39 %) dan kemudian ditetapkan
dengan Surat Keputusan KPU Kabupaten Poso Nomor 16 Tahun 2005 tanggal 12 Juli
2005 tentang Pasangan Calon Terpilih Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Kabupaten Poso Tahun 2005.
Namun, perjalanan Piet
Inkiriwang ke kursi Bupati Poso 2005-2010 tidak serta merta mulus dan segera
dilantik. Pada tanggal 2 Juli 2007, sekitar 1000 orang warga Poso menggugat
kemenangan Piet Inkiriwang dan pasangannya. Bahkan, sampai matahari hampir
terbenam, mereka masih bertahan di Kantor KPUD Kabupaten Poso. Mereka menolak
hasil pilkada. Warga dari 12 kecamatan itu menyerbu Kantor KPUD Kabupaten Poso
di Jalan Pulau Timor, Poso Kota, Sulawesi Tengah, sejak pukul 11.00 Wita.
Mereka mengancam akan menduduki Kantor KPUD Poso hingga pilkada diulang. Hingga
pukul 16.30 Wita, warga masih duduk-duduk bergerombol di trotoar jalan di depan
kantor. Aksi yang kebanyakan diikuti kaum ibu ini berjalan tertib. Belasan
aparat kepolisian yang menggunakan tameng dan senjata bersiaga dan membuat
barikade.
Warga menolak hasil Pemilukada
30 Juni 2005 yang menempatkan pasangan Piet Ingkiriwang dan Abdul Muthalib di
urutan teratas. Alasannya, pasangan ini diduga terlibat politik uang. Mereka
juga menuduh Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah dipergunakan para
politisi seperti Piet untuk meraup keuntungan. "Kemenangan Piet tidak sah.
Kami tidak mau dipimpin orang seperti Piet," teriak Ibu Nuraini Sabilah,
warga Kelurahan Kayamanya Poso Kota. Beberapa spanduk diusung warga,
bertuliskan "Menolak Piet memimpin Poso" dan "Pemilu harus
diulang karena politik uang". Aspirasi warga juga disampaikan dalam bentuk
teriakan oleh kaum ibu secara bersahut-sahutan. "Piet Sangkuriang",
"Kami tak mau orang luar pimpin Poso", "Piet baru dua minggu di
Poso, mana mungkin kami dipimpin dia", "Piet lahir di Sulewana,
Pamona Utara, dia tidak pernah bermukim di Poso".
Kendati ada penolakan
warga, KPUD Kabupaten Poso terus bekerja sesuai jadwal. Setelah selesai
menetapkan calon bupati/wakil bupati terpilih, KPUD Poso memberikan waktu
selama 3 (tiga) hari –13-15 Juli 2005-- untuk tanggapan dan keberatan pasangan
calon lain terhadap Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Penetapan
Pasangan Calon Terpilih oleh KPUD Kabupaten Poso.
Untuk meyakinkan ada-tidaknya
keberatan tersebut, KPUD Kabupaten Poso menyampaikan pertanyaan secara tertulis
Kepada Ketua Pengadilan Negeri Klas IB Poso dengan Surat Nomor 270/223/KPU.Pso/VII/2005,
tanggal 16 Juli 2005, Perihal Penyampaian Penetapan Hasil Penghitungan Suara
Kepada Ketua Pengadilan Negeri Klas IB Poso. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri
Klas IB Poso, melalui suratnya Nomor W26.Dd.Um.02.02-503, menegaskan bahwa
sampai tanggal 16 Juli 2005 tidak ada pasangan calon yang mengajukan keberatan
pada Pengadilan Negeri Klas IB Poso, sehubungan dengan Penetapan Hasil
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Poso Tahun 2005. Berdasarkan
Surat Ketua Pengadilan Negeri Klas IB Poso tersebut, KPUD Kabupaten Poso
berkesimpulan bahwa hasil pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten Poso Tahun 2005 sudah dapat diserahkan kepada DPRD Kabupaten Poso guna
dilanjutkan proses pengesahan dan pengangkatannya.
Selanjutnya, pada 18 Juli
2005 KPUD Kabupaten Poso (Ketua dan empat orang Anggota) bersama Sekretaris KPUD
Kabupaten Poso, menyampaikan secara resmi Penetapan Pasangan Calon Terpilih
Hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005 bersama lampirannya kepada DPRD
Kabupaten Poso, dengan Suratnya Nomor 270/224/KPU.PSo/VII/2005, tanggal 16 Juli
2005. Namun dokumen tersebut belum dapat diserahkan kepada Pimpinan DPRD
Kabupaten Poso. Ketua DPRD Kabupaten Poso menjelaskan penyerahan dokumen dilaksanakan
dalam Rapat Koordinasi dengan para Anggota DPRD Kabupaten Poso pada 19 Juli
2005.
Tanggal 19 Juli 2005,
berdasarkan undangan yang disampaikan oleh Pimpinan DPRD Kabupaten Poso, KPUD
Kabupaten Poso menghadiri rapat dengan membawa seperangkat dokumen hasil
Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005 yang akan diserahkan pada Rapat Koordinasi
DPRD Kabupaten Poso bertempat di ruang sidang DPRD Kabupaten Poso. Setelah
Ketua DPRD membuka Rapat Koordinasi selanjutnya menyerahkan kepada salah
seorang Wakil Ketua DPRD untuk memimpin rapat. Pemimpin sidang lantas memberi
kesempatan kepada Ketua KPUD Kabupaten Poso memberi penjelasan dan menyerahkan
dokumen hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005.
Saat itu pula para
Anggota DPRD Kabupaten Poso melakukan interupsi terhadap pelaksanaan persidangan
tersebut yang berkembang pada munculnya perbedaan pendapat menerima dan menolak
penyerahan dokumen hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005. Dengan menempuh
cara voting, akhirnya diperoleh hasil 15 anggota DPRD Kabupaten Poso menolak
dan 7 Anggota DPRD Kabupaten Poso menerima hasil Pilkada Kabupaten Poso.
Dengan demikian DPRD
Kabupaten Poso menyimpulkan :
*
Menolak
Penyerahan Hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005 sebagaimana nyata dalam
Surat DPRD Kabupaten Poso Nomor 170/445/DPRD tanggal 19 Juli 2005 Perihal :
Penjelasan DPRD Kabupaten Poso;
*
Pimpinan
DPRD Kabupaten Poso pada hari itu juga seusai sidang segera ke Palu untuk
konsultasi dengan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah;
Atas dasar kesimpulan tersebut,
Berkas Dokumen hasil Pilkada Kabupaten Poso yang sedianya diserahkan oleh KPUD
Kabupaten Poso pada Rapat Koordinasi tersebut batal diterima oleh DPRD
Kabupaten Poso walaupun sesuai Ketentuan undang-undang paling lambat 3 (tiga)
hari sesudah Penetapan Hasil Pilkada KPU Kabupaten Poso harus menyerahkan
kepada DPRD Kabupaten Poso;
Perkembangan berikutnya, tanggal
20 Juli 2005 KPUD Kabupaten Poso yang terdiri dari Ketua, empat orang Anggota
dan Sekretaris berangkat ke Palu bermaksud konsultasi dengan Gubernur Provinsi
Sulawesi Tengah untuk mohon petunjuk penyelesaian atas penolakan DPRD Kabupaten
Poso yang tidak menerima hasil Pilkada Kabupaten Poso dengan membawa Surat
Nomor 270/226/KPU.PSO/VII/2005 tanggal 20 Juli 2005, perihal mohon petunjuk
hasil Penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Poso.
