Peraturan Direksi Nomor 211 Tahun 2014 seharusnya tidak bisa merevisi Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2014.
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mendorong perbaikan regulasi yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Nasrudin, dalam diskusi yang digelar Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape) di Jakarta, Senin (22/12).
Menurut Nasrudin, salah satu aturan yang perlu diperbaiki yakni Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pembayaran Peserta Perorangan BPJS Kesehatan yang telah direvisi Peraturan Direksi BPJS Kesehatan Nomor 211 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran dan Penjaminan Peserta Perorangan BPJS Kesehatan.
Nasrudin berpendapat Peraturan Direksi Nomor 211 Tahun 2014 itu seharusnya tidak bisa merevisi Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2014. Peraturan Direksi itu harusnya berisi ketentuan yang mengatur pelaksanaan Peraturan BPJS Kesehatan. “Peraturan Direksi tidak diakui dalam lembaran negara,” ujarnya.
Mengingat regulasi itu dikritik banyak pihak, Nasrudin berjanji akan mengakomodasi masukan masyarakat kemudian disampaikan kepada BPJS Kesehatan untuk memperbaiki peraturan tersebut. Menurut dia, proses pembentukan Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2014 dan Peraturan Direksi Nomor 211 Tahun 2014 tidak melibatkan Kemenkumham.
“Kami hanya berwenang mencatatkan Peraturan BPJS Kesehatan dalam lembaran negara. Tapi kami menerima masukan masyarakat dan akan disampaikan kepada BPJS Kesehatan untuk merevisi peraturan itu,” kata Nasrudin.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Asih Eka Putri, menilai Peraturan BPJS Kesehatan itu patut direvisi. Misalnya, terkait masa aktivasi kartu BPJS Kesehatan selama tujuh hari. Kemudian, bayi baru lahir dari peserta BPJS Kesehatan yang harusnya otomatis terdaftar sebagai peserta.
Untuk bayi baru lahir, Asih mengingatkan harus ditentukan berapa lama jangka waktu berlakunya. Misalnya, bayi baru lahir otomatis jadi peserta BPJS Kesehatan selama tujuh hari kedepan. Dalam waktu tujuh hari itu orang tua harus mendaftarkan bayinya menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Kepesertaan otomatis bagi bayi baru lahir itu, menurut Asih, juga harus dibatasi jangka waktu berlakunya. Sebab, bayi baru lahir yang membutuhkan tindakan medis seperti perawatan di ruang inkubator membutuhkan biaya besar. Semakin lama tindakan medis itu diberikan maka berpotensi mempengaruhi sistem asuransi sosial yang berjalan.
Dalam rangka memenuhi hak konstitusi rakyat Indonesia atas kesehatan, Asih berpendapat mestinya pemerintah memberikan suntikan dana kepada BPJS Kesehatan. Sehingga membantu BPJS Kesehatan menangani klaim peserta, khususnya kategori peserta bukan penerima upah atau mandiri termasuk bayi baru lahir.
Untungnya, pemerintah berupaya menyiapkan dana bantuan itu. Asih menyebut dana itu tahun depan akan diberikan kepada BPJS Kesehatan. Dana itu juga ditujukan untuk mengatasi data kemiskinan yang statis yang akibatnya sebagian masyarakat tidak tercakup sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). “Tahun depan akan ada dana buffer,” urainya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Danel Yusmik, berpendapat BPJS Kesehatan punya diskresi untuk menerbitkan peraturan. Namun, ia melihat ada berbagai hal yang belum terbayangkan bakal terjadi untuk diatur dalam peraturan BPJS Kesehatan itu. Untuk itu dalam melaksanakan wewenangnya membentuk peraturan, BPJS Kesehatan tidak boleh menerbitkan regulasi yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Daniel juga menekankan dalam membentuk peraturan, BPJS Kesehatan jangan berprasangka buruk terhadap peserta khususnya kategori mandiri. Yang harus diutamakan adalah pemenuhan hak konstitusional masyarakat atas kesehatan. Selaras hal tersebut pemerintah harus membantu BPJS Kesehatan melaksanakan tugasnya itu. Diantaranya terkait pendanaan untuk BPJS Kesehatan. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment