Ini kisah tentang tahta dan panggilan (suci). Sebagai
seorang Muslim, aku meyakini adanya tiga panggilan Allah SWT, yakni adzan
sebagai panggilan shalat, haji ke Baitullah dan maut. Panggilan adzan
senantiasa berkumandang lima kali sehari. Kadang kita terlambat atau malas
memenuhi panggilan adzan. Sedangkan panggilan haji, datang pada orang-orang
mampu yang terpanggil dan orang-orang terpanggil yang dimampukan oleh Allah Ta’ala.
Dan panggilan maut hanya datang sekali pada setiap insan, kita tidak bisa
menolaknya.
Ya, panggilan haji, datang pada orang-orang mampu
yang terpanggil dan orang-orang terpanggil yang dimampukan. Tersebutlah Tarmin
–dia biasa disapa akrab kawan-kawannya. Sejak muda Tarmin berkarir sebagai
Pegawai Negeri Sipil dan terakhir sampai di golongan 4-A. “Rasanya tak mungkin,
bahkan sampai mati, saya bisa naik haji ke Tanah Suci,” ujar Tarmin sekali
waktu.
“Haji itu kan panggilan, kalau Allah sudah
berkehendak, siapapun tak bisa menghalangi,” ucapku membesarkan hati Tarmin
waktu itu.
Lama aku tak bersua Tarmin, karena kami tinggal
berjauhan, bahkan berseberangan pulau. Sampai satu ketika aku bertemu Tarmin di
satu acara di Jakarta. Dengan wajah berbinar Tarmin bercerita ihwal status haji
yang kini disandangnya. Ditambah lagi jabatannya sebagai pelaksana tugas (Plt) kepala
dinas pada sebuah pemerintahan kabupaten. “Dua tahun lalu, bersyukur, saya bisa
berangkat ke Tanah Suci atas jasa baik Pak Bupati. Saya tidak mengeluarkan
ongkos sedikit pun,” ucap Tarmin.
Tarmin yang merasa terpanggil ini ternyata
dimampukan untuk berangkat ke Tanah Suci. Dia merasa sangat bersyukur dapat
menunaikan rukun Islam yang kelima itu.
Tanpa kuminta bercerita, dalam persuaan di
sela-sela acara yang diikutinya di Jakarta, Tarmin menuturkan, “Tak berapa lama
sepulang dari Baitullah, saya diangkat menjadi pelaksana tugas kepala dinas,
sebuah jabatan yang tak pernah saya duga-duga dalam karir sebagai PNS.”
Lebih lanjut Tarmin berkisah, “Lalu, tidak berapa
lama pula, berlangsung pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam pertemuan para
kepala dinas, Pak Bupati berpesan agar kami menguatkan pemerintahan yang sedang
berjalan. Jangan sampai pemerintahan berhenti karena banyak kepala dinas yang kurang
mendukung program pembangunan daerah.”
Pilkada tinggal menghitung hari. Tarmin pun
dipanggil Pak Bupati. “Mulai hari ini Pak Tarmin bukan lagi Plt, tapi sudah
resmi menjabat kepala dinas. Saya mohon Pak Tarmin tidak lupa pesan saya waktu
pertemuan dengan para kepala dinas. Syukur-syukur Pak Tarmin bisa mengajak
segenap bawahan di dinas yang Pak Tarmin pimpin untuk ikut nyoblos di hari
pemberian suara nanti,” ucap Pak Bupati sembari menyerahkan surat pengangkatan
Tarmin sebagai kepala dinas.
“Baik Pak Bupati, saya siap mendukung program
Bapak,” ujar Tarmin penuh takzim.
Kira-kira sebulan menjelang Pilkada,Tarmin
dilantik dan menerima tongkat estafet kepala dinas. Dalam acara pelantikan,
sekali lagi, Pak Bupati menekankan pesannya, “Saya berharap semuanya tetap
solid sampai waktunya.”
Malam hari usai pelantikan, Tarmin mengundang makan
malam segenap jajaran dinas yang dipimpinnya. Di hadapan para kepala bidang,
kepala seksi, dan semua staf dinas, Tarmin mengulang pesan Pak Bupati, “Mari
kita jaga kekompakan menjelang Pilkada. Jangan sampai kita terpecah-belah.
Selama kita kompak bersatu, semua akan aman-aman saja di kursi kalian.”
Semua staf dinas mafhum betul apa yang dikatakan
Tarmin. Sampai waktunya tiba pemungutan suara Pilkada kabupaten di wilayah yang
cukup jauh pedalaman. Tarmin pun memberikan suaranya buat Pak Bupati. Demikian pula
staf yang telah datang makan malam di rumah Tarmin.
Singkat cerita, Pak Bupati kembali memenangi
kompetisi Pilkada untuk periode kali kedua. Bahkan, Pak Bupati menang telak,
sekitar 60% suara pemilih mencontreng gambarnya, dan sekitar 40 suara tersebar
di empat pasangan cabub-cawabup yang lain.
Tarmin sumringah, kursi jabatannya tetap aman
tergenggam. Di tengah pesta kemenangan Pak Bupati, Tarmin tiba-tiba lemas,
ambruk. Dia langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter yang memeriksa mendiagnosis bahwa
Tarmin terkena kanker darah. Tak lama berselang dalam perawatan intensif,
Tarmin dijemput sang maut. Tahta pun ditinggalkannya.
Salah seorang anggota tim sukses lawan politik Pak
Bupati berujar pendek, “Itulah ganjaran orang yang mempermainkan panggilan suci
dengan politik praktis.”
Ah, aku tidak dalam posisi untuk menilai apa yang
dilakukan Tarmin. Aku serahkan penilaian itu kepada Allah yang memiliki tiga
panggilan pada umatnya di muka bumi. Semoga saja Tarmin memenuhi panggilan haji
yang mabrur, dan panggilan maut dengan kelapangan hati. ***
No comments:
Post a Comment