Friday, April 12, 2013

Bangsawan dari Kutai (5)


Dari Senayan Pulang ke Kutai Timur

Jika pengetahuan tidak mengajarimu menghilangkan kelemahan dan penderitaan manusia, dan tidak membimbing para pengikutmu di atas jalan yang benar, kamu sungguh merupakan seorang yang tidak berharga dan akan tetap demikian sampai hari kiamat tiba.
Kahlil Gibran, Penyair Kenamaan

Usai Pemilu 1997, hati Awang Faroek Ishak cukup gembira. Hasil jerih-payahnya berkampanye menjelang Pemilu berbuah manis. Namanya bertengger di nomor urut satu dari Golongan Karya (Golkar) Kalimantan Timur. Praktis dia tetap melenggang ke Senayan untuk kali ketiga sebagai anggota DPR/MPR. Dia tinggal menunggu hari pelantikan anggota DPR/MPR di masa penghujung rezim Orde Baru itu.
Namun, nasib menentukan lain. Gerakannya bersama kelompok vokal Golkar yang meminta Presiden (waktu itu) Soeharto mundur dari kursi kepresidenan karena situasi yang tidak kondusif lagi ternyata berbuntut. Langkah Awang Faroek dan kawan-kawan itu bagai menusuk kerasnya batu cadas. Tak pelak, langkahnya berdampak pada karir politiknya di Gedung Parlemen Senayan. Dia harus membayar mahal, tiba-tiba saja namanya menghilang alias ‘dicoret’ dari daftar calon legislatif (DPR/MPR RI) daerah pemilihan (Dapil) Kaltim. Masa pelantikan yang tinggal menghitung hari pupus sudah.
“Usai Pemilu 1997, saya tinggal menunggu dilantik sebagai anggota DPR/MPR RI untuk periode ketiga. Saat itu perolehan suara saya berada di nomor urut satu wilayah Kaltim. Tapi, karena imbas peristiwa itu, nama saya mendadak dicoret,” Awang Faroek berkisah.
Senantiasa ada hikmah di balik musibah. Begitulah Awang Faroek yang ketika itu mendekati usia setengah abad mengambil pelajaran. Di balik peristiwa yang kemudian diikuti oleh mundurnya Soeharto karena desakan mahasiswa di bulan Mei tahun 1998 itu membawa sejumlah perubahan fundamental dalam tatanan politik di negeri ini. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, sistem Pemerintahan Daerah ditata kembali. Bertolak pada pilar efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas dan demokratisasi dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah mengeluarkan paket UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004).
Melalui paket UU tadi, sejatinya Pemerintah daerah (Pemda) dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada Pemerintah Pusat. Dengan begitu bisa melepaskan diri dari ‘belenggu’ yang menjerat selama Orde Baru (Orba), di saat Pemda tidak berdaya membangun daerah  berdasarkan kemampuan dan prakarsa daerah. Hal ini sekaligus melepaskan diri dari penyakit mati inisiatif dan mati kreativitas.
Di tengah angin pancaroba itulah, Awang Faroek memutuskan pulang kampung. Boleh jadi lantaran dia orang pilihan, di daerah asalnya di Kalimantan Timur, Awang Faroek langsung diberi amanah oleh Gubernur Kalimantan Timur. Pada 1 Oktober 1997, dia diangkat sebagai Pembantu Khusus Bidang Administrasi dan Kesra. Pada posisi ini, dia bertahan hanya empat bulan, yakni sampai 10 Januari 1998. Selanjutnya, dia ditempatkan sebagai Pelaksana Harian Kepala Bapedalda Tingkat I Kalimantan Timur, dan sejak 11 Agustus 1998 sampai 10 Maret 2000, dia duduk sebagai Kepala Bapedalda. 
Masih dalam suasana reformasi, mendekati penghujung 1990-an, tepatnya secara resmi tanggal 12 Oktober 1999, Awang Faroek melihat kampung halamannya Kabupaten Kutai mengalami pemekaran: Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Timur (UU Nomor 47 Tahun 1999). Tergerak oleh kondisi Kutai Timur yang kemudian berpusat ibukota di Sangatta yang masih amat sederhana namun berlimpah sumber daya alam, Awang Faroek pun tidak menampik tatkala Pemerintah menunjuk dirinya untuk menjadi Penjabat Bupati Kutai Timur, sampai terbentuk pemerintahan yang stabil dan lengkap dengan segenap perangkat kepemerintahan. Arti kata, sampai ada mekanisme pemilihan bupati kepala daerah sebagaimana lazimnya di daerah-daerah lain yang ketika itu melalui mekanisme pemilihan lewat wakil rakyat di DPRD. Sejak 12 Oktober 1999, Awang Faroek merangkap jabatan: Kepala Bapedalda Kalimantan Timur dan Penjabat Bupati Kutai Timur.  
Awang Faroek melihat Kutai Timur membutuhkan sentuhan seorang pemimpin yang tidak sekadar birokrat. Tapi, seorang pemimpin yang mampu menggerakkan dan mengelola segenap potensi yang ada, seorang pemimpin yang memiliki kemampuan manajerial.

A.   Konsentrasi pada Agribisnis dan Bukit Pelangi
Berkat pengalamannya, baik di ranah politik, di civitas akademik maupun di lingkungan birokrasi, Awang Faroek tidak banyak menemui kesulitan saat mulai mengemban amanah memimpin Kabupaten Kutai Timur di tahun 1999. Dia pun meretas segala jalan untuk membawa Kutai Timur, khususnya ibukota Sangatta yang masih amat sederhana, ke arah kemajuan yang lebih prospektif. Dalam tempo dua tahun (1999-2001), warga Kutai Timur pun merasakan sentuhan bernas seorang Awang Faroek. Dari sisi pendapatan per kapita misalkan, tahun 1999 hanya Rp18,06 juta naik menjadi Rp24,76 juta pada tahun 2001. Sebab itu, saat mulai dibuka keran pemilihan melalui wakil rakyat DPRD Kabupaten Kutai Timur tahun 2001, suara wakil rakyat langsung merapat ke Awang Faroek.
Sebagai wilayah baru, pembenahan dan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur menjadi salah satu fokus Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pembenahan itu sebagai upaya memberikan pelayanan yang optimal sekaligus mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat Kabupaten Kutai Timur secara keseluruhan.
Dalam konteks inilah Awang Faroek menyadari bahwa visi, misi dan strategi pembangunan yang telah disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif daerah memegang peranan penting yang kelak menjadi guidance bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur serta jajaran aparaturnya untuk melaksanakan arah kebijakan pembangunan daerah secara lebih luas, nyata dan bertanggung-jawab.
Pada awal membangun Kutai Timur tersebut, Awang Faroek tidak menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) dengan dalih mengejar target Pendapatan Asli Daerah (PAD) namun berakibat ekonomi biaya tinggi pada para investor. Dia membuat langkah-langkah strategis dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi pelaku dunia usaha. Tujuannya agar para investor semakin nyaman dan tertarik untuk menanamkan modalnya di Kutai Timur. “Di wilayah kami tidak ada Perda bermasalah seperti dikhawatirkan oleh kalangan pengusaha,” ujar Awang Faroek.