Lalu tanggal 21 Juli 2005
bertempat di Ruang Desk Pilkada Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, KPU Kabupaten
Poso diterima oleh Gubernur yang diwakili oleh Sekretaris Provinsi Sulawesi
Tengah. Hasil pertemuan tersebut adalah:
* Penjelasan proses
penyerahan hasil Pilkada oleh KPUD Kabupaten Poso kepada DPRD Kabupaten Poso sudah
sesuai dengan petunjuk Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah;
* Penyerahan copy Surat
Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1559/SJ tanggal 27 Juni 2005 Perihal :
Penyampaian Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk
dipedomani;
* Pelaksanaan Tahapan
Pilkada Kabupaten Poso harus tetap jalan sesuai jadwal;
* Disarankan agar KPUD
Kabupaten Poso melakukan koordinasi dengan Departemen Dalam Negeri.
Selanjutnya pada tanggal
22 Juli 2005 KPU Kabupaten Poso menghadap Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia yang diwakili oleh Direktur Pejabat Negara di Daerah untuk melaporkan
dan meminta petunjuk penyelesaian Tahapan Pilkada Kabupaten Poso. Dan hasilnya
sebagai berikut :
* Tahapan Pilkada supaya
jalan terus sesuai jadwal;
* Proses penyerahan Hasil
oleh KPU Kabupaten supaya mengacu kepada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor
I20/1559/SJ, tanggal 27 Juni 2005, perihal Penyampaian Hasil Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
Sesuai Surat Menteri
Dalam Negeri pada huruf B angka 1 bahwa KPU kabupaten/kota menyampaikan
penetapan pasangan calon terpilih beserta berkas pemilihan dengan melampirkan
berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada DPRD kabupaten/kota
dengan tembusan Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, hal ini sudah dilaksanakan
oleh KPUD Kabupaten Poso. Selanjutnya pada Huruf B Ayat (4) dari Surat Menteri
Dalam Negeri tersebut dinyatakan bahwa apabila Ketua dan Wakil Ketua DPRD tidak
dapat melaksanakan tugasnya, Gubernur menyampaikan usul pengesahan pengangkatan
bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri
berdasarkan berkas pemilihan yang disampaikan oleh KPU kabupaten/kota.
Atas petunjuk yang
diperoleh KPU Kabupaten Poso --baik dari Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah
maupun dari Menteri Dalam Negeri-- serta mengacu kepada Surat Menteri Dalam
Negeri Nomor 120/1559/SJ tanggal 27 Juni 2005 maka, pada tanggal 28 Juli 2005,
KPU Kabupaten Poso menyerahkan secara resmi berkas Penetapan Hasil Pilkada
Kabupaten Poso kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah dengan Surat Nomor
270/230/KPU.PSo.VII/2005, tanggal 26 Juli 2005, Perihal: Penyampaian Proses
Pengesahan Pengangkatan Pasangan Calon Terpilih Hasil Pilkada Kabupaten Poso
Tahun 2005.
Setelah selesai menyerahkan
berkas, Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah cq. Biro Pemerintahan menugaskan
kepada KPUD Kabupaten Poso untuk melengkapi berkas pasangan calon sebagai bahan
pengusulan, pengesahan pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten Poso kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia sebanyak 10 (sepuluh) rangkap.
Sesuai Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 131.52-733 Tahun 2005 tentang Pemberhentian Pejabat Bupati
dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Poso Provinsi Sulawesi Tengah dan Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 132.52-734 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Pengangkatan Wakil Bupati Poso Provinsi Sulawesi Tengah, kemudian pada tanggal
30 Agustus 2005 dilaksanakan Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kapala Daerah
Kabupaten Poso Periode 2005-2010 oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah
bertempat di Gedung Pertemuan Torulemba Poso.
B.
Kemenangan
Piet Inkiriwang berbuntut Sengketa
Kendati sudah dilantik,
bukan berarti pasangan Piet Inkiriwang – Abdul Muthalib Rimi tenang menjalankan
amanah sebagai Bupati dan Wakil Bupati Poso 2005-2010. Setelah protes
masyarakat mereda, legislatif (DPRD Kabupaten Poso) melayangkan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah
(Sulteng) tidak berwenang mengusulkan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati
terpilih Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.
DPRD Kabupaten Poso menilai
Gubernur telah melampui kewenangannya dalam pengusulan tersebut karena
bertentangan dengan Pasal 65 ayat (3) huruf f, Pasal 100 Ayat (2), Pasal 109
Ayat (2) dan Ayat (4), serta Pasal 111 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah; Pasal 78 Ayat (1) huruf d UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD serta Pasal 18 Ayat (3) dan Ayat
(4) jo Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,
DPRD mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di
Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada 13 Desember 2006,
melalui kuasa hukum Achmad Michdan, Ketua DPRD Drs. S. Pelima, Wakil Ketua DPRD
H. Abdul Munim Liputo, dan Wakil Ketua DPRD Herry M. Sarumpaet, mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi dengan termohon Gubernur Sulawesi Tengah.
Dalam permohonan yang diperbaiki pada 22 Januari 2007, mereka meminta Majelis
Hakim MK Mengabulkan Permohonan para Pemohon; dan Menyatakan Gubernur Sulawesi Tengah tidak
berwenang mengusulkan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih Kabupaten
Poso Sulawesi Tengah, dan telah melampaui batas kewenangannya.
Dalam proses persidangan
di MK, Ketua DPRD Kabupaten Poso Drs. S Pelima selaku salah satu pemohon
prinsipal menjelaskan bahwa sengketa ini diawali dengan persoalan dalam Pemilukada
Poso, yakni adanya pengaduan sekelompok warga masyarakat yang merasa tidak puas
atas pelaksanaan Pemilukada Poso karena disinyalir cacat proses.
Menindak-lanjuti pengaduan
tersebut, DPRD Kabupaten Poso sepakat menolak mengusulkan disahkannya pasangan
calon Bupati/Wakil Bupati Poso terpilih karena belum terselesaikannya pengaduan
tersebut oleh pihak yang berwenang. Dan Gubernur Sulteng mengambil inisiatif
mengusulkan agar pasangan Bupati – Wakil Bupati Poso 2005-2010 terpilih segera
disahkan, diangkat dan dilantik.
Menurut Kuasa Hukum Gubernur
Sulawesi Tengah selaku termohon, Drs. Rais Lamangkona, Gubernur berwenang
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati kepada Menteri
Dalam Negeri sesuai Pasal 42 Ayat (1) huruf d UU Nomor 32 Tahun 2004 UU No 22
Tahun 2003. Hal ini dikarenakan tanggung jawab pelaksanaan pemilihan Kepala
Daerah Kabupaten/Kota berada pada Gubernur, ujar Rais Lamangkona, dalam
persidangan di MK pada awal 2007.
