Air adalah berkat dari Tuhan
sehingga kita harus memanfaatkannya. Bilaa air tersebut tidak dibendung untuk
perhambat, maka akan sia-sia karena akan terbuang mengalir ke laut. Dengan
begitu, kita perlu membuat embung untuk menahannya dan selanjutnya digunakan buat
mengairi sawah-sawah dan perluasan areal sawah.
Lens
Haning, Bupati Rote Ndao
SAAT
itu waktu menunjukkan pukul 11.00 wita. Hari Minggu, tanggal 20 Mei 2012. Mobil
Fortuner bernomor-polisi DH 1 G meluncur membawa Bupati Rote Ndao Lens Haning dari
rumah jabatan di Kompleks Ne'e, Kota Baa, menuju arah Desa Oelunggu, Kecamatan
Lobalain. Hanya sekitar 20 menit, rumbongan Lens Haning sudah tiba di Desa
Oelunggu.
Mobil
pun berhenti di satu lokasi yang cukup lapang buat parkir kendaran jenis jip tersebut.
Beberapa tokoh masyarakat Desa Oelunggu yang telah beberapa saat menunggu di
pinggir jalan kampung langsung menyambut lalu mengajak Bupati Lens Haning berjalan
melewati pematang setapak di tengah persawahan dan kadang naik-turun pagar di
antara petak sawah. Nampak dari raut wajah mereka demikian gembira, entah
karena merasa senang dikunjungi oleh orang nomor satu di wilayah paling selatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu ataukah senang lantaran akan menerima
bantuan dari Bupati Lens Haning.
Bupati
Haning pun menikmati betul perjalanan itu. Walaupun, siang itu cuaca terasa
panas terik dan angin bertiup kencang, Lens (sapaan akrab Bupati Leonard
Haning) tak hendak mengurungkan niatnya untuk berhenti istirahat sejenak. Dia
justru bertambah bersemangat memacu langkah kaki.
Setelah
beberapa waktu berlalu dalam keriangan kebersamaan Bupati Lens dan rakyatnya,
sampailah pada sebuah sungai. Sungai Soekadek namanya. Sebuah sungai yang
direncanakan warga setempat untuk dijadikan embung guna menampung air yang
mengalir dari empat mata air buat mengairi sekitar 50 hektar sawah di seputar
Desa Oelunggu.
Dalam
perbincangan akrab warga dengan Bupati Lens, terungkap bahwa selama ini air yang
mengalir dari empat mata air tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal.
Karena, air dari empat mata air itu langsung lewat Sungai Soekadek terus
mengalir ke laut, terbuang percuma. Untuk itu, warga Desa Oelunggu minta pemerintah
sedapat membuatkan sebuah embung agar bisa menampung air tersebut dan tidak
terbuang sia-sia. Warga yang umumnya bekerja sebagai petani pun dapat memanfaatkan
guna mengairi persawahan yang mereka garap dan menjadi andalan kehidupan
sehari-hari.
Salah
seorang warga, Adrianus Lette, mengatakan dirinya merasa senang karena Bupati Lens
telah bersedia datang di tempat yang berlumpur dan hutan ini untuk menerima
langsung keluhan dan aspirasi kebutuhan warga Desa Oelunggu. Dan lebih
berbahagia lagi, ujarnya lebih lanjut, jika Pemerintah Kabupaten Rote Ndao dapat
menyetujui dan membuat embung yang mereka harapkan.
Menanggapi
aspirasi kebutuhan warga Desa Oelunggu, Lens Haning mengatakan, jika tidak ada
kendala dan cukup tersedia anggaran maka tahun 2012 juga langsung dikerjakan.
“Namun jika dana tahun ini sudah terserap, maka tahun depan akan diprioritaskan,”
ujar Lens Haning berjanji.
"Air
adalah berkat dari Tuhan sehingga kita harus memanfaatkannya. Jika air tersebut
tidak dibendung untuk perhambat, maka akan sia-sia karena langsung mengalir terbuang
ke laut. Untuk itu kita perlu buat embung untuk menahannya agar selanjutnya dapat
digunakan buat mengairi sawah-sawah dan perluasan areal sawah," ujar
Haning kepada warga Desa Oelunggu. Spontan, mereka yang hadir saat itu bersorak
gembira.
Tidak
hanya hari itu Lens Haning turun menyambangi rakyat di segenap wilayah
Kabupaten Rote Ndao. Dengan mengusung jargon “Mendengar Suara Rakyat”, dalam
tempo tiga tahun memimpin Rote Ndao, Lens turun jauh ke desa-desa yang
terpencil yang nyaris terkucil, pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan
Benua Kanguru Australia. Bukan semata-mata mendengar apa yang mereka inginkan
namun lebih mendengar apa yang mereka butuhkan. Ada yang membutuhkan embung
buat irigasi. Ada pula yang membutuhkan pupuk agar tanaman padi yang
digadang-gadang mampu dipanen secara optimal. Ada lagi yang meminta aliran
listrik karena sampai Republik Indonesia merdeka lebih dari 60 tahun masih
harus memakai lentera berbahan bakar minyak sayur.
Lalu,
ungkapan kebutuhan rakyat itu Lens bawa dalam rapat bersama segenap aparatur
Pemerintah Kabupaten Rote Ndao untuk dicarikan solusi dan dibuatkan
program-program pembangunan yang pas dengan aspirasi yang ada. Melalui
pendekatan semacam ini, dia berharap dirinya mampu menempatkan rakyat di
hatinya dan sang pemimpin juga berada di hati rakyat.
A. Irigasi dan Embung
Air
memang demikian penting bagi kehidupan. Tumbuhan dan air merupakan dua sisi
dari satu koin mata uang. Makhluk hidup –tetumbuhan dan manusia—tidak akan
hidup tanpa air. Sementara itu di wilayah Rote Ndao, musim hujan cuma
berlangsung sekitar tiga bulan dalam setahun. Sumber air menjadi amat terbatas.
Orang Rote harus pandai-pandai mengelola pemakaian air. Sudah sejak generasi
dulu (tanpa bantuan pemerintah) mereka mampu mengatasi problem pengairan.
Mereka sangat rajin dan pintar mencari solusi.
Kendati
orang Rote masa silam masih banyak yang buta huruf, tapi mereka telah
mengetahui bagaimana kiat mencegah agar air (hujan) tidak terbuang percuma
langsung ke laut lepas. Mereka sudah pintar membuat bendungan (embung-embung)
yang dalam bahasa lokal disebur ‘ndende’.
Sudah sejak lama Rote Ndao memiliki banyak embung. Embung-embung yang pertama
dibuat di Thie (Rote Barat Daya), yakni embung-embung Dano Tua. Embung-embung (ndende) ini dibuat oleh Raja Lunggi Helo
dan Moi Longgo (tokoh adat) pada sekitar tahun 1610 Masehi.
Daerah
yang terdapat sumber air antara lain Dengka (Ingguinak dan sekitarnya), Baa
(Tanggaloi dan Oemau), Lelain (Oesamboka), Lole (Kuli), Thie (Oesali, terbuang
langsung ke laut), Termanu (Lela, Peto, Lopo, Muamata), Talae, Korbafo, Bilba
(Matasio), dan Ringgou. Selain dari sumber-sumber air tersebut, terdpaat pula
banyak bendungan dan atau embung-embung –baik hasil kerja orang-orang tua masa
lalu dan kini maupun hasil kerja (bantuan) pemerintah. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan
air, Bupati Rote Ndao Leonard Haning merencanakan pembangunan 1000 embung di
seluruh wilayah Kabupaten Rote Ndao.
“Jangan
tanyakan soal jumlah 1.000 buah embung, prinsipnya kami mengusahakan dari tiada
menjadi ada, bahkan sampai pembangunan jaringan irigasi,” ujar Bupati Leonard
Haning yang akrab disapa Lens.
Lens
menargetkan setiap desa minimal memiliki dua buah embung untuk memenuhi
kebutuhan air makhluk hidup –baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Pemerintah
(Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah
Kabupaten Rote Ndao) menyediakan dana sekitar Rp500 juta sampai Rp2,5 miliar
untuk membangun dan memperbaiki embung-embung di Rote. Tahun 2011 telah
terbangun 10 embung dan tahun 2012 (sampai pertengahan tahun) terbangun lima
embung yang dibiayai oleh Pemerintah.
Agar
embung-embung tersebut terpelihara dan terjaga, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao
menetapkan seorang penjaga embung yang diupayakan berasal dari wilayah sekitar
embung yang wajib dijaga.
