Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) telah diundangkan mulai akhir tahun 2011 lalu. Salah satu mandat
penting UU BPJS adalah Pemerintah harus segera membentuk dan menyusun BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan paling lambat bulan Juli 2015. Mandat yang
cukup alot ketika pembahasan di DPR itu masih menyisakan sejumlah tanda tanya
yang cukup menggelitik. Satu di antaranya, haruskah secepat itu membentuk BPJS
Ketenagakerjaan yang diperkirakan akan menghadapi persoalan peleburan yang amat
kompleks. Berbeda dengan BPJS Kesehatan yang cukup mentransformasi PT Askes
yang relatif tidak terlalu kompleks persoalannya. Bagaimana seharusnya kita
menyikapi hal ini? Untuk itu mencari tahu jawaban atas persoalan itu, Majalah Jaminan Sosial mewawancarai pakar
ekonomi yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof. Dr.
Prijono Tjiptoherijanto. Berikut petikannya secara sekilas:
Sebagai pakar demografi, bagaimana Bapak melihat penerapan
atau pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia?
Secara umum memang agak berat pelaksanaan jaminan sosial
di Indonesia. Sekadar gambaran, Negara Kaya Amerika Serikat memiliki social security. Pada awal waktu
dibentuk social security, satu orang pekerja
mampu menanggung empat orang yang jadi beban tanggungan, misalkan anak dan orang
tua. Sekarang satu orang pekerja hanya mampu menanggung dirinya sendiri. Menapa
demikian? Karena, penduduknya semakin banyak kebutuhan, kemudian lapangan pekerjaan
menjadi susah, semakin banyak pula kelompok umur pekerja yang tidak bekerja
sehingga tidak menghasilkan apa-apa.
Di saat krisis melanda dunia ini, negara kaya seperti Amerika
dan Jepang kesulitan menerapkan jaminan sosial. Mengapa kita harus ikut-ikutan
menerapkan jaminan sosial Amerika yang sudah mapan. Kita belum punya modal
apa-apa untuk menerapkan social security.
Kita harus pahami, badan penyelenggara jaminan sosial yang benar itu menjamin pengangguran,
orang miskin, dan orang lanjut usia yang tidak produkstif lagi. Kelompok
penduduk semacam ini harus dijamin semua. Apakah perekonomian kita sanggup?
Sementara kita lihat perekonomian negara-negara sudah maju saja mengalami
kesulitan. Swedia atau Jerman yang kerap dijadikan contoh penerapan jaminan
sosial yang bagus, sekarang juga kesulitan. Ditambah lagi persoalan banyak
orang luar ingin menjadi warga negara Jerman karena ingin memperoleh jaminan
sosial. Pemerintah Jerman pun berpikir dari mana uang untuk memenuhi jamianan
sosial. Jadi kita harus berpikir matang dalam menerapkan jaminan sosial di
Indonesia.
Semestinya bagaimana kita menerapkan jaminan sosial di
Indonesia?
Jangan melihat Indonesia dari kacamata negara lain. Bahkan
dengan negara Asia yang paling timur seperti Jepang. Karena setiap negara
meghadapi persoalan yang berbeda, jangan disamakan konsep dan penerapan jaminan
sosialnya. Kalau kita membandingkan Indonesia masa sekarang dengan Indonesia
jaman dulu, saya setuju. Pada waktu saya kecil itu dulu, saya memperoleh
pelajaran budi pekerti, kepada orang tua harus harus hormat, nah sekarang kan nggak demikian. Kalau mau, bagaimana
kita kembalikan pada nilai-nilai di masa lalu. Dulu kita kaya akan nilai-nilai
budaya seperti menghormati orang tua, hati-hati, teliti, dan kalau beli tidak
boros. Tidak perlu kita melihat Jepang atau Amerika, tapi cukup bagaimana
mengembalikan nilai-nilai tadi yang sebetulnya cukup bagus diterapkan dalam
jaminan sosial yang membumi. Mampukah kita mengembalikan nilai-nilai itu?
Nilai-nilai Itu sudah bagus. Dulu dalam tatanan adat kita cukup banyak larangan
tapi hasilnya bagus buat kehidupan bermasyarakat. Tidak perlu kita menengok ke mana-mana,
lihatlah diri kita sendiri.
Artinya, kita memang memiliki nilai-nilai kultural yang
seharusnya mewarnai penerapan jaminan sosial yang khas Indonesia?
Budaya kita punya model jaminan sosial yang khas. Kalau
kita menengok kehidupan di pedesaan di masa lalu, saat ada warga mau membangun
rumah, warga yang lain ada yang ngasih
bata, pasir, dan genteng. Bagi warga yang tidak bisa ngasih material tadi, biasanya memberikan tenaganya. Itulah ciri
khas masyarakat pedesaan kita, khas gotong royong. Mengapa kita tidak
menonjolkan nilai ini ke dalam jaminan sosial? Mengapa harus ikut-ikutan negara
lain?
