Pada suatu
hari Abdullah bin Zubair[1]
mengirimkan uang sekitar 100.000 dirham kepada bibinya, Aisyah. Aisyah
mengambil mangkok dan meletakkan uang itu di sana. Lalu dia membagi-bagikan
uang tersebut kepada fakir miskin. Saat hari sudah mulai sore, dia baru tersadar
bahwa ternyata uang itu telah habis tak tersisa. Akibatnya, ketika Aisyah meminta
agar dihidangkan makanan, si perempuan pelayannya hanya membawa sepotong roti
dan minyak zaitun.
Ummu
Dzarrah, salah satu pelayan Aisyah, bercerita, "Wahai ibu kaum mukmin,
tidakkah engkau sisakan satu dirham saja dari uang yang engkau bagi-bagikan
hari ini?" Aisyah menjawab, "Jangan mencoba membuatku menyesal wahai
Ummu Dzarrah. Seandainya kamu ingatkan saya ketika itu pasti akan saya
sisakan."
Sahabat
Urwah yang menyaksikan kejadian itu mengatakan, "Saya melihat Aisyah
membagi-bagikan 70.000 dirham sementara lengan bajunya sendiri ditambal."[2]
Aisyah dan
Keponakannya
Pada suatu hari
Aisyah diberitahu seorang sahabat bahwa Abdullah bin Zubair (keponakannya)
menyinggung mengenai jual-beli yang dilakukan bibinya, Aisyah (atau pemberian
dari Aisyah).[3] Dia berkata,
"Demi Allah, bibiku (Aisyah) harus menghentikannya atau saya akan acuh tak
acuh kepadanya."
Lantas Siti Aisyah menanyakan kebenarannya pada si
pemberi kabar, "Benarkah dia mengatakannya seperti itu."
Si pemberi kabar itu memastikan, "Ya.”
Aisyah kemudian bernazar, "Demi Allah, saya bernazar
untuk tidak bicara kepada Ibnu Zubair hingga ajal menjemput di antara kami."
Selang
beberapa waktu, Ibnu Zubair mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Dia meminta
bantuan mediasi beberapa orang untuk meminta maaf kepada bibinya. Tetapi
permintaan maafnya tidak diterima, dan Aisyah masih belum mau berbicara kepada
keponakannya ini, "Tidak, saya tidak bisa memaafkannya dan tak akan mengubah
nazarku."
Abdullah
bin Umar kemudian berinisiatif meminta bantuan al-Miswar bin Makhramah dan
Abdurrahman bin Al-Aswad bin Abdi Yaghus—keduanya dari klan Bani Zuhrah.[4]
"Atas nama Allah, saya minta tolong kepada kalian berdua agar memintakan
maaf kepada bibi buatku. Sesungguhnya nazar dia memutus tali silaturrahim
denganku tidak dibenarkan agama," pinta Ibnu Zubair.
Lalu Al-Miswar
dan Abdurrahman segera menuju ke rumah Ummul Mukminin Aisyah. Keduanya meminta
dengan lembut agar diperbolehkan bertamu, "Assalamu alaikum. Boleh kami
masuk?"
Aisyah menjawab, "Masuklah!”
Keduanya bertanya balik, "Kami semua?"
"Ya," tegas Aisyah. Mereka semuanya masuk dan Aisyah tidak
menyadari bahwa mereka berdua membawa Abdullah bin Zubair, keponakannya, dengan
memakai penutup wajah. Ibnu Zubair kemudian memeluk bibinya karena rindu dan
keduanya menangis. Al-Miswar dan Abdurrahman pun mengingatkan Aisyah tentang sabda
Nabi Saw, "Tidak halal bagi seorang Muslim menghindari saudaranya dan
tidak menyapanya melebihi tiga malam."[5]
Karena dinasehati
mengenai pentingnya menjalin tali silaturrahim, memaafkan dan menahan amarah,
Siti Aisyah menangis tersedu-sedu dan mengakui bahwa dia mengalami masa yang
berat ketika bernazar. Untuk melunasi nazarnya, Siti Aisyah kemudian
memerdekaan empat puluh budak sebagai simbol penyesalannya.
Setiap
kali diingatkan kejadian ini, Siti Aisyah selalu berurai air mata hingga
kerudungnya basah.
[1]Keponakan Aisyah, karena ibunya
adalah Asma' binti Abu Bakar (kakak Aisyah) [penj].
[3]Pada waktu itu, Aisyah tidak
memiliki harta apapun. Ketika ia mendapatkan rezeki, maka ia segera menshadaqahkannya kepada orang lain. Dalam
hal ini, pada suatu waktu Aisyah menjual sebagian hartanya untuk memastikan
harga yang berlaku di pasaran.
[4]Mereka ini adalah kerabat dekat
Rasulullah dari jalur ibu dan ayahnya.
[5]HR Imam Bukhari (6/73, 6/74,
6/75) dan Fath al-Bâri (10/508-511).
No comments:
Post a Comment