Monday, February 18, 2013

Membangun untuk Semua




Air adalah berkat dari Tuhan sehingga kita harus memanfaatkannya. Bilaa air tersebut tidak dibendung untuk perhambat, maka akan sia-sia karena akan terbuang mengalir ke laut. Dengan begitu, kita perlu membuat embung untuk menahannya dan selanjutnya digunakan buat mengairi sawah-sawah dan perluasan areal sawah.
Lens Haning, Bupati Rote Ndao

SAAT itu waktu menunjukkan pukul 11.00 wita. Hari Minggu, tanggal 20 Mei 2012. Mobil Fortuner bernomor-polisi DH 1 G meluncur membawa Bupati Rote Ndao Lens Haning dari rumah jabatan di Kompleks Ne'e, Kota Baa, menuju arah Desa Oelunggu, Kecamatan Lobalain. Hanya sekitar 20 menit, rumbongan Lens Haning sudah tiba di Desa Oelunggu.
Mobil pun berhenti di satu lokasi yang cukup lapang buat parkir kendaran jenis jip tersebut. Beberapa tokoh masyarakat Desa Oelunggu yang telah beberapa saat menunggu di pinggir jalan kampung langsung menyambut lalu mengajak Bupati Lens Haning berjalan melewati pematang setapak di tengah persawahan dan kadang naik-turun pagar di antara petak sawah. Nampak dari raut wajah mereka demikian gembira, entah karena merasa senang dikunjungi oleh orang nomor satu di wilayah paling selatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu ataukah senang lantaran akan menerima bantuan dari Bupati Lens Haning.
Bupati Haning pun menikmati betul perjalanan itu. Walaupun, siang itu cuaca terasa panas terik dan angin bertiup kencang, Lens (sapaan akrab Bupati Leonard Haning) tak hendak mengurungkan niatnya untuk berhenti istirahat sejenak. Dia justru bertambah bersemangat memacu langkah kaki.
Setelah beberapa waktu berlalu dalam keriangan kebersamaan Bupati Lens dan rakyatnya, sampailah pada sebuah sungai. Sungai Soekadek namanya. Sebuah sungai yang direncanakan warga setempat untuk dijadikan embung guna menampung air yang mengalir dari empat mata air buat mengairi sekitar 50 hektar sawah di seputar Desa Oelunggu.
Dalam perbincangan akrab warga dengan Bupati Lens, terungkap bahwa selama ini air yang mengalir dari empat mata air tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal. Karena, air dari empat mata air itu langsung lewat Sungai Soekadek terus mengalir ke laut, terbuang percuma. Untuk itu, warga Desa Oelunggu minta pemerintah sedapat membuatkan sebuah embung agar bisa menampung air tersebut dan tidak terbuang sia-sia. Warga yang umumnya bekerja sebagai petani pun dapat memanfaatkan guna mengairi persawahan yang mereka garap dan menjadi andalan kehidupan sehari-hari.
Salah seorang warga, Adrianus Lette, mengatakan dirinya merasa senang karena Bupati Lens telah bersedia datang di tempat yang berlumpur dan hutan ini untuk menerima langsung keluhan dan aspirasi kebutuhan warga Desa Oelunggu. Dan lebih berbahagia lagi, ujarnya lebih lanjut, jika Pemerintah Kabupaten Rote Ndao dapat menyetujui dan membuat embung yang mereka harapkan.
Menanggapi aspirasi kebutuhan warga Desa Oelunggu, Lens Haning mengatakan, jika tidak ada kendala dan cukup tersedia anggaran maka tahun 2012 juga langsung dikerjakan. “Namun jika dana tahun ini sudah terserap, maka tahun depan akan diprioritaskan,” ujar Lens Haning berjanji.
"Air adalah berkat dari Tuhan sehingga kita harus memanfaatkannya. Jika air tersebut tidak dibendung untuk perhambat, maka akan sia-sia karena langsung mengalir terbuang ke laut. Untuk itu kita perlu buat embung untuk menahannya agar selanjutnya dapat digunakan buat mengairi sawah-sawah dan perluasan areal sawah," ujar Haning kepada warga Desa Oelunggu. Spontan, mereka yang hadir saat itu bersorak gembira.
Tidak hanya hari itu Lens Haning turun menyambangi rakyat di segenap wilayah Kabupaten Rote Ndao. Dengan mengusung jargon “Mendengar Suara Rakyat”, dalam tempo tiga tahun memimpin Rote Ndao, Lens turun jauh ke desa-desa yang terpencil yang nyaris terkucil, pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan Benua Kanguru Australia. Bukan semata-mata mendengar apa yang mereka inginkan namun lebih mendengar apa yang mereka butuhkan. Ada yang membutuhkan embung buat irigasi. Ada pula yang membutuhkan pupuk agar tanaman padi yang digadang-gadang mampu dipanen secara optimal. Ada lagi yang meminta aliran listrik karena sampai Republik Indonesia merdeka lebih dari 60 tahun masih harus memakai lentera berbahan bakar minyak sayur.
Lalu, ungkapan kebutuhan rakyat itu Lens bawa dalam rapat bersama segenap aparatur Pemerintah Kabupaten Rote Ndao untuk dicarikan solusi dan dibuatkan program-program pembangunan yang pas dengan aspirasi yang ada. Melalui pendekatan semacam ini, dia berharap dirinya mampu menempatkan rakyat di hatinya dan sang pemimpin juga berada di hati rakyat.

A.   Irigasi dan Embung
Air memang demikian penting bagi kehidupan. Tumbuhan dan air merupakan dua sisi dari satu koin mata uang. Makhluk hidup –tetumbuhan dan manusia—tidak akan hidup tanpa air. Sementara itu di wilayah Rote Ndao, musim hujan cuma berlangsung sekitar tiga bulan dalam setahun. Sumber air menjadi amat terbatas. Orang Rote harus pandai-pandai mengelola pemakaian air. Sudah sejak generasi dulu (tanpa bantuan pemerintah) mereka mampu mengatasi problem pengairan. Mereka sangat rajin dan pintar mencari solusi.
Kendati orang Rote masa silam masih banyak yang buta huruf, tapi mereka telah mengetahui bagaimana kiat mencegah agar air (hujan) tidak terbuang percuma langsung ke laut lepas. Mereka sudah pintar membuat bendungan (embung-embung) yang dalam bahasa lokal disebur ‘ndende’. Sudah sejak lama Rote Ndao memiliki banyak embung. Embung-embung yang pertama dibuat di Thie (Rote Barat Daya), yakni embung-embung Dano Tua. Embung-embung (ndende) ini dibuat oleh Raja Lunggi Helo dan Moi Longgo (tokoh adat) pada sekitar tahun 1610 Masehi.
Daerah yang terdapat sumber air antara lain Dengka (Ingguinak dan sekitarnya), Baa (Tanggaloi dan Oemau), Lelain (Oesamboka), Lole (Kuli), Thie (Oesali, terbuang langsung ke laut), Termanu (Lela, Peto, Lopo, Muamata), Talae, Korbafo, Bilba (Matasio), dan Ringgou. Selain dari sumber-sumber air tersebut, terdpaat pula banyak bendungan dan atau embung-embung –baik hasil kerja orang-orang tua masa lalu dan kini maupun hasil kerja (bantuan) pemerintah. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan air, Bupati Rote Ndao Leonard Haning merencanakan pembangunan 1000 embung di seluruh wilayah Kabupaten Rote Ndao.
“Jangan tanyakan soal jumlah 1.000 buah embung, prinsipnya kami mengusahakan dari tiada menjadi ada, bahkan sampai pembangunan jaringan irigasi,” ujar Bupati Leonard Haning yang akrab disapa Lens.
Lens menargetkan setiap desa minimal memiliki dua buah embung untuk memenuhi kebutuhan air makhluk hidup –baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Pemerintah (Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Kabupaten Rote Ndao) menyediakan dana sekitar Rp500 juta sampai Rp2,5 miliar untuk membangun dan memperbaiki embung-embung di Rote. Tahun 2011 telah terbangun 10 embung dan tahun 2012 (sampai pertengahan tahun) terbangun lima embung yang dibiayai oleh Pemerintah.
Agar embung-embung tersebut terpelihara dan terjaga, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao menetapkan seorang penjaga embung yang diupayakan berasal dari wilayah sekitar embung yang wajib dijaga.