Rais menjelaskan bahwa dalil yang
dilontarkannya juga sejalan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 9 Tahun 2005 tentang Pedoman Bagi Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah. Di situ secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (2)
tanggung jawab pelaksanaan Pemilukada Kabupaten berada pada Gubernur dan
dilaporkan kepada Menteri dalam Negeri.
Oleh karena DPRD Kabupaten Poso menolak
menerima penetapan pasangan calon terpilih dari KPUD Poso, Gubernur Sulteng berinisiatif
menyampaikan usul pengesahan pengangkatan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Kabupaten Poso masa jabatan 2005-2010 kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Gubernur (termohon) dalam
melaksanakan wewenang atributif yang melekat padanya telah dilakukan sesuai
asas umum pemerintahan yang baik, tandas Rais. Keputusan DPRD yang menolak
menerima penetapan KPUD Poso mengenai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati
terpilih, demikian kata Rais, bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal
109 Ayat (4) yang menentukan bahwa Bupati dan Wakil Bupati diusulkan oleh DPRD
selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Gubernur berdasarkan penetapan pasangan calon terpilih dari KPUD Kabupaten.
Rais menambahkan bahwa
Ketua Pengadilan Negeri Poso telah menyatakan tidak ada pasangan calon yang
mengajukan keberatan sehubungan dengan penetapan hasil pemilukada Kabupaten
Poso tahun 2005. Dengan demikian, Rais menilai dalil penolakan yang dilakukan
oleh DPRD mengada-ada dan patut dikesampingkan.
Senada dengan Gubernur, selaku
pihak terkait, KPUD Poso menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada masalah dalam
pelaksanaan Pilkada dan hasil-hasilnya. Tidak ada saksi (pemilukada) yang
mengajukan keberatan, ujar Yasin Mangun, Ketua KPUD Poso.
Lebih jauh, Yasin
menjelaskan bahwa pemilukada Poso terus dilaksanakan meskipun ada insiden
pengeboman di Tentena. Karena, menurutnya, KPUD telah melakukan koordinasi
dengan Kapolres Poso dan Komandan Kodim Poso. “Kapolres dan Komandan Kodim
menyatakan bahwa kondisi Poso masih kondusif sehingga KPUD meneruskan Pilkada,”
ungkap Yasin.
Dalam persidangan di MK hadir
pula tokoh-tokoh masyarakat Poso sebagai pihak terkait, antara lain Ketua Dewan
Adat Poso, Ketua Forum Masyarakat Kristen, tokoh Muslim, Ketua Parisada Hindu
Dharma, dan tokoh wanita Poso.
“Kami sudah lelah dengan
segala konflik. Kami sangat menyesalkan adanya sengketa ini antara eksekutif
dan legislatif. Mereka adalah wakil rakyat yang seharusnya mengawal perdamaian,”
ujar Lies Sigilipu, tokoh Wanita Poso.
Lies, yang juga mantan
kandidat Bupati yang bersaing dengan Bupati Poso terpilih, mengaku telah
menerima dan tidak mempermasalahkan hasil pemilukada. “Ini sengketa yang naif.
Kalau saya yang menggugat, itu wajar,” tutur Lies dengan penuh kekecewaan.
Para tokoh masyarakat
Poso tersebut sepakat meminta DPRD mencabut gugatannya demi menjaga perdamaian
dan mencegah terjadinya konflik berkelanjutan di Poso. “Kalau ini dicabut, maka
semua masyarakat akan menaruh hormat pada DPRD,” ujar Yahya Patiro, Ketua Forum
Masyarakat Kristen Poso.
Sementara itu, Ketua
Dewan Adat Poso, Johanes Santo sangat berharap MK bisa mempertemukan antara
pemohon dan termohon supaya ada perdamaian. Karena perdamaian itu yang
dirindukan masyarakat saat ini, ujar Santo.
Terhadap masukan-masukan
tersebut, kuasa hukum pemohon, Achmad Michdan, menghargainya dan berjanji akan
mendalaminya lebih jauh. Kami akan menyampaikannya pada pemohon prinsipal,
tambah Michdan.
Ketua MK (saat itu) Prof
Jimly Asshiddiqie memberi kesempatan kepada para pihak untuk memikirkan langkah
selanjutnya apakah akan berdamai atau tidak. Kalau ditarik (gugatannya), maka
akan memiliki dampak yang substantif. Kalau tidak ditarik maka harus siap
dengan segala putusan yang dikeluarkan MK, kata Jimly yang bertindak selaku
ketua majelis hakim.
Akhirnya, melalui rapat
permusyawaratan hakim yang dihadiri
sembilan hakim konstitusi yang kemudian diucapkan pada sidang pleno MK yang
dipimpin Ketua Jimlu Asshiddiqie pada tanggal 9 Maret 2007 memutuskan: Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Hadir pula dalam sidang yang terbuka untuk umum itu Pemohon/Kuasa Pemohon,
Termohon/Kuasa Termohon, dan para Pihak Terkait.
C.
Menerapkan
Gaya Kepemimpinan “Orang Mabuk”
Tanggal 30 Agustus
2005 adalah hari yang penuh sejarah dan
telah dicatat dengan tinta emas, di mana seorang Drs. Piet Inkiriwang, MM
dilantik dan dikukuhkan menjadi Bupati Poso yang pertama di era reformasi yang
merupakan hasil pilihan langsung rakyat secara demokratis. Di tengah proses
gugatan sengketa kewenangan antara DPRD Kabupaten Poso dan Gubernur Sulawesi
Tengah yang digelar di MK pada rentang waktu akhir 2006 sampai mendekati
pertengahan 2007, Bupati terpilih Piet Inkiriwang terus bekerja keras
memulihkan Poso dari konflik berkepanjangan. Lantas bagaimana gaya
kepemimpinannya di tengah masyarakat Poso yang belum sembuh betul dari badai konflik
dan pertikaian? Bahkan, riak-riak pertikaian terkadang masih meletup sampai dua
tahun (2007) kepemimpinan Piet Inkiriwang.
Setelah dilantik, yang
pertama dilakukan Piet adalah mengundang Komandan Kodim (Dandim) Poso, Komandan
Batalyon (Danyon) dan Kepala Polres Poso. “Sebagai kakak senior, saya tanya
satu per satu, kita harus bersepakat, tidak boleh lari sendiri-sendiri. Kita
saling berdiri berpelukan. Apa yang disampaikan dan diarahkan bupati mari kita
kerjakan bersama-sama. Kita ini pelindung. Komandan-komandan ini yang pertama saya
satukan. Untuk kebutuhan kalian guna mengamankan, saya belum lihat apakah APBD
cukup, saya akan penuhi. Saya minta kalian siapkan patroli-patroli TNI-Polri
karena yang menguasai kota ini adalah teroris,” papar Piet yang sepanjang
karirnya berada di lapangan operasional kepolisian ini.
