Sunday, April 14, 2013

BPJS Kesehatan, Harapan Baru Masyarakat (?)


Disahkannya Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang disahkan tanggal 25 November 2011, terus mengundang pro dan kontra, khususnya di kalangan pekerja/buruh. Lahirnya UU BPJS, merupakan turunan dari Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang disahkan tanggal 19 November 2004, yang berusaha mengadopsi hak setiap orang atas jaminan sosial dalam pemenuhan kebutuhan hidup layak, yang dijamin dalam bingkai konstitusi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Terlepas dari pro dan kontra keberadaan UU SJSN dan UU BPJS, pada hakikatnya kita membutuhkan perlindungan dari negara yang merupakan tanggung jawab Pemerintah sebagai pelaksana dari sebuah sistem kenegaraan, khususnya kesehatan.

Sistem penyelenggaraan kesehatan dengan model asuransi (karena bersyarat kepesertaan dan iuran/premi) sebelum tanggal 1 Januari 2014 (baca : sebelum beroperasinya BPJS Kesehatan yang akan menggabungkan pelayanan kesehatan PT. Jamsostek dan ASKES), telah diselenggarakan oleh Perusahaan Umum Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (ASTEK) melalui Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1977 sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (ASTEK), yang kemudian dijadikan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) menjadi pengelolaannya dilakukan oleh PT. Jamsostek, yang menjadi pesertanya adalah pekerja/buruh (yang hingga tahun 2012 mempunyai peserta 11,3 juta orang dan hanya 5 juta pekerja/buruh yang terdaftar berfasilitas jaminan pemeliharaan kesehatan dari 100 juta pekerja/buruh).

Sedangkan untuk pelayanan kesehatan terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968 lalu di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984, yang kemudian di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992, yang penyelenggaraannya dilakukan oleh PT. Husada Bhakti (Persero) yang kini dikenal dengan ASKES, yang jumlahnya pesertanya 16,5 juta orang.

Dengan fakta tersebut diatas, maka komponen masyarakat yang mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan dengan model asuransi terdiri dari pekerja/buruh, PNS, TNI dan Polri hanya 21,5 juta orang dari 244 juta rakyat Indonesia. Lalu bagaimana dengan lebih dari 200 juta orang rakyat yang belum mendapatkan fasilitas kesehatan?

Jumlah orang menengah ke atas yang bisa membayar sendiri biaya kesehatannya secara tunai maupun melalui perusahaan asuransi swasta sebanyak 134 juta orang, sedangkan ada lebih dari 88,5 juta orang rakyat Indonesia membutuhkan peran Pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang harus disubsidi melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagai pelaksanaan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan perintah Pasal 171 ayat (2) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengharuskan Pemerintah menganggarkan 5% dari APBN atau sejumlah 64,3 Triliun untuk Tahun Anggaran 2013.

Oleh karenanya, pemberian subsidi kesehatan dibawah 5% atau kurang dari 64,3 Triliun adalah pengingkaran terhadap amanat UUD 1945 atas penyelenggaraan kesehatan yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, merupakan pengkhianatan terhadap rakyat, bangsa dan negara.

Mampukah BPJS Kesehatan menjadi harapan baru bagi rakyat tidak mampu untuk mendapatkan hak atas kesehatannya (?)

No comments:

Post a Comment