Dari Senayan Pulang ke Kutai Timur
Jika pengetahuan tidak mengajarimu
menghilangkan kelemahan dan penderitaan manusia, dan tidak membimbing para
pengikutmu di atas jalan yang benar, kamu sungguh merupakan seorang yang tidak
berharga dan akan tetap demikian sampai hari kiamat tiba.
Kahlil
Gibran, Penyair Kenamaan
Usai
Pemilu 1997, hati Awang Faroek Ishak cukup gembira. Hasil jerih-payahnya
berkampanye menjelang Pemilu berbuah manis. Namanya bertengger di nomor urut
satu dari Golongan Karya (Golkar) Kalimantan Timur. Praktis dia tetap melenggang
ke Senayan untuk kali ketiga sebagai anggota DPR/MPR. Dia tinggal menunggu hari
pelantikan anggota DPR/MPR di masa penghujung rezim Orde Baru itu.
Namun,
nasib menentukan lain. Gerakannya bersama kelompok vokal Golkar yang meminta Presiden
(waktu itu) Soeharto mundur dari kursi kepresidenan karena situasi yang tidak
kondusif lagi ternyata berbuntut. Langkah Awang Faroek dan kawan-kawan itu
bagai menusuk kerasnya batu cadas. Tak pelak, langkahnya berdampak pada karir
politiknya di Gedung Parlemen Senayan. Dia harus membayar mahal, tiba-tiba saja
namanya menghilang alias ‘dicoret’ dari daftar calon legislatif (DPR/MPR RI) daerah
pemilihan (Dapil) Kaltim. Masa pelantikan yang tinggal menghitung hari pupus
sudah.
“Usai
Pemilu 1997, saya tinggal menunggu dilantik sebagai anggota DPR/MPR RI untuk
periode ketiga. Saat itu perolehan suara saya berada di nomor urut satu wilayah
Kaltim. Tapi, karena imbas peristiwa itu, nama saya mendadak dicoret,” Awang
Faroek berkisah.
Senantiasa
ada hikmah di balik musibah. Begitulah Awang Faroek yang ketika itu mendekati
usia setengah abad mengambil pelajaran. Di balik peristiwa yang kemudian
diikuti oleh mundurnya Soeharto karena desakan mahasiswa di bulan Mei tahun
1998 itu membawa sejumlah perubahan fundamental dalam tatanan politik di negeri
ini. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, sistem Pemerintahan Daerah
ditata kembali. Bertolak pada pilar efisiensi, efektivitas, transparansi,
akuntabilitas dan demokratisasi dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, maka Pemerintah mengeluarkan paket UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU
Nomor 33 Tahun 2004).
Melalui
paket UU tadi, sejatinya Pemerintah daerah (Pemda) dapat melepaskan diri dari
ketergantungan pada Pemerintah Pusat. Dengan begitu bisa melepaskan diri dari
‘belenggu’ yang menjerat selama Orde Baru (Orba), di saat Pemda tidak berdaya
membangun daerah berdasarkan kemampuan
dan prakarsa daerah. Hal ini sekaligus melepaskan diri dari penyakit mati
inisiatif dan mati kreativitas.
Di
tengah angin pancaroba itulah, Awang Faroek memutuskan pulang kampung. Boleh
jadi lantaran dia orang pilihan, di daerah asalnya di Kalimantan Timur, Awang
Faroek langsung diberi amanah oleh Gubernur Kalimantan Timur. Pada 1 Oktober
1997, dia diangkat sebagai Pembantu Khusus Bidang Administrasi dan Kesra. Pada
posisi ini, dia bertahan hanya empat bulan, yakni sampai 10 Januari 1998.
Selanjutnya, dia ditempatkan sebagai Pelaksana Harian Kepala Bapedalda Tingkat
I Kalimantan Timur, dan sejak 11 Agustus 1998 sampai 10 Maret 2000, dia duduk
sebagai Kepala Bapedalda.
Masih
dalam suasana reformasi, mendekati penghujung 1990-an, tepatnya secara resmi
tanggal 12 Oktober 1999, Awang Faroek melihat kampung halamannya Kabupaten
Kutai mengalami pemekaran: Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai
Timur (UU Nomor 47 Tahun 1999). Tergerak oleh kondisi Kutai Timur yang kemudian
berpusat ibukota di Sangatta yang masih amat sederhana namun berlimpah sumber
daya alam, Awang Faroek pun tidak menampik tatkala Pemerintah menunjuk dirinya
untuk menjadi Penjabat Bupati Kutai Timur, sampai terbentuk pemerintahan yang
stabil dan lengkap dengan segenap perangkat kepemerintahan. Arti kata, sampai
ada mekanisme pemilihan bupati kepala daerah sebagaimana lazimnya di
daerah-daerah lain yang ketika itu melalui mekanisme pemilihan lewat wakil
rakyat di DPRD. Sejak 12 Oktober 1999, Awang Faroek merangkap jabatan: Kepala
Bapedalda Kalimantan Timur dan Penjabat Bupati Kutai Timur.
Awang
Faroek melihat Kutai Timur membutuhkan sentuhan seorang pemimpin yang tidak
sekadar birokrat. Tapi, seorang pemimpin yang mampu menggerakkan dan mengelola
segenap potensi yang ada, seorang pemimpin yang memiliki kemampuan manajerial.
A. Konsentrasi pada Agribisnis dan
Bukit Pelangi
Berkat
pengalamannya, baik di ranah politik, di civitas akademik maupun di lingkungan
birokrasi, Awang Faroek tidak banyak menemui kesulitan saat mulai mengemban
amanah memimpin Kabupaten Kutai Timur di tahun 1999. Dia pun meretas segala
jalan untuk membawa Kutai Timur, khususnya ibukota Sangatta yang masih amat
sederhana, ke arah kemajuan yang lebih prospektif. Dalam tempo dua tahun
(1999-2001), warga Kutai Timur pun merasakan sentuhan bernas seorang Awang
Faroek. Dari sisi pendapatan per kapita misalkan, tahun 1999 hanya Rp18,06 juta
naik menjadi Rp24,76 juta pada tahun 2001. Sebab itu, saat mulai dibuka keran
pemilihan melalui wakil rakyat DPRD Kabupaten Kutai Timur tahun 2001, suara
wakil rakyat langsung merapat ke Awang Faroek.
Sebagai
wilayah baru, pembenahan dan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur
menjadi salah satu fokus Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pembenahan itu
sebagai upaya memberikan pelayanan yang optimal sekaligus mempercepat
peningkatan kesejahteraan rakyat Kabupaten Kutai Timur secara keseluruhan.
Dalam
konteks inilah Awang Faroek menyadari bahwa visi, misi dan strategi pembangunan
yang telah disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif daerah memegang
peranan penting yang kelak menjadi guidance
bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur serta jajaran aparaturnya untuk
melaksanakan arah kebijakan pembangunan daerah secara lebih luas, nyata dan
bertanggung-jawab.
Pada
awal membangun Kutai Timur tersebut, Awang Faroek tidak menerbitkan Peraturan
Daerah (Perda) dengan dalih mengejar target Pendapatan Asli Daerah (PAD) namun
berakibat ekonomi biaya tinggi pada para investor. Dia membuat langkah-langkah
strategis dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi pelaku dunia usaha.