Nilai-nilai sebetulnya bisa mewarnai peraturan atau
perundangan yang kita ciptakan bersama. Nah, maksud saya, jangan silau kita
terhadap segala hal dari negara lain. Kultur masyarakat kita jelas menjunjung jiwa
kebersamaan dan jiwa menolong orang lain.
Ke persoalan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, munculnya
hanya 2 BPJS tidak terlepas dari nilai-nilai yang dibawa oleh konsultan asing?
Saya tidak terlalu suka dengan konsultan-konsultan asing
itu. Karena ketika saya sekolah di luar negeri, saya tahu bagaimana sebetulnya kualitas
mereka. Tidak sedikit dari mereka adalah orang yang sulit mencari pekerjaan di
negaranya sendiri. Sementara negara kita membuuthkan dana dari negara asal
konsultan-konsultan tadi. Ini kan sama saja mencarikan pekerjaan orang-orang
yang masih diragukan kualitasnya. Sebab itu, saya agak keras soal bantuan dan
konsultan asing ini. Negara asing boleh memberi bantuan, tapi bagaimana program
penggunaan dana dan konsultan harus sepenuhnya kita tetapkan sendiri. Kita
harus pakai konsultan yang memahami dan mengerti persoalan yang dihadapi negeri
kita. Jangan menerima pemaksaan bantuan dana satu paket dengan tenaga konsultan
dari negara asing. Kita punya banyak ahli yang memahami dan mampu menggali
budaya sendiri. Banyak kearifan lokal (local
wisdom) yang bisa kita gali untuk mewarnai konsep jaminan sosial khas
Indonesia.
Kalau kita pakai konsultan asing, karena mereka kan
tahunya nilai-nilai yang berlaku di negaranya, ya hasilnya cenderung tidak
cocok di sini. Mereka memang memakai referensi dari sana dan mereka merasa
harus dilaksanakan seperti yang dilaksanakan di negara asalnya. Kita boleh saja
memakai konsultan asing, apakah kemudian konsep meraka kita terapkan,
sepenuhnya hak kita. Mereka juga akan menerima bila kita tidak menerapkan
konsep yang mereka tawarkan. Kita saja yang kerapkali merasa rendah diri.
UU Nomor 24 Tahun 2011 telanjur mengamanatkan pembentukan
dua BPJS, lalu apa yang dapat kita lakukan?
Menurut saya BPJS 1 atau BPJS Kesehatan yang sudah harus
dibentuk dan mulai beroperasi tanggal 1 Januari 2014, jalankan saja sesuai
dengan jadwal waktu yang telah ditentukan. Sementara itu BPJS 2 atau BPJS
Ketenagakerjaan yang dibentuk tanggal 1 Januari 2014 dan paling lambat
beroperasi pada Juli 2015 sebaiknya diperpanjang batas waktu pembentukannya,
bukan di tahun 2014 tapi di 2016 misalkan. Kita ingat di tahun 2014, kalau
tidak ada perubahan perencanaan Pemilu maka akan ada pemerintahan baru sekitar
Oktober 2014. Berilah kesempatan pemerintahan berpikir lebih matang. Sudahlah kita
kasih kesempatan target waktu tahun 2016 atau awal 2016.
Mungkin saja pemerintahan baru berpikir untuk mengubah
konsep BPJS 2 atau BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan ini lebih
kompleks persoalannya dibandingkan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan hanya minta
kerelaan satu institusi, yaitu PT Askes (Persero). Kalau toh melibatkan
institusi lain, misalkan Jamsostek, sebatas program jaminan kesehatan saja yang
digabungkan ke BPJS Kesehatan. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan melibatkan
beberapa institusi seperti PT Jamsostek, PT Taspen, dan PT Asabri. Jamsostek mungkin
bisa merelakan melebur di BPJS Ketenagakerjaan. Tapi, bagaimana dengan Taspen
dan Asabri. Di sini kan ada empat program jaminan sosial yang masing-masing
telah berjalan dan memiliki kekhasan tersendiri. Sangat kompleks persoalannya.
Jadi wajar kalau kita beri kesempatan sedikit lebih panjang daripada waktu
pembentukan dan operasional BPJS Kesehatan. Paling cepat tahun 2016 seperti
saya sebutkan tadi.
Kita belum tahu bagaimana aspirasi DPR hasil Pemilu 2014,
bisa menganulir UU BPJS atau mengamandemen UU tersebut. Sehingga, tidak ada
lagi korban, korban hanya satu, yaitu PT Askes, relatif tidak terlalu besar.
BPJS lainnya bisa dipikirkan kembali.
Kalau begitu, ke depan, sebaiknya BPJS kita seperti apa?
Biarkan empat BPJS yang ada, PT Askes, PT Taspen, PT
Jamsostek dan PT Asabri berjalan sebagaimana telah berlangsung selama ini.