Selain membangun embung-embung, hal yang juga penting menjadi perhatian adalah menjaga dan melestarikan manfaat hutan yang ada. Dalam membangun dan menata lingkungan hidup (termasuk melestarikan hutan), masyarakat Rote mengenal tokoh Lole Tosu (Raja Lole, lahir pada permulaan abad ke-15). Para tokoh leluhur dan tokoh-tokoh Rote masa kini mempunyai kepedulian yang sangat besar dalam membangun masyarakat dengan berbagai gebrakan atau gerakan yang mulia. Mereka berjuang tanpa pamrih. Jejak langkah mereka perlu diikuti oleh generasi masa kini dan masa yang akan datang. Di antara mereka juga ada yang memiliki lembaga dan atau peraturan adat (hohorok/papadak) untuk melindungi hutan atau alam sekitar. Ada hutan-hutan tertentu sebagai tempat ‘songgo’ (berdoa) guna memohon hujan. Hutan semacam ini pun dilindungi oleh aturan adat.

B.   Lakamola Anan Sio
Sekali lagi, embung (air) berkait erat dengan kehidupan tanaman –terutama tanaman pangan. Embung berkait kuat dengan kelangsungan hidup persawahan sebagai penghasil tanaman pangan (padi) yang menjadi kebutuhan pokok warga masyarakat Rote.
Pada mulanya leluhur orang Rote/Ndao mendapatkan makanan dari hutan berupa umbi-umbian. Lauk pauk pun mereka peroleh dari aktivitas berburu di hutan dan di laut lalu memakannya secara mentah yang biasa disebut ‘folo buluk ma na’a matak’. Baru kemudian mereka mengenal sistem pertanian tradisional polikultur. Sejak dulu terdapat sembilan jenis tanaman pangan yang dikenal dan dibudidayakan di Rote Ndao, yakni padi, jagung, sorgum, botok (jewawut), kacang panjang, kacang hijau, turis, labu dan wijen.
Orang Rote menamakan kesembilan jenis tanaman pangan itu ‘lakamora/lakamola’, karena pada awalnya bibit-bibit tanaman itu dipelihara dan dikembangkan oleh Lakamola Bulan –salah seorang dari moyang Bula Kai (sekitar permulaan abad ke-14 M). Lantaran terdiri dari sembilan jenis maka kemudian disebut ‘lakamola anan sio’ (lakamola memiliki sembilan anak), maksudnya tanaman pangan terdiri dari sembilan jenis. Dalam kisah lama, Lakamola Bulan tinggal di puncak sebuah gunung (di Bilba) yang kemudian disebut Gunung Lakamola. Moyang ini menurunkan sebagian orang Bilba (Lakamola Bilba à Kapa Lakamola à Lengu Kapa à dan seterusnya).
Hasil panen disebut ‘mbule sio do poko falu’ (sembilan bulir/mayang atau delapan tongkol) –maksudnya hasil dari kesembilan tanaman pangan tersebut. Penganten perempuan dimetaforakan sebagai hasil panen dan disebut ‘mbule sio’. Karena manusia dimetaforakan atau disimbolkan sebagai flora maka turunan sebagai hasil produksi disimbolkan pula sebagai ‘bunga’ dan ‘buah’ lalu disebut ‘buna boak’.
Menurut mitos yang berkembang pada masyarakat Rote, Lakamola Bulan mempunyai seekor burung yang juga diberi nama Lakamola. Pada suatu saat burung itu bertelur dan, saat menetas, ia tidak hanya menetaskan anak burung namun juga menetaskan tujuh bibit tanaman pangan dan seekor burung. Ketujuh jenis bibit tanaman pangan hasil dari burung itu ialah jagung, sorgum, kacang panjang, kacang hijau, turis, labu dan wijen. Kemudian moyang Lakamola Bulan mendapatkan dua jenis bibit tanaman pangan yang lain, yaitu padi dan jewawut (botok) dari orang lain. Kedua bibit ini jauh sebelumnya ditemukan oleh orang-orang Masu Pasu dan Hele Haik, lalu dipelihara dan dikembangkan bersama-sama di kaki Gunung Lakamola.
Jenis-jenis tanaman yang dapat ditanam secara polikultur dalam sebuah kebun atau ladang adalah jagung, sorgum, turis, labu dan kacang panjang. Sedangkan padi, botok, kacang hijau dan wijen bisa ditanam secara monokultur. Meskipun masih buta huruf dan buta ilmu tapi naluri mereka sudah cukup maju sehingga mampu menanam berbagai tanaman pangan dalam suatu persil lahan –terutama lahan kering—dengan anggapan risiko gagal panen sangat kecil lantaran dianggap tidak mungkin semua tanaman yang diusahakan akan gagal.
Sejak dulu kala hasil pertanian telah memberi manfaat besar bagi kehidupan orang Rote. Bukan sebatas kepentingan perut namun juga kepentingan pendidikan dan agama. Pada masa silam orang Rote Ndao sudah mampu membiayai pendidikan anak-anaknya dengan beras, kacang hijau, gula, dan lilin lebah. Demikian pula agama, banyak bantuan berupa natura dan uang disumbangkan untuk kepentingan penginjilan. Menurut Fox (1996: 139), Ter Horst (opperhoofd) pada tahun 1659 berjanji kepada Gubernur General di Batavia bahwa musuh-musuh Kompeni di Rote segera ditaklukkan sehingga Kompeni akan memperoleh “tempat penyimpanan makanan yang baik” (een goode spijs kamer).
Pertanian orang Rote/Ndao meliputi persawahan dan perladangan. Perladangan dibedakan atas dua jenis: ladang (tine) dan kebun (osi). Sedangkan persawahan meliputi sawah tanah basah (hade oe soi oe), sawah tanah kering (hade oe dae madak), dan hade lutu. Hade lutu adalah semacam padi gogo rancah, dari sejak dulu telah diterapkan di Rote, dan ditanam di kebun disebut Osi Hade Lutu. Jadi sebelum ada sawah, padi ditanam di kebun/ladang. Persawahan banyak terdapat di Thie, Dengka, Lole, Baa, Termanu, Korbafo, Diu dan Bilba. Dengan demikian hasil padi banyak berasal dari nusak-nusak tersebut.
Dari sembilan jenis tanaman pertanian, padi merupakan tanaman yang paling banyak membutuhkan air. Air merupakan kebutuhan yang sangat vital. Bukan saja untuk irigasi namun juga buat minum, mandi, upacara adat, dan upacara keagamaan.
Sebagian besar suku bangsa selalu menyambut tamu/penganten atau mendinginkan rumah baru dengan upacara adat melalui percikan air, baik air biasa maupun air kelapa. Di Rote, untuk mendinginkan rumah baru atau acara adat lainnya dengan percikan air disebut nekesufu. Sedangkan untuk menyambut penganten perempuan disebut sali oe (tuang air). Manusia menganggap air sebagai penopang kehidupan. Di mana ada sumber-sumber air maka di situ pasti ada kehidupan manusia.
Orang Rote sangat mencintai air dan lontar. Di mana tempat terdapat sumber-sumber air dan pohon lontar, di situ mereka hidup dengan tekun. Sawah dibuka/diolah dan pohon lontar disadap. Waktu selama setahun, hampir seluruhnya terisi dengan berbagai kegiatan produktif.
Lantaran mencintai pohon besar dan air, banyak tempat di Rote atau tempat-tempat migrasi orang Rote diberi nama dengan arti air dan lontar (tua). Memang nama-nama di NTT bahkan Indonesia lainnya juga banyak yang berarti air, namun tampaknya di Rote lebih menonjol. Dalam bahasa Rote, air diistilahkan oe, bahasa Belu/Tetun (we), bahasa Dawan (oel), bahasa Sumba (wai) dan bahasa Flores (wai, wae).
Tempat-tempat orang Rote yang bermakna air (oe) antara lain Oenale, Oeseli, Lalukoen, Mbaooen, Oemau, Oepao, Oesuli, Ke’aoen, Oetefu, Oebobo, Oepura, Oebufu dan Oesao.
Lahan ladang berupa hutan, dibabat lalu dibakar, sesudah itu baru ditanami jagung, kacang merah, kacang turis, labu dan semangka. Ladang dikerjakan secara insidental, berturut-turut paling lama dua musim tanam, setelah itu dibiarkan dengan interval waktu sekitar 10 tahun sampai 30 tahun. Bibit botok tidak ditanam tapi ditabur sebulan sebelum turun hujan.