Selain
membangun embung-embung, hal yang juga penting menjadi perhatian adalah menjaga
dan melestarikan manfaat hutan yang ada. Dalam membangun dan menata lingkungan
hidup (termasuk melestarikan hutan), masyarakat Rote mengenal tokoh Lole Tosu (Raja
Lole, lahir pada permulaan abad ke-15). Para tokoh leluhur dan tokoh-tokoh Rote
masa kini mempunyai kepedulian yang sangat besar dalam membangun masyarakat
dengan berbagai gebrakan atau gerakan yang mulia. Mereka berjuang tanpa pamrih.
Jejak langkah mereka perlu diikuti oleh generasi masa kini dan masa yang akan
datang. Di antara mereka juga ada yang memiliki lembaga dan atau peraturan adat
(hohorok/papadak) untuk melindungi
hutan atau alam sekitar. Ada hutan-hutan tertentu sebagai tempat ‘songgo’ (berdoa) guna memohon hujan.
Hutan semacam ini pun dilindungi oleh aturan adat.
B. Lakamola Anan Sio
Sekali
lagi, embung (air) berkait erat dengan kehidupan tanaman –terutama tanaman
pangan. Embung berkait kuat dengan kelangsungan hidup persawahan sebagai
penghasil tanaman pangan (padi) yang menjadi kebutuhan pokok warga masyarakat
Rote.
Pada
mulanya leluhur orang Rote/Ndao mendapatkan makanan dari hutan berupa
umbi-umbian. Lauk pauk pun mereka peroleh dari aktivitas berburu di hutan dan di
laut lalu memakannya secara mentah yang biasa disebut ‘folo buluk ma na’a matak’. Baru kemudian mereka mengenal sistem
pertanian tradisional polikultur. Sejak dulu terdapat sembilan jenis tanaman
pangan yang dikenal dan dibudidayakan di Rote Ndao, yakni padi, jagung, sorgum,
botok (jewawut), kacang panjang, kacang hijau, turis, labu dan wijen.
Orang
Rote menamakan kesembilan jenis tanaman pangan itu ‘lakamora/lakamola’, karena pada awalnya bibit-bibit tanaman itu
dipelihara dan dikembangkan oleh Lakamola Bulan –salah seorang dari moyang Bula
Kai (sekitar permulaan abad ke-14 M). Lantaran terdiri dari sembilan jenis maka
kemudian disebut ‘lakamola anan sio’
(lakamola memiliki sembilan anak), maksudnya tanaman pangan terdiri dari
sembilan jenis. Dalam kisah lama, Lakamola Bulan tinggal di puncak sebuah
gunung (di Bilba) yang kemudian disebut Gunung Lakamola. Moyang ini menurunkan
sebagian orang Bilba (Lakamola Bilba à
Kapa Lakamola à Lengu Kapa à dan seterusnya).
Hasil
panen disebut ‘mbule sio do poko falu’
(sembilan bulir/mayang atau delapan tongkol) –maksudnya hasil dari kesembilan
tanaman pangan tersebut. Penganten perempuan dimetaforakan sebagai hasil panen
dan disebut ‘mbule sio’. Karena
manusia dimetaforakan atau disimbolkan sebagai flora maka turunan sebagai hasil
produksi disimbolkan pula sebagai ‘bunga’ dan ‘buah’ lalu disebut ‘buna boak’.
Menurut
mitos yang berkembang pada masyarakat Rote, Lakamola Bulan mempunyai seekor
burung yang juga diberi nama Lakamola. Pada suatu saat burung itu bertelur dan,
saat menetas, ia tidak hanya menetaskan anak burung namun juga menetaskan tujuh
bibit tanaman pangan dan seekor burung. Ketujuh jenis bibit tanaman pangan
hasil dari burung itu ialah jagung,
sorgum, kacang panjang, kacang hijau, turis, labu dan wijen. Kemudian moyang Lakamola Bulan mendapatkan dua jenis bibit
tanaman pangan yang lain, yaitu padi
dan jewawut (botok) dari orang lain. Kedua bibit ini jauh sebelumnya ditemukan
oleh orang-orang Masu Pasu dan Hele Haik, lalu dipelihara dan dikembangkan
bersama-sama di kaki Gunung Lakamola.
Jenis-jenis
tanaman yang dapat ditanam secara polikultur dalam sebuah kebun atau ladang
adalah jagung, sorgum, turis, labu dan kacang panjang. Sedangkan padi, botok,
kacang hijau dan wijen bisa ditanam secara monokultur. Meskipun masih buta
huruf dan buta ilmu tapi naluri mereka sudah cukup maju sehingga mampu menanam
berbagai tanaman pangan dalam suatu persil lahan –terutama lahan kering—dengan
anggapan risiko gagal panen sangat kecil lantaran dianggap tidak mungkin semua
tanaman yang diusahakan akan gagal.
Sejak
dulu kala hasil pertanian telah memberi manfaat besar bagi kehidupan orang
Rote. Bukan sebatas kepentingan perut namun juga kepentingan pendidikan dan
agama. Pada masa silam orang Rote Ndao sudah mampu membiayai pendidikan
anak-anaknya dengan beras, kacang hijau, gula, dan lilin lebah. Demikian pula
agama, banyak bantuan berupa natura dan uang disumbangkan untuk kepentingan
penginjilan. Menurut Fox (1996: 139), Ter Horst (opperhoofd) pada tahun 1659 berjanji kepada Gubernur General di
Batavia bahwa musuh-musuh Kompeni di Rote segera ditaklukkan sehingga Kompeni
akan memperoleh “tempat penyimpanan makanan yang baik” (een goode spijs kamer).
Pertanian
orang Rote/Ndao meliputi persawahan dan perladangan. Perladangan dibedakan atas
dua jenis: ladang (tine) dan kebun (osi). Sedangkan persawahan meliputi
sawah tanah basah (hade oe soi oe),
sawah tanah kering (hade oe dae madak),
dan hade lutu. Hade lutu adalah semacam padi gogo rancah, dari sejak dulu telah
diterapkan di Rote, dan ditanam di kebun disebut Osi Hade Lutu. Jadi sebelum ada sawah, padi ditanam di
kebun/ladang. Persawahan banyak terdapat di Thie, Dengka, Lole, Baa, Termanu,
Korbafo, Diu dan Bilba. Dengan demikian hasil padi banyak berasal dari
nusak-nusak tersebut.
Dari
sembilan jenis tanaman pertanian, padi merupakan tanaman yang paling banyak
membutuhkan air. Air merupakan kebutuhan yang sangat vital. Bukan saja untuk
irigasi namun juga buat minum, mandi, upacara adat, dan upacara keagamaan.
Sebagian
besar suku bangsa selalu menyambut tamu/penganten atau mendinginkan rumah baru
dengan upacara adat melalui percikan air, baik air biasa maupun air kelapa. Di
Rote, untuk mendinginkan rumah baru atau acara adat lainnya dengan percikan air
disebut nekesufu. Sedangkan untuk
menyambut penganten perempuan disebut sali
oe (tuang air). Manusia menganggap air sebagai penopang kehidupan. Di mana
ada sumber-sumber air maka di situ pasti ada kehidupan manusia.
Orang
Rote sangat mencintai air dan lontar. Di mana tempat terdapat sumber-sumber air
dan pohon lontar, di situ mereka hidup dengan tekun. Sawah dibuka/diolah dan
pohon lontar disadap. Waktu selama setahun, hampir seluruhnya terisi dengan
berbagai kegiatan produktif.
Lantaran
mencintai pohon besar dan air, banyak tempat di Rote atau tempat-tempat migrasi
orang Rote diberi nama dengan arti air dan lontar (tua). Memang nama-nama di
NTT bahkan Indonesia lainnya juga banyak yang berarti air, namun tampaknya di Rote
lebih menonjol. Dalam bahasa Rote, air diistilahkan oe, bahasa Belu/Tetun (we),
bahasa Dawan (oel), bahasa Sumba (wai) dan bahasa Flores (wai, wae).
Tempat-tempat
orang Rote yang bermakna air (oe)
antara lain Oenale, Oeseli, Lalukoen, Mbaooen, Oemau, Oepao, Oesuli, Ke’aoen,
Oetefu, Oebobo, Oepura, Oebufu dan Oesao.
Lahan
ladang berupa hutan, dibabat lalu dibakar, sesudah itu baru ditanami jagung,
kacang merah, kacang turis, labu dan semangka. Ladang dikerjakan secara
insidental, berturut-turut paling lama dua musim tanam, setelah itu dibiarkan
dengan interval waktu sekitar 10 tahun sampai 30 tahun. Bibit botok tidak
ditanam tapi ditabur sebulan sebelum turun hujan.
Lahan
kebun berupa padang atau semak belukar yang dibabat. Kebun dikerjakan setiap
tahun. Lokasi umumnya berada di dekat rumah dan tanahnya lebih gembur daripada
ladang.