Langkah kedua yang
ditempuh Piet adalah konsolidasi segenap Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
pemerintahan Kabupaten Poso. Dia mengungkapkan bahwa ketika itu ada pegawai dan
kepala dinas yang terlibat konflik sosial. Bahkan, mereka pun melengkapi diri
dengan senjata F-16. Ujar Piet, “Yang Kristen ada senjata, yang Islam juga ada
senjata. Sepakat, sebagai Bupati yang kalian sendiri pilih, saya perintahkan
kalian yang punya senjata segera kembalikan sesuai tanggung jawab. Kalau kalian
tidak mau, maka berhadapan dengan bupati dan TNI-Polri. Mulailah pelan-pelan,
takut-takut, mereka membawa ke sini. Ada bom dan granat pula. Baru kemudian
saya undang Densus untuk mengambil senjata-senjata itu. Saya main perintah
begitu, mereka bisa saja melawan karena saya bukan lagi polisi. Karena ada
pertolongan Tuhan, semua berjalan baik.”
Setelah konsolidasi
dengan pegawai, selanjutnya Piet berkonsolidasi dengan tokoh-tokoh agama yang
ada di Kabupaten Poso. Mereka dikumpulkan di pendopo kabupaten untuk diajak
bermusyawarah untuk membawa kembali Poso yang damai. Mereka bersepakat mau
kembali damai.
Akhir tahun 2005 sudah Poso
mulai kondusif. Tutur Piet tentang langkahnya menyatukan warga masyarakat Poso:
“Tiga bulan jadi bupati,
saya menyelenggarakan natal di sini. Semua datang, ada yang pakai jilbab dan ada
pula yang pakai celana jingkrang. Mereka yang bantu memasang lilin. Itu tiga
bulan pertama. Kemudian pada bulan keempat saya pimpin takbiran, takbir
keliling, saya pimpin yang paling depan. Dan bersyukur tidak ada kejadian apa-apa.
Itulah kuasa Tuhan. Mulai dari situ masyarakat tersadar, ah tidak ada apa-apa di
sini. Lalu tahun baru, yang Muslim dari kota (Poso) pergi naik ke tempat yang
Kristen (Tentena), mencari teman-temannya kemudian mengajak turun bersama-sama.
Anak-anak mulai membunyikan terompet yang selama ini hilang. Islam-Kristen
sudah mulai kembali bersatu. Tiga even ini yang luar biasa.”
Dari berbagai langkah
tersebut, Piet pun bisa mulai melihat dan memisahkan mana kelompok kawan, mana kelompok
lawan, dan mana pula kelompok abu-abu. Dia
berusaha melihat mana yang betul-betul mendukung terorisme, mana yang tidak
mendukung dan mana yang hanya ketakutan. Dengan begitu, tidak salah sasaran di
saat mengambil langkah menghancurkan atau membubarkan kelompok teroris.
Melihat hubungan umat
Islam-Kristen yang mencair, Piet lalu berinisiatif membentuk forum persatuan
antarumat beragama, forum persatuan Islam-Kristen, di Poso pesisir. Dan suasana
Poso semakin kondusif.
Hanya dalam hitungan
bulan Piet Inkiriwang memimpin Kabupaten Poso, kendali penuh ada di tangan
bupati, tidak ada yang jalan sendiri-sendiri. “Itulah yang saya kerjakan di
awal-awalmenjabat bupati, dimulai dengan merekatkan kembali. Terutama mulai
2006 dan puncaknya 2007 kami hancurkan kelompok teroris. Memang perlu waktu
yang cukup untuk menyelesaikan. Tokoh-tokoh agama Islam waktu itu juga
mendukung, mereka bertekad untuk tidak lagi melindungi,” jelas Piet.
Dalam tesisnya ketika
menyelesaikan Program Magister Administrasi Publik pada Program Studi Administrasi
Negara Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Manado dengan judul
“Pengambilan Keputusan Pasca Konflik (Study Gaya Kepemimpinan Bupati Poso
Periode 2005 – 2010)”, Frits Sam Purnama, SH, M.AP menilai bahwa, dalam
melangkah dan mengambil kebijakan, Bupati Piet Inkiriwang cenderung menerapkan
gaya kepemimpinan autokrasi.
Oleh banyak kalangan, gaya
kepemimpinan autokrasi dianggap sebagai sebuah gaya kepemimpinan yang tidak
lagi cocok di era keterbukaan dan reformasi saat ini. Karena gaya kepemimpinan
ini dianggap sebagai sebuah gaya kepemimpinan yang represif dan lebih mengedepankan
hasil daripada membangun sebuah komunikasi timbal balik. Kesannya saat ini
semua dituntut untuk serba mengacu pada gaya kepemimpinan demokrasi yang
dianggap segala-galanya. Padahal, di dalam praktiknya di organisasi manapun,
kedua tipe tersebut mempunyai kelemahan dan juga kelebihan masing-masing. Ada
baiknya kita mengelaborasi secara subtansial kedua gaya kepemimpinan tersebut.
Gaya kepemimpinan yang
demokratis adalah bahwa dalam melaksanakan fungsi kerjanya seorang pemimpin selalu
lebih menekankan pada melihat subordinasinya atau bawahannya sebagai “human being” yang memberikan kebebasan
kepada lingkungan kerja, cara kerja, waktu kerja, pencapaian target kerja dan
lain sebagainya. Selanjutnya gaya ini lebih bersifat persuasif dan mohon
pengertian dari subordinasinya dan bukan melalui pengawasan dan memberikan
petunjuk secara tegas tentang apa yang akan dicapai, kapan harus diselesaikan
dan apa yang akan dihasilkan.
Sedangkan gaya
kepemimpinan autokrasi, di mana seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya
tetap berperilaku baik (nice guy),
namun selalu tegas (firmed),
disiplin, dan partisipatif dalam mengatur pencapaian sasaran kerja dengan cara
terlebih dulu memberikan gambaran sasaran kerja, dan telah jelas hasil apa yang
diharapkan, serta bagaimana cara mencapainya, kapan harus diselesaikan, dan
selalu diikuti dengan supervisi yang terjadwal, bahkan tidak jarang pemimpin
tersebut menyampaikan pada subordinasinya (bawahan) bagaimana bersikap,
berkomunikasi dan berperilaku dalam lingkungan pekerjaan.
Dalam memimpin Kabupaten
Poso yang masih rawan konflik, sebagai Bupati, Drs. Piet Inkiriwang, MM selalu
menunjukkan diri sebagai seorang manager, pemimpin atau leader yang selalu
ingin bergerak cepat dan mengambil keputusan secara tepat, walau dikesankan
agak keras (baca tegas). Selanjutnya dalam menyelesaikan masalah selalu dimulai
dengan arahan, yang di dalamnya memberikan gambaran kerja, apa yang mau
dikerjakan, siapa-siapa yang harus mengerjakan, bagaimana mencapai pemecahan
masalah, menunjukan secara tegas sasaran apa yang harus dicapai dan berapa lama
pekerjaan tersebut harus diselesaikan. Dan berikutnya Piet Inkiriwang selalu
memonitor, melakukan supervisi sejauh mana pekerjaan telah dilaksanakan. Bahkan
monitoring dan supervisi ini dilakukan dengan tidak mengenal waktu, baik siang maupun
malam. Dan tidak menginginkan pekerjaan tersebut dilakukan asal-asalan dan
selalu akan mengejar ambisi yang sudah ditetapkan sebagai sebuah tujuan (Visi
dan Misi).