Lahan kebun berupa padang atau semak belukar yang dibabat. Kebun dikerjakan setiap tahun. Lokasi umumnya berada di dekat rumah dan tanahnya lebih gembur daripada ladang.
Pada tanggal 16 Oktober 2012, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rote Ndao mencanangkan gerakan kembali ke kebun dengan nama “Gerakan Lakamola Anan Sio”. Gerakan ini merupakan gerakan yang berbasis budaya Rote/Ndao untuk menghidupkan kembali pengusahaan kebun yang akhir-akhir ini mulai ditinggalkan. Padahal, dari dulu, hasil kebun/sawah (mbule sio) yang mencakup sembilan jenis tanaman itu cukup memberi harapan hidup pada orang Rote Ndao.
Gerakan Lakamola Anan Sio yang dicetuskan oleh Pemkab Rote Ndao tidak saja menyangkut bidang pertanian/kehutanan tetapi sekaligus meliputi bidang kelautan. Lakamola Anan Sio dilaksanakan sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayah masing-masing. Gerakan ini telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Pusat. Penggunaan terminologi lokal tersebut (Lakamola Anan Sio) adalah suatu terminologi atau ungkapan yang sesuai dengan kultur dan bahasa serta sastra Rote/Ndao. Dengan demikian dipastikan memperoleh sambutan yang baik dari masyarakat Rote Ndao.
Gerakan Lakamola Anan Sio mengingatkan kembali kepada orang Rote Ndao, figur moyang Lakamola Bulan yang dengan tekun mengembangkan dan melestarikan sembilan jenis tanaman tradisional orang Rote Ndao pada beberapa abad silam di kaki Gunung Lakamola (Bilba). Moyang ini perlu dikenal atau dikenang oleh masyarakat Rote Ndao. Bahkan bila dirasa pantas maka dapat ditetapkan oleh orang Rote Ndao sebagai “Bapak Lakamola” atau “Bapak Pertanian Tradisional Rote Ndao”.

C.   Pertanian
Dengan kondisi embung yang telah lama ada dan lahan-lahan yang sudah tersegmentasi, pertanian dan perkebunan di Kabupaten Rote Ndao relatif berkembang secara baik. Dari persawahan, padi telah lama dikenal di Rote. Dalam bahasa Rote, padi disebut dengan beberapa istilah: hade, ale dan are. Sementara sawah disebut: rene, hade oe, dan mole. Jenis-jenis padi yang dikembangkan nenek moyang dulu adalah yang disebut hade iko peko (ekor bengkok), hade savu, hade lai, dan hade lutu.          
Sampai tahun 2009, luas areal persawahan tiap kecamatan sebagai berikut: 20 Ha di Kecamatan Rote Barat, 250 Ha di Kecamatan Rote Barat Daya, 200 Ha di Kecamatan Rote Barat Laut, 300 Ha di Kecamatan Lobalain, 97 Ha di Kecamatan Rote Selatan, 500 Ha di Kecamatan Rote Tengah, 170 Ha di Kecamatan Pantai Baru, dan 100 Ha di Kecamatan Rote Timur.
Sawah tanah kering (hade oe dae madak) lebih banyak daripada sawah tanah basah (hade oe soi oe). Data yang ada menyebutkan bahwa sawah basah dengan irigasi hanya 3.000 Ha sedangkan sawah kering (tanah hujan) mencapai sekitar 17.000 Ha. Sawah tanah basah dikerjakan setiap tahun. Sedangkan sawah kering atau tadah hujan tergantung pada curah hujan. Kini sawah gogo rancah telah tersebar di hampir seluruh wilayah Rote.
Hade lutu dan botok pun sudah dikembangkan sejak dulu dan merupakan tanaman pangan yang utama, sehingga dalam ungkapan dikatakan oka bete do dae/lae hade.
Kendati sekarang ada yang mengerjakan sawahnya dengan peralatan modern (traktor) namun cara yang lazim secara tradisional adalah dengan sistem rencah, dalam bahasa Rote disebut hombu/hopu. Dalam sistem ini pengerjaan sawah dilakukan dengan cara menggiring kawanan kerbau atau sapi berkeliling sawah agar kaki-kaki hewan tersebut melumatkan tanah dan menenggelamkan serta menghancurkan rumput-rumput. Rencah dapat dilakukan sampai dua atau tiga kali, kemudian dibuat pematang lalu baru ditanami.
Dalam merencah, hewan digiring berjalan melingkar ke kiri atau ke kanan dengan dituntun oleh beberapa orang laki-laki sambil bernyanyi (helo) yang dipimpin oleh seorang penyanyi solo. Bila dimulai dengan melingkar ke kiri, maka setelah beberapa kali putaran dibalik lagi melingkar ke kanan dengan tujuan agar hewan tidak pusing.
Kini Pemerintah Kabupaten Rote Ndao lebih memprioritaskan peningkatan produksi padi. Keberhasilan pangan selalu dilihat dari kemampuan petani untuk mendapatkan hasil padi yang banyak. Dengan demikian komoditas dan pola konsumsi masyarakat tergeser. Terdapat kesan bahwa petani yang makanan pokoknya beras/padi dianggap lebih modern bila dibandingkan dengan petani yang mengkonsumsi jagung, gula lontar, botok dan umbi-umbian. Beras dianggap lebih prestise daripada tanaman lokal. Padahal minimnya curah hujan di NTT umumnya dan Rote khususnya mengakibatkan masyarakat setempat tidak dapat semata-mata mengandalkan padi. Tanaman pangan lokal atau tradisional pun harus tetap diandalkan.
Beberapa kendala dalam upaya peningkatan produksi padi dihadapi para petani Rote. Selain masalah air, hama pun masih menjadi persoalan yang harus segera dituntaskan. Terdapat dua jenis hama, yaitu walang sangit (boromanggis) dan ulat padi (faurae). Juga burung pipit. Kini walang sangit dan ulat padi sudah dapat diatasi dengan pestisida. Pada masa lalu kedua jenis hama ini bisa diusir melalui cara magis, yaitu dengan mantra-mantra yang dinyanyikan.
Untuk meningkatkan produksi pertanian (terutama padi), Pemerintah Kabupaten Rote Ndao juga memberikan bantuan pupuk kepada para petani. Selama ini jenis pupuk urea dan NPK yang banyak diberikan. Tapi, kini penggunaan pupuk kimiawi dikurangi dan digantikan dengan pemakaian pupuk organik. Bahkan, Pemkab telah mengundang investor untuk meningkatkan produksi pupuk organik.
Dengan optimalisasi fungsi embung dan jaringan irigasi, penggunaan pestisida, pemakaian benih unggul dan pemupukan yang tepat, produksi padi di Kabupaten Rote kini telah mampu mencapai sekitar 4 ton sampai 7,2 ton per hektar. Sebuah angka produksi yang relatif tidak jauh tertinggal dibandingkan produksi padi di Pulau Jawa yang berada pada kisaran 6-8 ton per hektar. Dan Rote pun surplus produksi padi. Atas prestasi ini, tahun 2012, Pemkab Rote Ndao memperoleh apresiasi Adikarya Pangan Nusantara dari Menteri Pertanian.
Selain padi, telah lama pula pertanian Rote akrab dengan komoditas jagung. Terdapat dua macam jagung (mbela/pela), yaitu jagung biasa (mbela sina, pela sina atau jagung cina) dan sorgum. Sorgum disebut pula mbela/pela hiek atau pela daek, dalam bahasa Kupang disebut jagung rote, dan dalam kesusasteraan Belanda disebut kaffercom (jagung kafir). Pembudidayaan jagung biasa dan jagung rote tidak seimbang, pela sina (jagung cina) jauh lebih banyak. Pada musim paceklik, nasi jagung dan nasi botok biasa disajikan kepada tamu. Kawan yang akrab dari jagung rote dan botok adalah turis atau kacang turis, kacang panjang, dan kacang hijau. Dikatakan kawan lantaran jagung rote dan botok, juga beras, dapat dimasak bersama-sama dengan salah satu dari ketiga jenis kacang-kacangan tersebut.
Umur jagung rote dan turis relatif cukup panjang. Jagung rote dipanen sekitar bulan Maret/April, sedangkan turis dipetik pada bulan Mei, sehingga terkadang produksinya cukup rendah karena kurang curah hujan. Sorgum atau jagung rote terdiri dari beberapa jenis. Salah satunya merupakan pulut, disebut mbela hie makaditek, enak dimakan. Biji turis dapat diolah menjadi kecap. Terdapat pula sejenis turis (turis Australia), berumur panjang dan batangnya tinggi. Turis jenis ini juga cocok untuk dikembangkan di wilayah Rote.