Pada
tanggal 16 Oktober 2012, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rote Ndao mencanangkan
gerakan kembali ke kebun dengan nama “Gerakan Lakamola Anan Sio”. Gerakan ini merupakan
gerakan yang berbasis budaya Rote/Ndao untuk menghidupkan kembali pengusahaan
kebun yang akhir-akhir ini mulai ditinggalkan. Padahal, dari dulu, hasil
kebun/sawah (mbule sio) yang mencakup
sembilan jenis tanaman itu cukup memberi harapan hidup pada orang Rote Ndao.
Gerakan
Lakamola Anan Sio yang dicetuskan oleh Pemkab Rote Ndao tidak saja menyangkut
bidang pertanian/kehutanan tetapi sekaligus meliputi bidang kelautan. Lakamola
Anan Sio dilaksanakan sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayah masing-masing.
Gerakan ini telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Provinsi NTT dan
Pemerintah Pusat. Penggunaan terminologi lokal tersebut (Lakamola Anan Sio)
adalah suatu terminologi atau ungkapan yang sesuai dengan kultur dan bahasa
serta sastra Rote/Ndao. Dengan demikian dipastikan memperoleh sambutan yang
baik dari masyarakat Rote Ndao.
Gerakan
Lakamola Anan Sio mengingatkan kembali kepada orang Rote Ndao, figur moyang
Lakamola Bulan yang dengan tekun mengembangkan dan melestarikan sembilan jenis
tanaman tradisional orang Rote Ndao pada beberapa abad silam di kaki Gunung
Lakamola (Bilba). Moyang ini perlu dikenal atau dikenang oleh masyarakat Rote
Ndao. Bahkan bila dirasa pantas maka dapat ditetapkan oleh orang Rote Ndao
sebagai “Bapak Lakamola” atau “Bapak Pertanian Tradisional Rote Ndao”.
C. Pertanian
Dengan
kondisi embung yang telah lama ada dan lahan-lahan yang sudah tersegmentasi,
pertanian dan perkebunan di Kabupaten Rote Ndao relatif berkembang secara baik.
Dari persawahan, padi telah lama dikenal
di Rote. Dalam bahasa Rote, padi disebut dengan beberapa istilah: hade, ale dan are. Sementara sawah disebut: rene,
hade oe, dan mole. Jenis-jenis
padi yang dikembangkan nenek moyang dulu adalah yang disebut hade iko peko (ekor bengkok), hade savu, hade lai, dan hade lutu.
Sampai
tahun 2009, luas areal persawahan tiap kecamatan sebagai berikut: 20 Ha di
Kecamatan Rote Barat, 250 Ha di Kecamatan Rote Barat Daya, 200 Ha di Kecamatan
Rote Barat Laut, 300 Ha di Kecamatan Lobalain, 97 Ha di Kecamatan Rote Selatan,
500 Ha di Kecamatan Rote Tengah, 170 Ha di Kecamatan Pantai Baru, dan 100 Ha di
Kecamatan Rote Timur.
Sawah
tanah kering (hade oe dae madak)
lebih banyak daripada sawah tanah basah (hade
oe soi oe). Data yang ada menyebutkan bahwa sawah basah dengan irigasi
hanya 3.000 Ha sedangkan sawah kering (tanah hujan) mencapai sekitar 17.000 Ha.
Sawah tanah basah dikerjakan setiap tahun. Sedangkan sawah kering atau tadah
hujan tergantung pada curah hujan. Kini sawah gogo rancah telah tersebar di
hampir seluruh wilayah Rote.
Hade lutu
dan botok pun sudah dikembangkan
sejak dulu dan merupakan tanaman pangan yang utama, sehingga dalam ungkapan
dikatakan oka bete do dae/lae hade.
Kendati
sekarang ada yang mengerjakan sawahnya dengan peralatan modern (traktor) namun
cara yang lazim secara tradisional adalah dengan sistem rencah, dalam bahasa
Rote disebut hombu/hopu. Dalam sistem
ini pengerjaan sawah dilakukan dengan cara menggiring kawanan kerbau atau sapi
berkeliling sawah agar kaki-kaki hewan tersebut melumatkan tanah dan
menenggelamkan serta menghancurkan rumput-rumput. Rencah dapat dilakukan sampai
dua atau tiga kali, kemudian dibuat pematang lalu baru ditanami.
Dalam
merencah, hewan digiring berjalan melingkar ke kiri atau ke kanan dengan
dituntun oleh beberapa orang laki-laki sambil bernyanyi (helo) yang dipimpin
oleh seorang penyanyi solo. Bila dimulai dengan melingkar ke kiri, maka setelah
beberapa kali putaran dibalik lagi melingkar ke kanan dengan tujuan agar hewan
tidak pusing.
Kini
Pemerintah Kabupaten Rote Ndao lebih memprioritaskan peningkatan produksi padi.
Keberhasilan pangan selalu dilihat dari kemampuan petani untuk mendapatkan
hasil padi yang banyak. Dengan demikian komoditas dan pola konsumsi masyarakat
tergeser. Terdapat kesan bahwa petani yang makanan pokoknya beras/padi dianggap
lebih modern bila dibandingkan dengan petani yang mengkonsumsi jagung, gula
lontar, botok dan umbi-umbian. Beras dianggap lebih prestise daripada tanaman
lokal. Padahal minimnya curah hujan di NTT umumnya dan Rote khususnya mengakibatkan
masyarakat setempat tidak dapat semata-mata mengandalkan padi. Tanaman pangan
lokal atau tradisional pun harus tetap diandalkan.
Beberapa
kendala dalam upaya peningkatan produksi padi dihadapi para petani Rote. Selain
masalah air, hama pun masih menjadi persoalan yang harus segera dituntaskan. Terdapat
dua jenis hama, yaitu walang sangit (boromanggis)
dan ulat padi (faurae). Juga burung
pipit. Kini walang sangit dan ulat padi sudah dapat diatasi dengan pestisida.
Pada masa lalu kedua jenis hama ini bisa diusir melalui cara magis, yaitu
dengan mantra-mantra yang dinyanyikan.
Untuk
meningkatkan produksi pertanian (terutama padi), Pemerintah Kabupaten Rote Ndao
juga memberikan bantuan pupuk kepada para petani. Selama ini jenis pupuk urea
dan NPK yang banyak diberikan. Tapi, kini penggunaan pupuk kimiawi dikurangi
dan digantikan dengan pemakaian pupuk organik. Bahkan, Pemkab telah mengundang
investor untuk meningkatkan produksi pupuk organik.
Dengan
optimalisasi fungsi embung dan jaringan irigasi, penggunaan pestisida, pemakaian
benih unggul dan pemupukan yang tepat, produksi padi di Kabupaten Rote kini
telah mampu mencapai sekitar 4 ton sampai 7,2 ton per hektar. Sebuah angka
produksi yang relatif tidak jauh tertinggal dibandingkan produksi padi di Pulau
Jawa yang berada pada kisaran 6-8 ton per hektar. Dan Rote pun surplus produksi
padi. Atas prestasi ini, tahun 2012, Pemkab Rote Ndao memperoleh apresiasi
Adikarya Pangan Nusantara dari Menteri Pertanian.
Selain
padi, telah lama pula pertanian Rote akrab dengan komoditas jagung. Terdapat dua macam jagung (mbela/pela), yaitu jagung biasa (mbela sina, pela sina atau jagung
cina) dan sorgum. Sorgum disebut pula mbela/pela
hiek atau pela daek, dalam bahasa
Kupang disebut jagung rote, dan dalam kesusasteraan Belanda disebut kaffercom (jagung kafir). Pembudidayaan
jagung biasa dan jagung rote tidak seimbang, pela sina (jagung cina) jauh lebih
banyak. Pada musim paceklik, nasi jagung dan nasi botok biasa disajikan kepada
tamu. Kawan yang akrab dari jagung rote dan botok adalah turis atau kacang
turis, kacang panjang, dan kacang hijau. Dikatakan kawan lantaran jagung rote
dan botok, juga beras, dapat dimasak bersama-sama dengan salah satu dari ketiga
jenis kacang-kacangan tersebut.
Umur
jagung rote dan turis relatif cukup panjang. Jagung rote dipanen sekitar bulan
Maret/April, sedangkan turis dipetik pada bulan Mei, sehingga terkadang
produksinya cukup rendah karena kurang curah hujan. Sorgum atau jagung rote
terdiri dari beberapa jenis. Salah satunya merupakan pulut, disebut mbela hie makaditek, enak dimakan. Biji
turis dapat diolah menjadi kecap. Terdapat pula sejenis turis (turis
Australia), berumur panjang dan batangnya tinggi. Turis jenis ini juga cocok
untuk dikembangkan di wilayah Rote.
