Jakarta,
tahun 1966. Menjelang akhir pemerintahan Orde Lama, krisis multidimensi melanda
Republik Indonesia, tidak terkecuali Ibukota Jakarta. Angka inflasi mencapai
600-an persen. Anggaran pembangunan Jakarta cuma tersedia Rp66 juta. Sebuah
angka yang sudah barang tentu tidak cukup buat membangun Jakarta yang ketika
itu sudah berpenduduk sekitar 3,4juta jiwa. Butuh dana yang sangat besar untuk
merapikan Jakarta yang oleh pemerintah kolonial Belanda dulu hanya disiapkan
untuk menampung sekitar 600 ribu sampai 800 ribu jiwa.
Di saat Jakarta karut-marut seperti itulah, Presiden Soekarno menunjuk
dan melantik Letjen TNI Mar (Purn) Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Beberapa saat setelah dilantik, Bang Ali –sapaan akrab Ali Sadikin— berpikir
keras bagaimana cara efektif memperoleh dana untuk membangun Jakarta. Waktu
itu, beberapa sudut Ibukota Jakarta sudah diwarnai oleh lokasi-lokasi perjudian
dan pelacuran liar yang dikenal dengan “becak komplit”. Banyak pihak mengambil
untung dari praktik perjudian dan pelacuran tersebut. Sedangkan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta hanya bisa gigit jari.
Muncullah ide kontroversial dari benak Bang Ali. Dia langsung membuat
gebrakan dengan melegalisasi perjudian. Untuk mengisi pundi-pundi anggaran
daerah, Bang Ali pun nekat mengizinkan opersional bar dan panti pijat. Yang
penting baginya, ada dana untuk membuat mulus jalan-jalan di seluruh wilayah Jakarta.
Kritik keras yang datang dari para ulama pun tidak didengarnya.
Buat merealisasikan idenya itu, Bang Ali mengumpulkan aparatur
Pemerintah DKI Jakarta. Pada kesempatan itu Bang Ali bertanya ke mereka,
“Saudara-saudara ini dapat berapa, sih, penghasilan dari judi? Akan saya ganti,
malah bisa lebih tinggi.” Para aparatur tidak bisa melawan. Sebab, mereka
memang memperoleh uang dari judi namun tidak bisa mempertanggung-jawabkan
ketertibannya.
“Waktu itu ada empat tempat judi yang dijaga tentara. Lalu staf
saya langsung mengatur, semua duit dari judi langsung masuk ke rekening bank.
Dari judi ini Pemerintah Jakarta memperlah masukan sekitar Rp40 miliar per
tahun,” ujar Bang Ali dalam satu kesempatan.
Selain memungut pajak dari perjudian, Ali Sadikin juga memberikan
izin operasional tempat hiburan malam dan melegalisasi pelacuran. Namun dia menandaskan
bahwa upaya itu sebagai bagian dari melayani masyarakat. Karena itu, dia berani
memberi izin operasional dan menarik pajak dari perjudian judi, steam bath dan klub-klub malam, terutama
untuk orang asing. Sehabis bekerja, pekerja-pekerja asing itu biasanya tak mau langsung
pulang, tapi pergi ke klub untuk minum kopi. Pembukaan klub-klub itu dilakukan
untuk melayani masyarakat kelompok ini.
Sedangkan pelacuran, Jakarta pada masa pertengahan tahun 1960-an
itu setiap menjelang malam bertebaran “becak komplet”. Maksudnya, ada kerjasama
si abang becak dengan pelacur untuk berkeliling menjajakan diri. Si tukang
becak itulah yang menjadi makelarnya. Daripada berkeliaran dan meresahkan warga
Jakarta, maka dibuatlah lokalisasi di Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Dulu,
tanah yang digunakan untuk lokasi pelacuran itu sudah dibeli Pemerintah DKI
Jakarta. Repotnya, ketika proyek telah berjalan, warga masyarakat yang datang
belakangan menuntut ganti rugi. Artinya, arsip bukti aset-aset Pemda itu lenyap
entah ke mana sekarang.
Pada akhir masa jabatannya tahun 1977, Bang Ali meninggalkan
uang di kas daerah sebesar Rp89,5 miliar. Juga, jalan-jalan yang mulus,
penambahan ratusan sarana pendidikan dan kesehatan, terminal bus dan pasar. Bang
Ali juga mewariskan sejumlah bangunan penting seperti Taman Ismail Marzuki bagi
para seniman dan sebuah gelanggang mahasiswa di daerah Kuningan.
Bang Ali pun punya andil bagi berdirinya Taman Mini Indonesia
Indah (TMII). Mengenai hal ini, Ali Sadikin meluruskan bahwa TMII berdiri
karena gagasannya bersama dengan Ny. Tien Soeharto. “Kalau tidak ada beliau,
TMII tidak lengkap. Beliau bisa memerintahkan tiap provinsi membangun paviliun
di tempat itu. Itu jasa Ibu Tien,” kata Bang Ali seusai menerima Bintang Mahaputera Adipradana, 12
Agustus 2003.
Begitu pula realisasi pembangunan kawasan Ancol yang berasal
dari gagasan Bung Karno, orang yang sangat dihormati dan disayangi. Taman
Ismail Marzuki berdiri untuk mengenang Ismail Marzuki yang merupakan seniman
dan pahlawan. Kebun Binatang adalah salah satu tempat konsentrasi pariwisata.
Sayang, kini sebagian besar gedung itu telantar atau berubah
fungsi. Sebagian areal gelanggang mahasiswa tersebut disulap menjadi pertokoan.
Harapan untuk menjadikan Pusat Perfilman Usmar Ismail sebagai Hollywood-nya
Indonesia pun tak terwujud.
Perubahan Jakarta saat ini membuat Bang Ali merasa dikhianati.
Berbagai fasilitas untuk rakyat yang sudah dibangunnya ternyata tidak
dipelihara, ada yang rusak, bahkan sebagian ditukar-guling (ruilslag). Menurut pandangannya, para
penggantinya sebagai Gubernur Jakarta tidak ada yang menambah fasilitas untuk
rakyat.
Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brodjonegoro di
Jalan HR Rasuna Said yang dimaksudkan buat tempat kumpul-kumpul para mahasiswa,
sekarang malah diganti menjadi pertokoan. Lalu gelanggang remaja di Bulungan justru
disewakan untuk swasta. Gedung Perfilman Usmar Ismail di Kuningan yang
diproyeksikan menjadi pusat film semacam Hollywood di Amerika Serikat, sekarang
tanahnya di-ruilslag. Dulu di tiap
kecamatan juga ada balai rakyat yang bisa dipakai untuk hajatan, olah raga, dan
segala macam, tetapi sekarang entah ke mana. ***
No comments:
Post a Comment