Tidak semua orang memiliki sawah namun sebuah keluarga minimal mempunyai sebuah kebun jagung. Jagung biasanya ditanam di kebun (osi) ataupun ladang (tine). Kebun dikerjakan setiap tahun tanpa berpindah-pindah. Sedangkan ladang berupa hutan belukar, dikerjakan sekali atau dua kali dengan selang waktu 10 samapi 30 tahun. Hampir setiap tahun tanah kebun dibalik.
Saat ini terdapat sekitar 20.000 KK kategori miskin. Agar mereka tidak semakin terjerembab dalam kemiskinan, Pemkab Rote Ndao mengoptimalkan sekitar 34.000 lahan tidur untuk digarap oleh warga berkategori miskin tadi. Selain itu, Pemkab juga mengajak investor untuk menggarap agroindustri –dari hulu sampai hilir—atas lahan-lahan pertanian yang tengah dioptimalkan pemanfaatannya.
Dalam sebidang kebun atau ladang biasanya ditanam beberapa jenis tanaman secara polikultur. Yang unik adalah bahwa acapkali dalam satu lobang ditanam beberapa jenis tanaman, misalkan kacang panjang bersama sorgum atau kacang panjang bersama turis.
Bibit jagung yang dikembangkan di Rote –sejak dulu sampai sekarang—adalah bibit unggul. Bibit unggul sekarang seperti jagung metro, jagung pulut dan jagung hibrida dikembangkan di Rote telah menghasilkan produksi yang terus meningkat. Kini gara-gara terdesak oleh pembudidayaan padi gogo rancah, banyak kebun ditinggalkan. Akibatnya produksi beberapa tanaman tradisional (antara lain sorgum, kacang panjang dan turis) terus menurun. Nasi jagung dapat dihidangkan dalam bentuk biji/anteru (mbela de’e katemak), bose (mbela bose, dikeluarkan kulit arinya) , dan jagung titi (mbela tutu).
Gubernur NTT Frans Lebu Raya sempat mencanangkan jagung sebagai program prioritas dan NTT sebagai provinsi jagung. Terdapat beberapa bibit lokal yang berkualitas, antara lain komposit dan piet kuning, sangat cocok dengan alam NTT. Jagung piet kuning merupakan jagung yang dihasilkan saat Piet Alexander Tallo menjabat sebagai Gubernur NTT. Sebagai penghargaan kepada Piet Tallo dan karena jagung tersebut berwarna kuning lalu nama Piet Kuning disematkan pada komoditas penting masyarakat pertanian NTT tersebut.
Botok. Dalam cerita rakyat Rote terdapat dua versi mengenai asal-usul padi dan botok (jewawut). Versi pertama mengatakan bahwa bibit kedua tanaman ini semula ditemukan dalam perut ikan duyung dan perut penyu. Sedangkan versi kedua mengatakan bahwa bibit kedua tanaman itu awalnya ditemukan dalam perut kepiting dan tiram (siput).
Kisah yang mengatakan bahwa mulanya bibit-bibit itu ditemukan dalam perut kepiting dan tiram dikisahkan dalam bentuk syair, menurut bahasa Rote dialek Thie yang terjemahannya berikut:
“Ada dua orang suami-isteri, yaitu Rusu Dui dan Tio Taka. Mereka memelihara padi dan botok. Kedua jenis bibit tersebut mereka berikan kepada Ngguma Bei Asa (siput) dan Ni Bole Sa’u (kepiting), dengan tujuan agar dikembangkan namun ternyata ditelan/dimakan oleh keduanya.
Pada suatu hari, Masu Pasu (anak perempuan Pasuama Nggeo) dan Hele Haik (anak perempuan Haiama Tuni) pergi mencari ikan di sero milik orang tua mereka. Ternyata di sero orang tua mereka tidak ada ikan, hanya terdapat seekor siput dan seekor kepiting. Mereka menangkap kedua jenis binatang itu lalu pulang. Setiba di rumah, keduanya menyerahkan hasil tangkapan itu kepada ibu-ibu mereka lalu diolah/dibakar untuk dimakan. Ternyata di dalam perut kepiting terdapat butir-butir botok dan di dalam perut siput terdapat butir-butir padi.
Biji-bijian itu diambil oleh Masu Pasu dan Hele Haik lantas ditanam dan dikembangkan. Kedua gadis tersebut kemudian berpindah ke Sari Ama dan Eda Oe lalu kawin dengan Bulan Boboan dan Deta Dolio, kemudian Bulan Boboan beranak Masi Bulan (perempuan) dan Deta Dolio beranak Davu Deta (perempuan). Keduanya diperanakkan di kebun Kaitio Ledo dan mamar Beluba Langga (Bilba). Dari Bilba, bibit padi dan botok tersebar ke berbagai tempat di Rote.
Sedangkan penyebaran kedua bibit itu ke Thie pada pertengahan abad ke-15 M melalui perkawinan, yaitu Masi Bulan dan Davi Deta kawin dengan Tola Mesa dan Le’e Lumu (orang-orang Thie). Kedua gadis/isteri datang dengan membawa berbagai harta, termasuk padi dan botok. Mulai saat itu keturunan Tola Mesa dan Le’e Lumu memelihara dan mengembangkan bibit padi dan bibit botok sampai menjadi pangan bagi masyarakat Thie hingga sekarang.”
Sampai kini nama kedua penemu tanaman tersebut senantiasa dipuji dan dipuja. Bilamana sesudah panen dan bahan makanan dibawa masuk ke dalam rumah maka orang memuji-muji dalam bentuk syair yang terjemahannya seperti berikut:
“Masa Pasu dan Hele Haik dipersilakan naik ke atas rumah dengan membawa bahan makanan yaitu padi dan botok. Tetapi bahan-bahan makanan tersebut harus dikelola demikian macam agar berguna bagi kesejahteraan hidup, juga bermanfaat untuk menolong balu-duda dan yatim-piatu serta sesama.”
Beberapa mitos yang berkembang pada masyarakat Rote ini mengindikasikan bahwa sudah sejak zaman purba orang Rote Ndao sangat gandrung pada ilmu pengetahuan. Mereka pergi dan mempelajari ilmu dan teknologi di Sain (dasar samudera) atau mengundang para ahli untuk membagikan ilmu mereka kepada masyarakat Darat (Rite). Dalam berbagai mitos selalu dikisahkan bahwa hampir semua penemuan ataupun ilmu dan teknologi berasal dari Sain (laut). Dapat dikatakan bahwa asal-muasal ilmu pengetahuan dan teknologi itu dari seberang.
Karakter orang Rote yang menyenangi ilmu pengetahuan itu pula yang kemudian mendorong Foe Mbura dan kawan-kawan (Ndi’i Hua [Raja Lole], Tou Dengga Lilo [Raja Ba’a], dan Ndara Naong [Raja Lelain]) pergi mencari ilmu pengetahuan sampai di Batavia pada tahun 1730, di kala masyarakat Rote masih dalam kegelapan (primitif).
Dari sembilan jenis tamanan pangan di Rote, botok dapat diharapkan lebih dulu memberi hasil dan menanggulangi bencana kelaparan karena umurnya relatif pendek dan tidak membutuhkan banyak air. Terdapat dua jenis botok, yaitu bete ina dan bete lai. Bete lai umurnya sangat pendek, dan umur bete ina lebih panjang. Sementara buah-buahan yang lebih dulu memberikan hasil adalah semangka (timu dafa). Hasil kedua tanaman (botok dan semangka) ini lebih dulu dinikmati daripada tanaman-tanaman yang lain. Dalam syair, kedua tanaman ini disanjung-sanjung dengan kata “mbule ulu bete lai do boa sosa timu dafa” (bulir sulung jewawut atau buang pertama semangka). Anak sulung orang Rote dimetaforakan sebagai bulir botok yang mula-mula dan buah semangka yang pertama lalu dikatakan “mbule ulu bete lai do boa sosa timu dafa”. Walaupun orang Rote juga hidup dari nira lontar, namun sesuai dengan legenda tersebut, ternyata padi dan botok telah dibudidayakan semenjak dulu kala.