Boleh jadi semua hal ini
sangat dipengaruhi gaya kepemimpinan sebagai seorang mantan polisi. Sebagaimana
kita tahu bersama bahwa sosok Piet Inkiriwang adalah seorang polisi tulen yang
memulai karirnya dari seorang polisi rendahan secara berjenjang sampai pensiun
sebagai seorang Perwira Menengah dan telah memegang berbagi jabatan strategis,
antara lain sebagai Kapolsek, Kasat Serse, Wakapolres, Kapolres sampai beberapa
kali dan terakhir pensiun sebagai Kepala Diklat Kepolisian.
Kondisi kepemimpinan
seperti ini membuat subordinat (bawahan) harus senantiasa siap siaga setiap
saat apabila pemimpin melakukan apa yang disebut monitor atau pengawasan serta
memaksa untuk disiplin dalam melaksanakan tugas.
Dari hasil penelitian Frits
Sam Purnama sebagaimana dituangkan dalam tesisnya, hanya segelintir orang
memprotes dan menilai bahwa gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh Piet
Inkiriwang bukanlah seorang yang demokratis, yaitu gaya kepemimpinan yang
memberikan ruang kepada orang untuk menyampaikan pendapat dan lebih leluasa
melakukan segala sesuatu.
Dalam persoalan ini, Frits
Sam Purnama mengajak kita benar-benar bisa mengkaji secara kritis dan tidak sekadar
ikut-ikutan ramai atas fenomena demokrasi saat ini dengan gaya kepemimpinan
tersebut. Benarkah gaya kepemimpinan demokrasi menghasilkan yang terbaik,
tercepat dalam membuat keputusan, berdaya guna dan tepat guna terutama bila
dikaitkan dengan fungsi dan peran seseorang yang menjadi seorang pemimpin
daerah di mana diperhadapkan dengan persoalan pelik dan membutuhkan sebuah
keputusan yang cepat dan harus menyelesaikan masalah dalam waktu yang relatif pendek.
Lantas bagaimana menjadi
seorang pemimpin di Kabupaten Poso yang baru saja dilanda konflik yang berkepanjangan, yang telah menghancurkan
seluruh sendi-sendi kehidupan sosial, bahkan hampir memutus hubungan silahturahim
antar sesama umat manusia? Bagaimana mengambil keputusan di tengah-tengah
tekanan dan ancaman? Haruskah menjadi seorang pemimpin yang memberikan
kebebasan kepada subordinasinya atau bawahannya di dalam melaksanakan tugas
dengan pencapaian target yang bersifat persuasif ataukah menjadi seperti
seorang manager yang tegas dan partisipatif dalam memimpin agar diikuti oleh
subordinatnya?
Dr. Hendry Tosi dari
Michigan State University telah melakukan penelitian terhadap 500 orang yang
pernah dipimpin oleh orang yang memiliki pola demokratis, kemudian sekarang
dipimpin oleh pemimpin yang autokratis. Pada kesimpulannya ditemukan bahwa
subordinasi (bawahan) tetap lebih menyukai pemimpin yang autokrasi, bahkan
ingin meniru dan memuji pemimpin yang bersifat autokrasi serta ingin menerapkan
pola-pola autokratis bila mereka kelak menjadi pemimpin.
Mengapa demikian,
bukankah memiliki pemimpin yang demokratis lebih membuat para subordinatnya
(bawahannya) lebih leluasa dalam banyak hal? Jawaban atas pertanyaan tersebut
adalah bahwa :
* Para pekerja yang
bekerja di perusahaan tersebut juga mempunyai keinginan karir kerja yang baik
di masa depan. Karena itu, dengan pemimpin yang autokratis, mereka merasa
mendapat pelajaran dari pemimpinnya, merasa ada yang dapat ditiru, dan merasa
lebih yakin dan lebih pasti dalam mengejar karir dan menjalani tanggung jawab
pekerjaannya.
* Para pekerja yang
bekerja di perusahaan memang harus ada yang membimbing dan tidak hanya dilepas
sedemikian rupa, namun kalau di luar perusahaan mereka harus bebas menentukan
dirinya sendiri (On the job dan off the job).
* Dengan adanya pimpinan
yang partisipatif, subordinasi merasa terinspirasi untuk mengerjakan sesuatu,
sebaliknya dengan pemimpin yang tidak partisipatif acapkali situasi kerja
menjadi frustasi dalam menghadapi permasalahan.
Dari catatan Frits Sam
Purnama, kepemimpinan Piet Inkiriwang telah menunjukkan gaya yang agak aneh
(baca unik). Bahkan Piet pernah mengatakan gaya kepemimpinannya adalah gaya
kepemimpinan “orang mabuk”. Artinya, bahwa dalam mengambil keputusan bisa dapat
berubah secara cepat sesuai kebutuhan dan kondisi yang ada bahkan waktu lima
menit sangat berharga untuk memberikan penilaian dalam mengambil atau mengubah
keputusan.
Apapun model atau gaya
kepemimpinan seseorang apakah demokrasi ataukah autokrasi bukanlah hal yang
menjadi utama tetapi bagaimana tujuan itu bisa tercapai secara baik dan dapat
bermanfaat bagi banyak orang. Menjadi seorang pemimpin (manager) yang baik
haruslah menjadi seorang yang tegas/disiplin dan partisipatif dalam memimpin
agar diikuti oleh subordinatnya/bawahan (Be
a firmed and participative leader whom people will follow).
D.
Kembali
Terpilih pada Pemilukada 2010
Dalam memimpin Kabupaten
Poso, Piet Inkiriwang dan Abdul Muthalib Rimi mengusung visi bagi terwujudnya
Kabupaten Poso yang aman, damai, demokratis, bebas korupsi dan masyarakat Poso yang
sejahtera. Untuk dalam kepemimpinan mulai 2005, Piet memprioritaskan wilayah
Kabupaten Poso yang aman dan damai. Sebab itulah kemudian lahir program Pendidikan
Harmoni sebagai upaya mencairkan hubungan warga masyarakat yang pernah bertikai
melalui pendidikan sejak dini, mulai dari SD, SMP sampai SMA dan sederajat.
Sejak kepeimpinan Piet
Inkiriwang, kondisi Poso (terutama setelah 2008) berangsur aman dan kondusif
serta warga masyarakat tidak lagi dihantui rasa was-was dan syakwasangka. Tak
terasa, kepemimpinan Piet yang tidak mudah mendekati ujung masa bakti di tahun
2010.
