Guru adalah salah satu bidang pekerjaan yang mulai dilirik oleh
kalangan pencari kerja saat ini. Dengan dilkeluarkannya Undang-undang nomor 14
tahun 2005 yang mengatur tentang berbagai kebijakan untuk guru dan dosen, maka
para pencari kerja pun mulai melirik pekerjaan sebagai guru yang tadinya
dianggap sebagai profesi kelas dua. Dalam undang-undang yang dikeluarkan belum
lama ini, dikatakan bahwa gaji guru dan dosen akan dinaikkan dua kali lipat
dari gaji sebelumnya, sesuatu yang dapat kita anggap sebagai angin segar bagi
dunia pendidikan kita. Tapi persoalan lain muncul ketika dalam undang-undang
tersebut dikatakan bahwa yang berhak mendapat kenaikan gaji ini adalah para guru
yang memiliki ijazah sarjana (S1) atau setara dengan tingkat D4. jumlah guru di
Negara Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 2,7 juta guru, dari jumlah
ini kita dapat membaginya menjadi dua kelompok, yaitu guru untuk kalangan
sekolah menengah dan kalangan guru yang mengajar pada tingkat SD dan TK. Untuk
kalangan guru yang mengajar di tingkat sekolah menengah sepertinya tidak
terlalu memprihatinkan karena sebanyak 62,08% guru telah mencapai tingkat S1,
berarti tersisa 37,92% yang belum meiliki ijazah S1, tetapi di tingkat guru SD
dan TK ternyata sangat memprihatinkan, dari sekitar 1,3 juta guru SD hanya
sekitar 8,3% yang sudah memenuhi kriteria yang tercantum dalam
Undang-undang.[1]
Mungkin belum terlalu jauh terlepas dari sekelumit fakta yang
saya cantumkan diatas, sekarang saya ingin membahas mengenai pasal-pasal yang
akan menjadi pusat pembahasan dari bab ini. Yang pertama saya soroti adalah
pada bab.4, bagian 2, pasal 14, ayat 1 mengenai hak dan kewajiban guru yang
mengatakan bahwa dalam melaksanakan dalam menjalankan tugas keprofesionalannya,
maka guru berhak untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
dan jaminan kesejahteran sosial. Saya akan membahas mengenai fakta yang terjadi
saat ini berkaitan dengan jaminan yang dikatakan di dalam undang-undang.
Menurut saya guru adalah suatu pekerjaan, setiap pekerjaan haruslah mempunyai
jaminan bagi para pelaksananya, dalam hal ini jaminan berkaitan dengan adanya
pelaksanaan Hak Asasi Manusia yang seharusnya terjamin bagi tiap pekerja.
Menurut Krzysztof Drzewicki dalam Ifdhal Kasim, ed, (2001)[2] hak-hak yang
terkait dengan kerja ada empat macam, yaitu :
a. Hak yang terkait
dengan pekerjaan secara langsung, seperti bebas dari perbudakan, bebas dari
kerja paksa dan kerja wajib, kebebasan bekerja serta hak atas layanan kerja
yang bebas.
b. Hak yang diturunkan
dari pekerjaan, terkait dengan hak atas kondisi kerja yang adil, sehat dan
nyaman, hak atas upah yang adil, hak atas pelatihan dan bimbingan kerja, hak
atas jaminan sosial serta hak untuk memperoleh perlindungan bagi pekerja
perempuan.
c. Hak memperoleh
perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dalam pekerjaan, berkaitan dengan
semua perjanjian internasional utama tentang hak-hak sosial serta dalam
perjanjian-perjanjian khusus berkaitan dengan isu-isu non diskriminatif.
d. Hak-hak instrumental,
berkaitan dengan hak atas kebebasan berkumpul, hak untuk berorganisasi, hak
atas tawar menawar kolektif dan bahkan hak untuk mogok.
Menurut saya pertanyaan yang sangat berkenaan dengan jaminan
sosial (terletak pada poinB), adalah ; “adakah jaminan sosial untuk guru?”.