Wijen. Dalam bahasa Rote, wijen disebut lena/lene. Sementara dalam bahasa Latin disebut indicum L. Tanaman ini termasuk dalam famili Pedaliaceae. Dibudidayakan sebagai sumber minyak nabati dan dikenal sebagai minyak wijen, yang diperoleh dari ekstraksi bijinya. Diperkirakan berasal dari Afrika.
Biji wijen mengandung 50-53% minyak nabati dan kaya akan vitamin E, vitamin B1, dan kalsium. Mengandung pula kalori dan asam lemak esensial yang tinggi, yang dibutuhkan dalam tubuh manusia. Minyak wijen juga digunakan sebagai obat dan biji wijen yang berwarna hitam dimanfaatkan buat obat penyakit gula darah. Biji wijen pun untuk penghias kudapan (ditaburkan di permukaan onde-onde), burger, cake dan biskuit.
Di Rote, biji wijen dibuat penganan tradisional yang dinamakan lepa lena (tengteng). Kini pembudidayaan tanaman wijen sudah berkurang.
Labu. Labu dapat dimasak bersama jagung rote atau dibuat sebagai sayuran. Bisa pula dijadikan makanan babi. Bila tanaman-tanaman tradisional ini dibudidayakan kembali secara baik maka para petani tidak begitu kekurangan pangan.
Umbi-umbian. Sejak dulu, umbi-umbian yang dikenal di Rote adalah ubi jalar (ufi sino/ndokasa) dan ubi kayu/ketela pohon (ufi ai). Ubi kayu datang belakangan. Mula pertama ubi kayu dikenal di Amerika Selatan, kemudian dibawa ke Indonesia oleh orang Portugis pada abad ke-16. Ubi jalar dan ubi kayu dapat ditanam secara polikultur (dalam sebidang kebun) bersama-sama dengan jagung dan sejenisnya. Di NTT, ubi kayu yang terkenal enak dan lembut adalah ubi kayu dari Ende.
Kacang tanah juga datang belakangan. Di Desa Mbokak, Dusun Tekeme (Nusak Thie) dikembangkan sejenis kacang tanah yang bijinya (isinya) besar. Kacang jenis ini disebut “Kacang Tekeme” (Fufue Tekeme).
Dalam kondisi iklim yang ekstrim, khususnya curah hujan yang rendah, terdapat beberapa jenis tanaman seperti kacang-kacangan (kacang tanah, kacang merah, kacang hijau dan kacang turis), ubi kayu dan ubi jalar dapat berproduksi secara baik. Tanaman lokal ini bisa dikembangkan karena lahan kering masih cukup luas. Kacang tanah “Tekeme” pasarannya cukup baik, sayangnya belum dikembangkan secara optimal.
Untuk tanaman hortikultura, selain semangka, tanaman buah-buahan yang telah dikenal lebih dulu (masih terbatas) adalah pepaya, pisang, mangga, nangka dan sirsak. Sedangkan sayur-sayuran yang sudah dikenal (sayuran darat) ialah bayam (ndoeana), umumnya bayam hutan yang tumbuh di kebun, sayur kelor (kaifok), daun/bunga pepaya, sayur pohon beringin (keka lamba) dan lain-lain. Yang utama adalah sayur kelor, daun/bunga pepaya, dan bayam. Dan sayuran laut adalah latu (beberapa jenis) dan dadafu.
Semangka yang dikembangkan sekarang berasal dari bibit unggul dan merupakan bahan komoditi unggulan. Begitu pula dengan bawang. Kedua jenis tanaman ini sekarang dikembangkan di hampir seluruh wilayah Rote dan hasilnya dipasarkan ke Kupang (ibukota Provinsi NTT).
Dari tanaman serealia tersebut, nasi beras disajikan pada acara-acara pesta perkawinan, ritual kematian dan lain-lain dan bila paceklik ditambah dengan nasi botok. Sementara nasi jagung (jagung titi, jagung bose dan jagung rote) disajikan pada acara ‘nedene’ atau ‘mahua’ (gotong royong pertanian dan rumah baru).

D.   Perkebunan
Di Rote terdapat empat jenis tanaman palma yang amat berguna bagi manusia, yaitu lontar, kelapa, pinang dan gewang. Pinang dan kelapa dapat dimasukkan ke dalam tanaman perkebunan. Sedangkan pinang dan gewang termasuk jenis tanaman hutan.
Kelapa. Hasil perkebunan yang menonjol di Rote Ndao hanyalah kelapa. Tanaman kelapa tersebar di seluruh wilayah Rote. Di mana terdapat permukiman maka dapat dipastikan terdapat tanaman kelapa. Hampir setiap rumah tangga memelihara tanaman kelapa, walau kadang cuma beberapa pohon. Namun tampaknya generasi sekarang malas menanam kelapa. Jenis palma ini pun terdapat di seluruh Indonesia, bahkan menjadi tanaman komoditi internasional. Kini kelapa (sawit) mampu menggeser peranan kelapa. Kendati demikian, generasi muda tidak boleh pesimistis dalam memperbanyak populasi tanaman kelapa. Saat ini sudah ada investor yang berminat mendirikan pabrik minyak kelapa di Rote Barat.
Pinang dan sirih. Pinang terdapat di Afrika bagian timur, India, Malaysia, Indonesia dan pulau-pulau Pasifik. Warga masyarakat yang berdiam di kawasan ini (sekitar 400 juta jiwa) mengenal budaya makan sirih (campuran antara sirih, pinang dan kapur). Di bagian lain Indonesia, pinang diganti dengan gambir.
Di Rote Ndao, setiap pemakan sirih memakan sisih lima kali sehari dan sekitar 60% orang dewasa masih makan sirih. Sebab itu, sirih, pinang, tembakau dan kapur merupakan bahan-bahan komoditi rakyat. Sesuai budaya, sirih pinang merupakan suguhan yang pertama kepada tamu. Bila hal itu tidak dilaksanakan maka tuan rumah dianggap tidak tahu adat, kikir atau barangkali antara si tamu dan tuan rumah berada dalam suasana konflik. Sirih pinang merupakan simbol persaudaraan dan persahabatan.
Pinang dan sirih tidak hanya berguna dalam ruang lingkup sosial. Pinang dan sirih juga mempunyai manfaat bagi kesehatan. Pinang diyakini mampu menyembuhkan penyakit gula darah dan beberapa penyakit lainnya. Menurut beberapa pakar kesehatan, sirih mengandung kavikol, kavibetol, dan neugenol. Kandungan fitokimia sirih tersebut dapat menghalau bakteri di mulut seperti streptococcus mutans, streptococcus viridans dan stapylococcus aureas. Kuman-kuman tersebut menjadi penyebab gigi berlubang. Mereka membusukkan sisa-sisa makanan yang menempel di sela-sela gigi. Kondisi tersebut masih diperparah dengan adanya plak akibat pembusukan yang menempel di permukaan gigi. Proses pembusukan pun menimbulkan halitosis (bau mulut).
Lontar. Pohon lontar adalah pohon kehidupan bagi orang Rote/Ndao (juga orang Sabu). Orang Rote/Ndao dibesarkan dengan nira/gula lontar. Orang Rote menjuluki pulau yang didiaminya sebagai “Nusa Lontar” atau “Nusa Sejuta Lontar”. Sedangkan orang Sabu menyebut pulau yang didiaminya sebagai “Rai Due Nga Donahu” (negeri nira dan gula).
Lantaran sangat mengagungkan lontar, banyak nama tempat di Rote bermakna lontar (tua), seperti halnya air. Nama-nama itu antara lain adalah Batutua, Tuandalek/Tuadale, Tuameko, dan Tuanatuk. Populasi pohon lontar di seluruh Rote Ndao mencapai 2.203.300 pohon.
Sejak lahir, orang Rote telah diperkenalkan pada lontar dan dia sudah harus belajar hidup dari lontar. Pemanfaatan lontar mulai dari batang, pelepah, daun, lidi, buah, sampai nira tidak sebatas untuk mengisi perut dan alat-alat kebutuhan sehari-hari tapi juga sampai pada kehidupan kesenian dan upacara-upacara sakral dalam keseluruhan siklus hidup anak manusia. Kedewasaan seorang lelaki diukur dengan kemampuan mengiris/menyadap lontar. Sedangkan kedewasaan seorang perempuan diukur dari kemampuan menenun dan menganyam.
