Sunday, January 27, 2013

Bentuklah BPJS dengan Prinsip Kearifan Lokal


Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah diundangkan mulai akhir tahun 2011 lalu. Salah satu mandat penting UU BPJS adalah Pemerintah harus segera membentuk dan menyusun BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan paling lambat bulan Juli 2015. Mandat yang cukup alot ketika pembahasan di DPR itu masih menyisakan sejumlah tanda tanya yang cukup menggelitik. Satu di antaranya, haruskah secepat itu membentuk BPJS Ketenagakerjaan yang diperkirakan akan menghadapi persoalan peleburan yang amat kompleks. Berbeda dengan BPJS Kesehatan yang cukup mentransformasi PT Askes yang relatif tidak terlalu kompleks persoalannya. Bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini? Untuk itu mencari tahu jawaban atas persoalan itu, Majalah Jaminan Sosial mewawancarai pakar ekonomi yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto. Berikut petikannya secara sekilas:


Sebagai pakar demografi, bagaimana Bapak melihat penerapan atau pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia?

Secara umum memang agak berat pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia. Sekadar gambaran, Negara Kaya Amerika Serikat memiliki social security. Pada awal waktu dibentuk social security, satu orang pekerja mampu menanggung empat orang yang jadi beban tanggungan, misalkan anak dan orang tua. Sekarang satu orang pekerja hanya mampu menanggung dirinya sendiri. Menapa demikian? Karena, penduduknya semakin banyak kebutuhan, kemudian lapangan pekerjaan menjadi susah, semakin banyak pula kelompok umur pekerja yang tidak bekerja sehingga tidak menghasilkan apa-apa.
Di saat krisis melanda dunia ini, negara kaya seperti Amerika dan Jepang kesulitan menerapkan jaminan sosial. Mengapa kita harus ikut-ikutan menerapkan jaminan sosial Amerika yang sudah mapan. Kita belum punya modal apa-apa untuk menerapkan social security. Kita harus pahami, badan penyelenggara jaminan sosial yang benar itu menjamin pengangguran, orang miskin, dan orang lanjut usia yang tidak produkstif lagi. Kelompok penduduk semacam ini harus dijamin semua. Apakah perekonomian kita sanggup? Sementara kita lihat perekonomian negara-negara sudah maju saja mengalami kesulitan. Swedia atau Jerman yang kerap dijadikan contoh penerapan jaminan sosial yang bagus, sekarang juga kesulitan. Ditambah lagi persoalan banyak orang luar ingin menjadi warga negara Jerman karena ingin memperoleh jaminan sosial. Pemerintah Jerman pun berpikir dari mana uang untuk memenuhi jamianan sosial. Jadi kita harus berpikir matang dalam menerapkan jaminan sosial di Indonesia.

Semestinya bagaimana kita menerapkan jaminan sosial di Indonesia?

Jangan melihat Indonesia dari kacamata negara lain. Bahkan dengan negara Asia yang paling timur seperti Jepang. Karena setiap negara meghadapi persoalan yang berbeda, jangan disamakan konsep dan penerapan jaminan sosialnya. Kalau kita membandingkan Indonesia masa sekarang dengan Indonesia jaman dulu, saya setuju. Pada waktu saya kecil itu dulu, saya memperoleh pelajaran budi pekerti, kepada orang tua harus harus hormat, nah sekarang kan nggak demikian. Kalau mau, bagaimana kita kembalikan pada nilai-nilai di masa lalu. Dulu kita kaya akan nilai-nilai budaya seperti menghormati orang tua, hati-hati, teliti, dan kalau beli tidak boros. Tidak perlu kita melihat Jepang atau Amerika, tapi cukup bagaimana mengembalikan nilai-nilai tadi yang sebetulnya cukup bagus diterapkan dalam jaminan sosial yang membumi. Mampukah kita mengembalikan nilai-nilai itu? Nilai-nilai Itu sudah bagus. Dulu dalam tatanan adat kita cukup banyak larangan tapi hasilnya bagus buat kehidupan bermasyarakat. Tidak perlu kita menengok ke mana-mana, lihatlah diri kita sendiri.

Artinya, kita memang memiliki nilai-nilai kultural yang seharusnya mewarnai penerapan jaminan sosial yang khas Indonesia?

Budaya kita punya model jaminan sosial yang khas. Kalau kita menengok kehidupan di pedesaan di masa lalu, saat ada warga mau membangun rumah, warga yang lain ada yang ngasih bata, pasir, dan genteng. Bagi warga yang tidak bisa ngasih material tadi, biasanya memberikan tenaganya. Itulah ciri khas masyarakat pedesaan kita, khas gotong royong. Mengapa kita tidak menonjolkan nilai ini ke dalam jaminan sosial? Mengapa harus ikut-ikutan negara lain?
Nilai-nilai sebetulnya bisa mewarnai peraturan atau perundangan yang kita ciptakan bersama. Nah, maksud saya, jangan silau kita terhadap segala hal dari negara lain. Kultur masyarakat kita jelas menjunjung jiwa kebersamaan dan jiwa menolong orang lain.