Tujuannya agar para investor semakin nyaman dan tertarik untuk menanamkan
modalnya di Kutai Timur. “Di wilayah kami tidak ada Perda bermasalah seperti
dikhawatirkan oleh kalangan pengusaha,” ujar Awang Faroek.
Kepada
kalangan pengusaha yang menanamkan modalnya di Kutai Timur dia menjamin adanya
kepastian hukum, stabilitas keamanan dan kemudahan-kemudahan dalam proses
perizinan. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Kutai Timur melahirkan terobosan
penting e-Government melalui Simpekab
(Sistem Informasi Manajemen Pemerintah Kabupaten). Dengan sistem satu atap
tersebut, proses 48 jenis pelayanan perizinan dilakukan secara mudah, murah, cepat,
akurat dan transparan dengan waktu penyelesaian yang jelas.
Selain
itu, layanan Simpekab mengembangkan pula berbagai informasi yang dibutuhkan
oleh warga masyarakat, dunia usaha dan pemerintah sendiri. Pengembangan itu
meliputi: Sistem Informasi Geografis (SIG), Sistem Informasi Manajemen Keuangan
Daerah (SIMKD), Sistem Informasi Perstatistikan Daerah (SIPD), Sistem Informasi
Perlengkapan Daerah (Sinperda), Sistem Informasi Agrobisnis (Siagro), Sistem
Informasi Lingkungan Daerah (Silda), Sistem Informasi Tenaga Kerja (SITK),
Sistem Informasi Penanaman Modal Daerah (SIMPD), dan website Kutai Timur (www.kutaitimur.go.id).
Dengan
diterapkannya e-Government di
Kabupaten Kutai Timur, daerah ini terbukti mampu mengubah persepsi warga
masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan yang selama ini dinilai lamban dan
cenderung berbelit-belit. Dengan mengakses informasi yang cepat, akan terjadi
pola pengambilan keputusan (decision
maker) yang cepat, tepat dan akurat. Dengan begitu investor pun tak
ragu-ragu lagi masuk ke wilayah Kutai Timur.
Di
era awal Kutai Timur itu, Awang Faroek juga mencanangkan grand strategy berupa Gerakan Daerah Pengembangan Agribisnis
(Gerdabangagri). Pilihan strategi kebijakan ini didahului dengan kajian yang
cermat, mendalam dan komprehensif dengan melibatkan para pakar yang kompeten di
bidangnya (tim dari ITB, IPB, UGM dan UNY). Bahkan, untuk lebih meyakinkan
lagi, Awang Faroek pernah secara khusus mengundang Menteri Pertanian, Dita
Besar Inggris, Duta Besar Belanda dan Duta Besar Jepang, untuk melihat
pengembangan agribisnis dan agroindustri di Kutai Timur. Hasilnya, para
birokrat dari pusat dan duta besar negara-negara sahabat tersebut menyatakan
pilihan kebijakan pemerintah daerah itu sudah tepat sasaran.
Karena
dirasa sudah tepat dan diakui di mana-mana, kemudian Gerdabangagri diusung
menjadi visi pembangunan Kutai Timur. Melalui visinya yang jelas dan progresif
itulah, Kutai Timur pada tahun 2010 diproyeksikan sebagai sentra agribisnis dan
agroindustri di Kalimantan Timur, yang memiliki daya saing (competitiveness) serta mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan (sustainability). Strategi kebijakan inilah yang menjadi blue print dalam pengembangan Kutai
Timur.
Skenario
dari gerakan ini meliputi: menjadikan Sangatta (ibukota Kabupaten Kutai Timur)
dan beberapa pusat pertumbuhan di Kutai Timur sebagai pusat industri pengolahan
dan pusat distribusi hasil pertanian di dalam dan di luar negeri dengan tata
kota yang baik serta tingkat polusi yang rendah. Kemudian kawasan Maloy
dijadikan pusat agropolitan dan agroindustrial
estate yang memberikan pelayanan bagi perdagangan regional dan
internasional, baik bagi Kabupaten Kutai Timur sendiri maupun kabupaten lain di
sekitarnya.
Lalu,
wilayah pedesaan dan pesisir Kabupaten Kutai Timur terbagi ke dalam
kawasan-kawasan agro-estate, mencakup
hutan produksi, perkebunan, pangan dan budidaya perikanan dengan infrastruktur
di dalam kawasan yang baik, yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan ekonomi
di kota. Infrastruktur jalan-jalan dan jembatan serta sistem transportasi
terpadu diharapkan mampu mengintegrasikan wilayah produksi dan budidaya di
pedalaman dan wilayah pesisir dengan pusat industri dan perdagangan di kota.
Sebagian
besar lahan-lahan dikelola oleh petani dengan mekanisme dan penerapan teknologi
budidaya maupun pasca panen yang memadai, di mana tidak ditemui petani dengan
lahan-lahan sempit, sebaliknya penguasaan lahan oleh petani akan mencapai skala
optimum. Sejak tahun 2002 sampai sekarang, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur
menggulirkan kebijakan redistribusi lahan kepada setiap petani dengan luas areal
sampai lima hektar dan disertifikasi secara gratis. Dengan lahan yang telah
disertifikasi itu, masyarakat diwajibkan membentuk koperasi. Artinya, Awang
Faroek menggerakkan pembangunan koperasi sampai pelosok pedesaan. Kalau satu
desa terdapat 200 keluarga maka setiap koperasi di desa akan memiliki lahan
perkebunan seluas 1.000 hektar. Aset tersebut kemudian dikembangkan menjadi
perkebunan, baik dikelola sendiri maupun bekerja-sama dengan mitra melalui inti
plasma. Perusahaan-perusahaan besar agribisnis mengoperasikan industri
pengolahan untuk mengolah hasil kebun para petani dengan prinsip kerjasama
saling menguntungkan, saling percaya, dan terbuka satu sama lain. Tak heran,
dengan kebijakan tersebut Kutai Timur akhirnya dinobatkan sebagai Kabupaten Koperasi di Indonesia.
Selain
mengusahakan perkebunan, koperasi di desa bisa pula menjadikan sertifikat tanah
buat agunan pinjaman ke bank atau lembaga jasa keuangan lainnya. “Untuk SDM,
tugas Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mengembangkannya melalui pendidikan dan
pelatihan-pelatihan,” tegas Awang Faroek. Di samping perkebunan, koperasi juga
boleh mengembangkan usaha lainnya. Hal ini, papar Awang Faroek, memang sangat
memungkinkan. Selama ini, lantaran sulitnya kondisi di pedesaan, warga masyarakat
harus berbelanja jauh ke kota. Dengan adanya koperasi, kebutuhan mendasar
masyarakat desa dapat dipenuhi oleh koperasi.
Para
petani bekerja sama dan saling percaya didasari oleh pengelolaan administrasi,
prinsip-prinsip akuntansi dan manajemen yang modern dan transparan untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Terdapat banyak industri
pengolahan skala kecil dan menengah yang didirikan oleh para kelompok tani,
koperasi petani atau masyarakat lainnya (seperti sarjana pendamping atau SP2AB)
yang nilai tambahnya dapat dinikmati secara langsung oleh petani serta
masyarakat di Kabupaten Kutai Timur.