Jaminan sosial yang ada di makalah ini berhubungan erat dengan kesejahteraan
yang tidak kunjung dialami oleh semua guru di Indonesia. Kesejahteraan
merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh semua manusia (dalam hal ini
adalah guru). Sebagaimana dalam hasil penelitian HAR Tilaar dalam Hadiyanto
(2004) bahwa kesejahteraan sangat signifikan mempengaruhi profesionalitas guru,
mencapai 60%, dibandingkan komponen lainnya seperti pengetahuan, keterampilan
dan dedikasi[3].
Jumlah guru di Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 2,7
juta guru, dari jumlah itu kemungkinan guru yang bekerja di daerah terpencil
dan daerah perang, masih belum dapat terpetakan jumlahnya. Mungkinkah mereka
bisa ikut merasakan jaminan sosial yang dikatakan dalam undang-undang? Sebagai
contoh adalah seorang guru yang bekerja di daerah kutai yang bernama Rusnawati
(47 tahun), seorang guru SD Kampung Sambung, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten
Kutai Barat, Kalimantan Timur, bertahun-tahun berjuang “sendirian”, dan kini
bertanggungjawab atas pendidikan 25 anak yang terbagi atas 6 kelas yaitu kelas
I: 8 murid, kelas II: 3 murid, kelas III: 3 murid, kelas IV: 1 murid, kelas V:
2 murid, dan kelas VI: 8 murid, sehingga total 25 murid [4]
Sekolah dimulai pukul 6:00 pagi dan pada pukul 6:30 semua murid
“gosok gigi” bersama. Anak-anak kelas I – III pulang pukul 11:00, sedangkan
anak-anak kelas IV – VI pulang pukul 13:00. Tentu kita kagum bagaimana seorang
guru mengajar 25 anak didik dengan 6 kelas yang berbeda dengan buku-buku yang
sangat terbatas. Kampung (desa) Sambung, berjarak 160 km dari Melak (Sendawar,
ibukota Kutai Barat) dengan perjalanan darat sebagian besar masih jalan tanah
buatan perusahaan HPH. Perjalanan dari Melak memerlukan 4 jam, sedangkan ke
perbatasan dengan Kalteng yang hanya 10 km ditempuh dalam 1 jam perjalanan.
Ini masih soal satu guru saja, bagaimana dengan guru-guru
lainnya yang berada di daerah yang lebih terpencil lagi, seperti yang berada di
Papua, kalimantan, dan sulawesi?Adakah jaminan sosial bagi mereka? Sebanyak
yang saya baca, hanya segelintir saja (tentu saja dalam jumlah yang relatif
kecil) yang mampu merasakan adanya program jaminan sosial, seperti hak atas
kondisi kerja yang adil, sehat dan nyaman, hak atas upah yang adil, hak atas
pelatihan dan bimbingan kerja seperti yang tertera dalam Undang-undang diatas.
Atau tidak usah terlalu jauh dalam mencari contoh mengenai ketidak sejahteraan
guru, lihat saja salah satu contoh kasus guru yang ada di ibukota Jakarta
sendiri, Supriyono, kini mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dewi
Sartika Jakarta Timur. Ia sudah menjadi guru selama 12 tahun. Pada profesi
lain, pengalaman kerja yang cukup panjang itu tentunya sudah membuahkan
penghasilan atau kedudukan lumayan. Tetapi sebagai guru honorer, penghasilan
Supriyono kini bahkan tak mencapai Upah Minimum Regional Jakarta , yang sangat
ironis ternyata adalah ia mendapatkan penghasilan yakni hanya Rp380.000/bulan.
