Wednesday, January 16, 2013

Transformasi BPJS dan Permasalahannya


Oleh Dr. Ahmad Nizar  Shihab, Sp.An
Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI

Indonesia adalah Negara Kesejahteraan. Hal ini tampak pada cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 menggambarkan pengelolaan perekonomian sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Cabang perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi dan air serta kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar–besar kemakmuran rakyat. Demikian juga Pembukaan UUD 1945, tujuan Negara ini didirikan adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya, masih di dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28H ayat (1), menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Adapun penegasan tentang tanggung jawab Negara dalam hal kesehatan sangat nyata digambarkan sebagaimana tercantum pada UUD 1945 hasil Amandemen ke-4 pada Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) yang menyatakan (ayat 1) bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan. Dan ayat (3) menyatakan bahwa: ”Negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Untuk mengimplementasikan sistem jaminan sosial seperti amanat UUD 1945 tadi, maka telah dibuat Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang di samping menggambarkan Prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial yaitu: kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Juga mengamanatkan untuk segera membentuk UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai implementasi amanat UUD 1945 tersebut.
Perjalanan panjang penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia sesungguhnya telah lama dilaksanakan. Jaminan sosial untuk berbagai kalangan yang dilaksanakan: (1). PT Taspen (Persero), melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 Tentang Asuransi Sosial PNS; (2). PT Asabri (Persero), dengan program jaminan sosial untuk TNI dan Polri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; (3). PT Jamsostek (Persero) dengan program jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1992; dan (4). PT Askes (Persero) dengan program pemeliharaan kesehatan untuk PNS, Penerima Pensiun PNS, TNI/Polri, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1992. Selain itu, program jaminan sosial juga dilaksanakan dalam bentuk bantuan sosial baik di bidang kesehatan maupun di bidang sosial lainnya. Namun baik dari segi landasan hukum, sasaran program, skema pembiayaan maupun badan penyelenggaranya menjadikan penyelenggaraan jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan konstitusi kita, belum berjalan secara optimal.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan amanat UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), setelah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005, bermaksud untuk memberikan kepastian hukum secara jelas dan tegas penyelenggaraan program jaminan sosial di seluruh Indonesia, tanpa mengenal batas-batas segmentasi penduduk.
Undang-Undang No.24 tahun 2011 tentang BPJS memuat antara lain, (a) Definisi BPJS, (b) Jumlah BPJS, (c) Badan Hukum, (d) Organ/Struktur BPJS, (e) Kepesertaan dan iuran, dan (f) Ketentuan tentang Sanksi serta transformasi terkait pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban dari keempat BUMN (PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes) ke dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Transformasi yang menjadi perhatian besar berbagai kalangan pada saat ini, yang menurut berbagai pihak bukan hal yang sederhana, berkaitan dengan penataan organisasi dan personil, penyesuaian program, sasaran dan kepesertaan, skema pembiayaan maupun peraturan, pedoman pelaksanaan, pengawasan dan perangkat jaminan sosial yang dibutuhkan sesungguhnya telah menjadi bagian yang krusial dalam pembahasan Panitia Khusus (Pansus) RUU BPJS pada waktu itu. Bahkan, hingga di akhir detik-detik pengesahan RUU BPJS menjadi Undang-Undang BPJS pun masih terjadi perdebatan yang sangat intensif.
Berkaitan dengan transformasi keempat BUMN tersebut, UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS telah menggariskan bahwa transformasi PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Asabri (Persero) dilaksanakan dengan prinsip transformasi sebagai berikut: a. Tidak boleh ada pemutusan hubungan kerja dan tidak boleh ada penghilangan hak-hak normatif dari karyawan ke-4 BUMN; b. Tidak boleh merugikan peserta lama yang mengikuti program di 4 BUMN; c. Tidak boleh ada program terhadap peserta lama yang stagnan atau terhenti, pelayanan terhadap peserta lama tidak boleh terhenti; d. Satu peserta hanya membayar satu kali untuk setiap program; e. Pemerintah diamanatkan untuk menyelesaikan seluruh peraturan pelaksanaannya yang diperlukan terkait transformasi 4 BUMN dengan batasan waktu paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan; g. Proses pengalihan aset dari 4 BUMN kepada aset BPJS dan aset dana jaminan sosial dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
Selain itu, UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS pun menggariskan sebagai berikut: pertama, BPJS Kesehatan menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan. Kedua, BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Program Jaminan Kematian, Program Jaminan Hari Tua dan Program Jaminan Pensiun. Ketiga, BPJS Kesehatan mulai beroperasi 1 Januari 2014. Keempat, Transformasi BPJS Ketenagakerjaan juga dilaksanakan 1 Januari 2014 tetapi mulai beroperasi paling lambat 1 Juni 2015. ***

No comments:

Post a Comment