Kepada kalangan pengusaha yang menanamkan modalnya di Kutai Timur dia menjamin adanya kepastian hukum, stabilitas keamanan dan kemudahan-kemudahan dalam proses perizinan. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Kutai Timur melahirkan terobosan penting e-Government melalui Simpekab (Sistem Informasi Manajemen Pemerintah Kabupaten). Dengan sistem satu atap tersebut, proses 48 jenis pelayanan perizinan dilakukan secara mudah, murah, cepat, akurat dan transparan dengan waktu penyelesaian yang jelas.
Selain itu, layanan Simpekab mengembangkan pula berbagai informasi yang dibutuhkan oleh warga masyarakat, dunia usaha dan pemerintah sendiri. Pengembangan itu meliputi: Sistem Informasi Geografis (SIG), Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah (SIMKD), Sistem Informasi Perstatistikan Daerah (SIPD), Sistem Informasi Perlengkapan Daerah (Sinperda), Sistem Informasi Agrobisnis (Siagro), Sistem Informasi Lingkungan Daerah (Silda), Sistem Informasi Tenaga Kerja (SITK), Sistem Informasi Penanaman Modal Daerah (SIMPD), dan website Kutai Timur (www.kutaitimur.go.id).
Dengan diterapkannya e-Government di Kabupaten Kutai Timur, daerah ini terbukti mampu mengubah persepsi warga masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan yang selama ini dinilai lamban dan cenderung berbelit-belit. Dengan mengakses informasi yang cepat, akan terjadi pola pengambilan keputusan (decision maker) yang cepat, tepat dan akurat. Dengan begitu investor pun tak ragu-ragu lagi masuk ke wilayah Kutai Timur.
Di era awal Kutai Timur itu, Awang Faroek juga mencanangkan grand strategy berupa Gerakan Daerah Pengembangan Agribisnis (Gerdabangagri). Pilihan strategi kebijakan ini didahului dengan kajian yang cermat, mendalam dan komprehensif dengan melibatkan para pakar yang kompeten di bidangnya (tim dari ITB, IPB, UGM dan UNY). Bahkan, untuk lebih meyakinkan lagi, Awang Faroek pernah secara khusus mengundang Menteri Pertanian, Dita Besar Inggris, Duta Besar Belanda dan Duta Besar Jepang, untuk melihat pengembangan agribisnis dan agroindustri di Kutai Timur. Hasilnya, para birokrat dari pusat dan duta besar negara-negara sahabat tersebut menyatakan pilihan kebijakan pemerintah daerah itu sudah tepat sasaran.
Karena dirasa sudah tepat dan diakui di mana-mana, kemudian Gerdabangagri diusung menjadi visi pembangunan Kutai Timur. Melalui visinya yang jelas dan progresif itulah, Kutai Timur pada tahun 2010 diproyeksikan sebagai sentra agribisnis dan agroindustri di Kalimantan Timur, yang memiliki daya saing (competitiveness) serta mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan (sustainability). Strategi kebijakan inilah yang menjadi blue print dalam pengembangan Kutai Timur.
Skenario dari gerakan ini meliputi: menjadikan Sangatta (ibukota Kabupaten Kutai Timur) dan beberapa pusat pertumbuhan di Kutai Timur sebagai pusat industri pengolahan dan pusat distribusi hasil pertanian di dalam dan di luar negeri dengan tata kota yang baik serta tingkat polusi yang rendah. Kemudian kawasan Maloy dijadikan pusat agropolitan dan agroindustrial estate yang memberikan pelayanan bagi perdagangan regional dan internasional, baik bagi Kabupaten Kutai Timur sendiri maupun kabupaten lain di sekitarnya.
Lalu, wilayah pedesaan dan pesisir Kabupaten Kutai Timur terbagi ke dalam kawasan-kawasan agro-estate, mencakup hutan produksi, perkebunan, pangan dan budidaya perikanan dengan infrastruktur di dalam kawasan yang baik, yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan ekonomi di kota. Infrastruktur jalan-jalan dan jembatan serta sistem transportasi terpadu diharapkan mampu mengintegrasikan wilayah produksi dan budidaya di pedalaman dan wilayah pesisir dengan pusat industri dan perdagangan di kota.
Sebagian besar lahan-lahan dikelola oleh petani dengan mekanisme dan penerapan teknologi budidaya maupun pasca panen yang memadai, di mana tidak ditemui petani dengan lahan-lahan sempit, sebaliknya penguasaan lahan oleh petani akan mencapai skala optimum. Sejak tahun 2002 sampai sekarang, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur menggulirkan kebijakan redistribusi lahan kepada setiap petani dengan luas areal sampai lima hektar dan disertifikasi secara gratis. Dengan lahan yang telah disertifikasi itu, masyarakat diwajibkan membentuk koperasi. Artinya, Awang Faroek menggerakkan pembangunan koperasi sampai pelosok pedesaan. Kalau satu desa terdapat 200 keluarga maka setiap koperasi di desa akan memiliki lahan perkebunan seluas 1.000 hektar. Aset tersebut kemudian dikembangkan menjadi perkebunan, baik dikelola sendiri maupun bekerja-sama dengan mitra melalui inti plasma. Perusahaan-perusahaan besar agribisnis mengoperasikan industri pengolahan untuk mengolah hasil kebun para petani dengan prinsip kerjasama saling menguntungkan, saling percaya, dan terbuka satu sama lain. Tak heran, dengan kebijakan tersebut Kutai Timur akhirnya dinobatkan sebagai Kabupaten Koperasi di Indonesia.
Selain mengusahakan perkebunan, koperasi di desa bisa pula menjadikan sertifikat tanah buat agunan pinjaman ke bank atau lembaga jasa keuangan lainnya. “Untuk SDM, tugas Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mengembangkannya melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan,” tegas Awang Faroek. Di samping perkebunan, koperasi juga boleh mengembangkan usaha lainnya. Hal ini, papar Awang Faroek, memang sangat memungkinkan. Selama ini, lantaran sulitnya kondisi di pedesaan, warga masyarakat harus berbelanja jauh ke kota. Dengan adanya koperasi, kebutuhan mendasar masyarakat desa dapat dipenuhi oleh koperasi.
Para petani bekerja sama dan saling percaya didasari oleh pengelolaan administrasi, prinsip-prinsip akuntansi dan manajemen yang modern dan transparan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Terdapat banyak industri pengolahan skala kecil dan menengah yang didirikan oleh para kelompok tani, koperasi petani atau masyarakat lainnya (seperti sarjana pendamping atau SP2AB) yang nilai tambahnya dapat dinikmati secara langsung oleh petani serta masyarakat di Kabupaten Kutai Timur.
