Disahkannya Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang disahkan tanggal 25 November
2011, terus mengundang pro dan kontra, khususnya di kalangan pekerja/buruh.
Lahirnya UU BPJS, merupakan turunan dari Undang-undang No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang disahkan tanggal 19 November
2004, yang berusaha mengadopsi hak setiap orang atas jaminan sosial dalam
pemenuhan kebutuhan hidup layak, yang dijamin dalam bingkai konstitusi Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terlepas dari pro dan kontra keberadaan UU SJSN dan
UU BPJS, pada hakikatnya kita membutuhkan perlindungan dari negara yang
merupakan tanggung jawab Pemerintah sebagai pelaksana dari sebuah sistem
kenegaraan, khususnya kesehatan.
Sistem penyelenggaraan kesehatan dengan model
asuransi (karena bersyarat kepesertaan dan iuran/premi) sebelum tanggal 1 Januari
2014 (baca : sebelum beroperasinya BPJS Kesehatan yang akan menggabungkan
pelayanan kesehatan PT. Jamsostek dan ASKES), telah diselenggarakan oleh
Perusahaan Umum Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (ASTEK) melalui Peraturan
Pemerintah No. 34 Tahun 1977 sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan
Pemerintah No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (ASTEK),
yang kemudian dijadikan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Jamsostek) menjadi pengelolaannya dilakukan oleh PT. Jamsostek,
yang menjadi pesertanya adalah pekerja/buruh (yang hingga tahun 2012 mempunyai
peserta 11,3 juta orang dan hanya 5 juta pekerja/buruh yang terdaftar
berfasilitas jaminan pemeliharaan kesehatan dari 100 juta pekerja/buruh).
Sedangkan untuk pelayanan kesehatan terhadap
Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian
Republik Indonesia (Polri), diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun
1968 lalu di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984, yang kemudian
di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 dan terakhir diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992, yang penyelenggaraannya
dilakukan oleh PT. Husada Bhakti (Persero) yang kini dikenal dengan ASKES, yang
jumlahnya pesertanya 16,5 juta orang.
Dengan fakta tersebut diatas, maka komponen
masyarakat yang mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan dengan model asuransi
terdiri dari pekerja/buruh, PNS, TNI dan Polri hanya 21,5 juta orang dari 244
juta rakyat Indonesia. Lalu bagaimana dengan lebih dari 200 juta orang rakyat
yang belum mendapatkan fasilitas kesehatan?
Jumlah orang menengah ke atas yang bisa membayar
sendiri biaya kesehatannya secara tunai maupun melalui perusahaan asuransi
swasta sebanyak 134 juta orang, sedangkan ada lebih dari 88,5 juta orang rakyat
Indonesia membutuhkan peran Pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang harus disubsidi melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagai
pelaksanaan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan perintah Pasal 171 ayat (2)
Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengharuskan Pemerintah
menganggarkan 5% dari APBN atau sejumlah 64,3 Triliun untuk Tahun Anggaran
2013.
Oleh karenanya, pemberian subsidi kesehatan dibawah
5% atau kurang dari 64,3 Triliun adalah pengingkaran terhadap amanat UUD 1945
atas penyelenggaraan kesehatan yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, merupakan pengkhianatan terhadap
rakyat, bangsa dan negara.
Mampukah BPJS Kesehatan menjadi harapan baru bagi
rakyat tidak mampu untuk mendapatkan hak atas kesehatannya (?)
No comments:
Post a Comment