Tidak
semua orang memiliki sawah namun sebuah keluarga minimal mempunyai sebuah kebun
jagung. Jagung biasanya ditanam di kebun (osi)
ataupun ladang (tine). Kebun
dikerjakan setiap tahun tanpa berpindah-pindah. Sedangkan ladang berupa hutan
belukar, dikerjakan sekali atau dua kali dengan selang waktu 10 samapi 30
tahun. Hampir setiap tahun tanah kebun dibalik.
Saat
ini terdapat sekitar 20.000 KK kategori miskin. Agar mereka tidak semakin
terjerembab dalam kemiskinan, Pemkab Rote Ndao mengoptimalkan sekitar 34.000
lahan tidur untuk digarap oleh warga berkategori miskin tadi. Selain itu,
Pemkab juga mengajak investor untuk menggarap agroindustri –dari hulu sampai
hilir—atas lahan-lahan pertanian yang tengah dioptimalkan pemanfaatannya.
Dalam
sebidang kebun atau ladang biasanya ditanam beberapa jenis tanaman secara
polikultur. Yang unik adalah bahwa acapkali dalam satu lobang ditanam beberapa
jenis tanaman, misalkan kacang panjang bersama sorgum atau kacang panjang
bersama turis.
Bibit
jagung yang dikembangkan di Rote –sejak dulu sampai sekarang—adalah bibit
unggul. Bibit unggul sekarang seperti jagung metro, jagung pulut dan jagung
hibrida dikembangkan di Rote telah menghasilkan produksi yang terus meningkat. Kini
gara-gara terdesak oleh pembudidayaan padi gogo rancah, banyak kebun
ditinggalkan. Akibatnya produksi beberapa tanaman tradisional (antara lain
sorgum, kacang panjang dan turis) terus menurun. Nasi jagung dapat dihidangkan
dalam bentuk biji/anteru (mbela de’e
katemak), bose (mbela bose, dikeluarkan kulit arinya) ,
dan jagung titi (mbela tutu).
Gubernur
NTT Frans Lebu Raya sempat mencanangkan jagung sebagai program prioritas dan
NTT sebagai provinsi jagung. Terdapat beberapa bibit lokal yang berkualitas,
antara lain komposit dan piet kuning, sangat cocok dengan alam
NTT. Jagung piet kuning merupakan jagung yang dihasilkan saat Piet Alexander Tallo
menjabat sebagai Gubernur NTT. Sebagai penghargaan kepada Piet Tallo dan karena
jagung tersebut berwarna kuning lalu nama Piet Kuning disematkan pada komoditas
penting masyarakat pertanian NTT tersebut.
Botok.
Dalam cerita rakyat Rote terdapat dua versi mengenai asal-usul padi dan botok
(jewawut). Versi pertama mengatakan bahwa bibit kedua tanaman ini semula
ditemukan dalam perut ikan duyung dan perut penyu. Sedangkan versi kedua mengatakan
bahwa bibit kedua tanaman itu awalnya ditemukan dalam perut kepiting dan tiram
(siput).
Kisah
yang mengatakan bahwa mulanya bibit-bibit itu ditemukan dalam perut kepiting
dan tiram dikisahkan dalam bentuk syair, menurut bahasa Rote dialek Thie yang
terjemahannya berikut:
“Ada
dua orang suami-isteri, yaitu Rusu Dui dan Tio Taka. Mereka memelihara padi dan
botok. Kedua jenis bibit tersebut mereka berikan kepada Ngguma Bei Asa (siput)
dan Ni Bole Sa’u (kepiting), dengan tujuan agar dikembangkan namun ternyata
ditelan/dimakan oleh keduanya.
Pada
suatu hari, Masu Pasu (anak perempuan Pasuama Nggeo) dan Hele Haik (anak
perempuan Haiama Tuni) pergi mencari ikan di sero milik orang tua mereka.
Ternyata di sero orang tua mereka tidak ada ikan, hanya terdapat seekor siput
dan seekor kepiting. Mereka menangkap kedua jenis binatang itu lalu pulang.
Setiba di rumah, keduanya menyerahkan hasil tangkapan itu kepada ibu-ibu mereka
lalu diolah/dibakar untuk dimakan. Ternyata di dalam perut kepiting terdapat
butir-butir botok dan di dalam perut siput terdapat butir-butir padi.
Biji-bijian
itu diambil oleh Masu Pasu dan Hele Haik lantas ditanam dan dikembangkan. Kedua
gadis tersebut kemudian berpindah ke Sari Ama dan Eda Oe lalu kawin dengan
Bulan Boboan dan Deta Dolio, kemudian Bulan Boboan beranak Masi Bulan
(perempuan) dan Deta Dolio beranak Davu Deta (perempuan). Keduanya diperanakkan
di kebun Kaitio Ledo dan mamar Beluba Langga (Bilba). Dari Bilba, bibit padi
dan botok tersebar ke berbagai tempat di Rote.
Sedangkan
penyebaran kedua bibit itu ke Thie pada pertengahan abad ke-15 M melalui
perkawinan, yaitu Masi Bulan dan Davi Deta kawin dengan Tola Mesa dan Le’e Lumu
(orang-orang Thie). Kedua gadis/isteri datang dengan membawa berbagai harta,
termasuk padi dan botok. Mulai saat itu keturunan Tola Mesa dan Le’e Lumu
memelihara dan mengembangkan bibit padi dan bibit botok sampai menjadi pangan
bagi masyarakat Thie hingga sekarang.”
Sampai
kini nama kedua penemu tanaman tersebut senantiasa dipuji dan dipuja. Bilamana
sesudah panen dan bahan makanan dibawa masuk ke dalam rumah maka orang
memuji-muji dalam bentuk syair yang terjemahannya seperti berikut:
“Masa
Pasu dan Hele Haik dipersilakan naik ke atas rumah dengan membawa bahan makanan
yaitu padi dan botok. Tetapi bahan-bahan makanan tersebut harus dikelola
demikian macam agar berguna bagi kesejahteraan hidup, juga bermanfaat untuk
menolong balu-duda dan yatim-piatu serta sesama.”
Beberapa
mitos yang berkembang pada masyarakat Rote ini mengindikasikan bahwa sudah
sejak zaman purba orang Rote Ndao sangat gandrung pada ilmu pengetahuan. Mereka
pergi dan mempelajari ilmu dan teknologi di Sain (dasar samudera) atau mengundang
para ahli untuk membagikan ilmu mereka kepada masyarakat Darat (Rite). Dalam
berbagai mitos selalu dikisahkan bahwa hampir semua penemuan ataupun ilmu dan
teknologi berasal dari Sain (laut). Dapat dikatakan bahwa asal-muasal ilmu
pengetahuan dan teknologi itu dari seberang.
Karakter
orang Rote yang menyenangi ilmu pengetahuan itu pula yang kemudian mendorong
Foe Mbura dan kawan-kawan (Ndi’i Hua [Raja Lole], Tou Dengga Lilo [Raja Ba’a],
dan Ndara Naong [Raja Lelain]) pergi mencari ilmu pengetahuan sampai di Batavia
pada tahun 1730, di kala masyarakat Rote masih dalam kegelapan (primitif).
Dari
sembilan jenis tamanan pangan di Rote, botok dapat diharapkan lebih dulu
memberi hasil dan menanggulangi bencana kelaparan karena umurnya relatif pendek
dan tidak membutuhkan banyak air. Terdapat dua jenis botok, yaitu bete ina dan bete lai. Bete lai
umurnya sangat pendek, dan umur bete ina
lebih panjang. Sementara buah-buahan yang lebih dulu memberikan hasil adalah
semangka (timu dafa). Hasil kedua
tanaman (botok dan semangka) ini lebih dulu dinikmati daripada tanaman-tanaman
yang lain. Dalam syair, kedua tanaman ini disanjung-sanjung dengan kata “mbule ulu bete lai do boa sosa timu dafa”
(bulir sulung jewawut atau buang pertama semangka). Anak sulung orang Rote
dimetaforakan sebagai bulir botok yang mula-mula dan buah semangka yang pertama
lalu dikatakan “mbule ulu bete lai do boa
sosa timu dafa”. Walaupun orang Rote juga hidup dari nira lontar, namun
sesuai dengan legenda tersebut, ternyata padi dan botok telah dibudidayakan
semenjak dulu kala.
Wijen.
Dalam bahasa Rote, wijen disebut lena/lene.
