Mulai Januari
2014, BPJS Kesehatan mulai operasional. Sejumlah persiapan kini dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan. Warga masyarakat miskin berharap BPJS Kesehatan mampu
menjadi tumpuan layanan murah, bahkan gratis.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nestapa Ika Puspandari,
warga Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, yang harus kehilangan
anaknya yang sakit jantung bocor dan mesti menjaminkan sertifikat tanah ke RS
Dr Sardjito Yogyakarta lantaran masih kekurangan pembayaran biaya rawat inap
sebesar Rp19 juta.
"Sertifikat tanah yang kami jaminkan adalah sertifikat
milik saudara saya. Karena tidak ada uang untuk membayar, kami menggunakan
sertifikat itu," kata Ika Puspandari saat mengadu ke Lembaga Ombudsman
Jateng dan DIY sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara akhir tahun 2011.
Ika bercerita, kekurangan pembayaran biaya rawat inap di RS
Sardjito itu bermula ketika anaknya yang berumur empat bulan sakit jantung pada
2009. Karena kondisi kesehatan anaknya yang makin parah mengharuskan dirujuk
dari RS Panti Rini di Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, ke RS Dr Sardjito
Yogyakarta, masih di tahun 2009.
"Anak saya yang didiagnosa menderita pneumonia PJB Asianotik
atau jantung bocor itu telah meninggal pada akhir 2009. Total biaya perawatan
anak saya di RS Sardjito yang belum bisa saya lunasi sebesar Rp19 juta,"
katanya.
Pihak rumah sakit ketika itu meminta sertifikat tanah atau apa
pun sebagai jaminan biaya yang belum dilunasi, sehingga Ika Puspandari terpaksa
meminjam sertifikat tanah milik saudaranya.
Kematian memang sudah menjadi suratan takdir anak manusia. Tapi,
Ika Puspandari tetap berikhtiar maksimal menyelamatkan si buah hati walau tidak
punya uang yang cukup untuk membayar pelayanan rumah sakit. Sampai-sampai ia
harus meminjam sertifikat tanah buat jaminan atas kekurangan biaya rawat inap. Ya
sebatas itu yang bisa ia lakukan. Ika tidak memiliki asuransi kesehatan yang
meng-cover biaya perawatan anaknya. Barangkali
pula memang tidak ada asuransi kesehatan yang meng-cover pembiayaan perawatan penyakit bawaan.
Ika bisa jadi hanyalah sebuah potret buram warga kurang
beruntung yang berharap pelayanan rumah sakit secara memadai. Masih banyak
warga kurang beruntung yang kemudian cuma dapat bermimpi memperoleh pelayanan
kesehatan penuh keramahan. Misalkan Patenah, warga Koja, Jakarta Utara, yang
harus berobat ke RCSM gara-gara RS dekat rumahnya menolak kendati ia sudah
mengantongi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Pengalaman kedua warga kurang beruntung tadi membuat was-was
warga masyarakat miskin di banyak daerah. Wanto, warga Kelurahan Gedongkuning,
Kecamatan Kotagede, Yogyakarta, merasa was-was lantaran Kartu Menuju Sehat
(KMS) miliknya dicabut oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Pedagang angkringan ini
ketakutan keluarganya tidak bisa lagi memanfaatkan jaminan sosial seperti
jaminan pendidikan dan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Banyak orang
seperti Wanto kini menggantungkan hak pelayanan kesehatan pada KMS, SKTM, Kartu
Gakin dan sejenisnya. Apalagi kini Pemerintah terus menyempurnakan pelaksanaan
Jamkesmas dan bersiap mengimplementasikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
UU BPJS yang telah diundangkan pada akhir November 2011, oleh
pemerintah dan DPR, dijadikan titik pijak awal bangsa Indonesia menuju
terwujudnya jaminan sosial menyeluruh bagi seluruh rakyat tanpa kecuali dan
tanpa diskriminasi, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28 Hayat (3) dan Pasal 34 ayat
(2), serta UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
Sedemikian pentingnya pengembangan jaminan sosial nasional
menyeluruh bagi seluruh rakyat tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi. Dan titik pijak
itu dimulai sistem pembiayaan kesehatan melalui program jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas), terutama yang berpihak pada masyarakat miskin. Program
Jamkesmas mulai digulirkan tahun 2008. Program ini sebagai penyempurnaan upaya
pemeliharaan kesehatan penduduk miskin yang dimulai dengan pengembangan Program
Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) tahun 1998–2001, Program Dampak Pengurangan
Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001, Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak
(PKPS-BBM) Tahun 2002-2004, dan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin)
di bawah pengelolaan PT Askes (Persero) pada 2004-2008.