Para petani akan menikmati peningkatan pendapatan dan berkembangnya sektor agribisnis berikut agroindustrinya, khususnya dari subsektor perkebunan, perikanan dan kelautan, serta kehutanan. Hal ini didukung pula oleh kinerja pelayanan aparatur pemerintah daerah yang cepat, terpercaya dan transparan, dengan kapasitas yang tinggi untuk melayani warga masyarakat.
Industri minyak dan batubara yang ramah lingkungan tetap berjalan dan memberikan kontribusi yang besar pada pendapatan daerah guna mendukung lebih lanjut pengembangan agribisnis. Struktur perekonomian Kabupaten Kutai Timur akan melalui titik dan fase perubahan di mana agribisnis berikut agroindustrinya memberikan kontribusi yang kian meningkat terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan PAD. Paralel dengan kebijakan itu, diikuti pula oleh perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat, yang selanjutnya akan menjadi dasar bagi lompatan transformasi berikutnya ke arah industrialisasi yang kuat.
Demikian cemerlang dan ideal konsep Gerdabangagri tersebut. Selain merancang grand strategy Gerdabangagri, Awang Faroek tidak lupa pula membangun sarana fisik kompleks perkantoran modern dan terintegrasi buat para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengabdi di Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Setahun setelah definitif menjadi Bupati Kutai Timur, tahun 2000, Awang Faroek mulai membangun kompleks perkantoran di Bukit Pelangi (Rainbow Hill), terletak sekitar delapan kilometer dari pusat Kota Sangatta. Kompleks perkantoran ini berdiri di atas lahan seluas 600 hektar di sebuah perbukitan yang populer disebut Gunung Tim, dikelilingi oleh dataran rendah. Sejauh mata memandang ke arah timur, yang tampak adalah hamparan Selat Makassar nan eksotik. Tak mengherankan, Awang Faroek langsung tertarik dan sengaja memilih lokasi di perbukitan tersebut lantaran lokasinya sangat strategis, terlebih lagi Sangatta selama ini dikenal sebagai kawasan rawan banjir.
Bukit Pelangi diarahkan untuk pengembangan kota masa depan. Semua pegawai bangga memiliki kantor yang sangat representatif dan menjadi simbol kebanggaan Kota Sangatta. Konsep pembangunan Bukit Pelangi ini merupakan konsep pembangunan yang terintegrasi dengan tata ruang pengembangan Kota Sangatta. Tujuannya agar infrastruktur yang dibangun dapat tertata secara baik. Dengan begitu di kemudian hari seluruh badan jalan dapat terhubung dan mudah terjangkau dari berbagai sudut kota. Walau jaraknya relatif jauh dari permukiman warga, masyarakat Sangatta khususnya dan warga Kutai Timur pada umumnya jarang ada yang mengeluhkan soal transportasi menuju dan kembali dari Bukit Pelangi. Apalagi, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah menyediakan sarana angkutan kota ke Bukit Pelangi. Namun warga masyarakat lebih memilih menggunakan angkutan pribadi atau ikut menumpang.
Perencanaan pembangunan kompleks perkantoran Bukit Pelangi melibatkan warga masyarakat lantaran juga dibahas oleh wakil rakyat di DPRD Kabupaten Kutai Timur. Pelaksanaan pembangunannya telah melalui uji kelayakan oleh lembaga independen yang berkompeten.
Di dalam kompleks perkantoran Bukit Pelangi terdapat 41 bangunan perkantoran. Mulai dari dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur sampai instansi terkait, antara lain Markas Kepolisian Resor (Mapolres), Markas Komando Distrik Militer (Makodim), Kejaksaan dan Pangkalan TNI AL. Konsep pembangunan Bukit Pelangi tidak sekadar diarahkan pada kawasan perkantoran, diharapkan pula dapat memantik pembangunan sarana dan prasarana lainnya. Misalkan kini ada salah satu investor yang membangun hotel di kawasan Jalan Pendidikan.
Ke depan, kompleks perkantoran modern ini juga dilengkapi stadion, rumah sakit, dan seribu rumah karyawan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur di bagian utara. Poros Jalan Pendidikan akan dihubungkan ke Jalan Soekarno-Hatta. Konsep tata ruang tersebut telah diatur dalam Peraturan Daerah tahun 2004 di mana pengembangan Kota Sangatta dimulai dari kawasan Bukit Pelangi ini.
Awalnya, pembangunan Bukit Pelangsi yang dimulai tahun 2000 itu menghadapi banyak hambatan, terutama pada paruh 2002-2003, saat mana Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mengalami defisit anggaran. Guna mempercepat pembangunan, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur terpaksa meminjam suntikan dana segar sebesar Rp270 miliar ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalimantan Timur. Dana itulah yang di antaranya digunakan buat biaya membangun Jalan Pendidikan yang menelan anggaran Rp15 miliar. Pinjaman itu dapat dilunasi pada tahun 2007. “Jadi tidak benar kalau ada isu kredit macet atau pengendapan uang utang. Waktu pencairan, pihak BPD mengawasi secara ketat dan cara mengangsurnya juga berdasarkan kebutuhan,” jelas Kepala Bappeda Kutai Timur, Ruspiansyah.      
Didukung keunggulan komparatif (comparative advantage) Kabupaten Kutai Timur, maka pengejawantahan visi, misi dan strategi tadi tidak mengalami kendala yang berarti. Sebagaimana kita ketahui wilayah baru ini dikaruniai limbahan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat berlimpah berupa bahan pertambangan dan mineral, seperti batubara, emas, minyak bumi, gas alam, batu gamping, pasir kwarsa.  

B.    Membawa Tujuh Prinsip
Di tengah perjalanan memimpin Kabupaten Kutai Timur, tahun 2003, Awang Faroek tergelitik untuk naik peringkat mengikuti Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur. Namun, ketika itu, dengan lapang dada dia harus menerima kekalahan yang menyesakkan. Dia lalu memilih kembali ke dunia kampus di Universitas Mulawarman, Samarinda. Selain itu dia banyak diundang menjadi pembicara pada sejumlah seminar dan lokakarya di beberapa daerah. Dan sepeninggal Awang Faroek tadi, Kabupaten Kutai Timur terlihat terbengkalai. Pembangunan daerah tidak berjalan secara baik, Gerdabangagri yang menjadi pijakan pembangunan tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Sekali lagi berkat kompetensi dan prestasi yang telah ditorehkannya selama ini, menjelang Pilkada langsung Bupati Kutai Timur tahun 2005, banyak komponen masyarakat yang memintanya untuk kembali memimpin Kabupaten Kutai Timur guna membenahi kesemrawutan dan kemandekan pembangunan di daerah yang amat kaya SDA itu.
Semula Awang Faroek merasa gamang dan sempat berpikir berulang-ulang untuk kembali ‘pulang’ ke Kutai Timur. “Tadinya saya belum yakin, sehingga belum berani memberikan jawaban ya. Lantas, saya katakan ke mereka, oke saya bersedia dengan catatan ini benar-benar murni dikehendaki oleh rakyat,” kata Awang Faroek menjawab aspirasi rakyat. Persoalannya, lanjut Awang Faroek, “Saya tidak mau kalau ini hanya direkayasa buat menyenangkan hati saja.”