Memasuki 2010, warga Poso
kembali pada hiruk-pikuk pesta demokrasi untuk memilih pemimpin mereka. Sekitar
dua atau tiga tahun sebelumnya, berkumpulnya massa di satu titik akan menjadi
persoalan serius keamanan. Ratusan petugas kepolisian, TNI, akan disiagakan,
persenjataan disiapkan, jalanan pun lengang, suasana kota sepi. Bahkan,
meskipun massa tidak berkumpul namun isu berkumpulnya massa tertentu hingga isu
pengerahan massa dari Poso ke Tentena atau Tentena ke Poso tidak hanya menjadi
ancaman serius bagi keamanan namun merembet, menembus, mengaktivasi ingatan
seluruh masyarakat tentang peristiwa negatif sejak tahun 1998 hingga 2008
dengan berbagai pola-pola kekerasan. Pada saat itu, dua kota utama di Kabupaten
Poso, yakni Poso dan Tentena, menjadi “lingkaran” perlindungan identitas,
wilayah “kami” dan wilayah “mereka”. Poso sebagai “wilayah muslim”, Tentena
sebagai “wilayah Kristen”
Bagaimana menjelang
pemilukada Poso 2010? Dua pekan masa kampanye Pemilukada Poso yang ditetapkan
oleh KPU Poso, 17–29 Mei 2010, warga masyarakat Poso larut dalam aktivitas
kampanye membongkar seluruh persepsi, asumsi, hegemoni wacana tentang Poso.
Masyarakat dengan beragam caranya menggugat kembali sejarah konflik Poso yang
menghegemoni, bahkan dengan elegan melewati batas korban dan pelaku yang
digariskan oleh kekuasaan. Selanjutnya, tiga hal ini yang terjadi: “melewati”
identitas agama dan suku; menempatkan dengan benar Pemilukada sebagai “pesta”
rakyat; melakukan “confronting the past”
atau menempatkan konflik Poso pada tempatnya.
Piet Inkiriwang selaku
petahana kembali maju pada Pemilukada Poso 2010. Kali ini dia berpasangan
dengan T. Samsuri. Pemilukada Poso 2010 menghadirkan empat pasangan calon, masing-masing
Piet Ingkiriwang dan T. Samsuri; Frans Sowolino dan Burhanuddin Andi Masse;
Hendrik Gary Lyanto dan Abdul Muthalib Rimi; Sony Tandra dan Muliadi. Semua
calon bupati beragama Kristen, sementara seluruh calon wakil beragama Islam.
Baik Piet Ingkiriwang, Hendrik Gary Lyanto maupun Sony Tandra bersuku Pamona
campuran Tionghoa, hanya Frans Sowolino yang bersuku Pamona.
Pada periode Pilkada 2005
isu agama menjadi catatan penting bagi rakyat-masyarakat pemilih. Hal ini
terlihat dari partai pendukung kandidat khususnya yang bersimbolkan agama
tertentu dan dari besarnya suara pemilih di wilayah-wilayah tertentu yang
agamanya mayoritas sesuai dengan kandidat. Pada masa Pemilukada 2005 pula, isu
agama menjadi salah satu isu sensitif dalam kampanye. Dalam hal ini lingkaran
identitas keagamaan masyarakat dijaga, dipertahankan, diangkat oleh setiap
kandidat.
Fenomena tersebut tidak
lagi ditemukan dalam Pilkada 2010. Isu agama masing-masing kandidat tidak hanya
tidak penting tetapi tidak dibicarakan, baik di wilayah publik maupun dalam
wilayah rumah tangga keluarga. Bahkan, ketika salah satu kandidat membawa isu
kesukuan, hal tersebut juga kurang membawa hasil yang maksimal. Masyarakat
pemilih telah belajar bahwa siapapun beragama apapun tidak menjamin kehidupan
menjadi lebih baik (baca: lebih aman). Perhatian ditujukan pada latar belakang
kehidupan, track record masing-masing
kandidat dan visi-misi yang disampaikan.
Tidak heran, jika pada
periode Pemilukada 2005, masyarakat sudah menentukan pilihannya bahkan sebelum
masa kampanye berakhir hanya dengan melihat identitas agamanya, pada Pemilukada
2010 banyak ditemukan pernyataan pemilih “lihat saja siapa yang paling bagus
visi, misi dan programnya untuk Poso ke depan”.
Masyarakat pemilih
membalikkan identitas suku dan agama ke dalam identitas lainnya, yakni
pekerjaan, pendidikan, hingga program-program yang ditawarkan. Kandidat Bupati
Hendrik Gary Lyanto yang adalah pengusaha properti dari Jakarta, merupakan
wajah baru dalam dunia politik di Kabupaten Poso, dan baru muncul pada empat
bulan terakhir menjelang Pemilukada. Kandidat Bupati Sony Tandra adalah
pengusaha kontraktor sekaligus anggota DPRD Kabupaten Poso. Sementara itu
kandidat bupati Piet Ingkiriwang adalah kandidat incumbent, memiliki latar belakang sebagai Kapolres Bitung.
Kandidat Bupati Frans Sowolino adalah anggota DPRD dan akademisi, dosen di
Universitas Kristen Tentena.
Latar belakang pekerjaan
dan pendidikan masing-masing kandidat ini mempengaruhi visi-misi dan isu utama
selama kampanye. Hendrik Gary Lyanto mengangkat isu masyarakat Poso yang
modern, salah satu contoh yang diangkat adalah pembangunan mall. Sony Tandra
mengangkat isu akses yang terbuka terhadap pembangunan Poso dengan terjaminnya
sarana dan prasarana, salah satu contoh yang diangkat adalah listrik menyala 24
jam. Sementara itu Piet Ingkiriwang masih tetap mempertahankan isu keamanan, dengan
mendengung-dengungkan keamanan yang berhasil dicapai selama masa
pemerintahannya. Frans Sowolino mengangkat isu pendidikan berbasis digital, dan
membuat dewan rakyat untuk menjembatani legislatif dan eksekutif.
Berbagai isu tersebut
lepas dari pembicaraan tentang identitas keagamaan yang dipersepsikan sebagai
akar perpecahan dalam masyarakat Poso yang mengakibatkan konflik berkepanjangan.
Bahkan isu keamanan, tidak lagi diarahkan dalam bingkai antar-kelompok masyarakat
yang berbeda agama, atau dibicarakan dalam bingkai satu kelompok agama
tertentu. Kalaupun dibicarakan, tidak lagi menjadi ancaman tetapi sekedar
pembicaraan, saja. Piet misalkan, memformulasikan aspek
keamanan dalam visi: Terwujudnya Kabupaten Poso Yang Aman, Damai, Demokratis,
Bebas Korupsi Dan Masyarakat Poso yang Sejahtera, Sehat, Cerdas, Produktif yang
Didukung SDM yang Handal dan Berdaya Saing pada 2015. Tidak sedikitpun mengusik
persoalan antar-umat beragama atau antar-suku.
Bukan cuma isu keamanan
ditepiskan oleh ramainya lalu lintas massa kampanye, kotak-kotak identitas
menyatu dalam bendera-bendera beragam partai pengusung kampanye. Selanjutnya, Pemilukada
Poso 2010 menjadi “pesta” bagi masyarakat Poso.
