Anggota DPD RI Dapil DIJ Hafidh Asrom mende-sak pemerintah bertindak
cepat mela kukan standardisasi penye-leng garaan jaminan kesehatan
nasional (JKN), khusunya ter-kait dengan layanan Badan Penye-lenggara
Jaminan Sosial (BPJS).Standardisasi itu, antara lain me-nyangkut
penentuan tarif iuran bagi peserta BPJS Kesehatan. “BPJS juga harus
segera me nyelesaikan protes atau kebe ratan para dokter dan rumah sa
kit mitra terhadap rendahnya bia ya kapitasi,” ungkap Hafidh di sela
sosialisasi dan penyera-pan aspirasi JKN-BPJS di Balai De-sa
Caturtunggal, Depok, Sleman, kemarin (26/2). Hadir da lam acara itu,
Kades Catur Tunggal Agus San-tosa dan Kepala BPJS Ca bang Uta-ma
Jogjakarta Donny Hendrawan.DPD juga meminta diadakan koordinasi,
sinkronisasi, dan harmonisasi kebijakan terhadap kementerian terkait,
dan BPJS. Terutama menyangkut maslah validasi data kepesertaan JKN-BPJS
Kesehatan secara berkala, penguatan sarana pelayanan kesehatan,
integrasi Jamkesda pada JKN BPJS Kesehatan, dan transformasi kartu BPJS
kepada Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Hafidh berharap BPJS Keseha-tan lebih
siap membentuk pe-rangkat organisasi di desa atau kelurahan. Itu sangat
penting agar peserta dapat memperoleh informasi dan pelayanan kese-hatan
lebih baik.Diakui, pelaksanaan JKN turut menjadi kajian seriu karena di
lapangan masih ditemuai bebe-rapa kekurangsiapan pemerin-tah
menjalankan amanat UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS.“Baik itu masalah
regulasinya maupun kesiapan di lapangan. Sehingga perlu ada kecepatan
dan ketepatan dalam mengintegrasi-kan data ke JKN,” lanjut Hafidh.DPD,
sesuai ketentuan pasal 22 C dan 22 D UUD 1945 dan UU No 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, dan DPRD, memiliki kewenangan mempresentasikan
kepentingan masyarakat, dan daerah untuk berkontribusi memberikan
masu-kan, pandangan, saran dan pe-mikiran terkait dengan implemen-tasi
UU No 24 Tahun 2011 tentang Pembentukan BPJS. Berdasarkan temuan Komite
III DPD, terang Hafidh, sejumlah persoalan muncul dalam pelaks-anaan
BPJS Kesehatan. Antara lain keputusan pemerintah da-lam menetapkan
penerima ban-tuan iuran (PBI) yang relatif kecil per bulan per orang.
Di-tambah lagi penetapan biaya kapitasi ke pelaksana pelayanan kesehatan
yang relatif rendah menyebabkan protes para dok-ter dan rumah sakit di
beberapa mitra kerja BPJS JKN di daerah.
Peserta KJS yang juga otomatis sebagai
peserta BPJS Kesehatan, kerap kali diharuskan membeli obat sendiri,
sehingga membe-ratkan pasien KJS. Ditambah lagi, regulasi tentang harga
obat sampai saat ini juga belum jelas.Selanjutnya kekurangsiapan BPJS
Kesehatan, khususnya terkait pe-rangkat organisasi BPJS Kesehatan
tingkat kelurahan atau desa sa ngat mempengaruhi kualitas dan ku-antitas
sosialisasi dan pelayanan kepada peserta. “Transformasi JPK Jamsostek
ke BPJS Kesehatan mengabaikan atau meninggalkan peserta JPK pe-kerja
mandiri yang tidak otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal
sesuai UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, sangat jelas menyatakan peserta
JPK Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan,” papar Hafidh.
Permasalahan pendaftaran menjadi peserta BPJS Kesehatan juga dikeluhkan
masyarakat. Itu karena banyak lokasi pendaf taran hanya ada di
lokasi-lokasi ter-tentu, sehingga terjadi penum-pukan calon
pendaftar.“Pelayanan yang diperoleh peserta BPJS Kesehatan dianggap oleh
masyarakat (peserta) masih kurang maksimal. Bahkan di beberapa daerah
ada yang dito-lak oleh sejumlah rumah sakit atau fasilitas kesehatan
lainnya,” lanjutnya. (http://www.radarjogja.co.id/)
No comments:
Post a Comment