Menurut F.J. Ormeling, banyak orang Rote melakukan kegiatan ekonomi lain selain menyadap lontar dan bertanam padi. Dia mengatakan bahwa orang Rote lebih banyak memanfaatkan musim kemarau panjang ketika aktivitas pertanian terhenti. Selain menyadap lontar, mereka menangkap ikan dan membuat garam.
Dalam bukunya yang berjudul Het Amboinch Kryd (1741 M), peneliti ilmu hayat G.E. Rumphius menggambarkan bahwa nira lontar di Rote dijadikan baik sebagai minuman ataupun sebagai makanan membuat rakyatnya gemuk dan sehat serta disuguhkan kepada setiap tamu sebelum bertutur kata.
Berdasarkan data gizi Kabupaten Kupang yang dikumpulkan oleh dokter Frans Radja Haba pada tahun 1980-an, ternyata selain Kupang, tingkat gizi Balita terbaik adalah Sabu dan Rote bagian barat (Lelain, Dengka, Oenale, Delha, dan Thie) yang mana ketergantungan pada lontar paling tinggi menyusul Rote bagian tengah dan timur. Sedangkan yang paling buruk adalah daratan Timor yang sebenarnya mempunyai sumber daya yang lebih baik. Menurut Radja Haba, keadaan gizi tidaklah semata-mata ditentukan oleh tingkat ekonomi, namun lebih ditentukan oleh kultur tani dan budaya makan.
Beberapa menu atau makanan spesifik sangat baik dan perlu dipertahankan karena mengandung nutrisi yang cukup baik, misalkan jagung titi, jagung bose, jewawut (botok), wijen, kacang-kacangan, kerang-kerangan, ikan, sayur laut, dan sayur darat. Untuk nira/gula lontar, kendati nilai gizinya rendah namun bilamana dikonsumsi bersama lauk-pauk dan sayuran yang padat gizi maka dapat memenuhi syarat-syarat gizi sehingga mampu mencegah petaka kurang gizi ataupun busung lapar.
Dalam kehidupan ekonomi orang Rote dikenal suatu semboyan dalam dialek Thie: “Leo mae nana’ak ta dadi o sadi ela oe tua ma kaifo inggu no ndaeana osi” (biarpun gagal panen asal ada sisa nira/gula serta sayu kelor dan sayur bayam). Memang ketiga bahan pangan tersebut merupakan andalan utama bagi kehidupan orang Rote. Khusus pohon kelor (Moringa oleivera) yang merupakan varitas lokal NTT, menurut peneliti Johanis W.D. Therik, mengandung vitamin A, B1, B2, B3 dan C. Pun mengandung nilai gizi yang mampu meningkatkan dan memperbaiki gizi buruk, sebab itu dapat dijadikan tanaman rakyat yang potensial. Sayur kelor –termasuk air rebusannya— merupakan herbal yang mujarab untuk menyembuhkan penyakit gula darah dan darah tinggi.
Gewang. Jenis palma ini tumbuh lebih banyak di Rote Barat dan populasinya kurang dari populasi lontar. Gewang belum disadap untuk diambil niranya. Bagian yang dimanfaatkan adalah mulai dari batang, pelepah, daun dan lidi yang berguna bagi orang Rote. Inti batang sebagai makanan babi dan sisanya buat kayu api. Pelepahnya untuk pagar, kayu api, tali, para-para (lalanggak) dan dinding. Daunnya untuk atap rumah. Hampir semua rumah di Rote Barat beratapkan daun gewang. Dari daun muda/pucuk yang disebut mbolok/polok diambil lapisan daun sebelah dalam yang disebut akinak/hekenak (tipis dan kuat) dipergunakan sebagai benang pengikat pola-pola tenun dalam proses ikat dan celup. Juga ditenun menjadi sarung kasar (rombo/lambik/lapik soka) dan selimut kasar (lafa/lafe soka). Jenis pakaian ini sebagai pakaian kerja di sawah/kebun/ladang. Pucuk daun muda (mbolok) juga dapat dipergunakan sebagai bahan payung, disebut soneru. Lidi dimanfaatkan untuk alat penangkap ikan, yaitu sero (deak) dan bubu (bufu).
Pohon kusambi dan jarak. Kedua jenis tanaman ini memiliki prospek yang baik bagi kehidupan orang Rote. Pada masa silam, biji kusambi dan jarak dijadikan bahan bakar (banduk) pengganti pelita. Biji kusambi dan jarak kini dapat dijadikan bahan bakar (biofuel). Kusambi terdapat di seluruh wilayah Rote (sekitar 2 juta pohon) dan jarak kini tengah digalakkan pembudi-dayaannya. Untuk menjaga kelestarian pohon kusambi, sebaiknya pembudi-dayaan kutu lak dihindari karena kutu ini dapat mematikan pohon kusambi.
Pohon jati. Pohon ini telah cukup banyak tumbuh di Rote. Rakyat pun sudah tertarik pada pemeliharaan jati karena bernilai ekonomis. Kawasan jati milik pemerintah umumnya merupakan buah tangan mendiang Junus Mesah (mantan Kepala Subdinas Kehutanan Kabupaten Rote Ndao).
Pohon cendana. Pohon ini sudah dibudi-dayakan di Rote, khususnya di Bukit Kokolo (Thie, Rote Barat Daya). Sayangnya, pohon-pohon cendana ini banyak yang dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab.

E.   Listrik dan Infrastruktur
Baru sekitar 12 ribu dari 29 ribu rumah di Kabupaten Rote Ndao yang terlayani listrik PLN. Artinya, sekitar 17 ribu rumah belum bisa dilayani karena berbagai keterbatasan.
Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao menggelontorkan program elektrifikasi bagi 8.000 rumah warga. Namun yang bisa dilayani PLN tahun ini hanya 1.000 rumah. Oleh karena itu, 7.000 ribu rumah lainnya diprogramkan menggunakan listrik tenaga surya dan lampu SEHEN. Bupati Lens Haning menjelaskan program ini dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao juga mengembangkan dan menerapkan Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH) untuk desa mandiri yang telah dimulai di Desa Nemberala, Kecamatan Rote Barat. Di desa ini sudah dibangun pabrik minyak jarak/kusambi (biofuel) dan listrik tenaga hibrid. Pabrik ini menghasilkan minyak jarak/kusambi sebagai pengganti minyak tanah, bensin dan solar. Di Daleholu, Kecamatan Rote Selatan, pun telah dibangun pabrik minyak jarak/kusambi. Agar kedua pabrik ini beroperasi secara baik, penanaman pohon jarak perlu digalakkan.
Listrik hibrid merupakan sebuah listrik atas kombinasi antara angin, tenaga surya, dan biofuel. Biofuel yang akan digunakan adalah minyak dari biji kusambi dan biji jarak. Minyak dari biji jarak/kusambi dicampur dengan etanol yang dapat diambil dari pohon lontar sebagai bahan bakar untuk menghidupkan mesin diesel. Jadi biji kusambi/jarak diolah menjadi minyak untuk menghidupkan mesin diesel berbahan bakar biofuel. Minyak jarak sebagai pengganti solar, juga sebagai bahan bakar minyak mesin tempel perahu para nelayan. Bahan bakar ini sangat ramah lingkungan. Listrik tenaga hibrid digerakkan oleh tenaga surya, bayu dan diesel.
Berdasarkan hasil penelitian LIPI, satu pohon kusambi mampu menghasilkan 10 Kg biji basah dan satu liter minyak biofuel (biodiesel) membutuhkan 4-5 Kg biji kusambi kering. Di Rote terdapat jutaan batang pohon kusambi.
Kemudian di Rote Tengah, saat ini juga tengah dibangun instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang kelak pengelolaannya diserahkan kepada PT PLN. Pemkab Rote Ndao terus berusaha mendorong PLN dan investor lain untuk dapat memberikan penerangan listrik segenap rakyat Rote. Listrik tidak hanya penting bagi rakyat banyak namun juga menjadi fasilitas yang diinginkan oleh investor yang hendak masuk ke wilayah Kabupaten Rote Ndao.
Selain listrik, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao juga berupaya meningkatkan infrastruktur yang ada –terutama sarana perhubungan dan transportasi. Transportasi merupakan sektor penting dan strategis bagi peningkatan denyut perekonomian daerah dan daya tarik investasi. Di Kabupaten Rote Ndao, masalah transportasi merupakan satu dari sekian banyak masalah yang ada, yakni keterbatasan infrastruktur (sarana dan prasarana perhubungan darat, laut dan udara).