Awang Faroek merasa bahwa eranya telah jauh berbeda dibandingkan tahun 2001 yang masih memakai mekanisme lewat DPRD. Di tahun 2005 itu, pemilihan kepala daerah sudah menggunakan sistem pemilihan langsung di tangan rakyat. Rakyat lah yang berdaulat untuk menentukan siapa yang bakal menjadi pemimpinnya. Sebab itu, Awang Faroek memohon berbagai komponen masyarakat yang memintanya pulang agar membuktikannya lebih dulu. Caranya? Awang Faroek justru diminta turun langsung bersama mereka guna menyerap aspirasi riil masyarakatnya. Hasilnya? “Kesan yang saya tangkap, mayoritas warga masyarakat memang mengharapkan saya tampil kembali. Nah, setelah merasa yakin betul, akhirnya saya menerima aspirasi sejumlah komponen masyarakat tadi,” tutur Awang Faroek.
Sikapnya ini membuktikan betapa Awang Faroek bukanlah sosok yang haus tahta dan kuasa. Dia tidak mau aspirasi masyarakat itu cuma direkayasa oleh segelintir orang yang notabene bakal menjerumuskan dirinya ke jurang kehancuran. Prinsipnya, lebih baik Awang Faroek memusatkan diri dengan aktif mengajar di kampus ketimbang masuk perangkap avonturir. Dia sangat percaya, bahwa apa yang telah digariskan Tuhan dan hukum alam yang menyebutkan, garis hidup dan sejarah manusia yang linear itu ada masanya untuk bangkit, sehingga orang hidup itu tidak perlu tergesa-gesa mendahului zamannya. Itulah sebabnya, dalam rotasi roda kehidupan ini, Awang Faroek tidak pernah bersikap frontal dan radikal menghadapi sesuatu. Semua sikap dan tindakannya senantiasa dia perhitungkan dengan cermat dan matang agar tidak mendapatkan goncangan dari lawan-lawan politiknya.
Walhasil, sepak terjangnya sebagai politisi senior hingga saat ini relatif tidak tercemar oleh kalkulasi-kalkulasi pragmatis sebagaimana jamak terjadi di ranah politik praktis. Sosoknya yang relatif bersih menjadi modal yang kuat menghindar dari kecenderungan persepsi umum tentang politisi negeri ini yang sangat kompromistis dan terlalu berorientasi pada kekuasaan belaka. Politisi yang lazimnya dikonotasikan negatif sebagai profesi yang dekat dengan ambisi, keserakahan, menghalalkan secara cara, dan sangat haus kekuasaan, tidak dapat dilekatkan pada sosok Awang Faroek. Sebab, dia sosok politisi sekaligus akademisi yang mampu menampilkan citra dirinya secara elegan, menjunjung tinggi moralitas, menghargai etika dan mengedepankan nilai-nilai hati nurani dalam berpolitik.
Setelah merasa yakin dengan dukungan masyarakat, Awang Faroek memutuskan niatnya untuk ‘pulang’ kembali ke Kabupaten Kutai Timur, tentunya dengan berbekal konsep, gagasan dan pemikiran-pemikiran besarnya buat melanjutkan pembangunan yang sempat mandek di daerah itu. Dalam konteks inilah, sang konseptor Awang Faroek kembali membawa gagasan berupa tujuh nilai (value) prinsip yang dia terapkan dalam membangun wilayahnya. Dia berharap, prinsip yang sama juga dia terapkan manakala diberikan mandat oleh rakyat dan amanah oleh Tuhan dalam memimpin Provinsi Kalimantan Timur. Ketujuh nilai prinsip itu adalah:
Prinsip pertama, Awang Faroek berniat kembali ke Kutai Timur dengan mengemban prinsip dasar kasih sayang. Dia menempatkan betapa pentingnya prinsip kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat. Mengapa? “Karena saya pribadi tidak pernah membeda-bedakan suku bangsa, ras, agama dan label-label lainnya. Sebab, yang ada di dalam diri saya adalah bagaimana saya dapat memperlakukan semua orang itu dengan proporsi yang sama, sejajar, dan baik. Jadi, yakinlah saya tidak akan melahirkan mana anak emas, anak loyang, anak perak, dan seterusnya. Semua suku bangsa di Kutai Timur akan saya perlakukan secara sama rata. Demikian pula umat semua agama, akan saya perlakukan dengan kasih sayang yang sama,” tutur Awang Faroek.
Prinsip kedua, dia kembali ke kampung halaman lantaran ingin mengedepankan kejujuran. Sebab, terus terang saja, kata Awang Faroek, tanpa nilai kejujuran, bagaimana mungkin kita mampu membangun Kutai Timur secara baik. Jadi, modal pertama dan utama seorang pejabat publik itu adalah kejujuran. “Dalam setiap aktivitas saya  pribadi, saya mencoba berlaku dan bertindak jujur, dengan mengedepankan prinsip-prinsip kepemimpinan Baginda Rasulullah Muhammad saw, yaitu siddiq, amanah, fatonah dan tabliq, di mana pondasi dasarnya adalah kejujuran,” terang Awang Faroek.
Prinsip ketiga, Awang Faroek kembali dengan prinsip rasa tanggung jawab. Karena, menurut dia, apapun kebijakan yang telah dia laksanakan di Kabupaten Kutai Timur, semuanya itu harus bisa dipertanggung-jawabkan. Misalkan saja, mengapa dulu Awang Faroek tidak bersedia memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100 hektar kepada para pengusaha dan mengapa pula dia tidak memberikan izin tambang batubara skala kecil. Awang Faroek tahu persis bahwa hal itu akan merusak lingkungan. “Saya tidak mau hal itu terjadi di wilayah saya. Sebab, baik-buruk masa depan Kutai Timur ini nantinya merupakan tanggung jawab saya juga. Begitu pula terhadap pengelolaan keuangan dan sebagainya, saya akan bertanggung-jawab penuh,” Awang Faroek menandaskan.
Prinsip keempat, Awang Faroek kembali ke Kutai Timur lantaran ingin mengedepankan prinsip kebersamaan. Yakni, bagaimana kebersamaan ini mampu diwujudkan di wilayah Kutai Timur dan tidak cuma sebatas slogan semata. Dia berkeyakinan, prinsip kebersamaan akan mampu membangun Kutai Timur menjadi lebih baik. Contohnya, begitu Awang Faroek bersedia pulang ke Kutai Timur, maka dalam tempo relatif singkat ada puluhan partai politik yang bersedia mengusungnya dalam pesta demokrasi Pilkada. Demikian halnya banyak elemen masyarakat, paguyuban masyarakat, kelompok adat dan berbagai macam organisasi memberi dukungan, di mana semua itu menjadi modal awal bagi Awang Faroek untuk membangun Kutai Timur ke depan, sekaligus merealisasikan nilai-nilai kebersamaan. Itulah sebabnya, untuk menampung aspirasi masyarakat yang mendukungnya, Awang Faroek mendirikan wadah Kerukunan Warga Kutai Timur Pro Pembangunan (KWKTPP). Dengan terbentuknya KWKTPP, dia merasa lebih leluasa dan efektif menggalang dukungan semua lapisan masyarakat guna mewujudkan kebersamaan, tanpa memandang latar belakang suku, bangsa, ras, agama dan lain-lain. Faktanya, menjelang Pilkada langsung Kutai Timur 12 Desember 2005, wadah ini menjadi suatu kekuatan besar yang sinergis. Dalam konteks inilah, Awang Faroek berupaya menghilangkan munculnya sekat-sekat egoisme sektoral dan kepentingan pribadi, golongan, kelompok dan lain-lain. “Sebab, tujuan kita cuma satu, yakni bagaimana Kutai Timur menjadi lebih baik, lebih maju dan lebih sejahtera,” tegas Awang Faroek.