Penghasilan sekecil itu tentu tak dapat mencukupi kebutuhan hidup Supriyono dan
keluarganya.Untuk memenuhi kebutuhan, Supriyono terpaksa mengajar di tempat
lain. Dengan cara itu, ia berhasil memperoleh penghasilan kurang lebih sebesar
Rp 700.000/bulan. Jika kualifikasi akademik, panjang masa kerja dan keahlian
yang diperlukan diperhitungkan dalam penentuan penghargaan terhadap guru,
rendahnya gaji guru seperti yang dialami Supriyono itu memang terasa amat
memprihatinkan. [5]
Untuk lebih jelas lagi dalam pembahasan mengenai jaminan-jaminan
yang terdapat dalam undang-undang guru dan dosen ini, maka saya akan menuliskan
apa yang ada di dalam Bab.4, bagian kedua, pasal 14, ayat 1 mengenai
jaminan-jamina yang ’seharusnya’ diberikan kepada seorang guru [6];
1. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
a. Memperoleh penghasilan diatas kebutuhan minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial,
b. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan
prestasi kerja,
c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas
kekayaan intelektual,
d. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi,
e. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran
untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan,
f. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut
menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan,
g. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam
melaksanakan tugas,
h. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi,
i. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan
pendidikan.
j. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kualifikasi akademik dan kompetensi, dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam
bidangnya.
Selain itu, saya juga ingin memaparkan bagian ketujuh pasal 39
yang ada dalam undang-undang guru dan dosen yang berbicara mengenai
perlindungan ;
1. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi
profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru
dalam pelaksanaan tugas.
2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja.
3. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik,
orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
4. Perlindungan profesi yang dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan
dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelanggaran lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugas.
5. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap resiko gangguian keamanan
kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan
lingkungan kerja, dan/atau resiko lain.
Mari kita lihat contoh kasus yang lainnya mengenai kesejahteraan
guru, seorang kepala sekolah dasar di kecamatan Grabag, Kagupaten Magelang,
Jawa Tengah ditangkap kepolisian Resor Kebumen. Ia ditangkap bersama
komplotannya merampok toko bahan kebutuhan pokok di jalan Yos Sudarso,
Gombong[7]. Dari kasus ini, kita dapat meyimpulkan secara mudah bahwa guru
sebagai tenaga pendidik ternyata belum mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
seperti yang tertulis dalam undang-undang guru dan dosen bab 4, bagian kedua,
pasal 14 ayat 1a. Kemudian kasus yang berkitan dengan pasal 1c dan pasal 1g,
dalam pemberitaan kompas[8] dikatakan sesuatu yang mengejutkan bahwa lebih dari
100 guru tewas dan hilang di wilayah konflik seperti Aceh, Papua dan Maluku.
Dalam pernyataan yang dikutip dari Mohammad Sury selaku ketua Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI), setelah mereka mengajar seperti menerangkan bendera
Indonesia dan bagaimana kesatuan negara ini dibentuk. Di antara mereka ada yang
dijemput oleh orang-orang yang tak dikenal di sekolah. Mereka dibunuh dan
diculik karena profesi mereka sebagai guru (pendidik). Seperti halnya korban
penculikan, mereka tidak pulang lagi atau kemudian ditemukan sudah menjadi
mayat. Menurut perkiraan, kebanyakan yang tewas adalah guru-guru SD dan SMTA.
Nasib mengenaskan juga dialami oleh guru eks Tim-Tim yang meninggalkan rumah
dan harta bendanya untuk begabung dengan NKRI, tetapi hingga saat ini nasibnya
masih terkatung-katung.
Kemudian masih terkait dengan nasib seorang guru SD yang tadi
telah ada diatas, yang bernama Rusnawati (Beliau mengajar sebagai guru SD
Kampung Sambung, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan
Timur), ada juga kasus seorang guru SD di Gorontalo yang bernama Sukri Baguo.