Sementara dalam bahasa Latin disebut indicum
L. Tanaman ini termasuk dalam famili Pedaliaceae.
Dibudidayakan sebagai sumber minyak nabati dan dikenal sebagai minyak wijen,
yang diperoleh dari ekstraksi bijinya. Diperkirakan berasal dari Afrika.
Biji
wijen mengandung 50-53% minyak nabati dan kaya akan vitamin E, vitamin B1, dan
kalsium. Mengandung pula kalori dan asam lemak esensial yang tinggi, yang
dibutuhkan dalam tubuh manusia. Minyak wijen juga digunakan sebagai obat dan
biji wijen yang berwarna hitam dimanfaatkan buat obat penyakit gula darah. Biji
wijen pun untuk penghias kudapan (ditaburkan di permukaan onde-onde), burger,
cake dan biskuit.
Di
Rote, biji wijen dibuat penganan tradisional yang dinamakan lepa lena (tengteng). Kini pembudidayaan
tanaman wijen sudah berkurang.
Labu.
Labu dapat dimasak bersama jagung rote atau dibuat sebagai sayuran. Bisa pula
dijadikan makanan babi. Bila tanaman-tanaman tradisional ini dibudidayakan
kembali secara baik maka para petani tidak begitu kekurangan pangan.
Umbi-umbian.
Sejak dulu, umbi-umbian yang dikenal di Rote adalah ubi jalar (ufi sino/ndokasa) dan ubi kayu/ketela
pohon (ufi ai). Ubi kayu datang
belakangan. Mula pertama ubi kayu dikenal di Amerika Selatan, kemudian dibawa
ke Indonesia oleh orang Portugis pada abad ke-16. Ubi jalar dan ubi kayu dapat
ditanam secara polikultur (dalam sebidang kebun) bersama-sama dengan jagung dan
sejenisnya. Di NTT, ubi kayu yang terkenal enak dan lembut adalah ubi kayu dari
Ende.
Kacang
tanah juga datang belakangan. Di Desa Mbokak, Dusun Tekeme (Nusak Thie)
dikembangkan sejenis kacang tanah yang bijinya (isinya) besar. Kacang jenis ini
disebut “Kacang Tekeme” (Fufue Tekeme).
Dalam
kondisi iklim yang ekstrim, khususnya curah hujan yang rendah, terdapat
beberapa jenis tanaman seperti kacang-kacangan (kacang tanah, kacang merah,
kacang hijau dan kacang turis), ubi kayu dan ubi jalar dapat berproduksi secara
baik. Tanaman lokal ini bisa dikembangkan karena lahan kering masih cukup luas.
Kacang tanah “Tekeme” pasarannya cukup baik, sayangnya belum dikembangkan
secara optimal.
Untuk
tanaman hortikultura, selain semangka, tanaman buah-buahan yang telah dikenal
lebih dulu (masih terbatas) adalah pepaya, pisang, mangga, nangka dan sirsak.
Sedangkan sayur-sayuran yang sudah dikenal (sayuran darat) ialah bayam (ndoeana), umumnya bayam hutan yang
tumbuh di kebun, sayur kelor (kaifok),
daun/bunga pepaya, sayur pohon beringin (keka
lamba) dan lain-lain. Yang utama adalah sayur kelor, daun/bunga pepaya, dan
bayam. Dan sayuran laut adalah latu
(beberapa jenis) dan dadafu.
Semangka
yang dikembangkan sekarang berasal dari bibit unggul dan merupakan bahan
komoditi unggulan. Begitu pula dengan bawang. Kedua jenis tanaman ini sekarang
dikembangkan di hampir seluruh wilayah Rote dan hasilnya dipasarkan ke Kupang
(ibukota Provinsi NTT).
Dari
tanaman serealia tersebut, nasi beras disajikan pada acara-acara pesta
perkawinan, ritual kematian dan lain-lain dan bila paceklik ditambah dengan
nasi botok. Sementara nasi jagung (jagung titi, jagung bose dan jagung rote)
disajikan pada acara ‘nedene’ atau ‘mahua’ (gotong royong pertanian dan
rumah baru).
D. Perkebunan
Di
Rote terdapat empat jenis tanaman palma yang amat berguna bagi manusia, yaitu
lontar, kelapa, pinang dan gewang. Pinang dan kelapa dapat dimasukkan ke dalam
tanaman perkebunan. Sedangkan pinang dan gewang termasuk jenis tanaman hutan.
Kelapa.
Hasil perkebunan yang menonjol di Rote Ndao hanyalah kelapa. Tanaman kelapa
tersebar di seluruh wilayah Rote. Di mana terdapat permukiman maka dapat
dipastikan terdapat tanaman kelapa. Hampir setiap rumah tangga memelihara
tanaman kelapa, walau kadang cuma beberapa pohon. Namun tampaknya generasi
sekarang malas menanam kelapa. Jenis palma ini pun terdapat di seluruh
Indonesia, bahkan menjadi tanaman komoditi internasional. Kini kelapa (sawit)
mampu menggeser peranan kelapa. Kendati demikian, generasi muda tidak boleh
pesimistis dalam memperbanyak populasi tanaman kelapa. Saat ini sudah ada
investor yang berminat mendirikan pabrik minyak kelapa di Rote Barat.
Pinang dan sirih.
Pinang terdapat di Afrika bagian timur, India, Malaysia, Indonesia dan
pulau-pulau Pasifik. Warga masyarakat yang berdiam di kawasan ini (sekitar 400
juta jiwa) mengenal budaya makan sirih (campuran antara sirih, pinang dan
kapur). Di bagian lain Indonesia, pinang diganti dengan gambir.
Di
Rote Ndao, setiap pemakan sirih memakan sisih lima kali sehari dan sekitar 60%
orang dewasa masih makan sirih. Sebab itu, sirih, pinang, tembakau dan kapur
merupakan bahan-bahan komoditi rakyat. Sesuai budaya, sirih pinang merupakan
suguhan yang pertama kepada tamu. Bila hal itu tidak dilaksanakan maka tuan
rumah dianggap tidak tahu adat, kikir atau barangkali antara si tamu dan tuan
rumah berada dalam suasana konflik. Sirih pinang merupakan simbol persaudaraan
dan persahabatan.
Pinang
dan sirih tidak hanya berguna dalam ruang lingkup sosial. Pinang dan sirih juga
mempunyai manfaat bagi kesehatan. Pinang diyakini mampu menyembuhkan penyakit
gula darah dan beberapa penyakit lainnya. Menurut beberapa pakar kesehatan,
sirih mengandung kavikol, kavibetol, dan neugenol. Kandungan fitokimia sirih
tersebut dapat menghalau bakteri di mulut seperti streptococcus mutans, streptococcus viridans dan stapylococcus aureas. Kuman-kuman
tersebut menjadi penyebab gigi berlubang. Mereka membusukkan sisa-sisa makanan
yang menempel di sela-sela gigi. Kondisi tersebut masih diperparah dengan adanya
plak akibat pembusukan yang menempel di permukaan gigi. Proses pembusukan pun
menimbulkan halitosis (bau mulut).
Lontar.
Pohon lontar adalah pohon kehidupan bagi orang Rote/Ndao (juga orang Sabu). Orang
Rote/Ndao dibesarkan dengan nira/gula lontar. Orang Rote menjuluki pulau yang
didiaminya sebagai “Nusa Lontar” atau “Nusa Sejuta Lontar”. Sedangkan orang
Sabu menyebut pulau yang didiaminya sebagai “Rai Due Nga Donahu” (negeri nira
dan gula).
Lantaran
sangat mengagungkan lontar, banyak nama tempat di Rote bermakna lontar (tua),
seperti halnya air. Nama-nama itu antara lain adalah Batutua, Tuandalek/Tuadale,
Tuameko, dan Tuanatuk. Populasi pohon lontar di seluruh Rote Ndao mencapai
2.203.300 pohon.
Sejak
lahir, orang Rote telah diperkenalkan pada lontar dan dia sudah harus belajar
hidup dari lontar. Pemanfaatan lontar mulai dari batang, pelepah, daun, lidi,
buah, sampai nira tidak sebatas untuk mengisi perut dan alat-alat kebutuhan
sehari-hari tapi juga sampai pada kehidupan kesenian dan upacara-upacara sakral
dalam keseluruhan siklus hidup anak manusia. Kedewasaan seorang lelaki diukur dengan
kemampuan mengiris/menyadap lontar. Sedangkan kedewasaan seorang perempuan
diukur dari kemampuan menenun dan menganyam.
Menurut
F.J. Ormeling, banyak orang Rote melakukan kegiatan ekonomi lain selain menyadap
lontar dan bertanam padi. Dia mengatakan bahwa orang Rote lebih banyak
memanfaatkan musim kemarau panjang ketika aktivitas pertanian terhenti. Selain
menyadap lontar, mereka menangkap ikan dan membuat garam.