Prinsip kelima, Awang Faroek kembali dengan komitmen. Komitmennya, dia ingin membangun Kutai Timur dan bertekad menciptakan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Menurut dia, bagaimana mungkin kita dapat melaksanakan butir-butir agenda reformasi secara baik di Kutai Timur, bila tidak ada tata kelola pemerintahan yang baik yang telah beberapa kali dia tulis dan dihimpun dalam sejumlah buku karyanya. Tata kelola pemerintahan yang baik mencakup unsur: partisipasi, penegakan hukum, transparan, kesetaraan, responsif, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme (Awang Faroek, 2003).
“Saya yakin kesepuluh prinsip good governance itu sudah saya laksanakan secara bertahap di Kutai Timur. Bahkan, setiap aktivitas apel 17 Agustus, kesepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik itu selalu diucapkan sehingga dalam diri setiap aparatur Pemerintah Kabupaten (Pemkab) makna kesepuluh prinsip itu benar-benar diresapi dan dilaksanakan saat mereka bertugas sehari-hari,” tutur Awang Faroek.
Prinsip keenam, Awang Faroek kembali ke Kutai Timur berpinsip pada keadilan. Memang, pada dasarnya kita susah bertindak adil, tapi minimal kita berupaya menciptakan keadilan itu pada semua orang. Prinsip keadilan ini dia terapkan tanpa pandang bulu, supaya tidak ada lagi rasa kecewa atau tidak puas pada sebagian warga masyarakat di Kutai Timur. Misalkan, dalam proses penerimaan (recruitment) dan pengangkatan calon PNS, termasuk promosi jabatan, semuanya harus mengikuti prosedur dan aturan yang berlaku, yakni aturan Kepegawaian dan Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). “Dengan kata lain siapa yang berprestasi, berdedikasi, dan loyalitasnya tidak diragukan, maka dia lah yang kita hargai, tanpa memandang apakah ia keluarga saya, keponakan, sepupu dan sebagainya,” tutur Awang Faroek.
Prinsip ketujuh, Awang Faroek kembali ke Kutai Timur ingin mengembangkan sikap disiplin. Dia berpendapat, tanpa disiplin maka kita semua akan susah. Terus terang saja, bagaimana mungkin kita menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), kalau disiplin di dalam organisasi tidak ada. Awang berharap disiplin itu tidak hanya miliknya pribadi namun juga harus diterapkan pada lingkungan keluarga masing-masing. Terlebih lagi bagi seseorang yang menjalankan tugas sebagai pemimpin birokrasi, maka disiplin menjadi sebuah keniscayaan.
Berangkat dari tujuh prinsip nilai itu, Awang Faroek memantapkan niatnya untuk ‘pulang’ ke Kabupaten Kutai Timur. Sebetulnya, masih banyak lagi prinsip-prinsip lain yang juga turut mendorongnya pulang kampung. Tapi, menurut Awang Faroek, “Ketujuh prinsip itulah yang terpenting dan secara bertahap akan saya terapkan di wilayah Kutai Timur, termasuk kelak bilamana rakyat memberi amanah kepada saya untuk memimpin Provinsi Kalimantan Timur.”

C.   Representasi Bupati Rakyat
Sosok Awang Faroek bukanlah tipikal pemimpin yang hanya tenang duduk di atas singgasana kekuasaannya sembari menunggu laporan anak buahnya. Bahkan, jauh sebelum itu, terutama ketika dia masih duduk sebagai wakil rakyat di DPR/MPR RI, Awang Faroek sudah mengunjungi semua kabupaten/kota dan nyaris semua kecamatan di Kalimantan Timur. Apalagi, setelah dia dipercaya sebagai Penjabat Bupati Kutai Timur (1999-2001), kemudian Bupati Kutai Timur (2001-2003) dan ketika dipercaya kembali sebagai Bupati Kutai Timur (2006-2011), maka wilayah Kutai Timur tidak ubahnya “menu makanan” yang menjadi santapannya sehari-hari. Sebab, semua 18 kecamatan di Kutai Timur, termasuk desa-desa terpencil di pelosok dan pedalaman, sudah pernah dia jelajahi demi menyambangi rakyat yang dicintainya.
Nilai-nilai kedisiplinan yang diajarkan sang ayah juga tampak sangat membekas di dalam keseharian Awang Faroek. Dia merupakan sosok kepala daerah pekerja keras dan sangat dekat dengan rakyatnya. Setiap hari dia memulai aktivitas di kantornya pukul 06.30 WITA. Sebagai bupati, 60 persen waktunya dia habiskan di lapangan untuk mengunjungi daerah-daerah di kecamatan atau pelosok-pelosok desa yang ada di wilayah Kutai Timur. Dalam kesempatan itulah, dia menyediakan waktu khusus untuk berdialog dengan rakyatnya. Mendengarkan secara langsung unek-unek mereka, entah berupa keluhan, kesulitan yang dihadapi, keinginan maupun haraan-harapan yang dapat langsung mereka sampaikan.
“Dengan turun ke lapangan dan berdialog, saya bisa mengetahui segala persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Semua kecamatan di Kutai Timur ini pernah saya datangi,” ujar Awang Faroek suatu waktu. Selain itu dia berharap dapat secara langsung mengetahui berbagai hal yang dihadapi rakyatnya dan tidak semata-mata hanya menerima laporan dari bawahannya. Karena, jika laporan tidak di-cross check, kerap terjadi deviasi atau didistorsi dengan menyenangkan atasan. Istilah populernya Asal Bapak Senang (ABS). Dan Awang Faroek tidak ingin bawahannya bermental ABS. Itulah sebabnya dia merupakan sosok pemimpin daerah yang sangat merakyat dan cepat akrab dengan semua orang.