Para
petani akan menikmati peningkatan pendapatan dan berkembangnya sektor
agribisnis berikut agroindustrinya, khususnya dari subsektor perkebunan,
perikanan dan kelautan, serta kehutanan. Hal ini didukung pula oleh kinerja
pelayanan aparatur pemerintah daerah yang cepat, terpercaya dan transparan,
dengan kapasitas yang tinggi untuk melayani warga masyarakat.
Industri
minyak dan batubara yang ramah lingkungan tetap berjalan dan memberikan
kontribusi yang besar pada pendapatan daerah guna mendukung lebih lanjut
pengembangan agribisnis. Struktur perekonomian Kabupaten Kutai Timur akan
melalui titik dan fase perubahan di mana agribisnis berikut agroindustrinya
memberikan kontribusi yang kian meningkat terhadap Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) dan PAD. Paralel dengan kebijakan itu, diikuti pula oleh perubahan
struktur sosial ekonomi masyarakat, yang selanjutnya akan menjadi dasar bagi
lompatan transformasi berikutnya ke arah industrialisasi yang kuat.
Demikian
cemerlang dan ideal konsep Gerdabangagri tersebut. Selain merancang grand strategy Gerdabangagri, Awang
Faroek tidak lupa pula membangun sarana fisik kompleks perkantoran modern dan
terintegrasi buat para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengabdi di Pemerintah
Kabupaten Kutai Timur. Setahun setelah definitif menjadi Bupati Kutai Timur,
tahun 2000, Awang Faroek mulai membangun kompleks perkantoran di Bukit Pelangi (Rainbow Hill), terletak sekitar delapan
kilometer dari pusat Kota Sangatta. Kompleks perkantoran ini berdiri di atas
lahan seluas 600 hektar di sebuah perbukitan yang populer disebut Gunung Tim,
dikelilingi oleh dataran rendah. Sejauh mata memandang ke arah timur, yang
tampak adalah hamparan Selat Makassar nan eksotik. Tak mengherankan, Awang
Faroek langsung tertarik dan sengaja memilih lokasi di perbukitan tersebut
lantaran lokasinya sangat strategis, terlebih lagi Sangatta selama ini dikenal
sebagai kawasan rawan banjir.
Bukit
Pelangi diarahkan untuk pengembangan kota masa depan. Semua pegawai bangga
memiliki kantor yang sangat representatif dan menjadi simbol kebanggaan Kota
Sangatta. Konsep pembangunan Bukit Pelangi ini merupakan konsep pembangunan yang
terintegrasi dengan tata ruang pengembangan Kota Sangatta. Tujuannya agar
infrastruktur yang dibangun dapat tertata secara baik. Dengan begitu di
kemudian hari seluruh badan jalan dapat terhubung dan mudah terjangkau dari
berbagai sudut kota. Walau jaraknya relatif jauh dari permukiman warga,
masyarakat Sangatta khususnya dan warga Kutai Timur pada umumnya jarang ada
yang mengeluhkan soal transportasi menuju dan kembali dari Bukit Pelangi.
Apalagi, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah menyediakan sarana angkutan kota
ke Bukit Pelangi. Namun warga masyarakat lebih memilih menggunakan angkutan
pribadi atau ikut menumpang.
Perencanaan
pembangunan kompleks perkantoran Bukit Pelangi melibatkan warga masyarakat
lantaran juga dibahas oleh wakil rakyat di DPRD Kabupaten Kutai Timur.
Pelaksanaan pembangunannya telah melalui uji kelayakan oleh lembaga independen
yang berkompeten.
Di
dalam kompleks perkantoran Bukit Pelangi terdapat 41 bangunan perkantoran.
Mulai dari dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur sampai instansi
terkait, antara lain Markas Kepolisian Resor (Mapolres), Markas Komando Distrik
Militer (Makodim), Kejaksaan dan Pangkalan TNI AL. Konsep pembangunan Bukit
Pelangi tidak sekadar diarahkan pada kawasan perkantoran, diharapkan pula dapat
memantik pembangunan sarana dan prasarana lainnya. Misalkan kini ada salah satu
investor yang membangun hotel di kawasan Jalan Pendidikan.
Ke
depan, kompleks perkantoran modern ini juga dilengkapi stadion, rumah sakit,
dan seribu rumah karyawan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur di bagian utara.
Poros Jalan Pendidikan akan dihubungkan ke Jalan Soekarno-Hatta. Konsep tata
ruang tersebut telah diatur dalam Peraturan Daerah tahun 2004 di mana
pengembangan Kota Sangatta dimulai dari kawasan Bukit Pelangi ini.
Awalnya,
pembangunan Bukit Pelangsi yang dimulai tahun 2000 itu menghadapi banyak
hambatan, terutama pada paruh 2002-2003, saat mana Pemerintah Kabupaten Kutai
Timur mengalami defisit anggaran. Guna mempercepat pembangunan, Pemerintah
Kabupaten Kutai Timur terpaksa meminjam suntikan dana segar sebesar Rp270
miliar ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalimantan Timur. Dana itulah yang di
antaranya digunakan buat biaya membangun Jalan Pendidikan yang menelan anggaran
Rp15 miliar. Pinjaman itu dapat dilunasi pada tahun 2007. “Jadi tidak benar
kalau ada isu kredit macet atau pengendapan uang utang. Waktu pencairan, pihak
BPD mengawasi secara ketat dan cara mengangsurnya juga berdasarkan kebutuhan,”
jelas Kepala Bappeda Kutai Timur, Ruspiansyah.
Didukung
keunggulan komparatif (comparative
advantage) Kabupaten Kutai Timur, maka pengejawantahan visi, misi dan
strategi tadi tidak mengalami kendala yang berarti. Sebagaimana kita ketahui
wilayah baru ini dikaruniai limbahan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang
sangat berlimpah berupa bahan pertambangan dan mineral, seperti batubara, emas,
minyak bumi, gas alam, batu gamping, pasir kwarsa.
B. Membawa Tujuh Prinsip
Di
tengah perjalanan memimpin Kabupaten Kutai Timur, tahun 2003, Awang Faroek
tergelitik untuk naik peringkat mengikuti Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur.
Namun, ketika itu, dengan lapang dada dia harus menerima kekalahan yang
menyesakkan. Dia lalu memilih kembali ke dunia kampus di Universitas
Mulawarman, Samarinda. Selain itu dia banyak diundang menjadi pembicara pada
sejumlah seminar dan lokakarya di beberapa daerah. Dan sepeninggal Awang Faroek
tadi, Kabupaten Kutai Timur terlihat terbengkalai. Pembangunan daerah tidak
berjalan secara baik, Gerdabangagri yang menjadi pijakan pembangunan tidak
dijalankan sebagaimana mestinya.
Sekali
lagi berkat kompetensi dan prestasi yang telah ditorehkannya selama ini,
menjelang Pilkada langsung Bupati Kutai Timur tahun 2005, banyak komponen
masyarakat yang memintanya untuk kembali memimpin Kabupaten Kutai Timur guna
membenahi kesemrawutan dan kemandekan pembangunan di daerah yang amat kaya SDA
itu.
Semula
Awang Faroek merasa gamang dan sempat berpikir berulang-ulang untuk kembali
‘pulang’ ke Kutai Timur. “Tadinya saya belum yakin, sehingga belum berani memberikan
jawaban ya. Lantas, saya katakan ke mereka, oke saya bersedia dengan catatan
ini benar-benar murni dikehendaki oleh rakyat,” kata Awang Faroek menjawab
aspirasi rakyat. Persoalannya, lanjut Awang Faroek, “Saya tidak mau kalau ini hanya
direkayasa buat menyenangkan hati saja.”