Dalam
bukunya yang berjudul Het Amboinch Kryd
(1741 M), peneliti ilmu hayat G.E. Rumphius menggambarkan bahwa nira lontar di
Rote dijadikan baik sebagai minuman ataupun sebagai makanan membuat rakyatnya
gemuk dan sehat serta disuguhkan kepada setiap tamu sebelum bertutur kata.
Berdasarkan
data gizi Kabupaten Kupang yang dikumpulkan oleh dokter Frans Radja Haba pada
tahun 1980-an, ternyata selain Kupang, tingkat gizi Balita terbaik adalah Sabu
dan Rote bagian barat (Lelain, Dengka, Oenale, Delha, dan Thie) yang mana
ketergantungan pada lontar paling tinggi menyusul Rote bagian tengah dan timur.
Sedangkan yang paling buruk adalah daratan Timor yang sebenarnya mempunyai
sumber daya yang lebih baik. Menurut Radja Haba, keadaan gizi tidaklah
semata-mata ditentukan oleh tingkat ekonomi, namun lebih ditentukan oleh kultur
tani dan budaya makan.
Beberapa
menu atau makanan spesifik sangat baik dan perlu dipertahankan karena
mengandung nutrisi yang cukup baik, misalkan jagung titi, jagung bose, jewawut
(botok), wijen, kacang-kacangan, kerang-kerangan, ikan, sayur laut, dan sayur
darat. Untuk nira/gula lontar, kendati nilai gizinya rendah namun bilamana
dikonsumsi bersama lauk-pauk dan sayuran yang padat gizi maka dapat memenuhi
syarat-syarat gizi sehingga mampu mencegah petaka kurang gizi ataupun busung
lapar.
Dalam
kehidupan ekonomi orang Rote dikenal suatu semboyan dalam dialek Thie: “Leo mae nana’ak ta dadi o sadi ela oe tua ma
kaifo inggu no ndaeana osi” (biarpun gagal panen asal ada sisa nira/gula
serta sayu kelor dan sayur bayam). Memang ketiga bahan pangan tersebut
merupakan andalan utama bagi kehidupan orang Rote. Khusus pohon kelor (Moringa oleivera) yang merupakan varitas
lokal NTT, menurut peneliti Johanis W.D. Therik, mengandung vitamin A, B1, B2,
B3 dan C. Pun mengandung nilai gizi yang mampu meningkatkan dan memperbaiki
gizi buruk, sebab itu dapat dijadikan tanaman rakyat yang potensial. Sayur
kelor –termasuk air rebusannya— merupakan herbal yang mujarab untuk
menyembuhkan penyakit gula darah dan darah tinggi.
Gewang.
Jenis palma ini tumbuh lebih banyak di Rote Barat dan populasinya kurang dari
populasi lontar. Gewang belum disadap untuk diambil niranya. Bagian yang
dimanfaatkan adalah mulai dari batang, pelepah, daun dan lidi yang berguna bagi
orang Rote. Inti batang sebagai makanan babi dan sisanya buat kayu api. Pelepahnya
untuk pagar, kayu api, tali, para-para (lalanggak)
dan dinding. Daunnya untuk atap rumah. Hampir semua rumah di Rote Barat
beratapkan daun gewang. Dari daun muda/pucuk yang disebut mbolok/polok diambil lapisan daun sebelah dalam yang disebut akinak/hekenak (tipis dan kuat) dipergunakan
sebagai benang pengikat pola-pola tenun dalam proses ikat dan celup. Juga
ditenun menjadi sarung kasar (rombo/lambik/lapik
soka) dan selimut kasar (lafa/lafe
soka). Jenis pakaian ini sebagai pakaian kerja di sawah/kebun/ladang. Pucuk
daun muda (mbolok) juga dapat
dipergunakan sebagai bahan payung, disebut soneru.
Lidi dimanfaatkan untuk alat penangkap ikan, yaitu sero (deak) dan bubu (bufu).
Pohon kusambi dan jarak.
Kedua jenis tanaman ini memiliki prospek yang baik bagi kehidupan orang Rote.
Pada masa silam, biji kusambi dan jarak dijadikan bahan bakar (banduk) pengganti pelita. Biji kusambi
dan jarak kini dapat dijadikan bahan bakar (biofuel).
Kusambi terdapat di seluruh wilayah Rote (sekitar 2 juta pohon) dan jarak kini tengah
digalakkan pembudi-dayaannya. Untuk menjaga kelestarian pohon kusambi,
sebaiknya pembudi-dayaan kutu lak dihindari karena kutu ini dapat mematikan
pohon kusambi.
Pohon jati.
Pohon ini telah cukup banyak tumbuh di Rote. Rakyat pun sudah tertarik pada
pemeliharaan jati karena bernilai ekonomis. Kawasan jati milik pemerintah
umumnya merupakan buah tangan mendiang Junus Mesah (mantan Kepala Subdinas
Kehutanan Kabupaten Rote Ndao).
Pohon cendana.
Pohon ini sudah dibudi-dayakan di Rote, khususnya di Bukit Kokolo (Thie, Rote
Barat Daya). Sayangnya, pohon-pohon cendana ini banyak yang dirusak oleh
orang-orang yang tidak bertanggung-jawab.
E. Listrik dan Infrastruktur
Baru
sekitar 12 ribu dari 29 ribu rumah di Kabupaten Rote Ndao yang terlayani listrik
PLN. Artinya, sekitar 17 ribu rumah belum bisa dilayani karena berbagai
keterbatasan.
Pada
tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao menggelontorkan program elektrifikasi
bagi 8.000 rumah warga. Namun yang bisa dilayani PLN tahun ini hanya 1.000
rumah. Oleh karena itu, 7.000 ribu rumah lainnya diprogramkan menggunakan
listrik tenaga surya dan lampu SEHEN. Bupati Lens Haning menjelaskan program
ini dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.
Selain
itu, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao juga mengembangkan dan menerapkan
Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH) untuk desa mandiri yang telah dimulai
di Desa Nemberala, Kecamatan Rote Barat. Di desa ini sudah dibangun pabrik
minyak jarak/kusambi (biofuel) dan listrik tenaga hibrid. Pabrik ini
menghasilkan minyak jarak/kusambi sebagai pengganti minyak tanah, bensin dan
solar. Di Daleholu, Kecamatan Rote Selatan, pun telah dibangun pabrik minyak
jarak/kusambi. Agar kedua pabrik ini beroperasi secara baik, penanaman pohon
jarak perlu digalakkan.
Listrik
hibrid merupakan sebuah listrik atas kombinasi antara angin, tenaga surya, dan
biofuel. Biofuel yang akan digunakan adalah minyak dari biji kusambi dan biji
jarak. Minyak dari biji jarak/kusambi dicampur dengan etanol yang dapat diambil
dari pohon lontar sebagai bahan bakar untuk menghidupkan mesin diesel. Jadi
biji kusambi/jarak diolah menjadi minyak untuk menghidupkan mesin diesel
berbahan bakar biofuel. Minyak jarak sebagai pengganti solar, juga sebagai
bahan bakar minyak mesin tempel perahu para nelayan. Bahan bakar ini sangat
ramah lingkungan. Listrik tenaga hibrid digerakkan oleh tenaga surya, bayu dan
diesel.
Berdasarkan
hasil penelitian LIPI, satu pohon kusambi mampu menghasilkan 10 Kg biji basah
dan satu liter minyak biofuel (biodiesel) membutuhkan 4-5 Kg biji kusambi
kering. Di Rote terdapat jutaan batang pohon kusambi.
Kemudian
di Rote Tengah, saat ini juga tengah dibangun instalasi Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) yang kelak pengelolaannya diserahkan kepada PT PLN. Pemkab
Rote Ndao terus berusaha mendorong PLN dan investor lain untuk dapat memberikan
penerangan listrik segenap rakyat Rote. Listrik tidak hanya penting bagi rakyat
banyak namun juga menjadi fasilitas yang diinginkan oleh investor yang hendak
masuk ke wilayah Kabupaten Rote Ndao.
Selain
listrik, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao juga berupaya meningkatkan
infrastruktur yang ada –terutama sarana perhubungan dan transportasi. Transportasi
merupakan sektor penting dan strategis bagi peningkatan denyut perekonomian
daerah dan daya tarik investasi. Di Kabupaten Rote Ndao, masalah transportasi merupakan
satu dari sekian banyak masalah yang ada, yakni keterbatasan infrastruktur
(sarana dan prasarana perhubungan darat, laut dan udara).