Bagi Awang Faroek, kepercayaan rakyat itu mahal harganya. Sebab, kepercayaan itu identik dengan amanah dan harus dia pertanggung-jawabkan. Sebagai umat beragama, dia berprinsip nothing to loose, akan memegang teguh amanah yang diberikan di pundaknya. Begitu pula, ketika dirinya diminta kembali pulang guna membangun Kutai Timur oleh sebagian besar warga daerahnya, termasuk tokoh masyarakat, alim ulama, tokoh adat, unsur pemuda, dan lain-lain, dia tak kuasa menolak amanah tersebut. Terlebih lagi, di sisi lain, Awang Faroek merasa belum optimal berbuat bagi proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di daerahnya. Kesenjangan (gap) ekonomi yang lebar antara masyarakat di sejumlah wilayah pedalaman dan perbatasan dengan perkotaan, serta ketimpangan antara sektor pertanian dan industri/pertambangan di wilayahnya, menjadi perhatian serius tokoh yang telah kenyang ditempa pengalaman ini.
Sebagai Kepla Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyatnya pada 12 Desember 2005, Awang Faroek sangat mengerti dan memahami betul ragam persoalan yang berkembang dan membentang di Kabupaten Kutai Timur, bahkan di Provinsi Kalimantan Timur. Hal ini cukup beralasan, karena kepedulian dan perhatiannya yang cukup tinggi kepada daerah kelahirannya itu.
Awang Faroek merasa bahagia, senang dan terkadang haru ketika dirinya dapat berkomunikasi langsung dengan rakyatnya yang sebagian besar rakyat kecil itu. Kepedulian dan kepekaan Awang Faroek terhadap persoalan yang dihadapi rakyatnya tidak jarang mampu menyita waktu, energi dan sebagian besar tugas-tugasnya sebagai kepala daerah.
Lantaran acap turun ke lapangan, singgah ke pelosok-pelosok pedalaman dan wilayah perbatasan, melihat dari dekat berbagai permasalahan yang menggelayuti rakyatnya, sosok Bupati Awang Faroek tidak asing lagi di mata rakyat kecil di wilayanya. Dia bahkan tidak pernah menjaga jarak dengan rakyatnya barang sejengkal pun. Berkumpul, bercengkerama, mendengarkan keluh-kesah rakyatnya, itulah saat-saat bahagia dan sangat menyenangkan bagi dirinya sebagai pemimpin mereka. Nuraninya mudah tersentuh dan tak jarang membuatnya menitikkan air mata manakala mendapati rakyatnya yang tengah ditimpa kesusahan.
“Saya pernah menangis karena terharu ketika Pejalung Juk, Kepala Adat Dayak Kenyah di Desa Mekar Baru, berkata kepada saya bahwa sejak Indonesia merdeka (1945) belum pernah ada pejabat yang mengunjungi desanya. Sementara saat itu, sebagai Bupati Kutai Timur saya sudah tiga kali ke sana. Menurut Pejalung, rakyat desanya benar-benar bangga dan bahagia, karena saya dan isteri bisa bertandang ke desa mereka,” kisah Awang Faroek beberapa  waktu lalu mengenang saat-saat bahagia mengingat bisa dekat dan membaur dengan rakyatnya.
Sekadar pengetahuan, untuk mencapai Desa Mekar Baru yang merupakan desa paling ujung di wilayah Kutai Timur, Awang Faroek dan isteri harus rela bersusah-payah perjalanan cukup panjang berganti-ganti kendaraan, mulai dari speedboat sampai perahu ketinting. Desa Mekar Baru ini pernah terkenal di pentas nasional ketika terjadi kontroversi tambang emas Bre-X tahun 1997 silam.
Menurut Awang Faroek, warga masyarakat yang tinggal di pedalaman dan wilayah perbatasan dikunjungi pejabat saja sudah merasa senang bukan main. Terlebih lagi, bila kesejahteraan dan perkonomian mereka dapat ditingkatkan, mereka tentu lebih bahagia.
Sebagai putera asli Kutai yang pernah menjalani masa kanak-kanak di tengah-tengah masyarakat terpencil Suku Dayak di pedalaman Sungai Mahakam, Awang Faroek memahami betul bagaimana suara nurani rakyat dan denyut nadi kehidupan alamiah mereka yang tinggal di wilayah perbatasan dan pedalaman Kalimantan Timur.
“Mereka itu juga saudara-saudara kita, meski dengan kehidupannya yang serba terbatas dan sederhana. Di sisi lain juga banyak di antara mereka yang hidup dalam keterpurukan. Mereka hidup di tengah kekayaan alam Kaltim yang berlimpah, sayangnya belum banyak di antara mereka yang merasakan secara langsung manfaat pembangunan,” ujar Awang Faroek dengan tatapan mata menerawang, ingat akan masa-masa kecilnya di Barongtongkok. Sekitar tahun 1955, Awang Faroek yang ketika itu masih berusia tujuh tahun sempat ikut sang ayah yang ditugaskan sebagai wedana di wilayah Barongtongkok, Kawedanan Sendawar. Selama tiga tahun lamanya, Awang Faroek kecil sempat bersekolah di SR dan dia bergaul dengan anak-anak Suku Dayak.
Setelah dia dipercaya menjadi Bupati Kutai Timur, anak-anak Suku Dayak di wilayahnya mulai merasakan makna sesungguhnya dari proses pembangunan. Hal lain, demikian menurut Awang Faroek, rakyat Kutai Timur semestinya juga pantas bersyukur karena wilayahnya dikaruniai kekayaan sumber daya alam (natural resources) yang berlimpah, antara lain batubara, emas, minyak bumi, gas alam dan aneka bahan mineral lainnya, hingga kehijauan hamparan hutan alam nan luas. Kekayaan alam tersebut mampu memberikan kontribusi bagi APBD Kutai Timur mencapai Rp1,133 triliun (2006).
Awang Faroek bukan hanya dekat dengan rakyatnya. Komitmen dan kepeduliannya terhadap upaya perbaikan nasib rakyat kecil secara keseluruhan, seperti para petani, nelayan dan kalangan buruh, juga tidak perlu diragukan lagi. Sekadar contoh, dia menerapkan kebijakan khusus di Kutai Timur dalam konteks pemberdayaan masyarakat (people empowering), yakni melakukan melakukan kebijakan redistribusi lahan seluas lima hektar kepada masing-masing kepala keluarga disertai program sertifikasi gratis atas hak kepemilikan tanah tersebut.
Sejak awal, program reformasi agraria yang pro-rakyat dan dicanangkan Awang Faroek itu dinilai banyak kalangan sangat berpihak kepada masyarakat kecil, khususnya kalangan petani. Terlebih dalam program strategis Gerdabangagri juga tercakup di dalamnya redistribusi atau penyerahan tanah pertanian kepada sekitar 3.500 kepala keluarga.