Awang
Faroek merasa bahwa eranya telah jauh berbeda dibandingkan tahun 2001 yang
masih memakai mekanisme lewat DPRD. Di tahun 2005 itu, pemilihan kepala daerah sudah
menggunakan sistem pemilihan langsung di tangan rakyat. Rakyat lah yang
berdaulat untuk menentukan siapa yang bakal menjadi pemimpinnya. Sebab itu,
Awang Faroek memohon berbagai komponen masyarakat yang memintanya pulang agar
membuktikannya lebih dulu. Caranya? Awang Faroek justru diminta turun langsung
bersama mereka guna menyerap aspirasi riil masyarakatnya. Hasilnya? “Kesan yang
saya tangkap, mayoritas warga masyarakat memang mengharapkan saya tampil
kembali. Nah, setelah merasa yakin betul, akhirnya saya menerima aspirasi sejumlah
komponen masyarakat tadi,” tutur Awang Faroek.
Sikapnya
ini membuktikan betapa Awang Faroek bukanlah sosok yang haus tahta dan kuasa.
Dia tidak mau aspirasi masyarakat itu cuma direkayasa oleh segelintir orang
yang notabene bakal menjerumuskan dirinya ke jurang kehancuran. Prinsipnya,
lebih baik Awang Faroek memusatkan diri dengan aktif mengajar di kampus
ketimbang masuk perangkap avonturir. Dia sangat percaya, bahwa apa yang telah
digariskan Tuhan dan hukum alam yang menyebutkan, garis hidup dan sejarah
manusia yang linear itu ada masanya untuk bangkit, sehingga orang hidup itu
tidak perlu tergesa-gesa mendahului zamannya. Itulah sebabnya, dalam rotasi
roda kehidupan ini, Awang Faroek tidak pernah bersikap frontal dan radikal
menghadapi sesuatu. Semua sikap dan tindakannya senantiasa dia perhitungkan
dengan cermat dan matang agar tidak mendapatkan goncangan dari lawan-lawan
politiknya.
Walhasil,
sepak terjangnya sebagai politisi senior hingga saat ini relatif tidak tercemar
oleh kalkulasi-kalkulasi pragmatis sebagaimana jamak terjadi di ranah politik
praktis. Sosoknya yang relatif bersih menjadi modal yang kuat menghindar dari
kecenderungan persepsi umum tentang politisi negeri ini yang sangat
kompromistis dan terlalu berorientasi pada kekuasaan belaka. Politisi yang
lazimnya dikonotasikan negatif sebagai profesi yang dekat dengan ambisi,
keserakahan, menghalalkan secara cara, dan sangat haus kekuasaan, tidak dapat
dilekatkan pada sosok Awang Faroek. Sebab, dia sosok politisi sekaligus
akademisi yang mampu menampilkan citra dirinya secara elegan, menjunjung tinggi
moralitas, menghargai etika dan mengedepankan nilai-nilai hati nurani dalam
berpolitik.
Setelah
merasa yakin dengan dukungan masyarakat, Awang Faroek memutuskan niatnya untuk
‘pulang’ kembali ke Kabupaten Kutai Timur, tentunya dengan berbekal konsep,
gagasan dan pemikiran-pemikiran besarnya buat melanjutkan pembangunan yang
sempat mandek di daerah itu. Dalam konteks inilah, sang konseptor Awang Faroek
kembali membawa gagasan berupa tujuh nilai (value)
prinsip yang dia terapkan dalam membangun wilayahnya. Dia berharap, prinsip
yang sama juga dia terapkan manakala diberikan mandat oleh rakyat dan amanah
oleh Tuhan dalam memimpin Provinsi Kalimantan Timur. Ketujuh nilai prinsip itu
adalah:
Prinsip
pertama, Awang Faroek berniat kembali
ke Kutai Timur dengan mengemban prinsip dasar kasih sayang. Dia menempatkan betapa pentingnya prinsip kasih
sayang dalam kehidupan bermasyarakat. Mengapa? “Karena saya pribadi tidak
pernah membeda-bedakan suku bangsa, ras, agama dan label-label lainnya. Sebab,
yang ada di dalam diri saya adalah bagaimana saya dapat memperlakukan semua
orang itu dengan proporsi yang sama, sejajar, dan baik. Jadi, yakinlah saya
tidak akan melahirkan mana anak emas, anak loyang, anak perak, dan seterusnya.
Semua suku bangsa di Kutai Timur akan saya perlakukan secara sama rata.
Demikian pula umat semua agama, akan saya perlakukan dengan kasih sayang yang
sama,” tutur Awang Faroek.
Prinsip
kedua, dia kembali ke kampung halaman
lantaran ingin mengedepankan kejujuran.
Sebab, terus terang saja, kata Awang Faroek, tanpa nilai kejujuran, bagaimana
mungkin kita mampu membangun Kutai Timur secara baik. Jadi, modal pertama dan
utama seorang pejabat publik itu adalah kejujuran. “Dalam setiap aktivitas
saya pribadi, saya mencoba berlaku dan
bertindak jujur, dengan mengedepankan prinsip-prinsip kepemimpinan Baginda
Rasulullah Muhammad saw, yaitu siddiq, amanah, fatonah dan tabliq, di mana
pondasi dasarnya adalah kejujuran,” terang Awang Faroek.
Prinsip
ketiga, Awang Faroek kembali dengan
prinsip rasa tanggung jawab. Karena,
menurut dia, apapun kebijakan yang telah dia laksanakan di Kabupaten Kutai
Timur, semuanya itu harus bisa dipertanggung-jawabkan. Misalkan saja, mengapa
dulu Awang Faroek tidak bersedia memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100
hektar kepada para pengusaha dan mengapa pula dia tidak memberikan izin tambang
batubara skala kecil. Awang Faroek tahu persis bahwa hal itu akan merusak
lingkungan. “Saya tidak mau hal itu terjadi di wilayah saya. Sebab, baik-buruk
masa depan Kutai Timur ini nantinya merupakan tanggung jawab saya juga. Begitu
pula terhadap pengelolaan keuangan dan sebagainya, saya akan bertanggung-jawab
penuh,” Awang Faroek menandaskan.
Prinsip
keempat, Awang Faroek kembali ke
Kutai Timur lantaran ingin mengedepankan prinsip kebersamaan. Yakni, bagaimana kebersamaan ini mampu diwujudkan di wilayah
Kutai Timur dan tidak cuma sebatas slogan semata. Dia berkeyakinan, prinsip
kebersamaan akan mampu membangun Kutai Timur menjadi lebih baik. Contohnya,
begitu Awang Faroek bersedia pulang ke Kutai Timur, maka dalam tempo relatif
singkat ada puluhan partai politik yang bersedia mengusungnya dalam pesta
demokrasi Pilkada. Demikian halnya banyak elemen masyarakat, paguyuban
masyarakat, kelompok adat dan berbagai macam organisasi memberi dukungan, di
mana semua itu menjadi modal awal bagi Awang Faroek untuk membangun Kutai Timur
ke depan, sekaligus merealisasikan nilai-nilai kebersamaan. Itulah sebabnya,
untuk menampung aspirasi masyarakat yang mendukungnya, Awang Faroek mendirikan
wadah Kerukunan Warga Kutai Timur Pro
Pembangunan (KWKTPP). Dengan terbentuknya KWKTPP, dia merasa lebih leluasa
dan efektif menggalang dukungan semua lapisan masyarakat guna mewujudkan kebersamaan,
tanpa memandang latar belakang suku, bangsa, ras, agama dan lain-lain.
