Kematian. Satu proses yang pasti datang namun dilupakan banyak
orang. Banyak orang tidak bersiap diri menghadapi kematian. Bahkan, terasa aneh
bila ada orang mengikuti program iuran kematian sebuah wadah atau organisasi
seperti Yayasan Bunga Kamboja (Jakarta) dan Yayasan Farkila (Bekasi).
Pada dasarnya orang memang tidak ingin mati. Kata penyair
Chairil Anwar, dia ingin hidup seribu tahun lagi. Ada satu kisah si Fulan yang
pengusaha minimarket beranak tengah menghadapi sakaratul maut. Saat maut hendak
menjemput, dia bertanya di mana anaknya yang pertama lalu dijawab si isteri
bahwa si sulung tengah memijit kaki kirinya. Lalu bertanya keberadaan anak
keduanya di mana dan dijawab si isteri bahwa si tengah sedang memijit-mijit
kaki kanannya. Dan kemudian bertanya di mana keberadaan si bungsu, si isteri
menjawab bahwa si bungsu sedang memijit tangan kanannya. Spontan si Fulan
berteriak, “Kalian di sini semua, siapa yang menjaga toko kita.”
Moral cerita tadi jelas bahwa banyak orang melupakan kematian.
Padahal, kematian itu pasti datang. Kita pun harus mempersiapkan diri agar
tidak menyulitkan ahli waris yang ditinggalkan. Banyak cara mempersiapkan diri,
baik lahir maupun batin. Secara batin, barangkali setiap orang memiliki cara
masing-masing. Bagaimana pula secara lahir, terutama buat kepengurusan
memandikan sampai jenazah masuk liang lahat? Proses ini kerapkali membutuhkan
dana yang tidak sedikit.
Banyak cara dapat ditempuh agar kita tidak kesulitan saat menghadapi
kematian nanti. Di antaranya mengikuti iuran kematian yang sudah
diselenggarakan oleh beberapa yayasan pengelola masjid. Beberapa masjid yang
telah memiliki manajemen yang baik sudah mendiversifikasi pelayanannya kepada
umat, dengan membuka pelayanan pengurusan jenazah. Satu masjid di Bekasi
misalkan, dengan iuran Rp10.000 per kepala per bulan, ketika pengiur meninggal akan
memperoleh pelayanan memandikan, mengkafani lengkap dengan kafannya, ambulan
mengantar sampai pekuburan, dan bantuan mengurus kavling makam.
Sudah saatnya kini pengurus masjid kreatif membaca peluang yang
ada. “Pengurus masjid harus kreatif mengembangkan layanan, tidak hanya fokus ke
pelayanan sarana ibadah, tapi juga pelayanan sosial seperti mengurus jenazah.
Melalui masjid kita urus jenazah secara agama dan kita bangun umat yang
berkualitas,” ujar Ketua PP Dewan Masjid Indonesia Drs. H.M. Natsir Zubaidi
saat memberikan kata sambutan pada acara seminar jaminan sosial kematian di
Jakarta belum lama ini.
Ketua Badan Pengelola Masjid Istiqlal Drs. H. Mubarok menambahkan
manajemen masjid harus kreatif merespons perkembangan dan tuntutan kebutuhan
masyarakat dengan terus memperluas cakupan pelayanan. “Manajemen masjid harus
mampu mengorganisasikan dan mengelola potensi yang dimilikinya serta merumuskan
kebutuhan jamaah dan masyarakat lingkungan. Potensi takmir, prasarana dan
sarana fisik serta kemampuan faktor pendukung yang dimiliki masjid perlu
dikelola dan diarahkan untuk menjawab tantangan dan tuntutan kebutuhan jamaah
dengan cara merumuskan visi dan misi yang jelas serta program yang
diprioritaskan dengan tahapan waktu baik jangka pendek, menengah maupun panjang,”
terang Mubarok.
Mubarok mencontohkan misi
sederhana manajemen masjid
antara lain dapat
dirumuskan meningkatkan keimanan,
ketaqwaan, akhlak mulia jamaah; mencerdaskan jamaah; membina ukhuwah
Islamiyah; dan meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi jamaah. Sedangkan
penyusunan program meliputi pengaturan pelaksanaan ibadah mahdhah dan program
di bidang ibadah sosial yang dirumuskan dengan memperhatikan hasil penelitian
dan masukan sesuai kebutuhan jamaah. Misalkan sekarang banyak jamaah
membutuhkan layanan pengurusan jenazah, maka manajemen bisa membuka Unit
Pelayanan Jenazah Masjid (UPJM). Unit ini tidak sebatas mengurus jenazah di
rumah dan menyediakan keranda, namun bisa dikembangkan sampai pengelolaan model
iuran jaminan kematian.
Sementara itu, secara agama, Ketua LDNU K.H. Zakky Mubarak
menerangkan bahwa kepengurusan jenazah, mulai dari menjelang ajal sampai
penguburannya, di berbagai negara Islam pada prinsipnya semua sama. “Yang
berkaitan dengan nash-nash Al Qur’an dan sunah itu sama, yang berbeda hanya berkaitan dengan adab, misalnya
di masyarakat kita begitu ada orang meninggal kita pasang bendera kuning, di
Medan memasang bendera warna merah, di Sumatera Barat memasang bendera warna
hitam, ini hanya untuk memberitahu bahwa ada orang yang meninggal,” jelasnya.
Menyangkut proses kepengurusan mulai dari memandikan, mengkafani
sampai menshalatkan, kata Zakky Mubarak, secara agama relatif sama dan telah
ada aturannya. Manajemen masjid yang sudah tertata telah menyediakan unit yang
siap menjalankan fungsi ini.
Dalam hal penguburan, kata Zakky Mubarak lebih lanjut, Islam pun
mengajarkan kesederhanaan. “Waktu mengubur itu ditutup di atasnya sebelum diuruk
lalu tanahnya sedikit ditinggikan
kemudian diberi batu penanda. Sekarang orang menyebutnya nisan. Kemudian kita
taruh pasir atau kerikil di atasnya ditambah menancapkan pelepah yang masih
segar lalu menyiram dengan air. Proses penguburan ditutup dengan berdoa untuk
si mayit. Itulah adab-adab penguburan di beberapa negara Islam,” terang Zakky
Mubarak.
Proses penguburan memang tampak sederhana. Hanya terkadang si
ahli waris yang meminta berbagai ornamen sehingga menjadi mahal ongkosnya. Melalui
masjid, kita berharap ada sosialisasi pemakaman sederhana agar umat tidak lagi meminta
ornamen-ornamen yang membuat makin berbiaya tinggi.
No comments:
Post a Comment