Program Jamkesmas kini telah menuai banyak hasil pencapaian, terbukti
dengan terjadinya kenaikan yang luar biasa dari pemanfaatan program ini dari
tahun ke tahun oleh masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dan
pemerintah telah meningkatkan jumlah masyarakat yang dijamin maupun
pendanaannya. Tahun 2012 ini pelaksanaan
Jamkesmas disempurnakan dan ditingkatkan, mulai dari aspek kepesertaan,
pelayanan kesehatan, pendanaan, organisasi dan manajemen. Untuk aspek
kepesertaan, Jamkesmas mencakup 72,04 juta jiwa dengan dilakukan updating peserta Jamkesmas di Kabupaten/Kota,
optimalisasi data masyarakat miskin, termasuk gelandangan, pengemis, anak
terlantar dan masyarakat miskin tanpa identitas. Peningkatan peran pemerintah
daerah dalam berkontribusi terhadap masyarakat miskin di luar kuota. Dalam
program ini, masih melibatkan PT Askes (Persero) yang mulai Januari 2014
bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan. PT Askes melaksanakan tugas dalam
manajemen kepesertaan Jamkesmas. Juga akan dilakukan peningkatan pelayanan
kesehatan dan penerapan sistem Indonesian Diagnosis Related Group (INA–DRG)
dalam upaya kendali biaya dan kendali mutu pada seluruh Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPK).
Peserta program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak
mampu. Sasaran peserta secara nasional ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes)
sesuai SK Menkes Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 yang mengacu pada SK
Bupati/Walikota tentang penetapan peserta Jamkesmas serta gelandangan, pengemis, anak terlantar,
masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas, pasien sakit jiwa kronis,
penyakit kusta dan sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang belum menjadi
peserta Jamkesmas.
Apabila masih terdapat masyarakat miskin yang tidak terdapat
dalam kuota Jamkesmas, pembiayaan kesehatannya menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah setempat dan mekanisme pengelolaannya mengikuti model
Jamkesmas. Hal ini dimaksudkan agar semua warga masyarakat miskin terlindungi
jaminan kesehatan dan di masa yang akan datang (tahun 2014) dapat dicapai universal coverage. Sampai saat ini masyarakat yang sudah ada jaminan
kesehatan baru mencapai 50,78% dari sekitar 237,5 juta jiwa penduduk.
Implementasi dan pengguliran program Jamkesmas yang ditopang
Jamkesda bukan berarti tanpa hambatan. Beberapa daerah bahwa merasa kesulitan
karena banyak rumah sakit yang tidak siap menyediakan ruang perawatan kelas
III, dana yang telat sampai pada RS provider, dan pendataan warga miskin yang
dirasakan kurang jelas. Hal-ha seperti ini mesti dibenahi agar BPJS Kesehatan
tidak menghadapi kendala-kendala yang sebenarnya telah diketahui.
Untuk kesiapan operasional BPJS Kesehatan per Januai 2014, Anggota
Komisi IX DPR Herlini Amran mengingatkan, Kemenkes harus melakukan melakukan penambahan fasilitas
tempat tidur kelas III di rumah sakit (RS) secara masif pada 2012 ini baik di
rumah sakit umum daerah (RSUD) maupun RS swasta. Pihaknya meminta rumah sakit
pemerintah di daerah agar bisa menambah tempat tidur kelas III hingga 50%.
Selain RS pemerintah, RS swasta juga akan diwajibkan menambah
jumlah tempat tidur kelas III, yang saat ini baru sekitar 10% dan diharapkan
mencapai 25% mulai tahun 2012 ini. ”Saat ini tercatat ada 114.000 tempat tidur
bagi pasien kelas III yang disediakan 1.080 RS penerima dana Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) di seluruh Indonesia. Jumlah itu dinilai masih kurang
dan akan ditingkatkan hingga dua kali lipat,” jelas Herlini sebagaimana
dilansir Koran SINDO belum lama ini.
Ke depan, kata dia, seluruh pasien di kelas III akan ditanggung
pemerintah lewat Jamkesmas yang kemudian bermetamorfose menjadi Jaminan
Kesehatan Nasional (Jamkesnas). Karena itu, Kemenkes harus segera
berkoordinasi, baik dengan RS pemerintah maupun swasta untuk mensinergikan
penambahan kasur tersebut dalam upaya persiapan kebijakan seluruh fasilitas RS
kelas III gratis.
Selain penambahan fasilitas tempat tidur untuk kelas III, Herlini
juga mengimbau agar Kemenkes dapat berkoordinasi dengan pengelola RS swasta
agar dapat menerima pasien peserta jaminan kesehatan, yakni Jamkesmas/Jamkesnas,
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Jaminan Persalinan (Jampersal), dan
Asuransi Kesehatan (Askes). ”Karena baru sekitar 300 RS swasta yang melayani
pasien jaminan kesehatan dari total 700 RS swasta di Indonesia,” jelas Herlini.
“Diharapkan Kemenkes melakukan persiapan yang matang menuju BPJS
Kesehatan mulai tahun ini. Jangan sampai menjadi kagetanketika sudah mendekati
2014 masih banyak perangkat persiapan BPJS Kesehatan yang belum terlaksanakan,”
tandasnya.