Perkembangan
sarana dan prasarana perhubungan di Kabupaten Rote Ndao sangat penting artinya
dalam kerangka membuka isolasi terhadap daerah-daerah pedesaan terpencil serta
untuk mendukung aktivitas perekonomian wilayah secara keseluruhan, di antaranya
mendukung kegiatan pemasaran hasil-hasil pertanian yang potensial yang perlu
cepat-cepat dikirim ke pasar.
Diakui,
sarana dan prasarana transportasi amat berperan sebagai pendukung kegiatan
ekonomi dan berfungsi untuk menyediakan jasa pelayanan bagi arus pergerakan
orang, barang dan jasa, khususnya di dalam distribusi barang, jasa dan sumber
bahan baku. Kelancaran distribusi tersebut –terutama yang diarahkan ke tempat
produksi serta ke lokasi pemasaran, mulai dari tingkat lokal, regional,
nasional sampai internasional— sekaligus turut pula memperlancar roda
perekonomian masyarakat daerah ini. Sebab itu, jasa pelayanan transportasi
sangat diperlukan guna menunjang kegiatan sosial masyarakat, termasuk upaya
pengentasan kemiskinan.
Kendati
begitu, secara umum masih terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh sehingga
daya dukung sarana dan prasarana perhubungan (infrastruktur) di Kabupaten Rote
Ndao masih relatif rendah, oleh sebab:
·
Pembiayaan sarana dan prasarana
perhubungan membutuhkan dana yang cukup besar, sementara kemampuan pendanaan
keuangan daerah masih sangat terbatas, akibatnya belum mampu membiayai semua
kebutuhan pembangunan prasarana transportasi –baik darat, laut maupun udara.
·
Keterbatasan dana investasi dan
penyebaran lokasi pemukiman masyarakat yang justru mempersulit dalam menjangkau
fasilitas listrik dan air bersih serta sanitasi lingkungan yang diharapkan.
·
Keterbatasan dana pembangunan dan
sumber-sumber air baku yang dapat dikembangkan dan dikelola secara
berkesibambungan guna menunjang ketersediaan air baku untuk jaringan irigasi
(embung).
·
Rendahnya tingkat pendapatan per
kapita, termasuk pendapatan rumah tangga dalam memenuhi rumah layak dan sehat.
Jaringan transportasi darat.
Pembangunan subsektor transportasi darat sampai saat ini dilakukan secara
berkesinambungan, di antaranya dengan peningkatan kualitas permukaan jalan
melalui pengaspalan di beberapa rute dan ruas jalan, termasuk jalan raya di
wilayah kota.
Tujuan
pembangunan sarana dan prasarana transportasi adalah meningkatkan pelayanan
jasa transportasi secara efektif, andal, berkualitas, aman, dan menekan harga
tinggi, serta mewujudkan sistem transportasi daerah dan nasional secara terpadu
sebagai bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu memberikan pelayanan dan
manfaat bagi masyarakat luas, termasuk meningkatkan jaringan desa-kota yang
memadai (Antony, 2004).
Atas
dasar fungsinya, jalan di Kabupaten Rote Ndao dibagi menjadi jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder. Jalan lokal
primer difungsikan untuk menghubungkan kecamatan yang satu dengan kecamatan
yang lain, dalam hal ini jalan provinsi dan sebagian jalan kabupaten. Sedangkan
jalan kolektor sekunder untuk menghubungkan pusat kecamatan dan desa, serta
jalan dalam kawasan kecamatan. Angkutan darat saat ini telah berkembang relatif
baik sehingga banyak tempat terpencil yang sudah terbuka dari isolasi.
Saat
ini, data 2011 (Rote Ndao dalam Angka,
2012), di Kabupaten Rote Ndao terdapat jalan poros penghubung yang sangat
vital untuk menggulirkan roda perekonomian masyarakat, yakni bentangan jalan
sepanjang 730,13 Km yang terdiri dari Jalan Provinsi sepanjang 79,005 Km, Jalan
Kabupaten sepanjang 407,90 Km dan sisanya berupa jalan desa atau non-status
sepanjang 243,22 Km. Sementara data dari Dinas Kimpraswil Kabupaten Rote Ndao
pada 2010 menyebutkan Jalan Negara sepanjang 30,15 Km, Jalan Provinsi 51,25 Km
dan Jalan Kabupaten 448,24 Km. Kedua data tersebut menunjukkan adanya
pengalihan status jalan di Kabupaten Rote Ndao. Meski begitu, jalan-jalan yang
ada masih relatif kurang lebar untuk kebutuhan sebuah wilayah otonomi kabupaten.
Untuk itu, ke depan, perhatian Pemerintah Kabupaten Rote Ndao terhadap
vitalitas jalan ini perlu lebih ditingkatkan, terutama peningkatan dan
pelebaran jalan, termasuk pembangunan jalan-jalan baru guna membuka dan meretas
isolasi daerah.
Selain
itu, Pemkab Rote Ndao juga terus mendorong pembangunan jembatan untuk
menyambung daerah-daerah terpencil dan terisolasi. Bupati Lens Haning berusaha
menggalang dana dari APBN dan APBD untuk menambah kuantitas dan kualitas
jembatan yang ada di Rote Ndao. Setidaknya sudah ada tiga buah jembatan baru di
wilayah Rote yang berhasil dibangun dalam rentang waktu 2009-2012 yang
menghabiskan dana miliaran rupiah.
Sasaran
program pembangunan sarana dan prasarana transportasi adalah: (1) Terpenuhinya
kebutuhan minimal pelayanan jasa transportasi sekaligus pendukung upaya
pemulihan ekonomi; (2) Terpeliharanya kondisi fisik sarana dan prasarana
transportasi agar dapat memberikan pelayanan sampai dengan batas umur teknik
yang direncanakan; (3) Meningkatkan sistem manajemen transportasi; (4)
Meningkatkan jasa pelayanan sarana dan prasarana melalui standar teknis yang
sesuai dengan kebutuhan yang berkembang secara efisien.
Jaringan transportasi laut.
Dewasa ini, aksesibilitas lewat jaringan transportasi laut untuk mencapai
wilayah Kabupaten Rote Ndao tidaklah sulit. Dari Pelabuhan Tenau (Kupang), ada kapal
penumpang ferry cepat Bahari Express yang
secara reguler melayani konsumen dua kali sehari, yakni pada pagi hari pukul
09.00 waktu setempat dan siang hari pukul 13.00 waktu setempat. Kapal ferry
cepat yang dioperasikan BUMN Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) tersebut
langsung menyinggahi Pelabuhan Baa, yang terletak di ibukota Kabupaten Rote
Ndao. Waktu tempuh kapal ferry cepat Bahari
Express jalur Kupang-Baa sekitar dua jam perjalanan.
Selain
ferry cepat yang khusus membawa penumpang dari Pelabuhan Tenau, ASDP juga
mengoperasikan ferry ekonomi yang khusus digunakan penumpang untuk membawa
barang-barang dan kendaraan bermotor (roda dua dan roda empat). Ferry ekonomi
ini beroperasi khusus di pelabuhan penyeberangan Pantai Baru dengan waktu
tempuh sekitar empat jam perjalanan.
Di
wilayah Kabupaten Rote Ndao ini terdapat empat pelabuhan laut yang dikelola
secara resmi, masing-masing Pelabuhan Pantai Baru, Pelabuhan Baa, Pelabuhan
Perikanan Papela, dan Pelabuhan Ndao yang relatif tidak ada aktivitas. Keempat
pelabuhan itu umumnya melayani operasional ASDP karena lebih banyak melayani
kapal ferry. Kecuali Pelabuhan Baa, selain melayani kapal ferry cepat melayani pula
angkutan kapal barang dari luar wilayah Kabupaten Rote Ndao.
Keberadaan
pelabuhan di Kabupaten Rote Ndao sangat potensial dan vital dalam menunjang
sistem transportasi laut –terutama kapal ferry. Di samping pelabuhan yang
disebutkan tadi, masih terdapat sejumlah pelabuhan tradisional atau pelabuhan
rakyat yang telah dikembangkan oleh warga masyarakat setempat, terkhusus untuk
aktivitas pendaratan ikan bagi nelayan dan kegiatan pelayaran rakyat lainnya.
Jaringan transportasi udara.
Untuk jaringan transportasi udara, Kabupaten Rote Ndao baru memiliki satu
bandar udara, yaitu Bandar Udara (Bandara) Lekunik, yang terletak sekitar 700
meter dari pusat perkantoran Pemerintah Kabupaten Rote Ndao. Bandara Lekunik
ini masih dalam kategori perintis dan merupakan salah satu dari 14 pelabuhan
udara di Provinsi NTT. Frekuensi penerbangan dan jenis pesawat yang digunakan
masih relatif terbatas.