Dijelaskan Awang Faroek, “Program redistribusi lahan lima hektar ini, selain mampu mengatasi persoalan yang timbul karena ketidak-jelasan status tanah, juga mampu mencegah kebakaran hutan, sebab petani tidak lagi berladang dengan sistem berpindah-pindah,” jelas Awang Faroek yang pernah memperoleh penghargaan Bhumi Bhakti Adhiguna di bidang agraria dan pertanahan (2006), sebagai apresiasi atas komitmennya yang cemerlang dan sangat berpihak kepada rakyat kecil itu. Pada periode kedua masa jabatannya sebagai Bupati Kutai Timur (2006-2011), Awang Faroek kembali melanjutkan program strategis redistribusi lahan yang sebelumnya sempat terhenti. Sejak April 2006, program redistribusi lahan tersebut kembali menggelinding. Minimal sudah ada tujuh kecamatan pemekaran baru yang menikmati secara langsung redistribusi lahan tersebut. Antara lain di Kecamatan Teluk Pandan sudah diserahkan 500 sertifikat kepada 500 kepala keluarga dengan luas areal masing-masing dua hektar. Pun demikian di Kecamatan Sangatta Selatan, Rantau Pulung, Kaubun, Karangan, Long Masangat dan Kecamatan Rantau Ampat masing-masing telah menerima penyerahan 500 sertifikat secara gratis. Total jumlahnya telah mencapai luas areal 7.000 hektar dan diserahkan langsung kepada 3.500 kepala keluarga.
“Redistribusi lahan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dalam swasembada pangan. Jadi, semua masyarakat petani di Kutai Timur, khususnya di pedesaan, dapat memiliki lahan pertanian relatif luas serta jelas statusnya,” terang Awang Faroek.
Perhatian dan kepedulian Awang Faroek terhadap nasib buruh juga tidak jauh berbeda. Hal ini dapat ditelusuri pada saat terjadi peristiwa demonstrasi dan pemogokan buruh perusahaan PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan pada 1999 lalu. Unjuk rasa tersebut mengemuka gara-gara para buruh menuntut hak-haknya terkait aspek kesejahteraan yang mereka terima. Unjuk rasa dan pemogokan waktu itu sempat memanas dan mendapat tindakan represif dari aparat kepolisian. Adalah Mochtar Pakpahan, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang memperjuangkan tuntutan buruh KPC, akhirnya sempat bertemu dengan Awang Faroek, di mana saat itu masih sebagai Penjabat Bupati Kutai Timur.
Melihat gejolak buruh KPC yang kian memanas di daerahnya, Awang Faroek lantas mencoba menengahi dan menawarkan diri sebagai fasilitator. “Akhirnya, setelah melalui perundingan alot –antara wakil buruh dan pihak KPC—diperoleh kesepakatan yang menjadikan buruh semakin berdaya dengan win-win solution,” aku Mochtar Pakpahan, sekaligus memuji apa yang telah dilakukan Awang Faroek. Mochtar Pakpahan mengakui keberhasilan buruh tersebut tidak terlepas dari kontribusi Awang Faroek yang secara responsif menjembatani kepentingan pihak buruh dengan perusahaan KPC.
Bagi Mochtar pribadi, sosok Awang Faroek yang demikian peduli terhadap nasih buruh dan rakyat kecil sungguh mengesankan. Pun begitu ketika pada awal 2003 lalu, saat banyak TKI yang dipulangkan dari negeri jiran Malaysia, lagi-lagi Awang Faroek menawarkan solusi jitu. Menurut Mochtar, kala itu Awang Faroek menawarkan dan membagi-bagikan lahan perkebunan di daerahnya  untuk memberdayakan kaum petani. Dari kebijakannya itu, kata Mochtar, banyak masalah yang terpecahkan. “Bagi kami, figur Pak Awang adalah sahabat buruh, berkat komitmennya kepada rakyat kecil. Ini yang pertama. Yang kedua dia juga memiliki komitmen kuat terhadap penegakan hukum, penegakan kebenaran dan HAM. Itulah yang melekat di hati kamu untuk figur seperti Pak Awang,” papar aktivis buruh Mochtar Pakpahan tentang sosok Awang Faroek yang sangat peduli pada nasib buruh tersebut.

D.   CEO yang Birokrat
Pada dasarnya, predikat Chief Executive Officer (CEO) hanya lazim diberikan kepada seseorang yang sukses memimpin sebuah perusahaan swasta (corporate) besar. Kurang galib disematkan kepada seorang birokrat yang juga kepala daerah. Namun, berkat “kecemerlangan” paradigma pemikiran dan pendekatan dalam manajemen pemerintahannya yang dapat disejajarkan dengan filosofi kerja CEO, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN (1998-1999) Tanri Abeng memberi predikat CEO pada sosok Awang Faroek Ishak.
Di mata Tanri Abeng, sosok seperti Awang Faroek berbeda dibandingkan bupati pada umumnya. Awang Faroek mampu melahirkan konsep dan ide-ide brilian yang bervisi jauh ke depan. Tanri Abeng mencermati bahwa apa yang dilakukan Awang Faroek dalam mengelola pemerintahan daerah Kutai Timur adalah suatu revolusi pemikiran dan paradigma baru manajemen pemerintahan. “Saya tidak terbayang Awang Faroek begitu cepat menangkap dan menyadari bahwa dia membutuhkan paradigma baru. Ini pola pikir yang luar biasa dan ditangkap oleh seorang Awang Faroek,” puji Tanri Abeng tanpa reserve. Dan Tanri Abeng tidak ragu-ragu menyematkan predikat “Bupati CEO” pada sosok Awang Faroek.
Awang Faroek memang memiliki paradigma pemikiran yang cemerlang, yakni mampu mentransformasikan ide-idenya bernuansa entrepreneur dari birokrat ke korporat. Dia mampu menangkap secara cerdas kondisi daerahnya sekaligus merefleksikannya melalui visi yang tepat dan membumi. Dengan begitu, dalam mengawal manajemen pemerintahan Kutai Timur, terobosan-terobosan yang dilakukannya dianggap sebuah revolusi pemikiran dan paradigma baru manajemen pemerintahan di masanya.
Menanggapi pujian Tanri Abeng, dengan rendah hati, Awang Faroek mengatakan, “Ini kan hanya masalah pola pikir. Kalau hanya ingin menjadi bupati, pekerjaan saya relatif mudah, karena di sini sudah ada Sekretaris Daerah, para asisten dan staf.” Dia menandaskan, “Saya ingin agar pola pikir pengelolaan Kutai Timur itu seperti kita menangani sebuah perusahaan, di mana ada Dewan Komisaris dalam ini DPRD, dan para Pemegang Saham, yaitu warga masyarakat Kutai Timur sendiri. Tugas saya adalah memberikan laporan kepada Dewan Komisaris. Ini pola pikirnya. Sedangkan pelaksanaannya, yang namanya sistem pemerintahan, tentu harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada.”
Awang Faroek mengakui munculnya pola pikir seperti ini berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadinya dipadukan dengan keberhasilan pengalaman dari orang lain. Dan, pengalaman itu membuatnya semakin arif dalam melangkah, bijak mengambil keputusan serta akurat menentukan sebuah perencanaan. “Saya ini gabungan dari intelektual, saya juga seorang politisi dan seorang birokrat. Sekarang ada lagi yang menyebut saya sebagai entrepreneur, karena pola pikir kepemimpinan saya itu,” jelas Awang Faroek.