Faktanya, menjelang Pilkada langsung Kutai Timur 12 Desember 2005, wadah ini
menjadi suatu kekuatan besar yang sinergis. Dalam konteks inilah, Awang Faroek
berupaya menghilangkan munculnya sekat-sekat egoisme sektoral dan kepentingan
pribadi, golongan, kelompok dan lain-lain. “Sebab, tujuan kita cuma satu, yakni
bagaimana Kutai Timur menjadi lebih baik, lebih maju dan lebih sejahtera,”
tegas Awang Faroek.
Prinsip
kelima, Awang Faroek kembali dengan komitmen. Komitmennya, dia ingin
membangun Kutai Timur dan bertekad menciptakan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Menurut dia,
bagaimana mungkin kita dapat melaksanakan butir-butir agenda reformasi secara
baik di Kutai Timur, bila tidak ada tata kelola pemerintahan yang baik yang
telah beberapa kali dia tulis dan dihimpun dalam sejumlah buku karyanya. Tata
kelola pemerintahan yang baik mencakup unsur: partisipasi, penegakan hukum,
transparan, kesetaraan, responsif, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan,
efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme (Awang Faroek, 2003).
“Saya
yakin kesepuluh prinsip good governance
itu sudah saya laksanakan secara bertahap di Kutai Timur. Bahkan, setiap
aktivitas apel 17 Agustus, kesepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik
itu selalu diucapkan sehingga dalam diri setiap aparatur Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) makna kesepuluh prinsip itu benar-benar diresapi dan dilaksanakan saat
mereka bertugas sehari-hari,” tutur Awang Faroek.
Prinsip
keenam, Awang Faroek kembali ke Kutai
Timur berpinsip pada keadilan.
Memang, pada dasarnya kita susah bertindak adil, tapi minimal kita berupaya
menciptakan keadilan itu pada semua orang. Prinsip keadilan ini dia terapkan
tanpa pandang bulu, supaya tidak ada lagi rasa kecewa atau tidak puas pada
sebagian warga masyarakat di Kutai Timur. Misalkan, dalam proses penerimaan (recruitment) dan pengangkatan calon PNS,
termasuk promosi jabatan, semuanya harus mengikuti prosedur dan aturan yang
berlaku, yakni aturan Kepegawaian dan Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan
dan Kepangkatan). “Dengan kata lain siapa yang berprestasi, berdedikasi, dan
loyalitasnya tidak diragukan, maka dia lah yang kita hargai, tanpa memandang
apakah ia keluarga saya, keponakan, sepupu dan sebagainya,” tutur Awang Faroek.
Prinsip
ketujuh, Awang Faroek kembali ke
Kutai Timur ingin mengembangkan sikap disiplin.
Dia berpendapat, tanpa disiplin maka kita semua akan susah. Terus terang saja,
bagaimana mungkin kita menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance), kalau
disiplin di dalam organisasi tidak ada. Awang berharap disiplin itu tidak hanya
miliknya pribadi namun juga harus diterapkan pada lingkungan keluarga
masing-masing. Terlebih lagi bagi seseorang yang menjalankan tugas sebagai
pemimpin birokrasi, maka disiplin menjadi sebuah keniscayaan.
Berangkat
dari tujuh prinsip nilai itu, Awang Faroek memantapkan niatnya untuk ‘pulang’
ke Kabupaten Kutai Timur. Sebetulnya, masih banyak lagi prinsip-prinsip lain
yang juga turut mendorongnya pulang kampung. Tapi, menurut Awang Faroek,
“Ketujuh prinsip itulah yang terpenting dan secara bertahap akan saya terapkan
di wilayah Kutai Timur, termasuk kelak bilamana rakyat memberi amanah kepada
saya untuk memimpin Provinsi Kalimantan Timur.”
C. Representasi Bupati Rakyat
Sosok
Awang Faroek bukanlah tipikal pemimpin yang hanya tenang duduk di atas singgasana
kekuasaannya sembari menunggu laporan anak buahnya. Bahkan, jauh sebelum itu,
terutama ketika dia masih duduk sebagai wakil rakyat di DPR/MPR RI, Awang
Faroek sudah mengunjungi semua kabupaten/kota dan nyaris semua kecamatan di
Kalimantan Timur. Apalagi, setelah dia dipercaya sebagai Penjabat Bupati Kutai
Timur (1999-2001), kemudian Bupati Kutai Timur (2001-2003) dan ketika dipercaya
kembali sebagai Bupati Kutai Timur (2006-2011), maka wilayah Kutai Timur tidak
ubahnya “menu makanan” yang menjadi santapannya sehari-hari. Sebab, semua 18
kecamatan di Kutai Timur, termasuk desa-desa terpencil di pelosok dan
pedalaman, sudah pernah dia jelajahi demi menyambangi rakyat yang dicintainya.
Nilai-nilai
kedisiplinan yang diajarkan sang ayah juga tampak sangat membekas di dalam
keseharian Awang Faroek. Dia merupakan sosok kepala daerah pekerja keras dan
sangat dekat dengan rakyatnya. Setiap hari dia memulai aktivitas di kantornya
pukul 06.30 WITA. Sebagai bupati, 60 persen waktunya dia habiskan di lapangan
untuk mengunjungi daerah-daerah di kecamatan atau pelosok-pelosok desa yang ada
di wilayah Kutai Timur. Dalam kesempatan itulah, dia menyediakan waktu khusus
untuk berdialog dengan rakyatnya. Mendengarkan secara langsung unek-unek
mereka, entah berupa keluhan, kesulitan yang dihadapi, keinginan maupun
haraan-harapan yang dapat langsung mereka sampaikan.
“Dengan
turun ke lapangan dan berdialog, saya bisa mengetahui segala persoalan yang ada
di tengah-tengah masyarakat. Semua kecamatan di Kutai Timur ini pernah saya
datangi,” ujar Awang Faroek suatu waktu. Selain itu dia berharap dapat secara
langsung mengetahui berbagai hal yang dihadapi rakyatnya dan tidak semata-mata
hanya menerima laporan dari bawahannya. Karena, jika laporan tidak di-cross check, kerap terjadi deviasi atau
didistorsi dengan menyenangkan atasan. Istilah populernya Asal Bapak Senang
(ABS). Dan Awang Faroek tidak ingin bawahannya bermental ABS. Itulah sebabnya
dia merupakan sosok pemimpin daerah yang sangat merakyat dan cepat akrab dengan
semua orang.