Dengan pendapatan yang tidak lebih dari 800.000 sebulan, ia harus menyiasati
minimnya jumlah guru dengan cara berlari-lari dari satu ruang kelas ke kelas
lainnya. Di sekolah Sukri kurang lebih ada 245 anak yang menjadi tanggungan 5
orang guru (sudah termasuk kepala sekolah). Pada awalnya, untuk menjangkau
lokasi tugas ia harus menyusuri Sungai Paguyaman dengan perahu selama 7 jam,
karena jarak sekolah dengan tempat tinggalnya yang berjarak kurang lebih
”hanya” 27 Km kemudian disertai dengan pengeluaran ongkos sewa perahu sebesar
30.000 untuk sekali jalan cukup merepotkan, maka atas ketulusan salah satu
orang tua murid, ia diperbolehkan menumpang di sebuah gubuk berdinding bambu
milik warga desa Sari Tani, yang tak jauh dari tempat ia mengajar.[9]
Dari kasus di atas, mari kita lihat Undang-undang guru dan
dosen, bagian kedua, pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa; ”Pemerintah memberikan
tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) (mengenai
tunjangan profesi) kepada guru yang bertugas di daerah khusus”. Dari kenyataan
aktual yang terjadi, kemudian setelah melihat Undang-undang, maka pertanyaan
besar yang kembali terulang adalah ‘Adakah jaminan sosial untuk para guru?
benarkah ada jaminan sosial?’ Jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah
dan Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan
kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Perlindungan ini diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau berkurangnya
pendapatan. Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial
dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB
(1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya
jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan
UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan
Sosial bagi seluruh rakyat….”. [10]
Beberapa Langkah-Langkah yang Perlu Diperhatikan
Dalam menyikapi masalah-masalah yang melanda dunia pendidikan
khususnya yang terkait dengan jaminan sosial, saya tidak mau gegabah dalam
memberikan masukan ataupun menawarkan solusi yang revolusioner dan karena hal
inilah maka saya tidak menyebutkan bagian terakhir ini sebagai bagian pemecahan
masalah, karena masalah yang sering muncul dalam wajah pendidikan di Negara
kita bukanlah suatu masalah yang baru muncul begitu saja, tetapi memang sudah
memiliki akar dan berimplikasi dari suatu sistem yang memang dari atasnya sudah
tidak baik. Yang perlu dilakukan sekarang adalah bukan mencoba menggali lebih
banyak lagi kesalahan-kesalahan dan keprihatinan-keprihatinan yang telah dan
tengah melanda dunia pendidikan kita untuk disesali dan hanya sekedar diteliti,
tetapi untuk dijadikan pembelajaran bersama dan menjadi suatu ‘tonggak perubah’
terutama mengenai jaminan sosial bagi para guru. Secara terencana dan konkrit,
Perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang saling melengkapi
yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup seluruh rakyat secara
bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendekatan
pertama adalah pendekatan asuransi sosial atau compulsory social insurance,
yang dibiayai dari kontribusi/ premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja
dan atau pemberi kerja. Kontribusi/ premi dimaksud selalu harus dikaitkan
dengan tingkat pendapatan/ upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Berkaitan
dengan hal yang terjadi, maka saya berpandangan bahwa sistem seperti ini bukan
tidak mungkin akan berhasil, tetapi apabila dilihat lagi jumlah guru yang sudah
saya sebutkan diatas beserta masalah-masalahnya, maka saya menganggap bahwa
pendekatan seperti ini akan menemui kesulitan dalam pengimplementasiannya. Hal
ini menurut saya dikarenakan pendapatan dari guru sendiri yang kurang dapat
menjamin kalau ia mampu untuk membayar premi untuk asuransi setiap bulannya,
bagus kalau Iya, kalau tidak? Saya yakin masih banyak Rusnawati-rusnawati dan
Sukri Baguo lainnya yang bernasib sama atau mungkin lebih memprihatinkan lagi
mengenai pendapatannya. Dari hal ini maka saya juga berpandangan bahwa sangat
mungkin bahkan, kalangan guru yang saperti mereka, ‘susah untuk bergerak
bebas’, malahan memandang jaminan sosial dengan sistem seperti ini malah
menambah beban mereka, walaupun pendekatan jaminan sosial seperti ini sudah
mengaitkan dengan pendapatan seorang guru yang bersangkutan.