Mengapa mesti diributkan? Kita bentuk saja BPJS yang baru, misalkan kita beri nama
BPJS kemiskinan, badan penanggulangan kemiskinan nasional, atau nama-nama
sejenis itu. Selama ini kita sudah punya badan penanggulangan bencana nasional
yang khusus menangani bencana alam. Sementara yang menangani bencana sosial belum
ada. Kemiskinan, anak jalanan, dan siswa kesulitan biaya sekolah kan termasuk
bencana sosial. Badan inilah yang nantinya mengelola dan menyalurkan dana-dana
seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan
bantuan sosial lainnya. Jangan serahkan dana-dana tadi ke kementerian yang
sudah cukup banyak pekerjaannya. Selain itu, dana-dana tadi kan cukup potensial
diselewengkan atau menyeret para pejabat ke kasus-kasus korupsi.
UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), sebagai titik berangkat pembentukan UU BPJS, kan tidak menyinggung
bantuan sosial. Apakah UU SJSN harus direvisi terlebih dulu?
Dari awal saya berpendapat prioritaskan amandemen dan
menyempurkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, di antaranya memasukkan pasal
yang mengatur tentang bantuan sosial. Kalau kita lihat ke belakang, pemerintah
tampaknya kurang serius menjalankan UU SJSN. Salah satu buktinya, pembentukan
dan pelantikan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagaimana
diamanatkan oleh UU SJSN berjalan sangat lambat. Surat Keputusan pengangkatan
anggota dan ketua DJSN lama sekali tidak ditanda-tangani oleh Presiden. Nyaris
tidak ada kemauan politik melaksanakan UU SJSN. Sudah begitu, anggota melihat
hal ini bukannya mendorong upaya amandemen UU SJSN tapi justru berinisiatif mengajukan
Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS). Padahal, dulu waktu membentuk UU
SJSN juga sangat lambat, disetujui diundangkan sudah di akhir masa keanggotaan.
Ke depan, saya berharap ada kemauan politik yang kuat dalam melaksanakan UU
SJSN dan UU BPJS yang sudah telanjur diundangkan. Andaikata pemerintah yang
berkuasa sekarang bukan pemerintahan yang ada, saya pikir anggota DPR lebih
mendorong amandemen UU SJSN.
=======================
Ekonom yang Suka
Berpuisi
Prof. Prijono dikenal sebagai ekonom yang ahli demografi dan kependudukan.
Kendati begitu, dia tidak semata-mata berkutat pada kedua bidang tersebut. Dia juga peduli pada bidang ekonomi kesehatan,
pemberantasan kemiskinan, dan pemberdayaan sumber daya manusia. Berbagai hasil
pemikirannya di bidang kependudukan telah membawanya sebagai salah satu nara
sumber aktif bagi Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) dan BKKBN
(Badan Koordinasi Keluarga Nasional).
Prof. Prijono lahir di Malang, Jawa Timur, pada tanggal 3 April 1948. Pada
tahun 1981, dia menyelesaikan program S3 dan meraih gelar Doktor (Ph.D) di
bidang ekonomi dari University of Hawaii dengan mempertahankan disertasi The Economic Benefit of Tuberculosis Control
Program in Indonesia: Effect of Chemotherapy. Sebelumnya, pada tahun 1977, dia
memperoleh gelar M.A (S2) di bidang ekonomi dari University the Philippines, Diliman,
Quezon City. Sedangkan gelar Sarjana Ekonomi diperolehnya di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia pada tahun 1973.
Peran aktif Prof. Prijono sebagai peneliti di Lembaga Demografi FEUI telah
menghasilkan banyak karya ilmiah berupa artikel dan buku yang dipublikasikan
baik di dalam maupun di luar negeri. Di tahun 2007 lalu, salah satu hasil
penelitiannya yang berjudul Civil Service
Reform in Indonesia telah dipublikasikan oleh Kobe University (Jepang). Di
tahun 2007 itu pula, Prof. Prijono menyelesaikan penelitian mengenai “Civil Service Reform in Selected ASEAN
Countries" yaitu di Malaysia, Thailand dan Filipina. Selain aktif di
bidang pendidikan dan penelitian, Prof. Prijono pun aktif melakukan kegiatan
pengabdian masyarakat. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian
Negara dan Sekretaris Wakil Presiden Republik Indonesia. Prof. Prijono pernah aktif
sebagai Penasehat Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan anggota
Dewan Pakar Administrasi Publik Persatuan Bangsa–Bangsa (Committee of Expert on Public Administration of the U.N. Department of
Economic and Social Affairs) periode 2006-2009. Selain mengajar di FE UI,
saat ini Prof. Prijono juga aktif sebagai anggota Komisi Pemberdayaan
Masyarakat Provinsi DKI Jakarta dan Komisi PT Jamsostek (Persero).
Selain bidang ekonomi, Prof. Prijono juga mempunyai minat pada bidang
sastra, khususnya puisi. Beberapa puisi yang dibuatnya telah ikut serta
meramaikan buku puisi “Dari Negeri Poci 1 dan 2”. Bahkan, selama mengajar di
Kobe University, Jepang, Prof. Prijono pun menulis “haiku” (puisi khas Jepang
yang terdiri dari 17 suku kata) dan dimuat pada Harian “The Asahi Shimbun” yang
terkenal itu. ***
No comments:
Post a Comment