Dengan begitu tidak diragukan lagi, menurut Tanri Abeng, bahwa Awang Faroek merupakan seorang CEO. Karena, dia memiliki pola pikir yang sama dengan CEO. Sebagai birokrat daerah, ternyata Awang Faroek mampu menangkap kondisi daerahnya sekaligus merefleksikannya melalui visi yang muncul dari ide-ide yang dia lahirkan. Visinya dalam membangun Kutai Timur sama dengan visi seorang presiden direktur perusahaan.
Dalam mengelola manajemen pemerintahan daerah Kabupaten Kutai Timur, Awang Faroek berusaha mengusung sepuluh filosofi CEO. Kesepuluh filosofi itu: pertama, Mengawali hari dengan membaca, isi hari-hari dengan membaca dan berkarya, dan tutup hari-hari dengan membaca, bersyukur dan planing.
Membaca di sini adalah kegiatan membaca buku, berdiskusi, menulis buku, membaca pasar, dan membaca peluang-peluang bisnis yang ada, sehingga menghasilkan sebuah inovasi dan kreativitas bisnis baru. Berkarya di sini adalah mengisi waktu-waktu dengan bekerja, berwirausaha, berbisnis. Intinya jangan sampai kita membiarkan sedetik pun dalam hari-hari kita tidak terisi dengan karya nyata, tidak terisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Jadi berkarya dapat diartikan dengan selalu mengisi hari-hari kita dengan sesuatu yang bernilai manfaat. Bersyukur itu penting agar bisnis yang kita jalankan selalu tumbuh dan berkembang, karena dalam setiap syukur ada sebuah keberkahan yang akan semakin memajukan bisnis yang kita jalankan. Di samping itu selalu membuat planing akan selalu memacu kita untuk selalu berkarya dan bekerja keras.
Kedua, Selalu mendengar dengah hati yang tulus adalah kunci menuju perubahan. Selalu mendengar di sini adalah selalu meminta masukan, koreksi, perbaikan dan inovasi-inovasi yang diinginkan oleh konsumen, sebuah perusahaan akan menjadi maju jika selalu meminta masukan dari siapa pun, baik itu dari bawahan, dari konsumen, maupun dari perusahaan lain. Dalam konteks pemerintahan daerah, konsumen adalah warga masyarakat dan pelaku usaha.
Ketiga, Selalu menyapa dengan tulus merupakan kunci keberhasilan organisasi. Seorang CEO harus mengalokasikan waktunya walaupun hanya satu menit untuk menyapa dan bertukar pikiran dengan jajaran karyawannya agar sebuah perusahaan bisa tumbuh dan berkembang, manajemen dapat berjalan dengan baik.
Keempat, Selalu menjaga hubungan silaturrahim dengan siapa saja. Menjaga silaturrahim di sini adalah dengan cara selalu menjalin komunikasi dengan para pelanggan, dengan para karyawan, dengan para pemegang saham. Selain itu kita harus menyambung komunikasi dengan relasi yang pernah terputus. Menjalin komunikasi dengan pelanggan sangat penting agar penetrasi bisnis kita semakin berkembang luas, menjalin komunikasi dengan karyawan bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalkan dengan cara perusahaan menyediakan mudik bareng saat lebaran, perusahaan menyediakan beasiswa pendidikan gratis bagi anak-anak karyawan, atau perusahaan memuliki sebuah sekolah gratis untuk anak-anak karyawan. Sedangkan menjalin komunikasi dengan pelanggan dapat dilakukan dengan cara memberikan saluran hotline service gratis, memberikan hadiah umrah gratis, memberikan diskon gratis, maupun menyediakan weblog dengan pelanggan.
Kelima, Bangunlah sebuah bisnis yang mencerdaskan. Bisnis yang mencerdaskan adalah sebuah bisnis yang tidak hanya menghasilkan keuntungan materi dan memberikan manfaat bagi konsumen. Namun harus dapat memberikan nilai tambah ilmu dan pengetahuan baru kepada setiap konsumen yang menggunakan produk kita. Selain itu sebuah perusahaan yang mencerdaskan harus pula dapat memberikan efek berganda bagi kemajuan pendidikan, di antaranya dapat dilakukan dengan cara memberikan beasiswa dari hasil laba perusahaan, membuka sekolah gratis bagi para anak-anak karyawan, dan membuka universitas-universitas untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
Keenam, Sumber kelanggengan suatu bisnis adalah para pengelolanya yang cinta ilmu, dan selalu mengajarkan ilmu kepada setiap orang yang membutuhkan. Ilmu pengetahuan merupakan sebuah sumber daya yang sangat memegang kelanggengan suatu bisnis yang kita jalankan selain dari sumber daya modal. Karena dengan selalu menuntut ilmu, perusahaan akan semakin pintar dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.
Ketujuh, Setiap hari harus memiliki rencana dan tujuan yang ingin dicapai. Minimal memiliki satu rencana yang akan dilaksanakan dan setelah satu rencana beres maka merencanakan kegiatan lainnya.
Kedelapan, Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Dalam bisnis pun sama, hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Dengan begitu akan senantiasa ada perbaikan manajemen, perbaikan pelayanan, dan inovasi-inovasi baru setiap hari.
Kesembilan, Apabila telah selesai dari satu bisnis maka kerjakanlah bisnis yang lain. Ekspansi bisnis perlu dilakukan agar bisnis kita terus berkembang pesat. Hal ini perlu dilakukan agar bisnis yang kita lakukan tidak mengalami stagnasi.
Dan kesepuluh, Kerjakanlah rencana yang telah ditetapkan satu demi satu. Ibarat membangun sebuah bangunan, perlu proses satu demi satu. Begitu pula dengan bisnis memerlukan proses satu demi satu.
Persoalannya, tinggal bagaimana dia mampu mensosialisasikan nilai-nilai filosofis CEO tersebut kepada aparatur di bawahnya. Awang Faroek menyadari betul tidaklah mudah menerapkan filosofi CEO ke dalam manajemen pemerintahan daerah. Menyadari kapasitas dan kompetensi aparatur di bawahnya, Tanri Abeng menawarkan kerjasama dalam bentuk pelatihan kepada Awang Faroek. Gayung bersambut. Awang Faroek menyetujui tawaran Tanri Abeng. Lalu Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan Allen Abeng Institute serta Tanri Abeng Associate sepakat menjalin kerjasama. Minimal 90 orang (terbagi atas tiga gelombang) telah dididik selama kepemimpinan Awang Faroek di Kutai Timur. Mereka terdiri dari kalangan wakil rakyat DPRD, aparatur pemerintahan daerah dan kalangan pelaku usaha. Mereka mengikuti penataran manajemen praktis secara intensif di Allen Abeng Institute. Boleh jadi, langkah ini merupakan pelatihan model baru dan pertama kali di Indonesia.
Menurut Tanri Abeng, kepala daerah sekaligus pemimpin seperti Awang Faroek tersebut jelas sangat membutuhkan orang-orang yang mau belajar untuk berpikir dengan paradigma manajemen korporasi. Yakni, belajar bagaimana pentingnya melakukan transformasi pemikiran dari birokrat ke korporat. Sungguh tidak mudah. ***

No comments:

Post a Comment