Perkembangan sarana dan prasarana perhubungan di Kabupaten Rote Ndao sangat penting artinya dalam kerangka membuka isolasi terhadap daerah-daerah pedesaan terpencil serta untuk mendukung aktivitas perekonomian wilayah secara keseluruhan, di antaranya mendukung kegiatan pemasaran hasil-hasil pertanian yang potensial yang perlu cepat-cepat dikirim ke pasar.
Diakui, sarana dan prasarana transportasi amat berperan sebagai pendukung kegiatan ekonomi dan berfungsi untuk menyediakan jasa pelayanan bagi arus pergerakan orang, barang dan jasa, khususnya di dalam distribusi barang, jasa dan sumber bahan baku. Kelancaran distribusi tersebut –terutama yang diarahkan ke tempat produksi serta ke lokasi pemasaran, mulai dari tingkat lokal, regional, nasional sampai internasional— sekaligus turut pula memperlancar roda perekonomian masyarakat daerah ini. Sebab itu, jasa pelayanan transportasi sangat diperlukan guna menunjang kegiatan sosial masyarakat, termasuk upaya pengentasan kemiskinan.
Kendati begitu, secara umum masih terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh sehingga daya dukung sarana dan prasarana perhubungan (infrastruktur) di Kabupaten Rote Ndao masih relatif rendah, oleh sebab:
·         Pembiayaan sarana dan prasarana perhubungan membutuhkan dana yang cukup besar, sementara kemampuan pendanaan keuangan daerah masih sangat terbatas, akibatnya belum mampu membiayai semua kebutuhan pembangunan prasarana transportasi –baik darat, laut maupun udara.
·         Keterbatasan dana investasi dan penyebaran lokasi pemukiman masyarakat yang justru mempersulit dalam menjangkau fasilitas listrik dan air bersih serta sanitasi lingkungan yang diharapkan.
·         Keterbatasan dana pembangunan dan sumber-sumber air baku yang dapat dikembangkan dan dikelola secara berkesibambungan guna menunjang ketersediaan air baku untuk jaringan irigasi (embung).
·         Rendahnya tingkat pendapatan per kapita, termasuk pendapatan rumah tangga dalam memenuhi rumah layak dan sehat.
Jaringan transportasi darat. Pembangunan subsektor transportasi darat sampai saat ini dilakukan secara berkesinambungan, di antaranya dengan peningkatan kualitas permukaan jalan melalui pengaspalan di beberapa rute dan ruas jalan, termasuk jalan raya di wilayah kota.
Tujuan pembangunan sarana dan prasarana transportasi adalah meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efektif, andal, berkualitas, aman, dan menekan harga tinggi, serta mewujudkan sistem transportasi daerah dan nasional secara terpadu sebagai bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas, termasuk meningkatkan jaringan desa-kota yang memadai (Antony, 2004).
Atas dasar fungsinya, jalan di Kabupaten Rote Ndao dibagi menjadi jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder. Jalan lokal primer difungsikan untuk menghubungkan kecamatan yang satu dengan kecamatan yang lain, dalam hal ini jalan provinsi dan sebagian jalan kabupaten. Sedangkan jalan kolektor sekunder untuk menghubungkan pusat kecamatan dan desa, serta jalan dalam kawasan kecamatan. Angkutan darat saat ini telah berkembang relatif baik sehingga banyak tempat terpencil yang sudah terbuka dari isolasi.
Saat ini, data 2011 (Rote Ndao dalam Angka, 2012), di Kabupaten Rote Ndao terdapat jalan poros penghubung yang sangat vital untuk menggulirkan roda perekonomian masyarakat, yakni bentangan jalan sepanjang 730,13 Km yang terdiri dari Jalan Provinsi sepanjang 79,005 Km, Jalan Kabupaten sepanjang 407,90 Km dan sisanya berupa jalan desa atau non-status sepanjang 243,22 Km. Sementara data dari Dinas Kimpraswil Kabupaten Rote Ndao pada 2010 menyebutkan Jalan Negara sepanjang 30,15 Km, Jalan Provinsi 51,25 Km dan Jalan Kabupaten 448,24 Km. Kedua data tersebut menunjukkan adanya pengalihan status jalan di Kabupaten Rote Ndao. Meski begitu, jalan-jalan yang ada masih relatif kurang lebar untuk kebutuhan sebuah wilayah otonomi kabupaten. Untuk itu, ke depan, perhatian Pemerintah Kabupaten Rote Ndao terhadap vitalitas jalan ini perlu lebih ditingkatkan, terutama peningkatan dan pelebaran jalan, termasuk pembangunan jalan-jalan baru guna membuka dan meretas isolasi daerah.
Selain itu, Pemkab Rote Ndao juga terus mendorong pembangunan jembatan untuk menyambung daerah-daerah terpencil dan terisolasi. Bupati Lens Haning berusaha menggalang dana dari APBN dan APBD untuk menambah kuantitas dan kualitas jembatan yang ada di Rote Ndao. Setidaknya sudah ada tiga buah jembatan baru di wilayah Rote yang berhasil dibangun dalam rentang waktu 2009-2012 yang menghabiskan dana miliaran rupiah. 
Sasaran program pembangunan sarana dan prasarana transportasi adalah: (1) Terpenuhinya kebutuhan minimal pelayanan jasa transportasi sekaligus pendukung upaya pemulihan ekonomi; (2) Terpeliharanya kondisi fisik sarana dan prasarana transportasi agar dapat memberikan pelayanan sampai dengan batas umur teknik yang direncanakan; (3) Meningkatkan sistem manajemen transportasi; (4) Meningkatkan jasa pelayanan sarana dan prasarana melalui standar teknis yang sesuai dengan kebutuhan yang berkembang secara efisien.
Jaringan transportasi laut. Dewasa ini, aksesibilitas lewat jaringan transportasi laut untuk mencapai wilayah Kabupaten Rote Ndao tidaklah sulit. Dari Pelabuhan Tenau (Kupang), ada kapal penumpang ferry cepat Bahari Express yang secara reguler melayani konsumen dua kali sehari, yakni pada pagi hari pukul 09.00 waktu setempat dan siang hari pukul 13.00 waktu setempat. Kapal ferry cepat yang dioperasikan BUMN Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) tersebut langsung menyinggahi Pelabuhan Baa, yang terletak di ibukota Kabupaten Rote Ndao. Waktu tempuh kapal ferry cepat Bahari Express jalur Kupang-Baa sekitar dua jam perjalanan.
Selain ferry cepat yang khusus membawa penumpang dari Pelabuhan Tenau, ASDP juga mengoperasikan ferry ekonomi yang khusus digunakan penumpang untuk membawa barang-barang dan kendaraan bermotor (roda dua dan roda empat). Ferry ekonomi ini beroperasi khusus di pelabuhan penyeberangan Pantai Baru dengan waktu tempuh sekitar empat jam perjalanan.
Di wilayah Kabupaten Rote Ndao ini terdapat empat pelabuhan laut yang dikelola secara resmi, masing-masing Pelabuhan Pantai Baru, Pelabuhan Baa, Pelabuhan Perikanan Papela, dan Pelabuhan Ndao yang relatif tidak ada aktivitas. Keempat pelabuhan itu umumnya melayani operasional ASDP karena lebih banyak melayani kapal ferry. Kecuali Pelabuhan Baa, selain melayani kapal ferry cepat melayani pula angkutan kapal barang dari luar wilayah Kabupaten Rote Ndao.
Keberadaan pelabuhan di Kabupaten Rote Ndao sangat potensial dan vital dalam menunjang sistem transportasi laut –terutama kapal ferry. Di samping pelabuhan yang disebutkan tadi, masih terdapat sejumlah pelabuhan tradisional atau pelabuhan rakyat yang telah dikembangkan oleh warga masyarakat setempat, terkhusus untuk aktivitas pendaratan ikan bagi nelayan dan kegiatan pelayaran rakyat lainnya.
Jaringan transportasi udara. Untuk jaringan transportasi udara, Kabupaten Rote Ndao baru memiliki satu bandar udara, yaitu Bandar Udara (Bandara) Lekunik, yang terletak sekitar 700 meter dari pusat perkantoran Pemerintah Kabupaten Rote Ndao. Bandara Lekunik ini masih dalam kategori perintis dan merupakan salah satu dari 14 pelabuhan udara di Provinsi NTT. Frekuensi penerbangan dan jenis pesawat yang digunakan masih relatif terbatas.
