ALUNAN musik dangdut mengalun keras dari beberapa
wisma. Kelap-kelip lampu diskotik tampak dari luar. Bau parfum dan bedak
menusuk hidung. Beberapa pria kekar ganteng berdiri di wisma menyapa setiap lelaki
yang lewat. “Ayo, sini Mas,” ajaknya penuh rayuan. Beberapa lelaki yang lewat
tak menghiraukannya, meski ada juga yang menatap heran. Meski sebenarnya mereka
paham arti ajakan itu.
Di beberapa gang, tampak beberapa perempuan
berdandan menor mulai mejeng. Pakainya seksi memamerkan auratnya. Gayanya
sensual mencoba menggoda setiap orang yang lewat.
“Mari Mas, kita ke wisma,” ujar wanita dengan
dandanan menor.
Tak sedikit orang yang melihatnya sinis. Namun,
ada pula beberapa orang yang senyum dan membunyikan klakson mobil. Melati pun
hanya senyum sambil melambaikan tangan.
Wanita tadi, sebut saja Melati, beradal Sidoarjo,
Jawa Timur. Ia adalah salah satu penghuni sebuah wisma di Lokalisasi Jarak,
Surabaya.
Tak jauh dari gang tempat biasa Melati menjajakan
dirinya, berdiri sebuah Madrasah Diniyah An Nahdliyah. Gedungnya cukup megah.
Berlantai dua dan bercat hijau muda. Ukurannya kira-kira 7 x 10 meter persegi.
Ketika itu, azan isya akan dikumandangkan. Sejumlah orang mengenakan sarung dan
songkok tampak berdatangan satu per satu.
Selain berfungsi sebagai ngaji para santri, gedung
ini juga biasa digunakan untuk shalat lima waktu. Letaknya di lantai dua. Ukurannya
cukup luas. Menurut imam shalat musholla, Arifin, biasanya warga sekitar Jalan
Jarak jika mau shalat berjamaah menggunakan mushola ini. Tapi, jumlahnya tidak
banyak. Paling banter hanya satu shaf.
Jebolan pesantren Miftahul Huda Mojokerto, Jawa
Timur, ini mengatakan, madrasah ini sengaja diadakan untuk jadi “benteng”
anak-anak dari bahaya dunia hitam prostitusi.
Menurut Arifin, dia tak ingin anak-anak terlibat
pada dunia hitam. Apalagi di sekeliling mereka tiap saat banyak hidung belang
dan wanita-wanita penjaja seks itu terlihat di depan mana anak-anak.
Di Madrasah Diniyah An Nahdliyah, kata Arifin, ada
sekitar seratus santri. Mereka mayoritas masih duduk di bangku TK dan SD. Dari
jumlah itu, ada sebagian kecil anak pelacur dan mucikari.
“Sekitar empat puluh persen anak PSK dan
mucikari,” katanya. Arifin mengetahui itu ketika mengunjungi rumahnya atau dari
data siswa.
“Kendati ibunya penjaja seks, tapi sebenarnya
mereka tidak mau jika anaknya mengikuti jejak mereka,” jelas Arifin.
Selain dirinya, Arifin dibantu empat tenaga
pengajar. Dua di antaranya hafizh (hafal) al-Qur’an. “Keduanya itu suami istri.
Mereka juga sama-sama hafal al-Qur’an,” katanya.
Masjid At-Taubah
Tak hanya di Lokalisasi Jarak, hampir di setiap
lokalisasi itu bertebaran “benteng-benteng” iman bagi warga sekitar, khususnya
untuk menyelamatkan anak-anak.
Sebut saja di lokalisasi paling besar, Gang Dolly.
Tak jauh dari prostitusi ini, berdiri masjid yang cukup megah dengan tiga
lantai. Tiap sore, nampak beberapa kelompok anak-anak sedang mengaji al-Qur’an.
Lantunannya yang ramai dan merdu, seolah melupakan sekejap, bahwa di depan,
samping dan belakang rumah Allah ini bertebaran pria hidung belang dan wanita
penjaja seks dengan iringan musik-musik dan alkohol.
Ketua Takmir Masjid At Taubah, Ngadimin Wahab,
mengatakan, masjid ini didirikan atas desakan warga sekitar. Dulunya hanya
mushola kecil. Tapi, atas antusiasme mayarakat untuk membentengi anak-anak dari
virus Dolly, didirikanlah masjid. Ngadimin pun orang yang pertama kali jadi
khotib Jumat.
Selain masjid itu, Ngadimin sendiri berusaha
menyelamatkan para penjaja seks di Gang Dolly. Sebagai orang yang dituakan,
Ngadimin bahkan sering ikut mengobati pelacur yang kesurupan. Biasanya,
kesempatan itulah digunakan Ngadimin untuk menyadarkan meraka.
“Sembari mengobati, saya ajak mereka untuk kembali
ke jalan ilahi,” kata Wakil Ketua Syuriah Ranting NU Putat Jaya ini.
Dari usaha Petruk, demikian sapaan akrab Ngadimin,
tak sedikit para penjaja seks yang bertobat.
“Sudah banyak yang kembali dan nikah di kampung,”
katanya. Biasanya, kata Ngadimin, jika mereka tobat, ada yang datang ke
rumahnya minta didoakan atau syukuran.
Mengabdikan diri sebagai penjaga moral anak-anak
di lokaliasi seks menjadikan Arifin dan Petruk serasa berdiri di ujung tanduk.
Setiap hari mereka diliputi perasaan was-was. Bukan apa-apa. Meski ia merasa
berusaha membuat “benteng” moral bagi anak-anak dengan mengelolah sekolah
agama, namun ia mengkhawatirkan, “benteng” itu bisa setiap saat jebol tak
terhankan.
Mereka tahu benar, pemandangan dan situasi
lingkungan lokalisasi bisa meruntuhkan moral anak-anak yang ia bisa semenjak
usia dini.
Bahkan, menurut Ngadimin, pernah mantan santriwati-nya
ikut terjerembab ke lembah nista ini. Umumnya, kata Ngadimin, mereka begitu
karena faktor ekonomi.
(sumber: ANS/Hidayatullah.com)
No comments:
Post a Comment