Sebelumnya,
frekuensi penerbangan pada tahun 2006 mencapai 125 kali dengan rerata tiga kali
penerbangan selama sepekan. Namun, pada 2007, 2008 sampai 2009, mengalami
penurunan frekuensi penerbangan, cuma sekali dalam sepekan. Frekuensi
penerbangan normal dua kali dalam sepekan, yakni tiap Selasa dan Jumat dari
Kupang ke Baa, dan sebaliknya. Pada umumnya, frekuensi penerbangan di daerah
ini cenderung mengikuti kebutuhan penumpang dan kondisi cuaca. Hal ini terlihat
dari data 2006, di mana frekuensi penerbangan cukup tinggi bersamaan dengan
rendahnya jumlah kunjungan kapal melalui pelabuhan laut.
Sebab
itulah, di masa depan, jaringan moda transportasi udara ini memiliki peranan
penting dan bernilai strategis. Pemerintah Kabupaten Rote Ndao memproyeksikan
agar Bandara Lekunik ini menjadi bagian integral dari sistem transportasi
nasional, yang mampu berkembang dinamis seirama dengan kemajuan teknologi dan
industri kedirgantaraan.
Diakui,
saat ini Bandara Lekunik baru mampu didarati pesawat penumpang jenis Cassa
C-212 dan Twin Otter milik perusahaan Susi Air dengan kapasitas penumpang 12
orang. Seiring kebutuhan penumpang, ke depan, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao perlu
mengantisipasi perkembangan panjang landasan pacu (runway), terminal penumpang, serta akses prasarana jalan menuju ke
bandara tersebut.
F. Memberdayakan Perekonomian Rakyat
Sebuah
persoalan klise yang kerap dilakukan oleh pemerintah daerah selama ini adalah
proses pembangunan yang tidak melalui suatu kajian perencanaan yang betul–betul
menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Juga, pembangunan dilakukan secara masif pada
semua sektor tanpa adanya fokus atau orientasi pada sektor–sektor unggulan.
Belajar dari Provinsi Gorontalo sewaktu dipimpin Fadel Muhammad, mampu memacu
peningkatan PAD secara signifikan dengan hanya bertumpu pada sektor–sektor
strategis, yaitu pertanian, peternakan dan perikanan. Provinsi Gorontalo
berhasil mengembangankan jagung sebagai komoditi unggulan yang berkualitas
ekspor sehingga berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan warga masyarakatnya.
Bagi Kabupaten Rote Ndao ada beberapa sektor yang dapat dijadikan unggulan,
antara lain:
Pertama,
sektor pertanian. Sektor ini merupakan sektor unggulan yang berkontribusi besar
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain itu sekitar 79 %
penduduk Rote Ndao memang menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Karena
itu, selaras dengan program nasional perlu diadakan revitalisasi pertanian.
Revitalisasi pertanian merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan
petani, meningkatkan daya saing produk pertanian serta menjaga kelestarian
sumber daya pertanian. Program ini dapat terwujud sesuai harapan apabila memperoleh
respon positif dan dukungan penuh Pemerintah Kabupaten, rakyat-masyarakat serta
stakeholder --terutama dengan
menyediakan infrastruktur pendukung.
Kedua,
sektor perkebunan. Di sektor perkebunan, Kabupaten Rote Ndao memiliki komoditi
unggulan seperti kelapa yang menghasilkan kopra, lontar yang dapat menghasilkan
nira serta tanaman jarak pagar (jatropha).
Ketiga komoditi ini merupakan bahan mentah yang dapat dijadikan sebagai bahan
baku industri yang potensial dalam skala rumah tangga ataupun industri besar.
Untuk pohon lontar misalkan, dengan luas lahan 6.394 Ha dan produktivitas
rata–rata 1,15 juta ton/tahun dapat diolah menjadi gula lempeng, gula semut,
gula air dan etanol (alkohol). Pemerintah Kabupaten Rote Ndao berusaha mendorong
warga masyarakat untuk memanfaatkan teknologi yang lebih maju sehingga komoditi
yang potensial ini dapat cepat dikembangkan. Pemerintah Kabupaten berupaya melakukan
intermediasi teknologi yang dapat meningkatkan kualitas hasil pengolahan, baik
dalam bentuk gula lempeng, gula semut, gula air maupun etanol (alkohol). Dengan
demikian, produk ini memiliki nilai jual yang mampu bersaing dengan komoditi
sejenis yang ada di pasaran. Untuk tanaman jatropha, kondisi iklim Rote Ndao
sangat cocok untuk perkembangan tanaman yang bijinya dapat menghasilkan bahan
bakar ini. Dengan budidaya tanaman ini disertai dengan pengembangan teknologi
tepat guna pedesaan dalam pengolahan biji jatropha menjadi bahan bakar, Rote
Ndao berpeluang besar menjadi ‘pusat energi’ yang bersumber dari tanaman
jatropha.
Ketiga,
sektor perikanan. Wilayah Rote Ndao merupakan daerah kepulauan yang memiliki
wilayah perairan yang sangat luas dan berpotensi untuk usaha–usaha perikanan
tangkap dan budidaya, termasuk budi daya rumput laut. Pemerintah Kabupaten Rote
Ndao berusaha mendorong pemanfaatan sektor perikanan (terutama rumput laut) secara
optimal melalui upaya–upaya peningkatan pemanfaatan dengan memperhatikan
kelestarian sumber daya yang ada.
Keempat,
sektor pariwisata. Sebenarnya semenjak awal terbentuknya Kabupaten Rote Ndao, sektor
pariwisata merupakan primadona, berkat keindahan wisata alam nan eksotis
bertaraf internasional, seperti Pulau Ndana, Pantai Nemberala, dan Pantai Bo’a.
Pantai Nemberala sekadar contoh, menurut wisatawan yang pernah berkunjung,
memiliki keindahan yang setara dengan Pantai Kuta (Bali). Belajar dari Bali,
selain panorama alam yang indah, Bali juga memiliki keunikan budaya yang masih
dipertahankan di tengah arus modernitas yang begitu kuat. Keunikan budaya
inilah yang menjadi magnet untuk parawisata Bali. Kabupaten Rote Ndao pun mempunyai
keunikan kebudayaan yang bisa menjadi daya tarik. Pemkab berusaha melestarikan
keunikan budaya sebagai aset wisata. Selain itu Pemkab berusaha memprioritaskan
pembangunan infrastruktur pendukung untuk mengakses lokasi pariwisata, sarana
akomodasi yang memadai dan mempromosikan kepada dunia internasional. Saat ini
sudah masuk investor dari Jakarta untuk membangun hotel dan resor di Pantai
Nemberala. Promosi dilakukan melalui media informasi yang ada baik cetak maupun
elektronik –termasuk melalui internet. Juga menyelenggarakan even–even berskala
nasional dan inernasional untuk
memaksimalkan upaya promosi.
Dengan
orientasi pada sektor–sektor unggulan yang berbasis pemberdayaan masyarakat tersebut
diharapkan mampu menumbuhkan geliat ekonomi mikro, melalui tumbuh dan
berkembangnya usaha kecil dan menengah sehingga terjadi pemerataan ekonomi dan
memberikan trickle down effect pada
sektor–sektor lainnya. Pemkab Rote Ndao terus mendorong program PNPM Mandiri
Pedesaan dan memberdayakan koperasi. Tahun 2011 telah dianggarkan dana PNPM
Mandiri Pedesaan sebesar Rp27.866.835.000 dan menjangkau delapan kecamatan 89
desa/kelurahan. Pada tahun 2012 dianggarkan dana PNPM Mandiri Pedesaan senilai
Rp22.750.000.000. Sedangkan pemberdayaan koperasi, di tahun 2012 terbentuk 40
koperasi baru dengan penggelontoran modal awal sekitar Rp25 juta tiap koperasi.
Sampai saat ini ada 89 koperasi yang aktif di wilayah Kabupaten Rote. Tahun
2012 ini Koperasi Serba Usaha Lobalain memperoleh penghargaan sebagai koperasi
terbaik se-NTT dan Pemkab Rote Ndao mendapat apresiasi sebagai pembina koperasi
dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Di
samping itu, Pemkab Rote Ndao berupaya terus melakukan kontrol terhadap
stabilitas harga yang mampu meredam fluktuasi tajam terhadap komoditas unggulan
yang bisa mempengaruhi motivasi produktivitas masyarakat. Kemudian menciptakan
iklim yang kondusif untuk meningkatan minat investasi melalui padat karya, di mana
investasi merupakan stimulus demi tercapainya sustainable growth perekonomian daerah. ***
No comments:
Post a Comment