Ke persoalan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, munculnya hanya 2 BPJS tidak terlepas dari nilai-nilai yang dibawa oleh konsultan asing?

Saya tidak terlalu suka dengan konsultan-konsultan asing itu. Karena ketika saya sekolah di luar negeri, saya tahu bagaimana sebetulnya kualitas mereka. Tidak sedikit dari mereka adalah orang yang sulit mencari pekerjaan di negaranya sendiri. Sementara negara kita membuuthkan dana dari negara asal konsultan-konsultan tadi. Ini kan sama saja mencarikan pekerjaan orang-orang yang masih diragukan kualitasnya. Sebab itu, saya agak keras soal bantuan dan konsultan asing ini. Negara asing boleh memberi bantuan, tapi bagaimana program penggunaan dana dan konsultan harus sepenuhnya kita tetapkan sendiri. Kita harus pakai konsultan yang memahami dan mengerti persoalan yang dihadapi negeri kita. Jangan menerima pemaksaan bantuan dana satu paket dengan tenaga konsultan dari negara asing. Kita punya banyak ahli yang memahami dan mampu menggali budaya sendiri. Banyak kearifan lokal (local wisdom) yang bisa kita gali untuk mewarnai konsep jaminan sosial khas Indonesia.

Kalau kita pakai konsultan asing, karena mereka kan tahunya nilai-nilai yang berlaku di negaranya, ya hasilnya cenderung tidak cocok di sini. Mereka memang memakai referensi dari sana dan mereka merasa harus dilaksanakan seperti yang dilaksanakan di negara asalnya. Kita boleh saja memakai konsultan asing, apakah kemudian konsep meraka kita terapkan, sepenuhnya hak kita. Mereka juga akan menerima bila kita tidak menerapkan konsep yang mereka tawarkan. Kita saja yang kerapkali merasa rendah diri.

UU Nomor 24 Tahun 2011 telanjur mengamanatkan pembentukan dua BPJS, lalu apa yang dapat kita lakukan?

Menurut saya BPJS 1 atau BPJS Kesehatan yang sudah harus dibentuk dan mulai beroperasi tanggal 1 Januari 2014, jalankan saja sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditentukan. Sementara itu BPJS 2 atau BPJS Ketenagakerjaan yang dibentuk tanggal 1 Januari 2014 dan paling lambat beroperasi pada Juli 2015 sebaiknya diperpanjang batas waktu pembentukannya, bukan di tahun 2014 tapi di 2016 misalkan. Kita ingat di tahun 2014, kalau tidak ada perubahan perencanaan Pemilu maka akan ada pemerintahan baru sekitar Oktober 2014. Berilah kesempatan pemerintahan berpikir lebih matang. Sudahlah kita kasih kesempatan target waktu tahun 2016 atau awal 2016.

Mungkin saja pemerintahan baru berpikir untuk mengubah konsep BPJS 2 atau BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan ini lebih kompleks persoalannya dibandingkan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan hanya minta kerelaan satu institusi, yaitu PT Askes (Persero). Kalau toh melibatkan institusi lain, misalkan Jamsostek, sebatas program jaminan kesehatan saja yang digabungkan ke BPJS Kesehatan. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan melibatkan beberapa institusi seperti PT Jamsostek, PT Taspen, dan PT Asabri. Jamsostek mungkin bisa merelakan melebur di BPJS Ketenagakerjaan. Tapi, bagaimana dengan Taspen dan Asabri. Di sini kan ada empat program jaminan sosial yang masing-masing telah berjalan dan memiliki kekhasan tersendiri. Sangat kompleks persoalannya. Jadi wajar kalau kita beri kesempatan sedikit lebih panjang daripada waktu pembentukan dan operasional BPJS Kesehatan. Paling cepat tahun 2016 seperti saya sebutkan tadi.

Kita belum tahu bagaimana aspirasi DPR hasil Pemilu 2014, bisa menganulir UU BPJS atau mengamandemen UU tersebut. Sehingga, tidak ada lagi korban, korban hanya satu, yaitu PT Askes, relatif tidak terlalu besar. BPJS lainnya bisa dipikirkan kembali.

Kalau begitu, ke depan, sebaiknya BPJS kita seperti apa?