Untuk mencapai universal
coverage pada tahun 2014 memang perlu ada sinergi antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Hal yang paling penting dalam mensinegikan jaminan
kesehatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah masalah
pembiayaan. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdapat dalam Keputusan
Bupati/Walikota akan dibiayai dari APBN, Masyarakat miskin dan tidak mampu di luar
kuota ditanggung oleh Pemerintah Daerah dengan sumber biaya dari APBD, Kelompok
Pekerja dibiayai dari institusi masing-masing ( PNS, AsabriI, Jamsostek) dan
kelompok individu (kaya dan sangat kaya) membiayai diri sendiri dengan asuransi
kesehatan komersial atau asuransi kesehatan lainnya.
Sampai saat ini sudah banyak Pemerintah Daerah yang mempunyai
kemampuan menyediakan dana melalui APBD dalam rangka memberikan jamianan
kesehatan bagi masyarakatnya di luar kuota Jamkesmas. Namun pelaksanaanya
antara pemerintah daerah yang satu dengan pemerintah daerah yang lain
berbeda-beda. Pemerintah Provinsi Jawa Barat misalkan, mulai tahun 2012 ini
menerapkan KTP Berasuransi Kesehatan untuk warga miskin. Pemerintah Kabupaten
Bantul (DIY) lain lagi cara yang ditempuhnya, yakni menggulirkan gerakan seribu
rupiah untuk membantu pelayanan kesehatan warga miskin.
Kementerian Kesehatan mengaku sedang mempersiapkan peraturan
untuk operasional BPJS Kesehatan yang diberlakukan mulai 2014. "Ada
beberapa hal yang dipersiapkan, khususnya persiapan peraturan-peraturan untuk
mendukung BPJS Kesehatan," jelas Menteri Kesehatan Endang Rahayu
Sedyaningsih baru-baru ini. Ia menambahkan, sebelum 2014, peraturan dimaksud sudah
rampung dan BPJS Kesehatan siap jalan.
Sementara itu Hasbullah Thabrany dari Center for Health
Economics and Policy Universitas Indonesia (UI) mengingatkan perlunya dukungan
sistem informasi atau link yang
terhubung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk operasional BPJS
Kesehatan. "Semua data peserta harus terdaftar dan terekam dalam database nasional," kata Hasbullah
belum lama ini.
Selain itu, dalam mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan,
kualitas dan moralitas petugas BPJS harus di-upgrade dengan pemberian pemahaman jabatan publik agar dalam
melakukan tugas sepenuhnya untuk memuaskan peserta.
Sebelum sampai pada perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) dan
fasilitas penunjang, ujar Hasbullah, pertama kali Pemerintah harus menuntaskan
Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Jaminan
Kesehatan dan BPJS Kesehatan di tahun 2012. Selain itu, menurut dia,
sosialisasi UU SJSN dan UU BPJS ke seluruh rakyat juga sangat diperlukan. "Sediakan
dana Rp1 hingga Rp2 triliun untuk kesiapan, sosialisasi, dan sinkronisasi
peraturan teknis," jelasnya.
Hal yang tidak kalah penting untuk mempersiapkan beroperasinya
BPJS Kesehatan adalah PT Askes yang akan diubah menjadi BPJS I, harus mengubah
semua prosedur dan mind set para
stafnya agar konsisten dengan tugas UU SJSN dan UU BPJS. Kementerian Kesehatan
dan Pemerintah Daerah, dibantu oleh swasta, juga harus membangun lebih banyak
tempat tidur di Rumah Sakit kelas I, II, dan III.
Sedangkan untuk mempercepat persiapan beroperasinya BPJS Kesehatan, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat
(FKM) UI ini mengatakan dapat dilakukan dengan persiapan cakupan, memperluas
penerima bantuan iuran, penduduk miskin, tidak mampu dan penduduk di sektor informal
dengan besaran minimum Rp20 ribu per orang per bulan. Menurutnya dana APBN dan
APBD cukup memadai untuk digunakan, hanya saja saat ini belum ada political will dari pemerintah.
"Pemda membayar sebagian iuran, sharing dengan pemerintah pusat, agar rakyatnya segera terjamin.
Selain itu perlu ada penegakan hukum untuk pengusaha yang belum bayar iuran
kesehatan," jelasnya lagi.
Beberapa bidang yang paling krusial yang harus dibenahi dalam
pelayanan kesehatan di antaranya pelayanan yang non-diskriminatif, sosialisasi
kepada seluruh dokter yang bekerja di Rumah Sakit, Klinik dan Puskemas. Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) beserta Dinas
Kesehatan juga perlu mensyaratkan sertifikasi pemahaman atau ujian mengenai
Jaminan Kesehatan Nasional agar bisa melayani dengan baik dan benar, menghitung
besaran iuran dan pembayaran yang sesuai, yang bisa diterima pasar. ***
No comments:
Post a Comment