SHUTTERSTOCK
IlustrasiKoordinasi manfaat antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan perusahaan asuransi komersial belum berjalan seperti yang diharapkan. Ada banyak hal teknis belum disepakati sehingga kepentingan kedua pihak belum terakomodasi, manfaat yang diterima peserta program tersebut berkurang, dan badan usaha bisa terbebani membayar iuran ganda.
Hal itu terungkap dalam diskusi ”Kupas Tuntas Koordinasi Manfaat (CoB) antara BPJS Kesehatan dengan Asuransi Swasta dan Badan Penjamin Lainnya”, Kamis (29/1), di Jakarta.
Anggota tim Teknis Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, Angelia Agustine, mengatakan, sejauh ini sejumlah perusahaan asuransi swasta menandatangani perjanjian kerja sama terkait koordinasi manfaat dengan BPJS Kesehatan. Namun, mekanisme koordinasi manfaat belum jelas diatur.
Hal tersebut mengakibatkan badan usaha yang mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengeluarkan biaya ganda. Hal itu karena khawatir mutu layanan yang ditawarkan program lebih rendah daripada yang mereka miliki selama ini.
Selain itu, pengaturan koordinasi manfaat bagi perusahaan yang selama ini mengelola sendiri (swakelola) biaya jaminan kesehatan bagi pekerjanya belum jelas diatur.
Ketua Bidang Jaminan Sosial Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia Timoer Sutanto menyatakan, mekanisme koordinasi manfaat, terutama perusahaan yang mengelola sendiri jaminan kesehatannya dengan sistem klaim, belum jelas diatur. ”Belum ketemu mekanisme CoB yang disepakati. Masih ada waktu sampai Juni untuk membahas CoB bersama BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Perjanjian kerja
Prinsipnya, perusahaan tak ingin melanggar perjanjian kerja bersama yang disepakati dengan pekerja karena implikasinya luas. Jadi, kemungkinan badan usaha tetap membayar iuran JKN sebagai bentuk kepatuhan pada regulasi, tetapi itu tak dipakai karena khawatir manfaat yang didapat lebih rendah. Perusahaan tetap memakai asuransi komersial untuk jaminan kesehatan pekerjanya.
Menurut Angelia, di lapangan ditemui sejumlah kasus, yakni pasien membawa surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) lalu dirawat di rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan di kamar sesuai kelas kepesertaan. Namun, RS itu tetap menagihkan sebagian biaya kesehatan pada asuransi komersial. ”Kasus seperti ini banyak terjadi. Padahal, kalau sudah manage care, seharusnya biayanya sesuai paket,” katanya.
Jika ada selisih pembayaran pun, lanjut Angelia, belum tentu asuransi komersial mengganti karena biaya di luar ketentuan polis peserta tak akan diganti. Manage care adalah upaya mengintegrasikan pembiayaan dan pelayanan kesehatan bagi peserta.
Hingga kini, 49 perusahaan asuransi swasta telah menandatangani perjanjian kerja sama koordinasi manfaat dengan BPJS Kesehatan, terdiri dari 26 perusahaan asuransi jiwa dan 23 perusahaan asuransi umum.
Beberapa hal yang diatur adalah koordinasi manfaat hanya bagi rawat inap di RS dan berlaku jika naik kelas kamar. Hal lain ialah di 12 RS yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, berlaku koordinasi manfaat untuk naik kelas kamar jika ada rujukan dari FKTP BPJS Kesehatan.
Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fadjriadinur menyatakan, koordinasi manfaat sudah jalan, tetapi belum banyak asuransi komersial memiliki produk yang sesuai. Masih dicari titik keseimbangan antara tuntutan BPJS Kesehatan dan keinginan perusahaan asuransi komersial. ”Asuransi komersial yang punya produk manage care kumpulan sudah bisa CoB,” ujarnya.
Angelia mengatakan, ada beda persepsi BPJS Kesehatan dengan asuransi komersial tentang koordinasi manfaat. BPJS Kesehatan melihat koordinasi manfaat sebagai produk. Adapun perusahaan asuransi swasta menilai koordinasi manfaat tak dibatasi produk. Koordinasi dilihat sebagai konsep pembayaran dua atau lebih penanggung menjamin orang sama untuk manfaat sama.
Ketua Komisi Kebijakan Umum Dewan Jaminan Sosial Nasional Soeprayitno berpendapat, BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta sulit disatukan dalam skema koordinasi manfaat. Alternatif solusinya, asuransi memiliki formula perhitungan seperti pembayaran prospektif dengan Indonesia Case Based Group (INA CBG).
Menurut Timoer, kunci koordinasi manfaat ada di RS. RS yang menerapkan prinsip manage care agar efisien akan bisa menerapkan sistem pembayaran prospektif dengan INA CBG. (http://health.kompas.com)
No comments:
Post a Comment