Biarkan empat BPJS yang ada, PT Askes, PT Taspen, PT Jamsostek dan PT Asabri berjalan sebagaimana telah berlangsung selama ini. Mengapa mesti diributkan? Kita bentuk saja BPJS yang baru, misalkan kita beri nama BPJS kemiskinan, badan penanggulangan kemiskinan nasional, atau nama-nama sejenis itu. Selama ini kita sudah punya badan penanggulangan bencana nasional yang khusus menangani bencana alam. Sementara yang menangani bencana sosial belum ada. Kemiskinan, anak jalanan, dan siswa kesulitan biaya sekolah kan termasuk bencana sosial. Badan inilah yang nantinya mengelola dan menyalurkan dana-dana seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bantuan sosial lainnya. Jangan serahkan dana-dana tadi ke kementerian yang sudah cukup banyak pekerjaannya. Selain itu, dana-dana tadi kan cukup potensial diselewengkan atau menyeret para pejabat ke kasus-kasus korupsi.

UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sebagai titik berangkat pembentukan UU BPJS, kan tidak menyinggung bantuan sosial. Apakah UU SJSN harus direvisi terlebih dulu?

Dari awal saya berpendapat prioritaskan amandemen dan menyempurkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, di antaranya memasukkan pasal yang mengatur tentang bantuan sosial. Kalau kita lihat ke belakang, pemerintah tampaknya kurang serius menjalankan UU SJSN. Salah satu buktinya, pembentukan dan pelantikan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagaimana diamanatkan oleh UU SJSN berjalan sangat lambat. Surat Keputusan pengangkatan anggota dan ketua DJSN lama sekali tidak ditanda-tangani oleh Presiden. Nyaris tidak ada kemauan politik melaksanakan UU SJSN. Sudah begitu, anggota melihat hal ini bukannya mendorong upaya amandemen UU SJSN tapi justru berinisiatif mengajukan Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  (RUU BPJS). Padahal, dulu waktu membentuk UU SJSN juga sangat lambat, disetujui diundangkan sudah di akhir masa keanggotaan. Ke depan, saya berharap ada kemauan politik yang kuat dalam melaksanakan UU SJSN dan UU BPJS yang sudah telanjur diundangkan. Andaikata pemerintah yang berkuasa sekarang bukan pemerintahan yang ada, saya pikir anggota DPR lebih mendorong amandemen UU SJSN.


=======================

Ekonom yang Suka Berpuisi

Prof. Prijono dikenal sebagai ekonom yang ahli demografi dan kependudukan. Kendati begitu, dia tidak semata-mata berkutat pada kedua bidang tersebut.  Dia juga peduli pada bidang ekonomi kesehatan, pemberantasan kemiskinan, dan pemberdayaan sumber daya manusia. Berbagai hasil pemikirannya di bidang kependudukan telah membawanya sebagai salah satu nara sumber aktif bagi Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) dan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Nasional).
Prof. Prijono lahir di Malang, Jawa Timur, pada tanggal 3 April 1948. Pada tahun 1981, dia menyelesaikan program S3 dan meraih gelar Doktor (Ph.D) di bidang ekonomi dari University of Hawaii dengan mempertahankan disertasi The Economic Benefit of Tuberculosis Control Program in Indonesia: Effect of Chemotherapy. Sebelumnya, pada tahun 1977, dia memperoleh gelar M.A (S2) di bidang ekonomi dari University the Philippines, Diliman, Quezon City. Sedangkan gelar Sarjana Ekonomi diperolehnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1973.
Peran aktif Prof. Prijono sebagai peneliti di Lembaga Demografi FEUI telah menghasilkan banyak karya ilmiah berupa artikel dan buku yang dipublikasikan baik di dalam maupun di luar negeri. Di tahun 2007 lalu, salah satu hasil penelitiannya yang berjudul Civil Service Reform in Indonesia telah dipublikasikan oleh Kobe University (Jepang). Di tahun 2007 itu pula, Prof. Prijono menyelesaikan penelitian mengenai “Civil Service Reform in Selected ASEAN Countries" yaitu di Malaysia, Thailand dan Filipina. Selain aktif di bidang pendidikan dan penelitian, Prof. Prijono pun aktif melakukan kegiatan pengabdian masyarakat. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian Negara dan Sekretaris Wakil Presiden Republik Indonesia. Prof. Prijono pernah aktif sebagai Penasehat Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan anggota Dewan Pakar Administrasi Publik Persatuan Bangsa–Bangsa (Committee of Expert on Public Administration of the U.N. Department of Economic and Social Affairs) periode 2006-2009. Selain mengajar di FE UI, saat ini Prof. Prijono juga aktif sebagai anggota Komisi Pemberdayaan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta dan Komisi PT Jamsostek (Persero).
Selain bidang ekonomi, Prof. Prijono juga mempunyai minat pada bidang sastra, khususnya puisi. Beberapa puisi yang dibuatnya telah ikut serta meramaikan buku puisi “Dari Negeri Poci 1 dan 2”. Bahkan, selama mengajar di Kobe University, Jepang, Prof. Prijono pun menulis “haiku” (puisi khas Jepang yang terdiri dari 17 suku kata) dan dimuat pada Harian “The Asahi Shimbun” yang terkenal itu. ***

No comments:

Post a Comment