Menyebutnya “pesta” bagi
masyarakat Poso karena dua hal, pertama,
aktivitas keseharian masyarakat seakan terhenti, terpusat pada semarak
kampanye. Beberapa keluarga berhenti melaut, hari untuk menanam padi
diagendakan ulang, perkuliahan berhenti sementara dan sebagainya. Keinginan
besar masyarakat untuk mengikuti rangkaian kampanye oleh kandidatnya, mungkin
saja lantaran tergiur oleh sarana dan prasarana yang diberikan baik berupa
atribut maupun uang. Namun kenyataan mereka memilih aktivitas yang lain dari
aktivitas keseharian yang mereka laksanakan bukanlah hanya karena kemungkinan
tersebut di atas. Harapan akan dipimpin oleh pemimpin yang terbaik dan
mempengaruhi kehidupan mereka juga menjadi bagian penting pertimbangan keikut-sertaan.
Jika tidak, maka hal kedua tidak akan terjadi.
Kedua,
masa kampanye biasanya terpusat pada kandidat calon bupati. Periode kampanye
tahun 2010 berlangsung sebaliknya, peserta kampanye menjadikan kampanye sebagai
ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri dan didengarkan. Alih-alih
membiarkan para kandidat menebarkan janji, sebagian besar masyarakat mendesak
para kandidat untuk mempertimbangkan apa yang paling diharapkan mereka. Di luar
segala pertimbangan tentang efektifitasnya, kontrak-kontrak politik diajukan
dan ditanda-tangani. Sementara itu, tanpa bermaksud menafikan tim sukses resmi
dari partai pengusung kandidat, tim sukses bayangan dibentuk dari orang-orang
yang dianggap bisa menjembatani kandidat dan massa pendukung. Janji-janji yang
diungkapkan tidak lagi sekedar diutarakan namun harus diberikan alasan-alasan yang
tepat. Karena, jika tidak, maka akan dipertanyakan. Ungkapan-ungkapan “itu
janji atau janjii (dalam bahasa Pamona berarti bohong)”, atau “yang menentukan
Poso ke depan bukan bupatinya siapa, tapi kita yang memilih bupati” sering
keluar dari mulut para calon pemilih. Sebab itu, alih-alih mendapatkan kaos,
uang transportasi, makanan bungkus, dan ikut berdendang, berjoget selama
kampanye hingga dero (tarian khas Poso) sebagai bagian dari strategi kampanye
para tim sukses, masyarakat tidak terlalu serius melihatnya sebagai daya darik
utama. Sebaliknya, mereka menikmati seluruh masa kampanye sebagai masa meriah
bersama-sama. Tidak menjadi daya tarik utama bisa terlihat dari sebagian besar
massa berada di hampir semua kandidat, termasuk bila tidak menerima sarana dan
prasarana alias harus menanggung sendiri biaya makan dan transportasi. Sulit
untuk menghitung massa riil.
Fenomena tersebut
menggambarkan bagaimana sebagian besar masyarakat melihat, mendengar, menilai,
mendiskusikan, dan mempertimbangkan semua hal untuk kemudian memutuskan. Sebuah
proses cerdas yang belajar dari pengalaman masa silam. Sebuah proses yang
membalikkan teori-teori massa pasca konflik, mematahkan strategi-strategi
kampanye yang hanya mengandalkan identitas, kelompok tertentu.
Di mana masa lalu dalam
seluruh kemeriahan kampanye Pilkada 2010? Salah seorang eks kombatan yang
mengklaim memiliki basis massa (Muslim) di wilayah Poso bergabung dengan eks
kombatan lainnya yang memiliki basis massa (Kristen) di wilayah Tentena menjadi
satu tim sukses. Ratusan hingga ribuan massa dengan segala atribut, termasuk
simbol keagamaan, naik mobil, sepeda motor dan truk dari Poso ke Tentena dan
sebaliknya. Ratusan orang yang selama lebih dari sepuluh tahun pasca konflik
kekerasan tidak pernah (baca:berani) bepergian ke wilayah Poso atau Tentena,
melintasi wilayah tersebut dengan perasaan aman. Tentu banyak perasaan
berkecamuk saat melewati wilayah-wilayah konflik kekerasan. Pun tentu saja
banyak ingatan dan trauma yang lahir dari wilayah-wilayah yang mereka singgahi
atau tuju. Pulang kampung bersama, begitu komentar salah seorang ibu yang sejak
tahun 1999 tidak pernah menginjakkan kaki lagi di kota Poso yang hanya berjarak
50 km dari tempat tinggalnya sekarang. Mengunjungi keluarga lama, sambung seorang
ibu lain dari wilayah Poso Kota yang sejak tahun 2002 berjanji tidak akan
pernah mengunjungi Tentena.
Pemandangan ini baru
ditemui dalam 10 tahun terakhir. Tidak ada kepalan tangan saat berselisih
jalan, hanya jari-jari yang menunjuk nomor tertentu. Tidak ada isu serang,
menyerang, mengepung, terkepung. Fenomena tersebut secara tegas membicarakan
masa lalu dengan cara menggugat hegemoni pengetahuan yang tertulis dalam
lembar-lembar laporan penelitian dan tulisan, hegemoni kekuasaan yang diterjemahkan
dalam kebijakan pemerintah tentang keamanan yang mendatangkan ribuan pasukan
keamanan, termasuk isu terorisme, menggugat hegemoni wacana tentang konflik
Poso.
Pertama,
ada re-interpretasi tentang masa lalu dengan mengurai konfigurasi kekuasaan
yang ada di balik pengawetan ingatan yang hegemonik tentang konflik Poso
sebagai konflik antar-umat beragama. Re-interpretasi ini lebih jauh lagi
diterjemahkan dengan tenggelamnya identitas agama dan suku sebagai pertimbangan
utama pemilih dalam menentukan pilihan. Tenggelamnya identitas sebagai isu
utama (berbanding terbalik dengan isu awal konflik Poso) menunjukkan
“kesepakatan” alami (yang diam namun memiliki dampak mendalam) tentang adanya
politisasi isu agama dalam konflik kekerasan yang mereka alami. Re-interpretasi
dalam prosesnya yang alami dan melahirkan kesepakatan ini pada akhirnya
melahirkan pengakuan tentang kepentingan bersama pada kekinian dan masa depan.
Pengakuan ini diekspresikan pada bergabungnya masyarakat lintas agama dan suku
dalam kerumunan massa kampanye tanpa gesekan dan sentimen tertentu. Bahkan, di luar
berbagai kepentingan ekonominya, antar-eks kombatan dari kedua kelompok
keagamaan bergabung dan memperjuangkan kandidatnya. Pengakuan ini membawa diri
dan komunitas pada titik diam sejenak, menyimak ulang, memaknai masa lalu
sebagai sesama manusia.
Kedua,
penundaan makna pada konsep-konsep yang hegemonik bahkan yang berkembang kini
pada gilirannya melakukan dekonstruksi masa lalu (baca: konflik). Dekonstruksi
ini tidak lagi sekadar dalam ingatan-ingatan masyarakat yang terpinggirkan
tetapi dalam aksi bersama massa yang membaur dalam aktivitas kampanye.