Bagi
Awang Faroek, kepercayaan rakyat itu mahal harganya. Sebab, kepercayaan itu
identik dengan amanah dan harus dia pertanggung-jawabkan. Sebagai umat
beragama, dia berprinsip nothing to loose,
akan memegang teguh amanah yang diberikan di pundaknya. Begitu pula, ketika
dirinya diminta kembali pulang guna membangun Kutai Timur oleh sebagian besar
warga daerahnya, termasuk tokoh masyarakat, alim ulama, tokoh adat, unsur
pemuda, dan lain-lain, dia tak kuasa menolak amanah tersebut. Terlebih lagi, di
sisi lain, Awang Faroek merasa belum optimal berbuat bagi proses pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat di daerahnya. Kesenjangan (gap) ekonomi yang lebar antara masyarakat di sejumlah wilayah
pedalaman dan perbatasan dengan perkotaan, serta ketimpangan antara sektor
pertanian dan industri/pertambangan di wilayahnya, menjadi perhatian serius
tokoh yang telah kenyang ditempa pengalaman ini.
Sebagai
Kepla Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyatnya pada 12 Desember 2005,
Awang Faroek sangat mengerti dan memahami betul ragam persoalan yang berkembang
dan membentang di Kabupaten Kutai Timur, bahkan di Provinsi Kalimantan Timur.
Hal ini cukup beralasan, karena kepedulian dan perhatiannya yang cukup tinggi
kepada daerah kelahirannya itu.
Awang
Faroek merasa bahagia, senang dan terkadang haru ketika dirinya dapat
berkomunikasi langsung dengan rakyatnya yang sebagian besar rakyat kecil itu.
Kepedulian dan kepekaan Awang Faroek terhadap persoalan yang dihadapi rakyatnya
tidak jarang mampu menyita waktu, energi dan sebagian besar tugas-tugasnya
sebagai kepala daerah.
Lantaran
acap turun ke lapangan, singgah ke pelosok-pelosok pedalaman dan wilayah
perbatasan, melihat dari dekat berbagai permasalahan yang menggelayuti
rakyatnya, sosok Bupati Awang Faroek tidak asing lagi di mata rakyat kecil di
wilayanya. Dia bahkan tidak pernah menjaga jarak dengan rakyatnya barang
sejengkal pun. Berkumpul, bercengkerama, mendengarkan keluh-kesah rakyatnya,
itulah saat-saat bahagia dan sangat menyenangkan bagi dirinya sebagai pemimpin
mereka. Nuraninya mudah tersentuh dan tak jarang membuatnya menitikkan air mata
manakala mendapati rakyatnya yang tengah ditimpa kesusahan.
“Saya
pernah menangis karena terharu ketika Pejalung Juk, Kepala Adat Dayak Kenyah di
Desa Mekar Baru, berkata kepada saya bahwa sejak Indonesia merdeka (1945) belum
pernah ada pejabat yang mengunjungi desanya. Sementara saat itu, sebagai Bupati
Kutai Timur saya sudah tiga kali ke sana. Menurut Pejalung, rakyat desanya
benar-benar bangga dan bahagia, karena saya dan isteri bisa bertandang ke desa
mereka,” kisah Awang Faroek beberapa waktu lalu mengenang saat-saat bahagia
mengingat bisa dekat dan membaur dengan rakyatnya.
Sekadar
pengetahuan, untuk mencapai Desa Mekar Baru yang merupakan desa paling ujung di
wilayah Kutai Timur, Awang Faroek dan isteri harus rela bersusah-payah
perjalanan cukup panjang berganti-ganti kendaraan, mulai dari speedboat sampai perahu ketinting. Desa Mekar Baru ini pernah
terkenal di pentas nasional ketika terjadi kontroversi tambang emas Bre-X tahun
1997 silam.
Menurut
Awang Faroek, warga masyarakat yang tinggal di pedalaman dan wilayah perbatasan
dikunjungi pejabat saja sudah merasa senang bukan main. Terlebih lagi, bila
kesejahteraan dan perkonomian mereka dapat ditingkatkan, mereka tentu lebih
bahagia.
Sebagai
putera asli Kutai yang pernah menjalani masa kanak-kanak di tengah-tengah
masyarakat terpencil Suku Dayak di pedalaman Sungai Mahakam, Awang Faroek
memahami betul bagaimana suara nurani rakyat dan denyut nadi kehidupan alamiah
mereka yang tinggal di wilayah perbatasan dan pedalaman Kalimantan Timur.
“Mereka
itu juga saudara-saudara kita, meski dengan kehidupannya yang serba terbatas
dan sederhana. Di sisi lain juga banyak di antara mereka yang hidup dalam
keterpurukan. Mereka hidup di tengah kekayaan alam Kaltim yang berlimpah,
sayangnya belum banyak di antara mereka yang merasakan secara langsung manfaat
pembangunan,” ujar Awang Faroek dengan tatapan mata menerawang, ingat akan
masa-masa kecilnya di Barongtongkok. Sekitar tahun 1955, Awang Faroek yang
ketika itu masih berusia tujuh tahun sempat ikut sang ayah yang ditugaskan
sebagai wedana di wilayah Barongtongkok, Kawedanan Sendawar. Selama tiga tahun
lamanya, Awang Faroek kecil sempat bersekolah di SR dan dia bergaul dengan
anak-anak Suku Dayak.
Setelah
dia dipercaya menjadi Bupati Kutai Timur, anak-anak Suku Dayak di wilayahnya
mulai merasakan makna sesungguhnya dari proses pembangunan. Hal lain, demikian
menurut Awang Faroek, rakyat Kutai Timur semestinya juga pantas bersyukur
karena wilayahnya dikaruniai kekayaan sumber daya alam (natural resources) yang berlimpah, antara lain batubara, emas,
minyak bumi, gas alam dan aneka bahan mineral lainnya, hingga kehijauan
hamparan hutan alam nan luas. Kekayaan alam tersebut mampu memberikan
kontribusi bagi APBD Kutai Timur mencapai Rp1,133 triliun (2006).
Awang
Faroek bukan hanya dekat dengan rakyatnya. Komitmen dan kepeduliannya terhadap
upaya perbaikan nasib rakyat kecil secara keseluruhan, seperti para petani,
nelayan dan kalangan buruh, juga tidak perlu diragukan lagi. Sekadar contoh,
dia menerapkan kebijakan khusus di Kutai Timur dalam konteks pemberdayaan
masyarakat (people empowering), yakni
melakukan melakukan kebijakan redistribusi lahan seluas lima hektar kepada
masing-masing kepala keluarga disertai program sertifikasi gratis atas hak
kepemilikan tanah tersebut.
Sejak
awal, program reformasi agraria yang pro-rakyat dan dicanangkan Awang Faroek
itu dinilai banyak kalangan sangat berpihak kepada masyarakat kecil, khususnya
kalangan petani. Terlebih dalam program strategis Gerdabangagri juga tercakup di
dalamnya redistribusi atau penyerahan tanah pertanian kepada sekitar 3.500
kepala keluarga.
