Oleh Dr. Ahmad Nizar
Shihab, Sp.An
Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI
Indonesia
adalah Negara Kesejahteraan. Hal ini tampak pada
cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Pasal 33 UUD
1945 menggambarkan
pengelolaan perekonomian sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Cabang
perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi
dan air serta kekayaan alam dipergunakan untuk
sebesar–besar kemakmuran rakyat. Demikian juga Pembukaan UUD 1945, tujuan
Negara ini didirikan adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya,
masih di dalam UUD
1945, yaitu Pasal 28H ayat (1), menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Adapun
penegasan tentang tanggung jawab
Negara dalam hal kesehatan sangat nyata digambarkan sebagaimana tercantum pada UUD 1945 hasil Amandemen ke-4 pada
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) yang menyatakan
(ayat 1) bahwa: “Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan”. Dan ayat (3) menyatakan bahwa: ”Negara bertanggung-jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak”.
Untuk
mengimplementasikan sistem
jaminan sosial seperti amanat UUD 1945 tadi, maka telah dibuat Undang-Undang yaitu
Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
yang di samping
menggambarkan Prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial yaitu: kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas,
kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Juga mengamanatkan untuk segera membentuk UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai implementasi amanat UUD 1945 tersebut.
Perjalanan
panjang penyelenggaraan jaminan sosial
di Indonesia sesungguhnya telah lama dilaksanakan. Jaminan sosial untuk berbagai
kalangan yang dilaksanakan:
(1). PT Taspen (Persero), melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981
Tentang Asuransi Sosial PNS; (2). PT Asabri (Persero), dengan program jaminan sosial untuk TNI dan Polri berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia; (3). PT Jamsostek (Persero) dengan program jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1992;
dan (4). PT Askes (Persero) dengan program
pemeliharaan kesehatan untuk PNS, Penerima Pensiun PNS, TNI/Polri, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1992. Selain itu, program jaminan sosial juga dilaksanakan dalam bentuk bantuan sosial baik di bidang
kesehatan maupun di bidang sosial lainnya. Namun baik dari segi landasan hukum, sasaran program, skema pembiayaan maupun badan
penyelenggaranya menjadikan penyelenggaraan jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan konstitusi kita,
belum berjalan secara optimal.
Pembentukan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang
merupakan amanat UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), setelah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
perkara Nomor 007/PUU-III/2005, bermaksud untuk memberikan kepastian hukum secara jelas dan tegas penyelenggaraan program
jaminan sosial di seluruh Indonesia,
tanpa mengenal batas-batas segmentasi penduduk.
Undang-Undang
No.24 tahun 2011 tentang BPJS memuat antara lain, (a) Definisi BPJS, (b) Jumlah
BPJS, (c) Badan Hukum, (d) Organ/Struktur BPJS, (e) Kepesertaan dan iuran, dan
(f) Ketentuan tentang Sanksi serta transformasi terkait pengalihan peserta,
program, aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban dari keempat BUMN
(PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes) ke dalam BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
Transformasi
yang menjadi perhatian besar berbagai kalangan pada saat ini, yang menurut berbagai pihak bukan hal yang
sederhana, berkaitan dengan penataan organisasi dan personil, penyesuaian
program, sasaran dan kepesertaan, skema pembiayaan maupun peraturan, pedoman
pelaksanaan, pengawasan dan perangkat jaminan sosial
yang dibutuhkan sesungguhnya telah menjadi bagian yang krusial dalam pembahasan
Panitia Khusus (Pansus) RUU BPJS pada waktu itu. Bahkan, hingga di akhir detik-detik pengesahan RUU BPJS
menjadi Undang-Undang BPJS pun masih terjadi perdebatan yang sangat intensif.
Berkaitan
dengan transformasi keempat BUMN tersebut, UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS
telah menggariskan bahwa transformasi PT Askes (Persero), PT Jamsostek
(Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Asabri (Persero) dilaksanakan dengan
prinsip transformasi sebagai berikut: a. Tidak boleh ada pemutusan hubungan
kerja dan tidak boleh ada penghilangan hak-hak normatif dari karyawan ke-4 BUMN;
b. Tidak
boleh merugikan peserta lama yang mengikuti program di 4 BUMN;
c. Tidak
boleh ada program terhadap peserta lama yang stagnan atau terhenti,
pelayanan terhadap peserta lama
tidak boleh terhenti; d. Satu peserta
hanya membayar satu kali untuk setiap program; e.
Pemerintah diamanatkan untuk
menyelesaikan seluruh peraturan pelaksanaannya yang diperlukan terkait
transformasi 4 BUMN dengan batasan waktu paling lambat 24 (dua puluh empat)
bulan; g. Proses pengalihan aset dari 4
BUMN kepada aset BPJS dan aset dana jaminan sosial
dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
Selain itu,
UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS pun menggariskan sebagai berikut: pertama, BPJS
Kesehatan menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan. Kedua,
BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Program
Jaminan Kematian, Program Jaminan Hari Tua dan Program Jaminan Pensiun. Ketiga, BPJS Kesehatan mulai beroperasi
1 Januari 2014. Keempat, Transformasi
BPJS Ketenagakerjaan juga dilaksanakan 1 Januari 2014 tetapi mulai beroperasi
paling lambat 1 Juni 2015. ***
No comments:
Post a Comment