Kemudian pendekatan yang kedua adalah berupa Bantuan Sosial atau
Social Assistance, baik dalam pemberian bantuan tunai maupun pelayanan dengan
sumber pembiayaan dari Negara dan bantuan sosial dan masyarakat lainnya. Dalam
pendekatan yang satu ini, saya mungkin lebih setuju apabila dibandingkan dengan
pendekatan Asuransi Sosial atau Compulsary Social Insurance yang telah dibahas
terlebih dahulu. Dalam pendekatan ini, saya rasa lebih cocok untuk diterapkan
kepada golongan guru. Karena selain pemerintah terlibat, masyarakat sebagai
tempat guru ‘beroperasi’ juuga berpartisipasi dengan memberikan kontribusi
kepada para kalangan guru di wilayah mereka. Dari pengertian pedekatan itu
sendiri, walaupun hanya dijelaskan secara singkat, saya rasa guru lebih berada
dalam posisi yang lebih diuntungkan, karena disamping mereka tidak dibebankan
dengan diharuskan untuk membayar sejumlah dana untuk digunakan sebagai asuransi
sosial mereka, mereka juga menerima kompensasi uang berupa bantuan tunai maupun
pelayanan dengan sumber pembiayaan dari Negara dan bantuan sosial dan
masyarakat lainnya.
Untuk menjawab pertanyaan besar yang seringkali saya ajukan di
atas, yaitu; ‘ Adakah jaminan sosial untuk guru ?’ saya rasa jawabannya adalah
‘Diusahakan dan terus ditingkatkan utnuk ada’. Mengapa saya menjawab demikian?
karena jaminan sosial yang dimaksud dalam undang-undang tersebut bukan tidak menyentuh
seluruh guru, hanya saja yang menjadi ‘penikmat jaminan sosial’ ini masih belum
menyentuh kalangan guru di semua tempat, hanya sebagian saja, mungkin hanya
guru yang dekat aksesnya dengan daerah pusat, atau bagi guru yang berada di
daerah ‘aman’. Seharusnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah sendiri
saja untuk mengatur hal jaminan sosial ini, karena sesuai dengan pengertian
jaminan sosial itu sendiri bahwa jaminan sosial merupakan suatu bentuk
perlindungan sosial yang berasal dari masyarakat dan diberikan kepada
masyarakat itu sendiri untuk mengatasi berbagai masalah hidup yang dihadapi
oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Maka dari itu, sangatlah penting
bagi masyarakat untuk ikut mengambil bagian dan terlibat secara aktif dan partisipatif
untuk ikut membantu pemerintah dalam menyediakan jaminan sosial bagi kalangan
yang saat ini masih dianggap sebagai ‘Thankless’ menjadi kalangan yang
‘Thankfull’. Sekali lagi, hal ini dikarenakan bahwa guru adalah profesi, dan
guru adalah pekerja yang membutuhkan jaminan sosial. (http://lifesupportalchemist.wordpress.com)
Catatan kaki:
[1] Lih Kompas, 21
Februari 2006
[2] Lih, Term of Reference Diskusi Publik " Hak Guru Juga
Hak Asasi Manusia ", Universitas Negeri Medan, -www .pikiran
rakyat.com/cetak/2006/062006/26/teropong/Lain04.htm -27k-
[3] Ibid
[4] Lih, (www.ekonomirakyat.org/).
[5] Lih,
(http://www.sinarharapan.co.id/berita/0511/21/nas09.html – 28k)
[6] Lih, (www.depdiknas.go.id)
[7] Lih, Eko prasetyo,hal 191, Orang Miskin Dilarangh Sekolah,
Ressist Book, 2006
[8] Lih, Kompas, 23 November 2000
[9] Lih, Kompas, 23 February 2006
[10] Lih, www.ekonomi rakyat.org/jaminan sosial.
No comments:
Post a Comment