Dijelaskan
Awang Faroek, “Program redistribusi lahan lima hektar ini, selain mampu
mengatasi persoalan yang timbul karena ketidak-jelasan status tanah, juga mampu
mencegah kebakaran hutan, sebab petani tidak lagi berladang dengan sistem
berpindah-pindah,” jelas Awang Faroek yang pernah memperoleh penghargaan Bhumi Bhakti Adhiguna di bidang agraria
dan pertanahan (2006), sebagai apresiasi atas komitmennya yang cemerlang dan
sangat berpihak kepada rakyat kecil itu. Pada periode kedua masa jabatannya
sebagai Bupati Kutai Timur (2006-2011), Awang Faroek kembali melanjutkan
program strategis redistribusi lahan yang sebelumnya sempat terhenti. Sejak
April 2006, program redistribusi lahan tersebut kembali menggelinding. Minimal
sudah ada tujuh kecamatan pemekaran baru yang menikmati secara langsung
redistribusi lahan tersebut. Antara lain di Kecamatan Teluk Pandan sudah
diserahkan 500 sertifikat kepada 500 kepala keluarga dengan luas areal
masing-masing dua hektar. Pun demikian di Kecamatan Sangatta Selatan, Rantau
Pulung, Kaubun, Karangan, Long Masangat dan Kecamatan Rantau Ampat
masing-masing telah menerima penyerahan 500 sertifikat secara gratis. Total
jumlahnya telah mencapai luas areal 7.000 hektar dan diserahkan langsung kepada
3.500 kepala keluarga.
“Redistribusi
lahan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dalam swasembada
pangan. Jadi, semua masyarakat petani di Kutai Timur, khususnya di pedesaan,
dapat memiliki lahan pertanian relatif luas serta jelas statusnya,” terang
Awang Faroek.
Perhatian
dan kepedulian Awang Faroek terhadap nasib buruh juga tidak jauh berbeda. Hal
ini dapat ditelusuri pada saat terjadi peristiwa demonstrasi dan pemogokan
buruh perusahaan PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan pada 1999 lalu. Unjuk
rasa tersebut mengemuka gara-gara para buruh menuntut hak-haknya terkait aspek
kesejahteraan yang mereka terima. Unjuk rasa dan pemogokan waktu itu sempat
memanas dan mendapat tindakan represif dari aparat kepolisian. Adalah Mochtar
Pakpahan, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang memperjuangkan
tuntutan buruh KPC, akhirnya sempat bertemu dengan Awang Faroek, di mana saat
itu masih sebagai Penjabat Bupati Kutai Timur.
Melihat
gejolak buruh KPC yang kian memanas di daerahnya, Awang Faroek lantas mencoba
menengahi dan menawarkan diri sebagai fasilitator. “Akhirnya, setelah melalui
perundingan alot –antara wakil buruh dan pihak KPC—diperoleh kesepakatan yang
menjadikan buruh semakin berdaya dengan win-win
solution,” aku Mochtar Pakpahan, sekaligus memuji apa yang telah dilakukan
Awang Faroek. Mochtar Pakpahan mengakui keberhasilan buruh tersebut tidak
terlepas dari kontribusi Awang Faroek yang secara responsif menjembatani
kepentingan pihak buruh dengan perusahaan KPC.
Bagi
Mochtar pribadi, sosok Awang Faroek yang demikian peduli terhadap nasih buruh
dan rakyat kecil sungguh mengesankan. Pun begitu ketika pada awal 2003 lalu,
saat banyak TKI yang dipulangkan dari negeri jiran Malaysia, lagi-lagi Awang
Faroek menawarkan solusi jitu. Menurut Mochtar, kala itu Awang Faroek
menawarkan dan membagi-bagikan lahan perkebunan di daerahnya untuk memberdayakan kaum petani. Dari
kebijakannya itu, kata Mochtar, banyak masalah yang terpecahkan. “Bagi kami, figur
Pak Awang adalah sahabat buruh, berkat komitmennya kepada rakyat kecil. Ini
yang pertama. Yang kedua dia juga memiliki komitmen kuat terhadap penegakan
hukum, penegakan kebenaran dan HAM. Itulah yang melekat di hati kamu untuk
figur seperti Pak Awang,” papar aktivis buruh Mochtar Pakpahan tentang sosok
Awang Faroek yang sangat peduli pada nasib buruh tersebut.
D. CEO yang Birokrat
Pada
dasarnya, predikat Chief Executive
Officer (CEO) hanya lazim diberikan kepada seseorang yang sukses memimpin
sebuah perusahaan swasta (corporate)
besar. Kurang galib disematkan kepada seorang birokrat yang juga kepala daerah.
Namun, berkat “kecemerlangan” paradigma pemikiran dan pendekatan dalam
manajemen pemerintahannya yang dapat disejajarkan dengan filosofi kerja CEO, Menteri
Negara Pendayagunaan BUMN (1998-1999) Tanri Abeng memberi predikat CEO pada
sosok Awang Faroek Ishak.
Di
mata Tanri Abeng, sosok seperti Awang Faroek berbeda dibandingkan bupati pada
umumnya. Awang Faroek mampu melahirkan konsep dan ide-ide brilian yang bervisi
jauh ke depan. Tanri Abeng mencermati bahwa apa yang dilakukan Awang Faroek
dalam mengelola pemerintahan daerah Kutai Timur adalah suatu revolusi pemikiran
dan paradigma baru manajemen pemerintahan. “Saya tidak terbayang Awang Faroek
begitu cepat menangkap dan menyadari bahwa dia membutuhkan paradigma baru. Ini
pola pikir yang luar biasa dan ditangkap oleh seorang Awang Faroek,” puji Tanri
Abeng tanpa reserve. Dan Tanri Abeng tidak ragu-ragu menyematkan predikat
“Bupati CEO” pada sosok Awang Faroek.
Awang
Faroek memang memiliki paradigma pemikiran yang cemerlang, yakni mampu
mentransformasikan ide-idenya bernuansa entrepreneur
dari birokrat ke korporat. Dia mampu menangkap secara cerdas kondisi daerahnya
sekaligus merefleksikannya melalui visi yang tepat dan membumi. Dengan begitu,
dalam mengawal manajemen pemerintahan Kutai Timur, terobosan-terobosan yang
dilakukannya dianggap sebuah revolusi pemikiran dan paradigma baru manajemen
pemerintahan di masanya.
Menanggapi
pujian Tanri Abeng, dengan rendah hati, Awang Faroek mengatakan, “Ini kan hanya
masalah pola pikir. Kalau hanya ingin menjadi bupati, pekerjaan saya relatif
mudah, karena di sini sudah ada Sekretaris Daerah, para asisten dan staf.” Dia
menandaskan, “Saya ingin agar pola pikir pengelolaan Kutai Timur itu seperti
kita menangani sebuah perusahaan, di mana ada Dewan Komisaris dalam ini DPRD,
dan para Pemegang Saham, yaitu warga masyarakat Kutai Timur sendiri. Tugas saya
adalah memberikan laporan kepada Dewan Komisaris. Ini pola pikirnya. Sedangkan
pelaksanaannya, yang namanya sistem pemerintahan, tentu harus memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ada.”
Awang
Faroek mengakui munculnya pola pikir seperti ini berdasarkan
pengalaman-pengalaman pribadinya dipadukan dengan keberhasilan pengalaman dari
orang lain. Dan, pengalaman itu membuatnya semakin arif dalam melangkah, bijak
mengambil keputusan serta akurat menentukan sebuah perencanaan. “Saya ini
gabungan dari intelektual, saya juga seorang politisi dan seorang birokrat.
Sekarang ada lagi yang menyebut saya sebagai entrepreneur, karena pola pikir kepemimpinan saya itu,” jelas Awang
Faroek.
Dengan
begitu tidak diragukan lagi, menurut Tanri Abeng, bahwa Awang Faroek merupakan
seorang CEO. Karena, dia memiliki pola pikir yang sama dengan CEO. Sebagai
birokrat daerah, ternyata Awang Faroek mampu menangkap kondisi daerahnya
sekaligus merefleksikannya melalui visi yang muncul dari ide-ide yang dia
lahirkan. Visinya dalam membangun Kutai Timur sama dengan visi seorang presiden
direktur perusahaan.