Sebelumnya, frekuensi penerbangan pada tahun 2006 mencapai 125 kali dengan rerata tiga kali penerbangan selama sepekan. Namun, pada 2007, 2008 sampai 2009, mengalami penurunan frekuensi penerbangan, cuma sekali dalam sepekan. Frekuensi penerbangan normal dua kali dalam sepekan, yakni tiap Selasa dan Jumat dari Kupang ke Baa, dan sebaliknya. Pada umumnya, frekuensi penerbangan di daerah ini cenderung mengikuti kebutuhan penumpang dan kondisi cuaca. Hal ini terlihat dari data 2006, di mana frekuensi penerbangan cukup tinggi bersamaan dengan rendahnya jumlah kunjungan kapal melalui pelabuhan laut.
Sebab itulah, di masa depan, jaringan moda transportasi udara ini memiliki peranan penting dan bernilai strategis. Pemerintah Kabupaten Rote Ndao memproyeksikan agar Bandara Lekunik ini menjadi bagian integral dari sistem transportasi nasional, yang mampu berkembang dinamis seirama dengan kemajuan teknologi dan industri kedirgantaraan.
Diakui, saat ini Bandara Lekunik baru mampu didarati pesawat penumpang jenis Cassa C-212 dan Twin Otter milik perusahaan Susi Air dengan kapasitas penumpang 12 orang. Seiring kebutuhan penumpang, ke depan, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao perlu mengantisipasi perkembangan panjang landasan pacu (runway), terminal penumpang, serta akses prasarana jalan menuju ke bandara tersebut.

F.   Memberdayakan Perekonomian Rakyat
Sebuah persoalan klise yang kerap dilakukan oleh pemerintah daerah selama ini adalah proses pembangunan yang tidak melalui suatu kajian perencanaan yang betul–betul menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Juga, pembangunan dilakukan secara masif pada semua sektor tanpa adanya fokus atau orientasi pada sektor–sektor unggulan. Belajar dari Provinsi Gorontalo sewaktu dipimpin Fadel Muhammad, mampu memacu peningkatan PAD secara signifikan dengan hanya bertumpu pada sektor–sektor strategis, yaitu pertanian, peternakan dan perikanan. Provinsi Gorontalo berhasil mengembangankan jagung sebagai komoditi unggulan yang berkualitas ekspor sehingga berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan warga masyarakatnya. Bagi Kabupaten Rote Ndao ada beberapa sektor yang dapat dijadikan unggulan, antara lain:
Pertama, sektor pertanian. Sektor ini merupakan sektor unggulan yang berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain itu sekitar 79 % penduduk Rote Ndao memang menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Karena itu, selaras dengan program nasional perlu diadakan revitalisasi pertanian. Revitalisasi pertanian merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan petani, meningkatkan daya saing produk pertanian serta menjaga kelestarian sumber daya pertanian. Program ini dapat terwujud sesuai harapan apabila memperoleh respon positif dan dukungan penuh Pemerintah Kabupaten, rakyat-masyarakat serta stakeholder --terutama dengan menyediakan infrastruktur pendukung.
Kedua, sektor perkebunan. Di sektor perkebunan, Kabupaten Rote Ndao memiliki komoditi unggulan seperti kelapa yang menghasilkan kopra, lontar yang dapat menghasilkan nira serta tanaman jarak pagar (jatropha). Ketiga komoditi ini merupakan bahan mentah yang dapat dijadikan sebagai bahan baku industri yang potensial dalam skala rumah tangga ataupun industri besar. Untuk pohon lontar misalkan, dengan luas lahan 6.394 Ha dan produktivitas rata–rata 1,15 juta ton/tahun dapat diolah menjadi gula lempeng, gula semut, gula air dan etanol (alkohol). Pemerintah Kabupaten Rote Ndao berusaha mendorong warga masyarakat untuk memanfaatkan teknologi yang lebih maju sehingga komoditi yang potensial ini dapat cepat dikembangkan. Pemerintah Kabupaten berupaya melakukan intermediasi teknologi yang dapat meningkatkan kualitas hasil pengolahan, baik dalam bentuk gula lempeng, gula semut, gula air maupun etanol (alkohol). Dengan demikian, produk ini memiliki nilai jual yang mampu bersaing dengan komoditi sejenis yang ada di pasaran. Untuk tanaman jatropha, kondisi iklim Rote Ndao sangat cocok untuk perkembangan tanaman yang bijinya dapat menghasilkan bahan bakar ini. Dengan budidaya tanaman ini disertai dengan pengembangan teknologi tepat guna pedesaan dalam pengolahan biji jatropha menjadi bahan bakar, Rote Ndao berpeluang besar menjadi ‘pusat energi’ yang bersumber dari tanaman jatropha.
Ketiga, sektor perikanan. Wilayah Rote Ndao merupakan daerah kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas dan berpotensi untuk usaha–usaha perikanan tangkap dan budidaya, termasuk budi daya rumput laut. Pemerintah Kabupaten Rote Ndao berusaha mendorong pemanfaatan sektor perikanan (terutama rumput laut) secara optimal melalui upaya–upaya peningkatan pemanfaatan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya yang ada.
Keempat, sektor pariwisata. Sebenarnya semenjak awal terbentuknya Kabupaten Rote Ndao, sektor pariwisata merupakan primadona, berkat keindahan wisata alam nan eksotis bertaraf internasional, seperti Pulau Ndana, Pantai Nemberala, dan Pantai Bo’a. Pantai Nemberala sekadar contoh, menurut wisatawan yang pernah berkunjung, memiliki keindahan yang setara dengan Pantai Kuta (Bali). Belajar dari Bali, selain panorama alam yang indah, Bali juga memiliki keunikan budaya yang masih dipertahankan di tengah arus modernitas yang begitu kuat. Keunikan budaya inilah yang menjadi magnet untuk parawisata Bali. Kabupaten Rote Ndao pun mempunyai keunikan kebudayaan yang bisa menjadi daya tarik. Pemkab berusaha melestarikan keunikan budaya sebagai aset wisata. Selain itu Pemkab berusaha memprioritaskan pembangunan infrastruktur pendukung untuk mengakses lokasi pariwisata, sarana akomodasi yang memadai dan mempromosikan kepada dunia internasional. Saat ini sudah masuk investor dari Jakarta untuk membangun hotel dan resor di Pantai Nemberala. Promosi dilakukan melalui media informasi yang ada baik cetak maupun elektronik –termasuk melalui internet. Juga menyelenggarakan even–even berskala nasional  dan inernasional untuk memaksimalkan upaya promosi.  
Dengan orientasi pada sektor–sektor unggulan yang berbasis pemberdayaan masyarakat tersebut diharapkan mampu menumbuhkan geliat ekonomi mikro, melalui tumbuh dan berkembangnya usaha kecil dan menengah sehingga terjadi pemerataan ekonomi dan memberikan trickle down effect pada sektor–sektor lainnya. Pemkab Rote Ndao terus mendorong program PNPM Mandiri Pedesaan dan memberdayakan koperasi. Tahun 2011 telah dianggarkan dana PNPM Mandiri Pedesaan sebesar Rp27.866.835.000 dan menjangkau delapan kecamatan 89 desa/kelurahan. Pada tahun 2012 dianggarkan dana PNPM Mandiri Pedesaan senilai Rp22.750.000.000. Sedangkan pemberdayaan koperasi, di tahun 2012 terbentuk 40 koperasi baru dengan penggelontoran modal awal sekitar Rp25 juta tiap koperasi. Sampai saat ini ada 89 koperasi yang aktif di wilayah Kabupaten Rote. Tahun 2012 ini Koperasi Serba Usaha Lobalain memperoleh penghargaan sebagai koperasi terbaik se-NTT dan Pemkab Rote Ndao mendapat apresiasi sebagai pembina koperasi dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Di samping itu, Pemkab Rote Ndao berupaya terus melakukan kontrol terhadap stabilitas harga yang mampu meredam fluktuasi tajam terhadap komoditas unggulan yang bisa mempengaruhi motivasi produktivitas masyarakat. Kemudian menciptakan iklim yang kondusif untuk meningkatan minat investasi melalui padat karya, di mana investasi merupakan stimulus demi tercapainya sustainable growth perekonomian daerah. ***           

No comments:

Post a Comment