Alih-alih meletakkan masa kampanye sebagai bagian dari ritual politik dalam Pemilukada,
masyarakat Poso menempatkannya sebagai bagian penting proses re-interpretasi
yang menjadikan mereka melintasi batas identitas hingga akhirnya melakukan
dekonstruksi konflik Poso.
Ketiga,
dekonstruksi konflik Poso memiliki ruang kritik tidak saja terhadap hegemoni
wacana tentang konflik Poso sebagai konflik antar-umat beragama tapi juga
membuka kembali ruang pembicaraan wacana alternatif tentang kepentingan ekonomi
politik konflik Poso. Pasca konflik, masyarakat Poso dihadapkan pada kenyataan
bahwa di negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini sedang dikepung dengan
masuknya investor yang tidak saja meminggirkan rakyat, namun juga menyingkirkan
kedaulatan rakyat atas tanah dan seringkali memanipulasi hak rakyat atas nama
kesejahteraan dalam pemahaman yang kerdil. Sebab itu dekonstruksi konflik Poso melewati
persoalan identitas pada persoalan kehidupan bersama, sebagai rakyat yang
memiliki hak hidup atas tanah. Melawan bersama terhadap kooptasi kekuasaan,
investor dan militer menjadi mungkin.
Dalam suasana yang amat
cair itulah, pada 2 Juni 2010, 142.136 rakyat Poso yang memiliki hak pilih
berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang telah disiapkan oleh
Panitia Pemungutan Suara (PPS). Setelah melakukan penghitungan dan rekapitulasi
suara, KPU Kabupaten Poso menyatakan pasangan nomor urut 4 Piet
Inkiriwang-Syamsuri memenangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten
Poso. Pasangan incumbent yang diusung
Partai Demokrat ini memperoleh suara tertinggi 45.119 suara (38,76%)
Keputusan pemenang Pemilu
Poso itu diambil setelah KPUD merampungkan rekapitulasi hasil penghitungan
suara Pemilu dari jumlah daftar pemilih tetap mencapai 142.151, tercatat jumlah
suara sah dalam Pemilukada Poso berjumlah 116.402, dan suara tidak sah
berjumlah 1.126.
Pihak-pihak yang
keberatan dengan hasil pemilu tersebut diberi kesempatan selama tiga hari untuk
mengajukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). "Bila dalam masa 3
hari itu tidak ada keberatan yang disampaikan, maka tahapan pemilukada Poso
tinggal menunggu pelantikan calon terpilih yaitu pasangan Piet-Syamsuri pada
tanggal 30 Agustus mendatang," kata Ketua KPU Kabupaten Posos Iskandar
Lamuka.
Berdsarkan hasil
penghitungan, perolehan suara terbanyak kedua diraih pasangan Sony
Tandra-Muljadi yang diusung koalisi Partai Patriot Pancasila, PDIP, PBR, Republikan
dengan suara 30.712 suara (26,38%). Menyusul pasangan Frans Wangu
Sowolino-Burhanuddin Andi Masse yang diusung koalisi PDS, PKPI, PDP dengan
perolehan 21.579 suara (18,54%), dan juru kunci nomor urut 1, koalisi Partai
Golkar, PAN, PPP, Gerindra, pasangan Hendrik Garry Lyanto-Thalib Rimi dengan
perolehan 18.992 suara (16,32%).
Saksi dari tiga pasangan
kandidat yang kalah ini menolak menandatangani berita acara Rekapitulasi
Penghitungan Suara Tingkat Kabupaten Poso. Satu-satunya saksi yang bersedia bertanda
tangan adalah Yos Bangguna, S.Sos yang menjadi saksi untuk nomor urut 4.
Burhanuddin Hamzah, Ketua
Tim Pemenangan pasangan Tandra-Muljadi, mengatakan bahwa pihaknya tidak
bersedia menandatangani berita acara karena berubah-ubahnya data DPT (Daftar Pemilih
Tetap) yang mereka terima. “DPT pertama kami terima itu 142.107 pemilih,
kemudian ada perubahan lagi 142.136 pemilih dan terakhir 142.151 pemilih,” katanya
.
Burhanuddin mengatakan
akan mengajukan keberatan terkait hasil Pemilukada Kabupaten Poso “In syaa
Allah kita akan gunakan limit waktu itu, apakah dia di ranah Mahkamah
Konstitusi atau di pidana. Kalau pidana kami akan menyurat kepada Panwas,
Panwas Pemilukada akan meneruskan ke Penyidik dan Penyidik meneruskan ke
pengadilan. Jadi proses pengadilan dipercepat," kata Burhan.
Sedangkan saksi pasangan
Hendrik Gary Lyanto-Abdul Muthalib Rimi keberatan dengan hasil penghitungan
karena sertifikat penghitungan tingkat kecamatan tidak ditanda-tangani oleh
saksi dan sertifikat penghitungan suara tingkat TPS yang ada pada pihaknya
belum terekap secara baik sehingga masih membutuhkan waktu untuk memverifikasi
keseluruhan model C yang ada. Bahkan, pasangan Hendrik Gary Lyanto-Abdul
Muthalib Rimi mengajukan gugatan ke MK karena menilai terjadi kecurangan yang terstruktur,
sistematis dan massif.
Mahkamah Konstitusi pun menolak
gugatan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Poso. Sebab, pemohon tak
bisa membuktikan tuduhannya bahwa terjadi kecurangan yang sistematis,
terstruktur, dan massif dalam pemilihan tersebut. "Mahkamah berkesimpulan
dalil pemohon tidak terbukti. Mahkamah menyatakan menolak permohonan
pemohon," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (saat itu) Mahfud Md dalam
pembacaan putusan di sidang pleno MK, 1 Juli 2010.
Dan, tanggal 30 Agustus
2010 pasangan Bupati dan Wakil Bupati Poso (2010-2015) terpilih Piet Inkiriwang
– Syamsuri dilantik oleh Gubernur Sulawesi Tengah (atas nama Menteri Dalam
Negeri) dalam sidang paripurna DPRD Kabupaten Poso.
Ihwal kepemimpinannya di
periode kedua (2010-2015), Piet Inkiriwang bertutur dengan sedikit kilas balik:
“Tiga bulan pertama di
periode pertama itu kondisi Poso sudah mulai kondusif. Dan memasuki tahun 2007,
kami mulai membangun. Saat itu kami sudah memperoleh dana recovery dari Pemerintah Pusat sebesar Rp58 miliar. Kami dapat
banyak dana untuk rekonstruksi. Pada periode kedua ini saya sengaja membawa
Poso mau lepas landas. Sejak tahun 2008, ada penerbangan Merpati masuk ke Poso.
Juga masuk kapal Pelni di sini. Kapal-kapal barang pun masuk, bawa semen dan
barang-barang yang dibutuhkan di sini. Barang dari Makassar mahal, setelah ada
kapal dari Surabaya, harga bisa kompetitif. Kami buka semua alur perhubungan
udara, darat dan laut.” (*)
No comments:
Post a Comment