Dalam
mengelola manajemen pemerintahan daerah Kabupaten Kutai Timur, Awang Faroek
berusaha mengusung sepuluh filosofi CEO. Kesepuluh filosofi itu: pertama, Mengawali hari dengan membaca, isi
hari-hari dengan membaca dan berkarya, dan tutup hari-hari dengan membaca, bersyukur
dan planing.
Membaca
di sini adalah kegiatan membaca buku, berdiskusi, menulis buku, membaca pasar,
dan membaca peluang-peluang bisnis yang ada, sehingga menghasilkan sebuah
inovasi dan kreativitas bisnis baru. Berkarya di sini adalah mengisi
waktu-waktu dengan bekerja, berwirausaha, berbisnis. Intinya jangan sampai kita
membiarkan sedetik pun dalam hari-hari kita tidak terisi dengan karya nyata,
tidak terisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Jadi berkarya dapat diartikan
dengan selalu mengisi hari-hari kita dengan sesuatu yang bernilai manfaat.
Bersyukur itu penting agar bisnis yang kita jalankan selalu tumbuh dan
berkembang, karena dalam setiap syukur ada sebuah keberkahan yang akan semakin
memajukan bisnis yang kita jalankan. Di samping itu selalu membuat planing akan
selalu memacu kita untuk selalu berkarya dan bekerja keras.
Kedua,
Selalu mendengar dengah hati yang tulus adalah kunci menuju perubahan. Selalu
mendengar di sini adalah selalu meminta masukan, koreksi, perbaikan dan
inovasi-inovasi yang diinginkan oleh konsumen, sebuah perusahaan akan menjadi
maju jika selalu meminta masukan dari siapa pun, baik itu dari bawahan, dari
konsumen, maupun dari perusahaan lain. Dalam konteks pemerintahan daerah,
konsumen adalah warga masyarakat dan pelaku usaha.
Ketiga,
Selalu menyapa dengan tulus merupakan kunci keberhasilan organisasi. Seorang
CEO harus mengalokasikan waktunya walaupun hanya satu menit untuk menyapa dan
bertukar pikiran dengan jajaran karyawannya agar sebuah perusahaan bisa tumbuh
dan berkembang, manajemen dapat berjalan dengan baik.
Keempat,
Selalu menjaga hubungan silaturrahim dengan siapa saja. Menjaga silaturrahim di
sini adalah dengan cara selalu menjalin komunikasi dengan para pelanggan,
dengan para karyawan, dengan para pemegang saham. Selain itu kita harus
menyambung komunikasi dengan relasi yang pernah terputus. Menjalin komunikasi
dengan pelanggan sangat penting agar penetrasi bisnis kita semakin berkembang
luas, menjalin komunikasi dengan karyawan bisa dilakukan dengan berbagai cara,
misalkan dengan cara perusahaan menyediakan mudik bareng saat lebaran,
perusahaan menyediakan beasiswa pendidikan gratis bagi anak-anak karyawan, atau
perusahaan memuliki sebuah sekolah gratis untuk anak-anak karyawan. Sedangkan
menjalin komunikasi dengan pelanggan dapat dilakukan dengan cara memberikan
saluran hotline service gratis,
memberikan hadiah umrah gratis, memberikan diskon gratis, maupun menyediakan
weblog dengan pelanggan.
Kelima,
Bangunlah sebuah bisnis yang mencerdaskan. Bisnis yang mencerdaskan adalah
sebuah bisnis yang tidak hanya menghasilkan keuntungan materi dan memberikan
manfaat bagi konsumen. Namun harus dapat memberikan nilai tambah ilmu dan
pengetahuan baru kepada setiap konsumen yang menggunakan produk kita. Selain
itu sebuah perusahaan yang mencerdaskan harus pula dapat memberikan efek berganda
bagi kemajuan pendidikan, di antaranya dapat dilakukan dengan cara memberikan
beasiswa dari hasil laba perusahaan, membuka sekolah gratis bagi para anak-anak
karyawan, dan membuka universitas-universitas untuk kemajuan pendidikan di
Indonesia.
Keenam,
Sumber kelanggengan suatu bisnis adalah para pengelolanya yang cinta ilmu, dan
selalu mengajarkan ilmu kepada setiap orang yang membutuhkan. Ilmu pengetahuan
merupakan sebuah sumber daya yang sangat memegang kelanggengan suatu bisnis
yang kita jalankan selain dari sumber daya modal. Karena dengan selalu menuntut
ilmu, perusahaan akan semakin pintar dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.
Ketujuh,
Setiap hari harus memiliki rencana dan tujuan yang ingin dicapai. Minimal
memiliki satu rencana yang akan dilaksanakan dan setelah satu rencana beres
maka merencanakan kegiatan lainnya.
Kedelapan,
Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok harus lebih baik
daripada hari ini. Dalam bisnis pun sama, hari ini harus lebih baik daripada
hari kemarin dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Dengan begitu akan
senantiasa ada perbaikan manajemen, perbaikan pelayanan, dan inovasi-inovasi
baru setiap hari.
Kesembilan,
Apabila telah selesai dari satu bisnis maka kerjakanlah bisnis yang lain. Ekspansi
bisnis perlu dilakukan agar bisnis kita terus berkembang pesat. Hal ini perlu
dilakukan agar bisnis yang kita lakukan tidak mengalami stagnasi.
Dan
kesepuluh, Kerjakanlah rencana yang
telah ditetapkan satu demi satu. Ibarat membangun sebuah bangunan, perlu proses
satu demi satu. Begitu pula dengan bisnis memerlukan proses satu demi satu.
Persoalannya,
tinggal bagaimana dia mampu mensosialisasikan nilai-nilai filosofis CEO
tersebut kepada aparatur di bawahnya. Awang Faroek menyadari betul tidaklah
mudah menerapkan filosofi CEO ke dalam manajemen pemerintahan daerah. Menyadari
kapasitas dan kompetensi aparatur di bawahnya, Tanri Abeng menawarkan kerjasama
dalam bentuk pelatihan kepada Awang Faroek. Gayung bersambut. Awang Faroek
menyetujui tawaran Tanri Abeng. Lalu Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan Allen Abeng Institute serta Tanri Abeng
Associate sepakat menjalin kerjasama. Minimal 90 orang (terbagi atas tiga
gelombang) telah dididik selama kepemimpinan Awang Faroek di Kutai Timur.
Mereka terdiri dari kalangan wakil rakyat DPRD, aparatur pemerintahan daerah
dan kalangan pelaku usaha. Mereka mengikuti penataran manajemen praktis secara
intensif di Allen Abeng Institute.
Boleh jadi, langkah ini merupakan pelatihan model baru dan pertama kali di Indonesia.
Menurut
Tanri Abeng, kepala daerah sekaligus pemimpin seperti Awang Faroek tersebut
jelas sangat membutuhkan orang-orang yang mau belajar untuk berpikir dengan
paradigma manajemen korporasi. Yakni, belajar bagaimana pentingnya melakukan
transformasi pemikiran dari birokrat ke korporat. Sungguh tidak mudah. ***
No comments:
Post a Comment